It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lucifer5245 hahahahaha
@raw_stone thanks to Bekcy
@ffirly69 sebentar lagi. yang sabar yah. huehuehue. bakal dilemma tuh anak ntar
@lulu_75 i love them both very much
@akina_kenji xoxoxoxoxoxoxo
@harya_kei iya nih XDXD
@fery_aditya @phanthek okidoki bos!
Sulit diingat kapan terakhir kali aku bisa merasa sebegini bahagia. Saking bahagianya aku bahkan sampai tak menghiraukan Taylor di kelas tutorku di Jum'at pagi. Setelah kejadian waktu itu, aku tak tahu lagi akan jadi seperti apa dia. Maksudku, aku tak peduli lagi. Semua hal tentang Taylor tiba tiba menjadi asing dan irrelevan dalam hidupku. Dia bisa menbenciku, dia bisa mencintaiku,.. aku tak peduli lagi karena sekarang aku punya Vincent.
Taylor kembali lagi menjadi sosok yang pendiam dan menolak kehadiranku. Dia pasti benar benar malu saat melakukan deklarasi cinta nya padaku. Malam itu, dia ditemukan tergeletak di lantai oleh salah seorang guru dan sekarang, dia direndahkan oleh seisi sekolah. Well, setidaknya para guru masih mencemaskannya. Semua gosip tentangnya dulu sekarang mulai pudar dan teman temannya berpikir bahwa dia benar benar "legend" karena tak mendapat hukuman apapun dari majelis guru. Dia tak mungkin di skors karena dia akan mewakili Havensdale dalam pertandingan berikutnya.
Setelah melihatnya seperti itu, aku jujur tak mengerti kenapa dulu aku membiarkannya begitu saja menghancurkanku. Dia adalah orang yang menyedihkan, kacau. Aku berjanji takkan membiarkannya mengangguku lagi,apapun ancaman yang dilayangkannya padaku. Kupikir mungkin dia bisa merasakan ketidaktakutanku karena dia bahkan tak lagi menatap mataku saat kami berpapasan. Setahuku, segala hal tentang Taylor Raven sudah berakhir sekarang. Ini waktunya untuk permulaan yang baru.
Aku juga merasa iba sekaligus terharu pada Alexis Mae. Setelah semua yang telah terjadi, aku ingin berteman dengannya. Dia sudah menemani Vincent dimasa masa tersulitnya dan atas alasan itulah, aku tetap akan mencoba ramah dan berteman dengannya. Meski dia masih membenciku.
Aku hampir tak melihatnya selama satu minggu, tapi Jum'at itu aku melihatnya sedang berjalan sendirian di koridor Science Block. Lalu aku memanggilnya.
"Hey Alexis! Minggu lalu kau keren sekali! Aku suka set mu"
Dia berhenti, merasa aneh dengan ucapanku yang sangat bersahabat. Bisa dibilang, dia tidak tahu bagaimana caranya merespon sebuah pujian.
"Uhmm.. thanks, i guess?"
Kata katanya memang bersahabat, tapi ia melontarkannya seperti kalimat itu terasa begitu pahit di bibirnya. Lalu dia dengan cepat menundukkan kepalanya dan berlalu. Kupikir, aku pasti masih buruk di pandangannya. Yah, setidaknya aku sudah membuat suatu kemajuan. Aku agak sedikit merasa bersalah karena dia pasti berpikir aku telah menghasut Vincent di percakapan kami yang lampau. Dia tak tahu diluar jadwal latihan band dan hang-out mereka, Vincent selalu menghabiskan waktunya bersamaku.
Sejujurnya, soal yang itu aku sama sekali tak merasa bersalah.
Saat Minggu sore datang, aku merasa campur aduk antara gugup dan senang. Diluar masih hujan, jadi Vincent menyarankan untuk menginap saja dan dia akan memasakkan makan malam untukku. Aku tak pernah dimasakkan orang lain selain ibuku. Aku merasa benar benar bersemangat.
Aku lalu memencet tombol bel dan dengan perasaan cemas berharap dia akan menyuruhku masuk. Kemudian, suaranya menggema dari interkom.
"Specs! Masuklah!"
Aku baru saja menaiki 3 anak tangga, aku langsung mencium bau sesuatu yang lezat. Kemudian Vincent membuka pintu, dia saat ini menggunakan kemeja dan juga celana panjang.
"Oh my god!! Baunya MENAKJUBKAN!!" Kataku saat aroma masakan rumahan tersebut semakin memukul hidungku.
Dia melepaskan mantelku dan kemudian menggantungnya di belakang pintu. "Oh, nothing special. Cuman chicken caserole kok"
Aku lalu langsung menuju dapur yang letaknya tepat disebelah pintu masuk. Dari dalam oven aku bisa melihat caserole yang menguap. "Memang special kok! Lihat, aku bahkan sampai ingin merebus telur didalamnya"
Vincent lalu mengikutiku ke dapur. "Well, biasanya aku cuman masak kacang. Tapi sekarang aku mencoba membuat sesuatu yang lain"
Aku tersanjung. Aku berputar dari oven dan menatap Vincent dalam. Dia tampak sangat tampan dengan kemeja itu, dan juga rambutnya yang disisir ke samping itu membuatnya semakin mempesona. Dia benar benar berhasil membuat sesuatu. Aku masih tak percaya semua ini sedang terjadi. Kami berdiri berhadap hadapan. Obrolan kecil tadi menghilang entah kenapa. Aku tiba tiba merasa malu dan mendadak tak yakin ingin mengatakan apa.
