It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Mo ngelike g bs abis pake uc mini. Thanks recommna, lg ktagihan baca wattpad...klo ad yg bagus sharing yak
Btw, ntar klo smpt sequelna juga abub translate ?
love will found the way....
love will found the way....
love will found the way....
Sabtu sore itu, Olive dan aku sedang duduk berdua di sofa sambil meminum coklat panas dan juga menonton kartun. Penawar sempurna untuk emosional trauma.
Aku tak bisa menceritakan semua padanya drama yang terjadi malam sebelumnya. Aku tak mungkin melakukannya meski aku tergoda untuk melakukannya. Aku tak mungkin menceritakan Taylor yang menciumku saat mabuk, bahkan itu sudah seperti menjadi beban tersendiri di pundakku untuk menceritakannya. Aku bahkan mencemaskan, benar benar mencemaskan hal apa yang bisa dilakukannya nanti padaku. Tapi melihatnya muntah dan pingsan dilantai membuatku sadar betapa kekanak-kanakan dan bodohnya dia.
Tapi... sesuatu menghentikanku. Aku sudah menyimpan rahasia ini sangat lama, seperti sebuah grenade yang sudah ditarik sumbunya dan hanya menunggu waktu untuk dilempar. Apa yang akan Olive katakan padaku jika dia tahu selama ini aku telah berbohong padanya? Dan juga tak ada jaminan juga untuk Taylor. Aku bisa membayangkan, dia melemparkan bata ke jendela rumah, atau mendorongku dan Olive di tangga sekolah lalu mematahkan leher kami. Atau mungkin ayahnya mengusir kami berdua dari sekolah, melobi Universitas untuk tak menerima aplikasi kami. Dia memiliki nama tersendiri di Havensdale. Aku takkan kaget jika dia punya koneksi dengan beberapa tempat besar. Dan Vincent..... aku tak ingin dia tahu bahwa aku punya suatu rahasia dengan Taylor Raven. Tidak setelah dia dengan gagahnya ingin melindungiku.
Sekarang aku tetap menutup mulutku. Mungkin memang lebih baik seperti ini. Bagaimanapun juga, itu bukan berarti aku tak bisa mengatakan apa saja yang saat ini sedang mengobrak abrik kepalaku pada Olive.
"Jadi... menurutmu... salah ya kalau besok aku pergi bersama Vincent besok?" Kami sudah membahas ini jutaan kali, tapi aku masih belum dapat kesimpulan yang jelas.
Olive lalu menyesap coklat panas dari mug-nya. "Oh, aku tak tahu Scotty.. aku tak tahu lagi harus gimana.. mungkin kau sebaiknya pergi dan bicara dengannya?? Khususnya setelah semua air mata kemarin..."
"Ngga bisa!" Rengekku. "Lagian juga ngga penting...."
Bayangan untuk mencemaskan seorang Vincent hunter benar benar menyakitkan. Aku sudah tahu akan seperti jawabannya tentang perasaanku (atau beberapa tentang perasaanku) jadi kenapa aku harus terus rela untuk direndahkan?
Ada jeda sebentar, kemudian aku menggerutu. "Kenapa harus Alexis?? Dari sekian banyak orang, kenapa harus dia??"
"Kau tahu pasti bahwa akan selalu ada kemungkinan tentang itu" Olive mengingatkanku. "Lagian ada banyak rumor yang beredar tentang itu kan?"
"Aku tahu" balasku. "Kupikir dia cuman naksir sama Vincent... kupikir rumor itu ngga asli.. semuanya kini sudah jelas. Aku terlalu dekat dekat mantannya dan dia tidak menyukai itu"
Aku agak merinding menggunakan kata 'mantan'. Karena semuanya terlihat nyata karena kata itu.
"Tapi.. KENAPA dia tidak suka?" Tanya Olive lantang sambil menggoyang goyangkan lengannya. Dia tampak tak peduli dengan coklat yang sudah tumpah di lantai. "Kenapa dia bisa cemburu seperti itu kalau Vincent straight?"
"Karena dia psycho!" Pekikku. "Dia tak suka Vincent bicara dengan siapapun selain dia. Mereka tipe pnyendiri dan Alexis menyukai itu"
"Atau mungkin Vincent bisexual?"
Aku kemudian tertawa mencemooh. "Kupikir itu cuman harapanmu saja. Aku tak bisa melihat Vincent duduk di bangku dengan ditemani segala macam jenis manusia yang menggelayutinya kesana kemari"
"Ooh.. jadi kau sekarang tipe orang yang tak percaya kalau bisexual itu ada?"
"Cuma untuk Vincent" gumamku. "Maksudku, lihat saja dia. Dia itu 100% straight! Mana mungkin dia bisexual? Aku pasti membodohi diriku sendiri"
Percakapan kami terhenti dan lalu kami duduk dengan tenang saat film The Powerpuff Girls diputar di layar kaca. Coklat panasku terasa sangat pahit, tapi aku masih tetap menelannya.
Olive kemudian bersuara lagi. "Lalu kenapa kau melakukannya?"
Aku menoleh padanya. "Melakukan apa?"
"Menemui Vincent! Kenapa kau sangat ingin bertemu dengannya walau kau sangat yakin dia takkan membalas perasaanmu? Sekarang kau hanya akan menyiksa dirimu sendiri"
Aku gugup sedikit. "Uhmm.. well.. aku tak ingin dia berfikir kalau aku kasar.. hmm.. aku tak mungkin menolak ajakannya hanya karena dia tak membalas perasaanku. Aku masih ingin jadi temannya"
"Cuman teman? Apa kau yakin?" Tanya Olive. "Mungkin dia menyadari perasaanmu? Aku yakin sekali jika dia akan mengerti kalau kau nanti bakal.. kau tahu.."
