It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Jangan lama-lama ya mas . .
@harya_kei tau nih. udah mojok ngga ngajak ngajak pula. kan kalo threesome asik tuh *eh
@lucifer5245 thank you so much. i do really appreciate it to know you like it. i hope you got the storylines as well..
@lulu_75 let's see ntar malem ato besok ya...
@Zhar12 iya. dan itu semua gara gara Vincent. Kyaaaaa~
@ardavaa semangat Vinceent!
@Asu123456 duh mana bisa gitchuuuu
"Scotty,..... Scotty,.... hey Scotty?!"
Yang tadi itu seperti mimpi yang bahkan membuatku sampai sampai hampir tak mendengarkan suara Olive. Aku kembali ke kenyataan melihat Olive yang sedang berdiri di samping kursi kami.
Dia menoleh pada Mandy dan Fritz. "Oh my god! Gara gara Vincent dia jadi sampai seperti ini ya? Benar benar berlebihan dan berpikiran pendek!"
"Hey! Aku tak seburuk itu!" Pekikku. "Tapi......... dia menakjubkan..."
Olive tersenyum sambil menggeleng geleng. Dia kemudian mengangkat sebuah kotak. "Ayo, masukkan voting kalian kesini"
Kami kemudian meraih kertas yang sudah dicetak dan diberikan ke semua penonton lalu mencentangnya dan kemudian memasukkannya kedalam kotak.
"Terimakasih!" Kata Olive sambil menyeringai. "Hasilnya akan dibacakan sebentar lagi kok.."
"Bagus" kataku. "Aku tak sabar lagi. Oh iya Ol, kau tadi jadi presenter nya keren banget! Kau berbakat jadi presenter!"
Mandy dan Fritz setuju dan juga memujinya. Olive tak kuasa untuk menahan senyum dan lalu meninggalkan kami sambil sedikit melompat lompat di setiap langkahnya. Well, Olive memang orang yang sangat suka dipuji, tapi kalau boleh jujur, dia memang pantas mendapatkan pujian.
Dan sejurus kemudian, lampu kembali diredupkan. Tak lama, Olive naik ke atas pentas sambil membawa sebuah kartu ditangannya. Disana ada hasilnya dan mendadak suasana jadi menegangkan.
"Halo lagi, Havensdale! Terimakasih karena sudah menjadi penonton yang hebat! Phew! Para peserta hari ini benar benar hebat dan sangat bersaing dengan ketat. Hasil voting dan juga nilai dari para juri sudah dihitung dan ditambahkan. Tapi hanya akan ada satu saja band yang melaju ke showcase bulan April. Dan band itu adalah....."
Ada jeda yang sangat panjang, keadaan menjadi semakin menegangkan dan aku bisa merasakan semua orang menahan nafas. Aku sampai mengeratkan jari jariku satu sama lain berharap Olive akan segera mengatakan pemenangnya secara jujur.
".......THE NIGHT BIRDS!!!!!"
Seisi ruangan langsung meledak oleh tepukan tangan. Aku yakin sekali kalau aku yang paling kencang teriakannya. Vincent dan Alexis muncul dari backstage, berteriak dengan semangat. Alexis mendorong Olive dan langsung merebut microphone darinya.
"Terimakasih BANYAK Havensdale!!! Ini benar benar berarti bagi kami!! You guys ROCK!!!"
Olive langsung merebut microphone darinya. "Ya, terimakasih Alexis... selamat.."
Aku punya perasaan mereka seharusnya tak diperbolehkan untuk memberikan pidato diatas pentas, tapi mereka malah memutuskan untuk melakukannya. Sebanyak apapun Alexis mengangguku, aku tertawa. Olive langsung mengambil alih invasi mendadak Alexis di atas pentas dan kembali brrsuara.
"Vincent, apa ada yang mau kau katakan?"
Dia mendekat ke mic dan lalu menatap langsung ke arah penonton. "Cheers"
Olive masih menahan microphone di depan mulutnya, tapi Vincent tak mengatakan apapun lagi. Dia lalu kembali menarik microphone ke mulutnya.
