It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"APAAA?!!!!!! KAU.... DIAA.... APAA!!!!????"
Olive memekik reflek dan suaranya menggema kepenjuru lapangan.
"Ssshhh!! Nanti orang orang dengar!"
Aku mengajaknya makan siang di tempat lain dari tempat biasanya kami makan, Cafetaria. Aku tak bisa membiarkan orang lain mendengarkan percakapan kami. Apalagi Alexis.
"I'm sorry! Tapi.. ngomong ngomong soal kemajuan,.. kenapa kau baru memberitahuku sekarang!?"
Aku kemudian meletakkan snack yang sedang kumakan. "Well,.. aku sampai dirumahnya sudah terlalu larut malam.. i don't know.. aku baru saja merasa seperti turun dari angkasa malam itu... dan.. cuma itu yang bisa kupikirkan. Maaf!"
Olive hampir hampir tak memakan makan siangnya karena mendengar ceritaku. Sebenarnya aku tak berniat untuk menceritakannya tentang ini, apalagi semenjak aku dan Vincent bersepakat untuk pelan pelan dulu. Tapi pada akhirnya aku tak bisa lagi menyimpan rahasia apapun darinya. Dia sahabatku dan dia HARUS tahu.
Maksudku, really, dia HARUS tau. Semuanya.
"OK, aku memaafkanmu. Tapi kau harus menceritakan semua detailnya, seperti, apa yang terjadi saat kau pergi, terus apa yang kau lakukan sebelum pergi? Apa kalian pacaran sekarang!? TELL ME!!"
Aku men-ssst-kannya lagi, takut kalau kalau semua orang akan mendengarnya. Dia lalu dengan merasa bersalah menutup mulut dengan tangannya sendiri.
"Maaf.. tapi, SCOTTY!! Dia menciummu! Dia menyukaimu! Ini.. ini.. INI BERITA BESAR!!!"
Aku tersenyum. Faktanya,aku tak bisa berhenti tersenyum sejak saat mengetahui perasaan Vincent yang sebenarnya padaku. Rasanya seperti,... mimpi indah yang menjadi nyata. Aku terus mencubit pipiku sendiri berharap kalau saat ini aku sedang tidak bermimpi.
"Aku tahu... setelah semuanya.. tapi,.. untuk menjawab pertanyaanmu.. aku nggak yakin apa kami pacaran sekarang.. soalnya aku langsung pulang setelah obrolan itu...."
Olive menaikkan sebelah alisnya. "Apa kalian berciuman lagi?"
Aku tak mengatakan apapun tapi pipiku memerah seketika.
"OH MY GOD!! KAU MENCIUMNYA!!" Dia tertawa lalu mendorong bahuku pelan. "Kau tak melakukan apapun lagi kan, Scotty?! Oh my god kalau ada lagi aku tak tahu apa aku bisa tahan untuk tidak berteriak atau tidak!!!"
Wajahku semakin memanas dan lalu aku kembali tersadar. "No! Kami tak melakukan apapun! Kami... kami.. cuma ngobrol! Dan lalu aku pulang...."
Bagian itu benar. Aku tak berbohong saat mengatakan pada Vincent kalau aku ingin pelan pelan dulu dalam hubungan ini. Aku sudah belajar banyak dari pengalamanku yang begitu terburu buru dengan Taylor. Aku tentu saja takkan membiarkan hal yang sama terjadi lagi. Bukan karena aku akan melakukan itu dengan Vincent. Tapi aku benar benar ingin banyak menghabiskan waktu bersama dan membuat beberapa momen momen kecil lain.
Olive menggembungkan pipinya. "Phew! Aku senang kau tak membuang kehormatanmu hanya karena dia menyukaimu! Tak ada yang salah untuk berpelan pelan dulu... wait, apa itu ciuman pertamamu? Tell me! Bagaimana rasanya!?"
Setahu Olive, aku adalah orang yang masih virgin. Ini semua membuatku merada bersalah, tapi aku tak bisa mengatakan faktanya padanya. Fakta bahwa aku kehilangan kehormatanku di gudang olahraga oleh pembully nomor satu yang paling menjijikkan disekolah, yang bahkan juga membuatku jijik sendiri. Aku yakin kalau dia akan lebih dari sekedar marah. Jadi, mungkin lebih baik untuk tetap merahasiakannya dan memendamnya dalam dalam.
"Yeah.... itu ciuman pertamaku. Jujur, rasanya MENAKJUBKAN. Dan tepat seperti apa yang kuharapkan"
Bagian kedua itu jujur. Jadi, apa pernyataan diatas masih dihitung sebagai kebohongan?
---
Waktu makan siang berakhir dan aku harus kembali ke kelas. Aku menceritakan semuanya sebisaku pada Olive, termasuk beberapa pertemuan kecil di hallway saat Vincent bersama Alexis. Seharusnya aku cemburu karena faktanya mereka pernah berpacaran, tapi ternyata aku malah ok-ok saja tuh. Well, hampir sih. Jika aku terus menerus memikirkan fakta itu, aku merasa bagai ditusuk oleh rasa iri. Lagian, aku kini paham kenapa semuanya terjadi. Dia jelas sekali masih menyukai Vincent dan dia tahu kalau Vincent menyukaiku,... semua sikapnya terjelaskan sekarang.
