It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@JengDianFebrian oiya kayaknya salah link di halaman pertama. maaf ya.. ntar gue post linknya. btw soal sequel Taylor, gue belum dapet izin. keinginan sih ada yah. Secara disana kisah Taylor juga keren.
@adamy you sucks, Taylor
@lucifer5245 kok jadi kayak denger lagunya Rihanna ya? hahahaha
@raw_stone sip bos
@alvin21 sejujurnya sampe sequel ini pun Taylor masih cinta ama Scotty kok. tapi.. ya akhirnya berhasil move on
@akina_kenji kayaknya ngga deh... tapi masalah ending memang benar ada hubungannya ama Taylor, tapi Scotty ngga ama Taylor kok. Kalau kata inul, "masa lalu biarlah masa lalu"
@bi_ngung ninggalin jejak doang? ninggalin duitnya kapan? *dijitak
Vincent menuangkan anggur kedalam gelasnya saat aku sedang menyesap coke-ku. Kami saat ini sedang berada di sebuah pub yang bernuansa rumahan dengan beberapa anak anjing kecil yang lucu bermain main dibawah meja. Ngga banyak orang yang berada disini tapi suasananya terasa sangat santai. Aku biasanya tak pernah pergi ke-pub kecuali bersama ibuku untuk makan. Sekarang anehnya aku merasa sudah menjadi orang dewasa.
"Cheers" Kata Vincent, mengangkat gelasnya padaku dan kemudian kami bersulang.
"Terimakasih lagi ya untuk CD-CD-nya" kataku lagi mencoba untuk menahan rona di pipi. "Aku tak tahan untuk mendengarkannya dirumah"
"Aku tak sabar untuk mendengar pendapatmu tentang mereka" balas Vincent. "Kau harus memberitahuku album mana yang menjadi favoritmu"
"Pasti" kataku. "Dan kau juga harus mengatakan padaku pendapatmu tentang Dolly!"
Vincent menggelengkan kepalanya dengan sebuah senyuman diwajah. "Aku tak percaya kau membuatku membelinya..... didepan Dave"
Kami berdua tertawa. Yang kukhawatirkan adalah, percakapan diantara kami akan jadi kaku jika berada diluar sekolah. Ternyata Vincent malah lebih enak diajak bicara diluar sekolah. Kami seperti punya ritme sendiri dan topik yang kami bicarakan tak ada habis-habisnya.
Kami menghabiskan waktu selama beberapa jam di pub, saking asyiknya mengobrol dan kami malah lupa waktu. Kami bicara lebih banyak tentang musik, Battle Of Band, dan juga rencana jika telah lulus nanti, dan kemudian topik tentang keluarga.
"Kau punya abang atau kakak, Specs?"
"Nggak. Cuman aku dan ibuku. Kau sendiri?"
"Yeah. Aku juga anak tunggal. Apa kau dekat dengan ibumu?"
"Sangat sangat dekat. Dia mengalami masa masa paling sulit.. well.. saat ayah meninggal. Kejadian itu membuat kami menjadi semakin dekat"
"Shit. Ayahmu meninggal?"
"Ya.. sekitar 3 tahun yang lalu. Kecelakan mobil"
"Aku turut berduka cita, Scotty. Kasihan sekali"
Lalu kemudian, aku menceritakan semuanya pada Vincent. Saat dimana polisi mengetuk pintu rumah dan semuanya kemudian berubah. Aku nggak bermaksud untuk menceritakan semua detailnya, tapi melihat Vincent yang mendengarkan dengan serius membuatku menceritakan apa saja yang terjadi saat itu. Senang rasanya bisa mencurahkan semuanya.
Aku ingin bertanya tentang keluarganya, tapi aku malah terbawa suasana dan membicarakan hal yang lain seperti sekolah, politik, ataupun mimpi mimpi kami setelah lulus nanti. Vincent orang yang baik dan asik diajak bicara, tidak seperti yang orang orang katakan. Preman dan suka mendorong orang lain di hallway. Aku menyadari sesuatu, yang dia butuhkan hanyalah kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri dan lalu dia akan mekar seperti bunga di musim semi.
Tiba tiba, perutku berbunyi. Aku tak sadar kalau sekarang sudah hampir waktu makan malam. Obrolan ini benar benar membuatku lupa waktu.
"Sepertinya ada yang lapar? Mau beli beberapa makanan dulu sebelum pulang?"
Aku tadi nggak bilang ke ibu kalau aku akan pulang saat jam makan malam, jadi ini adalah waktu yang tepat. "OK, Tapi kali ini aku yang bayar"
Di musim dingin seperti ini, hari berlalu lebih cepat dan malam datang lebih awal saat kami sampai di toko makanan. Aku memesan dua porsi Fish And Chips dan sepanjang perjalanan pulang kami kembali mengobrol sambil makan.
"Aku sudah ingin menanyakan ini dari tadi...." kata Vincent sambil menelan makanannya. "Kau nggak diganggu Taylor lagi kan?"