"Uhm.. OK, Jadi itu dia teman teman.. selamat untuk The Night Birds dan kalian semua..."
Dia lalu kembali menyebutkan nama nama band yang tadi tampil dan juga showcase yang diadakan di avenue lokal di bulan April. Alexis dan Vincent saling berpelukan berselebrasi, aku agak sedikit cemburu melihat mereka berdua yang sangat dekat. Tapi kegembiraanku mengalahkan itu semua. Lagian, aku juga diundang untuk bertemu dengannya secara langsung di atap!
Saat malam semakin larut, aku bisa mendengar beberapa orang berteriak 'boooo' 'booo' ke pentas. Itu adalah Patricia yang mabuk bersama salah seorang dari Cherry.
"BOOOOOO!!!!! BOOOOO!!!!! Keputusan apa itu!!!??? Kami ingin dihitung ulang!!!!"
Aku melihat salah seorang guru drama muncul dari backstage menghampirinya lalu menariknya. Guru itu tampak marah. Patricia merengek rengek sedangkan temannya mengikuti dari belakang. Tampaknya Patricia menghancurkan catatan berkelakuan baiknya sendiri. Aku juga tak tampak tanda tanda adanya Taylor. Kalau dia ada, mungkin reputasinya sebagai Anak Emas Havensdale akan tercoreng. Ha ha! Malam ini benar benar malam yang terbaik!
Satu persatu penonton kemudian meninggalkan auditorium, berbisik bisik betapa kerennya malam ini. Saat kami sampai di resepsionis area, Mandy dan Fritz mengajakku untuk minum minum susu bersama di salah satu cafe terdekat.
"Sebenarnya aku mau..." balasku. "Tapi aku masih punya urusan.."
Aku langsung berjalan menembus keramaian, dan menaiki tangga langsung keatas. Ke atap. Sekujur tubuhku menjadi bergetar, seperti, aku dikelilingi oleh rawa dalam yang disekitarnya ada kupu kupu.
----
Udara malam cukup dingin dan aku semakin merapatkan jaketku ke badan. Masih ada beberapa orang di sekolah, tapi kebanyakan sudah pulang. Aku lalu bersandar pada sebuah pagar di ujung atap. Pagarnya cukup tinggi, untuk mencegah seseorang bunuh diri, tapi sangat keren pemandangannya. Diatasku, ada lautan bintang bersinar dan dibawahku ada ratusan cahaya yang bekerlap kerlip. Menelanjangi malam, membuatku merasa seolah olah apapun bisa saja terjadi.
Aku kemudian merasakan kehadiran seseorang yang hangat disampingku. "Pemandangan yang keren, kan?"
Vincent berdiri disampingku, menghidupkan batang rokoknya. "Sorry, Specs. Aku biasanya nggak selalu merokok tapi, rasa rasanya malam ini pantas untuk satu batang"
Aku tertawa. "Tentu saja. Kalian keren. Kalian.... menakjubkan"
Dia menoleh padaku dan menatapku dengan intense. "Itu bukan cuman sekedar kata kata kan? Kau janji untuk jujur, Specs"
"Tentu saja aku sudah janji" Kataku jujur. "Lagu lagumu sangat keren, dan suaramu juga menakjubkan. Menggairahkan! Membuatku merasa ingin selalu mendengarkanmu menyanyi sepanjang hari!"
Kata kata itu meluncur begitu saja sampai kemudian aku menyesali kenapa bisa menggunakan kata 'menggairahkan' disana. Benar benar tidak pantas! Vincent sepertinya juga tak mempermasalahkannya.
"Thanks Scotty, aku menghargainya.."
Kami lalu berdiri dalam keheningan. Badan Vincent berada sangat dekat dengan badanku, lengan kami saling bersentuhan. Malam memang semakin dingin, tapi kulit Vincent menghangatkan tubuhku.