Meski aku berada di kelas matematika dan aku seharusnya berkonsentrasi dengan itu, aku tak bisa. Pikiranku melayang ke malam itu, memainkan semua yang terjadi malam itu, ciuman itu, Wow.. ciuman itu. Memang bukan ciuman pertama seperti yang kukatakan pada Olive, tapi itu adalah ciuman pertama yang membuatku MERASA seperti itu. Pikiran itu membuatku merasa seperti tersengat listrik sendiri.
Dan lalu,.. masalalu Vincent. Jika teringat hal itu selalu saja membuat hatiku sakit. Sakit rasanya mendengar apa yang telah dia lalui selama ini. Ditambah lagi aku tak bisa menanggung kesedihanki saat tau kalau dia sudah lama sekali kesepian di apartemen kecil yang gelap dan sempit itu. Akan kupastikan dia takkan kesepian lagi.
Tiba tiba ponselku bergetar di kantong celanaku. Biasanya aku tak pernah menghidupkannya saat kelas sedang berlangsung. Tapi aku tak tahan untuk tetap bersamanya. Bagaimana tidak? Aku kan sedang mengharapkan kabar dari seseorang. Aku kemudian dengan perlahan mengeluarkannya dari kantongku.
"Kau benar. Dolly Parton menakjubkan. V. xx"
Aku harus berhenti terbahak jika tak mau diusir Mr. Bicknam dari kelas. Vincent mengirimiku pesan seperti ini, dan bahkan menambahkan dua tanda ciuman diakhirnya. Aku langsung mengirimkannya balasan.
"Well, kubilang juga apa?. Aku punya taste tersendiri. x"
Aku langsung meletakkan ponselku dengan cepat kedalam kantong dan lalu kembali menyalin catatan. Mr. Bicknam sedang menerangkan soal sulit didepan dan aku akan ketinggalan jika tak memperhatikan. Aku lalu dengan cepat menulis soalnya, kemudian ponselku kembali bergetar.
"Oh, jadi cuma satu 'x'? Oh jadi gitu sekarang?. V. xxxxxxxx"
Aku spontan akan langsung tertawa keras tapi dengan cepat menyembunyikannya sebagai sebuah deheman saja. Aku lalu melihat sekeliling apa ada yang sadar, tapi semua orang tampak sedang sibuk dengan catatannya. OK, satu balasan lagi dan lalu memperhatikan kedepan.
"Satu 'x' itu cukup. Berhentilah jadi penggombal! (OK, ini satu x lagi untukmu)"
Aku meletakkan ponselku. Aku takkan memeriksanya lagi sampai kelas berakhir.
Ponselku kembali berdering dan secepat kilat aku langsung meraihnya.
"Aku? Penggombal? Satu satunya penggombal disini adalah kau. (Tak ada x lagi sekarang. Bagaimana menurutmu, apples?)"
Aku tersenyum dan menghentikan percakapan ini disana. Aku akan membalasnya setelah kelas selesai. Ada banyak sekali soal yang harus diselesaikan didepan.
Aku lalu merasakan getaran lagi di kantongku.
"Oh persetan. Aku tak bisa menahannya lagi. Ini x sialanmu.
V.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxzxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
(Sorry, aku harus mengeluarkannya dari pikiranku)"
Aku menyeringai dan Mr. Bicknam memergokiku.
"Mr. Williams! Kuharap kau memperhatikan dan tak ber-sms-ria disana"
Aku langsung menegakkan kepalaku, menyembunyikan pomselku kebawah meja.
"Uhmm... Ya! Tentu pak!"
Dia lalu menunjuk soal yang ada didepan. "Kalau begitu tolong sebutkan jawaban dari pertanyaan dipapan tulis?"
Oh sial! Aku langsung melirik papan tulis, memeriksa setiap angka didepan dan menyebutkan angka yang pertama kali muncul di kepalaku. "Errr..... 8?"
Mulut Mr. Micknam spontan mendatar. Sepertinya dia kesal. "Ya, benar"
Aku lalu tersenyum dan lanjut mencatat.
Diakhir hariku, langit berubah menjadi abu abu dan hujan turun membasahi kota. Sebenarnya sih aku nggak suka naik kendaraan umum, tapi daripada basah kuyub, akhirnya aku mrmutuskan untuk naik bus. Bus ini dipenuhi oleh banyak anak anak dari sekolah yang sama denganku. Aku duduk di kursi pojok belakang. Didepanku, ada dua cewek dari Year 11 yang sedang tertawa dan mengobrol. Awalnya aku tak tertarik, tapi mendengar mereka menyebut nyebut nama "Vincent Hunter", aku lalu diam diam menguping mereka.
"...... dan dia benar benar Gitaris yang keren! Aku jadi merinding saat melihatnya diatas pentas! Dia sangat tampan!"