Aku agak kaget saat dia menyebut nama Taylor. "Ti.. tidak". Itu hampir benar. Kalau kau tidak menghitung saat dimana dia menciumku dalam keadaan mabuk.
"Good" balas Vincent. "Karena kalau dia berani saja menyentuh sehelai rambutmu,.... mungkin aku akan berakhir di drop out dari sekolah"
Dia tertawa. Tawanya menggema di langit malam. Aku merasakan kehangatan yang menyenangkan di sekujur tubuhku. Vincent menyadari kalau aku sedang tersenyum sendiri dan menoleh padaku. "Apa?"
"Tidak.." balasku. "Hanya saja.. kau bersikap protektif padaku.. kau seharusnya adalah Rock-Star keren yang membenci semua orang"
Dia mencibir padaku. "Orang waraspun pasti takkan mau membencimu, Specs. Lagian sekarang aku bukan hanya Rock-Star, hey, aku punya album Dolly Parton sekarang!"
Aku tersenyum dan kemudian balas mencibirnya. Dia kembali mencibirku dan kami berdua lalu tertawa.
"Hey, kenapa kau tak mampir saja ke apartemenku dan mendengarkannya? Aku punya pemutar vinyl sana. Nggak jauh kok"
Jantungku memacu. Kami saat ini sedang berada di halte sambil memakan makanan kami dan menunggu bus, aku tak pernah menyangka Vincent akan mengajakku ke apartemennya. Aku telah melewati sore yang indah dan tiba tiba diajak ke apartemennya seperti ini, aku tak tahu. Mungkin aku takkan bisa menahan perasaanku lagi dan akhirnya berakhir dengan tangisan.
"Yeah,.. kedengarannya asik"
----
Vincent mengeluarkan kunci lalu membuka pintu apartemennya. Saat ini kami berada di kawasan apartemen siswa dan punya Vincent berada di lantai 3. Tempatnya sempit, tapi nyaman. Ada poster AC/DC di dindingnya, televisi kecil dan sebuah lampu belajar dilemarinya yang setengah terisi.
"Kau tinggal disini sendiri?" Tanyaku sedikit terkejut sambil melepaskan jaketku dan menggantungnya dibelakang pintu.
"Yeah" balas Vincent. "Aku hidup sendiri sejak umur 16 tahun"
Aku berkedip bijgung "16 tahun?! Bagaimana bisa?"
"Ayahku" dia mengangkat bahu. "Dia mendapat banyak uang dari perusahaan yang dipimpinnya. Dia memberikanku gaji bulanannya sebelum dia masuk penjara. Bukan karena aku harus membalas budi bajingan itu, tapi disini rasanya lebih baik daripada dirumah. Aku ngga tahu berapa lama uang itu akan habis, tapi aku berharap semoga saja aku mendapat tunjangan dari sekolah atau kontrak rekaman"
Aku tak bisa berhenti menatapnya horror. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya diusir dari rumah diumur 16 tahun. Memikirkannya saja sudah membuatku sedih.
Vincent menatapku dengan setengah senyumnya. "Oh, Specs. Jangan seperti itu.. aku baik baik saja kok. Aku suka disini sendirian"
"Tapi bagaimana dengan makan dan juga kebersihan?" Tanyaku. "Dan juga uang sewa.. dan.. apa kau ngga kesepian?"
"Untuk menjawab pertanyaanmu" balas Vincent. "Secara berurutan : microwave, vacuum cleaner, dibayari, dan kenapa aku harus kesepian kalau kau ada disini?"
Dia memberikanku senyumnya yang berkharisma, tapi auranya tak bisa membohongiku. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di tempat ini saja, aku rasanya ingin menangis. Dia perlahan menghancurkan pertahanannya.
"Oke, yang tadi itu omong kosong. But seriously, nggak apa-apa kok"
"Bagaimana dengan ibumu?" Kataku dengan suara pelan, aku sudah tahu jawabannya akan jadi seperti apa.
Vincent menghela nafas. "Akan kuceritakan nanti ya? Tapi untuk sekarang bisakah kita memutar musiknya dulu? Semua omong kosong tadi bisa menunggu.." dia tersenyum. "Hanya saat ini saja, ya?"
Aku takkan memaksanya untuk mengatakan apa yang tak ingin dia katakan. Jadi aku mengangguk dan lalu mengikutinya kedalam kamarnya. Kamar Vincent sempit dan gelap. Vincent menekan saklar dan kemudian cahaya lampu mulai hidup. Puluhan poster band memenuhi kamarnya dan juga ratusan vinyl yang bertumpuk di dekat ranjangnya.
"Lihat lihatlah dulu koleksiku. Aku ambil minuman dulu, ok?"