"Aku yakin kau pasti tak sabar untuk showcase berikutnya"kataku mencoba memecah keheningan.
"Yeah, begitulah. Kami pikir kami takkan lolos. Band pertama tadi hebat padahal.."
"Tapi kau yang paling hebat"
Vincent tak merespon, tapi aku bisa menangkap seulas senyuman di bibirnya. Dia menghembuskan semakin banyak asap ke udara.
"Kutebak teman temannya Taylor Raven pasti nggak bisa menerimanya" Tambahku dengan sebuah tawa.
Vincent melepaskan rokoknya dari bibir. "Tadi aku dengar mereka mem-booo. Itu kayak musik ditelingaku. Anak bodoh itu dan teman teman tololnya benar benar memalukan kaum manusia". Dia kemudian menoleh padaku. "Apa dia sudah berhenti menganggumu?"
Aku kemudian mengangguk. Mata Vincent seolah olah seperti sorot lampu pentas yang membakar tubuhku. "Ya! Aku bahkan hampir tak pernah melihatnya lagi"
Vincent kembali menolehkan kepalanya ke atas. Badan kami masih sama dekatnya. "Aku seharusnya tak melakukan itu, tapi aku senang bisa membantumu"
"Kenapa?" Kataku. "Maksudku, menolongku. Kau tahu? Tak pernah ada orang yang mau menolongku sebelumnya"
"Karena...." jawab Vincent berhati hati. "Kau orang yang baik, Scotty. Dan orang sepertimu tak pantas untuk menerima semua itu. Aku merasa sangat marah jika melihat seseorang menyakitimu"
Detak jantungku menjadi cepat mendengarnya. "Aa.. apa maksudmu.. dengan orang yang baik?"
Vincent mengangguk lalu menoleh padaku. "Kau selalu berpikir positif kepada semua orang. Kau selalu ceria meskipun kau selalu merasakan neraka setiap harinya. Kau tau pasti siapa dirimu dan apa yang kau lakukan. Dan pada dasarnya kau itu berlawanan sekali denganku, moody-an, orang yang menakutkan yang sama sekali tak tahu apa yang sedang dilakukannya"
Dia tertawa, tapi kata katanya sangat pahit. Dia berpikir srperti itu tentang dirinya sendiri dan itu membuatku sedih.
"Kau bukan orang yang menakutkan kok! Kau itu orang terkeren yang pernah kutemui. Kau juga orang yang, meski kau tak pernah memperlihatkannya..."
Kalimatku menggantung di udara. Vincent membuka mulutnya mencoba untuk merespon, tapi dia malah diam dan menatapku. Sorotnya dalam dan menenangkan. Punggung tangan kami saling bersentuhan.
Waktu terus berlalu dan kami masih memandangi satu sama lain. Tangan Vincent kemudin mengenggam tanganku. Aku tak yakin apa itu hanya imajinasiku apa tidak. Yang ingin kulakukan hanyalah mendekat dan menciumnya. Perlahan, aku mulai mendekat.. kupikir itu cuman aku sendiri yang berharap.. tapi.. tubuh Vincent juga semakin mendekat padaku dan lalu....
"HIIIIIIGGGGHHHWAAAYY TO HEELLLLL!!!!!"
Aku terperanjat kaget mendengar nada dering lagu rock dari ponsel Vincent. Dia langsung melepaskan genggaman tangannya dan lalu merogoh kantongnya. Meninggalkan tanganku. Sendirian.
"Shit, kupikir tadi aku sudah men-silent-kannya" dia masih melihat ponselnya dan kemudian menatapku. "Cuman Alexis, dia bisa menunggu"
Perutku mendadak jadi mual mendengar namanya disebut. Dia seperti sengaja melakukan itu untuk menghancurkan kedekatan antara aku dan Vincent. Sebelum aku menghentikan diriku, akhirnya aku mengutarakan pikiranku.
"Kenapa sih kau bisa berteman dengan cewek itu? Dia sangat kasar..."