"I know! Aku sering melihatnya disekolah dan kupikir dia sangat menakutkan.. aku tak pernah tahu kalau dia bisa jadi se-hot itu!"
"Dan bertalenta!"
"Yeah! Sangat bertalenta! Menurutmu lagunya sudah ada di iTunes belum?"
"Kuharap sih sudah! Aku harus mendengarkan suaranya lagi. SEGERA!"
Aneh rasanya mendengar dua orang yang tak kukenal menggosipkan Vincent, tapi keren juga. Aku tau cepat atau lambat dia akan jadi topik paling panas di sekolah karena penampilannya malam itu. Aku lalu mengeluarkan ponselku dari kantong, mencoba untuk tidak menyenggol orang yang berada disampingku karena memang agak sempit disini.
"Aku sedang di bus dan lalu ada dua cewek yang duduk didepanku sedang menggosipkanmu. Lihat siapa yang punya groupies sekarang. Kau benar benar rockstar!. xx"
Vincent langsung membalasnya.
"Benarkah? Atau kau hanya sedang menggodaku?. Vx"
Cewek cewek itu masih membicarakan Vincent dan setnya. Rasanya aneh saat aku sedang membicarakan orang yang sedang mereka gosipkan dan mereka sama sekali tidak tahu.
"Really. Kupikir dia pasti anggota baru Vincent Hunter Fans Club... xx"
Aku menekan tombol send dan beberapa menit kemudian balasan darinya datang.
"Aneh, karena sekarang aku sepertinya adalah anggota baru Scotty Williams Fans Club. Boleh aku jadi groupie mu? Vx"
Dengan itu, aku hampir saja halte pemberhentianku karena terlalu kesenangan.
----
Acara 'gombal-menggombal' ku dan Vincent berlangsung sampai beberapa hari dan akhirnya di pagi Kamis aku kembali melihatnya. Sudah menjadi tradisi baruku, melihatnya berlatih gitar dibawah pohon favoritnya saat aku sedang menuju kelas.
Melihatnya duduk disana, rambut hitam yang menutupi mata, dan juga matanya yang sedang berkonsentrasi itu membuatku merasa seperti pertama kali melihatnya dulu. Aku sudah agak lebih mengenalnya dari acara gombal menggombal kami di ponsel. Tapi menulis sesuatu dilayar lebih mudah ketimbang menyampaikannya langsung. Aku lalu dengan gugup dan malu malu mendekatinya.
Aku mendatanginya, Vincent tak menyadariku sampai aku berada cukup dekat dengannya. Dan dia lalu mendongakkan kepalanya.
"Well, lihat siapa ini. Si penggombal"
Aku tersenyum malu.
"Uhm.. excuse me, kau yang paling parah"
Dia meletakkan gitarnya dengan hati hati dan lalu berdiri. Jantungku kembali berdenyut cepat. Dia lalu meletakkan kedua tangannya di pinggangku, ingin memelukku. "Aku sangat merindukanmu...."
Aku dengan takut langsung mendorongnya. "Vincent, nanti ada yang lihat!"
Dia lalu menjatuhkan tangannya. "Sorry Specs, kita pelan pelan dulu kan?"
"Nggak apa apa kan?" Kataku sambil melihat sekeliling. Aku bukannya ingin menyembunyikan apapun dari orang orang, aku cuma belum siap kalau mereka tahu. Lagian kami masih sama sama dalam proses saling mengenal. Ditambah lagi aku belum sanggup untuk melihat reaksi Alexis saat dia tahu.
"Tentu saja nggak apa apa" kata Vincent ramah. "Tapi aku harus melihatmu lagi diluar layar ponsel. Hari minggu, bisa kan?"
"Pasti" jawabku, berusaha menyembunyikan rasa senang di nada suaraku.
"Great. Kalau begitu aku akan menggombalimu lagi nanti, karena kau sekarang harus ke kelas, kan?" Dia melirik jam tangannya.
Aku menghela nafas, kecewa. "Ya, sebaiknya aku pergi dulu. Aku hampir saja terkena masalah karena tak memperhatikan. Kau adalah penganggu yang buruk. Kau tahu?"
Vincent melirikku puas. "Mungkin karena kau murid yang nakal?"
"Uhm, mungkin!" Balasku agak menyindirnya. Lalu aku tertawa dan saat aku baru saja ingin kembali ke kelas, Vincent memanggilku lagi.
"Tunggu. Ada yang kelupaan!"
Aku memutar kepala. "Apa?"
Dia lalu melirik sekitar, dan kemudian menarikku kebelakang pohon.
"Kau lupa ini" katanya. Dia kemudian menciumku, lembut, pelan dan bergairah. Membuat lututku menjadi lemah untuk berdiri
Dia lalu mendorongku dengan cepat, agar tak satupun orang yang melihat. "CEPAT!! KAU TELAT!! LARI!"
Aku kemudian berlari dan lututku kembali lagi bekerja, dan dengan tertatih tatih karena terlalu bahagia berlari menuju kelas.
just love
just love