"For fuck sake Scotty, kemari kau" katanya sambil tersenyum. Lalu dia meletakkan tangannya kepinggangku dan menarikku, kemudian menciumku. Aku melingkarkan kedua tanganku dilehernya. Sekarang kami tidak sedang berada di sekolah, jadi kami bisa terus melakukan ini semau kami...
----
Makan malamnya menyenangkan. Kami makan, ngobrol, dan tertawa. Vincent bahkan sampai membeli sebuah kotak coklat sebagai makanan penutup yang tak butuh waktu lama bagi kami berdua untuk menghabiskannya. Kami tak pernah kehabisan topik obrolan, bahkan untuk obrolan yang ngga penting. Kami bicara tentang musik dan juga CD yang dia belikan (thanks Vincent). Dia juga mengatakan persiapannya untuk showcase Battle Of The Bands. Dan dia juga mengatakan kalau Alexis sama sekali tidak tahu tentang kami berdua, dan kami lalu sepakat untuk tetap menjaganya seperti itu. Aku tak mengatakannya padanya kalau Olive sudah tau sih (bagaimanapun juga aku sudah menyuruh Olive untuk tutup mulut dan aku tahu dia pasti tak akan mengatakannya pada siapapun).
All in all, hidangan yang disajikannya benar benar sempurna. Saat kami sudah selesai, Vincent meraih tanganku, dan lalu membelainya lembut dengan tangannya.
Aku menghela nafas berat saat dia menyentuhku. Aku bahkan tak tahu apa yang sedang dilakukan cowok ini padaku. Sekali lagi, bibir kami saling mengunci satu sama lain. Kami lalu berdiri, dan dia menuntunku berdiri, menuju kamarnya.. keatas kasurnya...
Aku mengerang pelan saat bibirnya mencium bagia atas dadaku. Badannya menekan badanku. Kedua tangannya berkeliaran didalam bajuku, menyentuh setiap inchi kulitku. Tangan yang satunya membelai rambut ikalku. Kami masih berpakaian lengkap, tapi kedua tanganku sudah menyelinap masuk juga kedalam bajunya, menyentuh setiap otot ototnya yang terbentuk sempurna dengan telapak tanganku.
Saat aku menyentuh perutnya, dia tersentak dan aku langsung menarik tanganku.
"Are you OK? I'm sorry, apa aku sudah kelewatan?..." aku lalu duduk. "Let's stop..."
Vincent lalu bangkit dan duduk disampingku. "Sorry Scotty.. aku nggak bermaksud seperti itu... ehmm.. aku agak sensitif dibagian itu" katanya sambil menyentuh perutnya. Aku bingung, Vincent punya badan yang bagai dipahat dengan kehati-hatian ekstra oleh Tuhan. Apa yang harus di sensitifkannya?
Mengerti dengan kebingunganku, dia lalu tersenyum kecil. "Oke, akan ku lihatkan. Tapi.... kau jangan takut ya?"
Dia lalu mulai menanggalkan kancing bajunya, menampakkan badannya. Saat dia semakin melepaskannya, aku bisa melihat sebuah luka yang tergores besar dan dalam dari bagian dadanya jatuh kebagian perut.
"Oh Vincent.... siapa yang melakukannya padamu?"
"Ayahku" jawabnya sambil menghela nafas. "Dia memberikanku si cantik ini tepat sebelum aku memutuskan keluar dari rumah"
Aku menggapai perutnya dan lalu meletakkan telapak tanganku dibagian itu, berharap sentuhanku bisa menghapus luka itu. Vincent sedikit tersentak.
"Dia menikammu?" Tanyaku sambil menarik tangan.
"Yeah. Dengan pisau switchblade. Dia selalu membawanya kemana mana, dasar preman sialan. Dia mengancam ibu dengan itu karena beberapa perdebatan konyol yang tak berguna. Lalu aku melindungi ibu dan pisau itu menebasku"
Membayangkan seorang Ayah yang menyakiti anaknya sendiri, dalam kasus ini Vincent, membuat darahku jadi dingin. Aku lalu meraih tangannya, walau mungkin aku terlalu lemah untuk memberikannya semangat, tapi Vincent menerimanya dengan lapang dada.
"Apa.. polisi tahu?" Tanyaku.