Vincent kemudian mengeluarkan kotak rokok dan kembali membakar puntungnya. "Yeah.. kadang dia begitu. Tapi jangan hakimi dia terlalu kasar, Specs. Dia ngga seburuk itu kok"
Tidak seburuk itu?! Aku tergoda sekali untuk menceritakannya tentang betapa baiknya Alexis menyeretku kedalam toilet wanita lalu menyuruhku untuk menjauhi Vincent. Tapi aku memutuskan untuk menahannya. Ini malam yang hebat bagi band-nya dan Alexis adalah bagian dari malam ini. Rasanya ini bukan waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya.
Vincent menghisap rokoknya semakin dalam lalu mengepulkan asapnya,kepalanya masih terpaku pada bintang bintang. "Sebenarnya kami pernah pacaran.."
Dia mengutarakan itu dengan santainya, tapi awalnya aku tak paham. "Pacaran? Siapa?"
"Aku dan Alexis" katanya.
"Oh" balasku.
Itu dia, sesuatu yang menghantuiku selama ini. Sesuatu yang selalu ku tolak dan ku yakinkan diriku kalau ini bukanlah kenyataan meski itulah faktanya.
"Be.. berapa lama?"
Vincent mengangkat bahunya. "Sekitar.. setahun atau lebih"
Ini adalah kesempatanku untuk bertanya lebih padanya, tapi aku tak mau tau. Membayangkan mereka berdua berpacaran membuat hatiku hancur dan badanku menjadi gemetar kemudian.
"Disini sudah semakin dingin.. sebaiknya aku turun.."
Aku tak pernah merasa sebodoh ini sebelumnya. Seorang Vincent Hunter tentu saja menyukai cewek! Menyukai Alexis Mae! Dia lurus, selurus panah dan semua tanda yang telah diberikannya itu adalah delusiku semata. Olive sudah memperingatkanku sejak lama kalau ini akan terjadi. Aku benar benar bodoh!
"Specs... you OK?"
"Ya.. aku baik baik saja.. aku sepertinya harus pulang.. sudah semakin larut saja.."
Aku berbalik memunggunginya, berharap semoga Vincent tak menyadari air mata yang berlinangan di pelupuk mataku.
tag gua lagi yahhh
tag gua lagi yahhh
ayoo scooty semangat!! alexis cuma mantan. vincent bilang itu cuma untuk meluruskan aja biar lo gak cemburu. toh sekarang sepertinya dia punya perasaan sama lo scoot. hehehe. berharap vincent sadar sama sikapnya scooty yg tiba2 bad mood.
Vincent langsung meraih lenganku, menghentikan langkahku.
"Hey, ayolah.. tetaplah disini sebentar lagi"
Aku menghela nafas panjang, berharap semoga tak satu tetespun airmataku yang jatuh keluar.
"OK. Lima menit lagi saja..." kataku pasrah. Aku sebenarnya masih ingin disini berdua saja bersama Vincent, tapi aku tak tahu apa aku bisa menahan emosiku yang sudah mendesak untuk dikeluarkan dirumah. Hatiku benar benar sudah hancur hanya dengan satu kalimat.
Aku berjalan ke arah pagar dimana Vincent masih menyandarkan badannya, menatap lurus kedepan. Lampu lampu kota sudah mulai redup. Aku dan Vincent berdiri bersisian, hanya saja kali ini lengan kami tak bersentuhan.
"So,........" mulai Vincent hati hati. "Bagaimana menurutmu tentang cover-an Green Day kami?"
Oh God, ini benar benar menyedihkan. Dia tau apa yang kurasakan dan sekarang dia mengganti topik pembicaraan dan bersikap seolah olah semuanya baik baik saja. Dia mencoba untuk membuatku semakin kecewa dan membuatku merasa semakin bodoh saja. Aku tak punya pilihan lain selain ikut memainkan permainannya ini.
"Yeah.. keren kok.." syukurlah suaraku kali ini tak gemetaran. "Aku tak pernah dengar lagu itu sebelumnya.."