"Yeah sure" kataku sambil meletakkan makananku diatas meja. Aku kemudian memeriksa koleksinya yang berserakan diatas lantai. Kamarnya benar benar berbeda dengan kamarku. Kamarku terang, dan nggak pengap dan juga lemarinya tersusun rapi lalu komputerku ada banyak games dan juga Munchy Monsters. Sedangkan kamarnya berantakan dengan banyak baju baju kotor berserakan dan juga album album lama. Dia bahkan juga punya gitar di sudut kamarnya, gitar yang sama yang dia pakai saat kontes waktu itu. Aku ingin menyentuhnya, tapi aku tak ingin jadi pengacau dirumah orang lain.
Saat Vincent kembali, aku sedang berbaring sambil membaca dan melihat lihat koleksinya dilantai. "Hey, kenapa kau bisa punya Bryan Adams? Kupikir dia akan dibuang dari list kesukaanmu"
Vincent mendekat dan menarik album itu. "Bukan Bryan Adams, tapi Ryan Adams, Specs. Mereka dua orang yang berbeda"
"Aku tak pernah mendengarnya"
"Dia adalah salahsatu penuanyi favoritku" jelasnya. "Kau mungkin akan kaget karena lagu lagunya benar benar mellow. Dan sejujurnya, nama bandku diambil dari salah satu lagunya"
"Benarkah?" Kataku sedikit kaget. "Boleh kudengar?"
Vincent meletakkan minuman lalu menarik album itu dengan hati hati. "Ini album baru dan harganya agak mahal. Tapi pantas kok dengan kualitasnya"
Dia membuka covernya dan lalu mengambil CD dan meletakkan diatas pemutar vinyl. Kemudian meletakkan jarumnya diatas groove yang tepat. Perlahan suara piano terdengar disertai dengan suara pria yang sedang bernyanyi bak malaikat.
Aku berdiri dan berjalan ke arah speaker. "Aku suka ini. Aku benar benar menyukainya"
Vincent kemudian berdiri dibelakangku, kehadirannya membuat seisi ruangan menjadi hangat dan sekujur tubuhku seperti dikejuti oleh listrik. Aku sudah menahan nahan perasaan ini, tapi tekanan ini tak bisa kutahan lagi. Kata kata dari lagu itu menggema diantara kami berdua.
'And the night birds sings you
In empty tunes
In empty house
In empty room'
Dari sudut mataku, aku bisa melihat sebuah foto yang ditempel didinding. Foto Vincent dan Alexis yang saling berpelukan. Saat ini aku sedang melihat kenyataan yang sedang terjadi tepat didepan mataku, tapi kenapa Vincent tetap berada sangat dekat denganku seperti sekarang? Apa dia sadar apa yang sedang dia lakukan padaku?
"Vincent...." kataku, bibirku mendadak menjadi kering dan berat. "A.. aku pikir aku tak bisa melakukan ini lagi"
Dia semakin mendekat. Suaranya berbisik lembut ditelingaku. "Melakukan apa?"
Kurasakan badanku bergetar. Semua hal yang sudah kutahan selama ini lalu mencuat begitu saja.
"Kau tahu aku gay kan? Maksudku.. aku tak pernah menutup-nutupinya.."
"Aku tahu..."
Aku menghela nafas, lagu ini membasuh diriku dengan liriknya dan lalu memberikanku keberanian yang bahkan aku tak pernah tahu kalau aku punya. "Lalu..... kau pasti tahu... perasaanku.. padamu..."
Aku memberanikan diri untuk menunggu respon Vincent. Kami berdiri dalam diam ditemani oleh vinyl yang terus menerus berputar.
Dan lalu.. Vincent meletakkan tangannya di bahuku. Membalikkanku menghadapnya. Apa dia mencoba untuk menolakku? Aku lalu menatap matanya dan berbicara langsung dari hatiku.
"A.. aku.. aku tak bisa lagi bertemu denganmu.. rasanya menyakitkan berada dalam jarak yang sangat dekat dengan seseorang yang tak bisa kumiliki...."
Dia meletakkan tangannya dipinggangku. Nafasku tercekat akibat sentuhannya yang tak terduga. Kami lalu dengan perlahan berdansa mengiringi musik yang sedang bermain.
Vincent menarikku semakin dekat padanya dan berbisik dengan lembutnya di telingaku.
"Siapa bilang kau tak bisa memilikiku?"
Aku terkejut. Apa yang baru saja kudengar itu benar? Apa ini hanya trik kejam yang sengaja dilakukannya padaku?
Sebelum aku sempat memikirkan kata apa yang akan kukeluarkan, Vincent kemudian meletakkan telapak tangannya dipipiku. Menggeseknya pelan dengan ibu jarinya. Lalu dia mendekat dan menciumku. Pelan dan lembut. Rasanya seperti waktu berhenti berdetik dan seisi ruangan diisi oleh magic.
Setelah beberapa lama, dia lalu melepaskan ciumannya. Bertepatan dengan lagu terakhir. Kami saling menatap satu sama lain, dan hidung kami beradu.
"God Specs, kau tak tahu sudah berapa lama aku ingin melakukan itu padamu" bisiknya sambil tersenyum.
@AbdulFoo