"Yeah.. tapi kukatakan pada mereka bahwa ini semua adalah ulah gang aneh yang tak kukenal" dia menghela nafas sedih mengingat memori itu. "Aku mengarang cerita bodoh tentang aku yang ditusuk oleh seseorang saat diluar rumah, lalu tertatih tatih pulang menelfon ambulans. Mungkin polisi tahu kalau cerita itu cuma omong kosong belaka, tapi mereka tak punya cukup bukti untuk membuktikannya. Ayah yang memintaku untuk tak menceritakan yang sebenarnya karena Ibu takkan bisa menerima dan itu akan semakin menghancurkan keluarga kami... jadi.. aku menuruti permintaanya saja. Aku tak tahu kenapa,.. mungkin sisi menyedihkan dari diriku masih berharap kalau kami bisa kembali menjadi keluarga bahagia"
Aku lalu berbaring di samping Vincent. Badan kami terpisah, tapi tangan kami saling bertaut. "Kau nggak menyedihkan... mereka masih orang tuamu... meski mereka sudah mengecewakanmu"
"Yeah" setujunya. "Sekarang aku sudah tak mempedulikan mereka lagi, aku tak pernah mau membezuk ayahku sejak hari pertama dia dijebloskan kepenjara. Aku sangat lega saat dia ditangkap. Seharusnya dia ditangkap saat menusuk anaknya sendiri. Ibu tak pernah berterimakasih padaku. Dia malah menyalahkanku karena sudah ikut campur. Aku heran sendiri kenapa aku tak kabur saja waktu itu. Rasanya lebih parah daripada pindah bersama Alexis. Mungkin aku masih saja menyimpan harapan bodoh itu"
Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku tumbuh di keluarga dimana Ayah dan Ibu akan selalu menyayangiku apapun yang terjadi. Aku tak bisa membayangkan sedikitpun bagaimana mungkin tindak kekerasan terjadi begitu saja dirumahku. Kesakitan yang tersirat dalam suara Vincent, benar benar menyakitiku. Sebelum aku bisa menghentikan diriku sendiri, aku merasa pelupuk mataku sudah digenangi air mata...
Vincent tertawa pelan saat melihatku menangis. "Oh Specs! Kau kenapa menangis? Jangan jadi anak manja seperti itu..."
Aku kemudian berusaha menyembunyikan tangisanku. "Sorry.. aku.. aku.." kalimatku terputus. Apa yang sebaiknya kukatakan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik?
Vincent mendekat dan mencium pipiku. "Kau sangat menggemaskan. Aku minta maaf karena sudah menghancurkan kencan besar ini dengan menceritakan semua omong kosong tadi..."
Aku langsung terduduk. "Ngga kok! Kau ngga menghancurkan apapun! Aku ingin mendengar semuanya tentangmu! Kau bisa menceritakan apapun...."
Vincent menggodaku dengan menaikan sebelah alisnya. "Apapun....?"
Aku mengangguk, jantungku sudah berdebuh sendiri didalam. "Tentu"
Dia kemudian duduk dan mengancingkan bajunya. "Ok, ini cerita paling parah... God, aku seharusnya ngga menceritakan ini padamu. Tapi biarlah, untuk memperbaiki mood. So.. jadi waktu itu aku bertengkar dengan seorang siswa waktu aku masih berada di Detention, dia sangat mengesalkan dan aku lalu menghantamkan kepalanya ke meja. Aku tak tahu kenapa aku tak dikeluarkan waktu itu, padahal.. kejadiannya cukup parah"
Ada sebuah nada terhibur dalam suaranya. Aku terpaku seketika.
"Shit, kau pasti mengira itu benar benar parah kan?"
"Ermm..." gumamku. "Sejujurnya.. aku waktu itu ada disana"
Kepalanya dengan cepat menoleh padaku. "Kau apa?"
"Uhm...Aku ada disana..."
Mata Vincent mengerjap ngerjap kebingungan. "Fuck off!!! Kau ngga ada disana!"
"Iya! Aku disana kok!" Balasku. "Kejadiannya beberapa tahun yang lalu di Science Block, dan waktu itu aku duduk di bangku paling depan. Dan anak itu adalah... rhmm.. Rich? Dan juga teman temannya?..."
"FUCK!" Pekik Vincent keras. "Aku tak ingat kau ada disana!"
"Well, kenapa juga kau harus ingat?" Kataku sambil tertawa. "Ngga ada alasan juga untuk melihatku"
Dia mencengkramku dan lalu membaringkanku kembali ke kasur. "Well, aku pasti benar benar bodoh karena tidak melihatmu waktu itu. Dan kau pasti benar benar gila kalau masih menyukaiku setelah itu..."
"Bisa dibilang... kau membuatku terkesan.."
Tawa Vincent menggelegar ke penjuru kamar, dan kemudian dia melepaskan kacamataku hati hati, meletakkannya di meja kecil disamping ranjang lalu dia mencium, dan mencumbu leherku pelan dan lembut. Tangannya bermain main didadaku, begitu pula tanganku. Dia tak tersentak lagi saat aku menyentuh lukanya. Dia membiarkanku menyentuhnya, seolah olah luka itu adalah hal terindah yang ada di dirinya.
Matt Bennett as Scotty Williams
Taylor Swift as Olive Jones
Chad Michael Murray as Taylor Raven
Nicholas Hoult as Vincent Hunter
Sophie Wu as Alexis Mae
@freeefujoushi iya nih kak. hehe. makasih yah do'a nya