Mata Vincent membelalak kaget. "APA?! Kau nggak pernah dengar Basket Case?!"
Aku mengangkat kedua bahuku dan dia menggeleng dengan senyum kecil di bibirnya. "Wow, kau benar benar nggak suka bergaul ya?"
Aku meringis mendengar kalimatnya. Itu seperti tambahan luka baru bagiku. Aku tak punya apapun yang diinginkannya. Aku tak tahu apapun tentang musik, dan kromosom di badanku juga XY, bukan XX.
Aku tak tahu apa Vincent melihat ekspresi diwajahku, tapi dia langsung bersuara. "Uhmm.. tunggu.. maksudku ngga seperti itu kok..., maksudnya..." dia berhenti sebentar. Dengad, apa kau tau sebuah toko kaset di pusat kota yang namanya Rhino Records?"
"Ehmm... yeah.. yang di seberang supermarket kan?"
"Yang itu!" Balas Vincent. "Aku tahu pemilik tokonya. Akan kuajak kau kesana dan membelikanmu beberapa kaset. Ini sudah waktunya kau diberikan pendidikan bermusik. Kau sibuk weekend ini?"
Sekarang aku bingung, semenit dia bilang kalau dia menyukai cewek, sekarang dia malah mengajakku untuk hang-out bersamanya. Apa dia merasa iba padaku?
"Uhmm.. kedengarannya asik,.. tapi aku harus bertemu Olive besok...ada banyak hal yang harus kami lakukan"
"Kalau Minggu? Gimana?" Dia sepertinya kelihatan memaksa.
Aku tau dengan perasaanku yang sekarang adalah ide yang buruk untuk menerima ajakannya, tapi aku tak tahan lagi. Sepertinya aku suka menyiksa diriku sendiri dengan hal hal yang tak dapat kumiliki.
"OK..."
"Excellent. Kita ketemunya disana sekitar... jam 2?"
Aku mengangguk dan Vincent menyeringai. Dia membuang rokoknya dan lalu menyentuh lenganku, meremasnya. Memberikanku kejutan kejutan lain di kulitku.
"Kalau begitu.. kau sebaiknya kembali kerumah.. kalau kau mau?"
"Yeah.." gumamku. "Ibu pasti akan cemas kalau aku pulangnya terlalu malam. Sampai jumpa hari minggu.."
"Sampai jumpa.."
Aku kembali berbalik, melihatnya sekali lagi sebelum menuruni tangga.
"Selamat untuk malam ini. Kau benar benar bintang rock"
Dia tersenyum. "Cheers, Specs"
Aku melihatnya lagi secara diam diam sebelum pergi. Siluet tubuhnya di malam hari sangat indah dan kuharap aku bisa mengabadikannya dalam sebuah figura agar bisa ku simpan selamanya. Aku penasaran, apa ya yang dia pikirkan saat sedang menatap ke lautan cahaya lampu dibawah sana? Apa yang dia pikirkannya itu juga melibatkanku?
----
Aku mengenggam bannister sangat erat saat menuruni tangga. Kepalaku dipenuhi oleh banyak kebingungan sampai sampai aku sulit untuk meletakkan kakiku dimana. Setengah hatiku hancur karena Vincent dan setengahnya lagi tengah bahagia karena dia memintaku untuk menemuinya diluar sekolah.
Hingga pada saat ini, aku merasa malamku benar benar menakjubkan. Dan momen saat aku dan Vincent diatap tadi..... kupikir bakal ada sesuatu yang terjadi diantara kami. Apa itu hanya ilusinasiku? Mungkin keinginanku untuk memilikinya membuatku berdelusi.
Saat aku sampai didasar, aku kembali terbayang Alexis. Wajah kecilnya yang kejam, menutupi wajah Vincent dengan ciuman.... menyentuhnya... ugh, membuatku mual saja. Kupikir aku perlahan tahu apa fakta sebenarnya, meski aku masih tak bisa menerimanya. Tidakkah Vincent sadar bahwa mengatakan fakta tentangnya akan menyakitiku saja? Tunggu, apa dia menyadari fakta yang sebenarnya? Apa mungkin.. dia ingin membelikanku beberapa CD cuma untuk menenangkanku karena dia tak bisa membalas perasaanku?
Orang orang memang sudah banyak yang pulang, tapi beberapa masih ada yang bermain main di sekolah. Kepalaku masih dipenuhi oleh banyak pikiran sampai sampai aku tak menyadari orang orang disekitarku. Dan karena itu pulalah, aku hampir tak menyadari kehadiran Vincent yang berdiri tepat didepanku.
"Scotty.. scotty.. scotty.. senang bertemu denganmu disini"
Dia berjalan sedikit sempoyongan dan sepertinya dia kebanyakan menambahkan alkohol. Kutebak, dia pasti mabuk sekarang.
"Pergilah" ujarku tanpa sedikitpun berpikir. "Aku sedang ngga mood"
Matanya kemudian mendadak sayu dan mulutnya dibuat seolah olah seperti orang cadel. "Awww.. kenapa Scotty? Mana ksatria berbaju zirah yang akan melindungimu itu?"
Dia melambaikan tangannya ke udara, mengaksenkan kata katanya. Aku menundukka kepala dan mencoba untuk mendorongnya menjauh dariku, tapi dia malah menghalangi jalanku.
"Vincent Hunter...!! Si Rock Star... dia akan menjadi raja dari semuanyaaa... pujaa raja Vincent!"
Aku melihat kesekeliling berharap semoga tak ada orang yang melihat adegan ini. Di malam seperti ini, orang orang tampak tak menyadari seberapa teler dia saat ini. Mungkin dia tampak dan terdengar seperti orang bodoh, jadi tak ada yang menghiraukannya.
"Taylor, kau mabuk. Kau sebaiknya diam dan pulang saja sana..."
Dia mengedipkan matanya beberapa kali dan kemudian berjalan ke arahku dengan gontai. "Hey... itu tidak sopan... sepertinya cowok itu sudah mengajarimu yang tidak tidak, huh? Apa kau tahu dia hampir saja memukulku? Benar benar tidak sopan kan...??"
Aku memutar bola mataku. "KAU yang tidak sopan"
Dengan itu, Taylor mencengkram tanganku lalu menarikku dari hallway auditorium ke ruang locker Sixth Form yang letaknya di sudut ruangan. Aku mencoba untuk melepaskan cengkramannya tapi dia terlalu kuat. Dia saat ini sangat susah diprediksi dan aku terlalu sadar, sulit untuk membuat suatu perlawanan. Jika dia tak berhati hati, bisa saja rahasia kecilnya yang selalu dipaksanya aku untuk diam akan terbongkar. Aku mau rahasia itu terbongkar. Tapi bukan seperti ini caranya.
"Apa yang kau lakukan.....?" Desisku. "Lepaskan aku!"
Kami berdiri di ruang loker saat ini. Taylor masih mengenggam tanganku erat dan matanya menusuk tajam kemataku.
"Apa kau menyukai Vincent melebihi kau menyukaiku?" Tanyanya, dalam bisikan yang sarat akan keputusasaan. "Apa dia lebih baik dariku?"
Nafasnya terasa seperti racun dikulitku. Aku lalu melepaskan grnggamannya. "Oh.. please katakan padaku kalau kau sedang bercanda.. kau membuat hidupku terasa seperti NERAKA. Maksudku, NERAKA. Dan sekarang kau menanyakan hal seperti ini? Urus saja hidupmu sendiri, Taylor!"
Aku langsung berjalan meninggalkannya, tapi Taylor dengan cepat meraih bahuku lalu mendorongku kesalah satu loker. "Kau tahu kenapa aku harus melakukan itu, Scotty........... aku harus menjadi seperti apa yang diinginkan ayahku........ kau tak tahu betapa sulitnya menjalani hidup seperti ini... aku harus melakukannya.. aku harus....."
Dia bergetar sekarang. Aku kemudian mendorongnya. "Harus apa?! Harus menjadi monster?! Harus menjadi alasan bagiku untuk tak tidur semalaman, dan mengalami serangan panik di hallway?! Apa benar itu yang ayahmu inginkan? Really?!!"
Wajah Taylor melunak, meski susah untuk kupastikan dia mengerti apa yang baru saja kukatakan dalam keadaan mabuknya seperti ini. Dia lalu meletakkan telapak tangannya yang sedang bergetar ke pipiku lalu membelainya.
"No Scotty,.... aku tak pernah mempunyai maksud seperti itu..... aku.. aku tak tahu bagaimana caranya untuk berhenti...please maafkan aku... maafkan aku.. please"
Sebelum aku mengerti apa yang sedang terjadi, Taylor langsung menciumku. Ciuman yang hangat, lembut. Aku tersentak dan tak melawan. Inilah cowok yang selalu kudambakan dan selalu kusayangi selama bertahun tahun. Saat saat seperti inilah yang selalu kuinginkan darinya,.. dulu.
Tapi tak lagi. Dengan sekuat tenaga, aku langsung mendorongnya.
"JANGAN lakukan ini padaku. JANGAN"
Dia mencoba untuk menciumku lagi, tapi aku kembali mendorongnya. Kemudian dia mulai memohon padaku. "Scotty,... kaulah cinta pertamaku.. kaulah orang pertama yang pernah bercinta denganku.. aku tahu saat ini aku bersama Patricia.. tapi rasanya sangat beda dengan saat aku bercinta denganmu.... aku selalu memikirkanmu saat aku bersamanya..."
Ini lebih dari sekedar kekacauan dan membuat bulu bulu halus ditanganku merinding. Aku meletakkan telapak tanganku ke wajahnya dan lalu mendorongnya. "Tinggalkan. Aku. SENDIRIAN"
Aku kemudian tiba tiba melihat sebuah pergerakan dari sudut mataku dan jantungku terasa mencelos keluar. Meski kami berada di loker room, kami masih bisa terlihat oleh siapa saja yang lewat. Plus, Taylor bicara cukup keras dan lantang tadi. Tak akan butuh waktu lama bagi orang orang untuk memergoki kami dalam posisi yang mencurigakan. Apa tadi ada orang disana? Aku memutar leherku dan melihat dua siswi sedang melintasi locker room sambil tertawa dan tampak tak menyadari kami. Aku kemudian menghela nafas lega.
"Taylor, apa kau serius ingin membuat semua orang tahu tentang ini?" Bisikku. "Bisa saja cewek cewek itu melihat kita! Kau sangat khawatir kalau aku akan membocorkannya tapi KAU yang tak bisa menutup mulutmu sendiri!"
Taylor melepaskan cengkramannya, sepertinya kata kataku agaknya membuat dia tersadar. Disampingku, dia kemudian membungkuk dan muntah. Aku gunakan kesempatan ini untuk kabur darinya secepat mungkin.
"Oh Scotty.. disana kau rupanya! Kupikir kau sudah pulang! Kau pasti takkan percaya apa yang terjadi tadi setelah acara.... Patricia dan gengnya mabuk dan Mrs. Cayle menangkap mereka. Patricia pasti akan dapat catatan buruk di riwayat hidupnya! Lucu sekali kan?!"
Saat Olive muncul didepanku di receptionis foyer, aku langsung memeluknya dan menangis didalam pelukannya.
"SCOTTY!! Ada apa?! Apa yang telah terjadi!?"
Diluar, aku bisa melihat Vincent berjalan meninggalkan gedung. Dia tak menyadari keberadaanku didalam. Alexis berjalan bersamanya, tertawa, sambil memeluknya.
Dengan itu, aku menangis semakin kencang dalam pelukan Olive dan dia memelukku semakin erat meski sama sekali tak tahu apa yang telah terjadi.
Mungkin aku tak tahu lagi alasan kenapa aku bisa menangis...