Aku tak menjawab. Aku tak ingin menyerah. Aku takkan membiarkan kobaran api perasaanku padanya padam. Aku hanya mau berada disisinya. Meski itu akan membunuhku sendiri.
----
Aku mengecek jam tanganku saat tiba sampai didepan Rhino Records. Jam 2 tepat.
Vincent sudah menunggu diluar toko, bersandar dengan satu tangan bersarang di jaketnya. Wajahnya tampak datar, tapi berubah saat menoleh padaku.
"Specs!"
Saat dia bersuara, aku menyesal kenapa bisa datang kemari. Aku sangat sangat sangat sangat menyukainya. Dan jelas sekali saat ini dia hany ingin menghiburku. Apa yang kulakukan pada perasaanku sendiri?
"Hey Vincent! Kau datang duluan ya?"
Dia menyeringai. "Well, aku hanya tak mau membuatmu menunggu". Dia lalu membuka pintu dan lalu menggesturkan tangannya padaku untuk masuk lebih dulu. "Kau duluan"
Yang benar saja,... APA YANG SEDANG KULAKUKAN SEKARANG? Tuh! Ngga bisa mundur lagi kan!
Toko ini agak kecil, dan didalamnya diisi oleh rak rak kaset dan juga vinyl yang berjejer seperti tanpa akhir. Bentuknya sedikit tua dan berdebu, dengan banyak poster band yang pernah mengunjungi Havensdale disana-sini. Semakin menambah kesan vintage. Aku tak pernah ketempat seperti ini sebelumnya, tapi.. disini keren.
Disudut, dibalik kasir ada seorang pria tua berjenggot abu-abu yang sungguh berantakan dan juga bertato menganggukkan kepalanya pada Vincent saat kami masuk. Vincent lalu balas menganggukkan kepalanya. "Alright Dave?"
Aku melambaikan tangan dengan sopan padanya dan dia krmudian menganggukkan krpalanya padaku. Dia adalah tipe pria yang tak akan pernah mau kau temui malam hari saat sendirian di pinggir jalan. Lagian, aku juga tak pernah kemari sebelumnya. Ini bukan tempat dimana orang orang sepertiku berada.
Vincent menutup pintu toko dan kemudian menoleh padaku dengan kedua tangannya dilipat. "Jadi,bagaimana pendapatmu tentang duniaku? Disinilah aku biasanya menghabiskan waktu"
Aku mengedarkan pandangan kesekitar. "Waah.. banyak sekali musik disini! Aku tak prrnah melihat tempat dengan album sebanyak ini!"
"Yup" Vincent mengangguk. "Jadi, begini kesepakatannya. Karena kau sudah jujur padaku Jum'at malam waktu itu, aku akan membelikanmu beberapa album. You know, sebagai ucapan terimakasih. Kau bisa mengambil yang nilainya lebih dari $20 , yaa.. hanya jika selera musikmu patut untuk diperdrngarkan ke publik"
Keringatku menetes. Vincent ingin...... membelikanku hadiah?! "What?! Kau tak bisa begitu saja membiarkanku memilih album dengan harga semahal itu. Jangan bodoh...,"
"Scotty, aku memaksa" balasnya. "Seseorang yang belum pernah mendengarkan Green Day adalah orang yang payah dalam pendidikan bermusik. So, ini jadi kewajibanku untuk mendidikmu. Aku bukan hanya akan melayanimu, tapi aku akan melayani dunia nantinya"
Dia menggodaku dengan seringai diwajahnya yang juga membuatku balik tersenyum, tapi aku pura pura merasa kesal. "Well, aku tak tahu kalau itu adalah tindakan di duniamu. Mr. Know-It-All... kalau begitu, oke!"
Aku lalu berjalan mendekati rak terdekat dan membaca satu persatu judul. Aku tak tahu harus mulai darimana jadi aku hanya mengambil album dari artis yang pernah kudengar saja.
"Jennifer Lopez?" Pekik Vincent. "Oh Specs, seriuslah!"
Aku lalu kembali meletakkan CD itu ke tempatnya dengan malu. "Aku cuman melihat lihat! Apa aku bahkan ngga diizinkan melihat apa yang ngga kau setujui?"
Vincent tak mengatakan apapun, tapi kedua mata hitamnya menatapku bagai elang. Tanganku lalu menarik sebuah CD Celine Dion dan dia kemudian berdecak. "Tut tut.. tidak. Coba lagi"
"Hei, aku suka Celine Dion!" Pekikku.
Dia tertawa dan lalu menarik CD Beach Boys. "Bagaimana kalau coba mendengarkan lagu Beach Boys? Lagunya pop dan agak sedikit klasik. Apa kau pernah mendengar lagu mereka?"
Aku mengambil CD itu darinya dan lalu membolak baliknya ditanganku. "Aku pernah dengar tapi aku nggak tahu apa pernah dengar lagu mereka atau tidak"
"Kupikir kau akan menyukainya" kata Vincent. "Mau mencobanya?"
Aku mengangguk. Aku mau mendengar apapun yang disarankan Vincent padaku.
---
Kami berakhir di toko itu selama satu jam. Vincent berada dalam elementnya, menunjukkan satu persatu album dan lalu menceritakan band band yang menginspirasinya. CD-CDnya cukup murah, ditanganku sekarang bahkan sudah ada 10 album klasik dari band The Rolling Stones, The Killers, Green Day (tentu saja). Semuanya rock. Meskipun begitu, Vincent juga menyarankanku untuk mendengarkan lagu lagu mellow seperti dari Joni Mitchell , Rufus Wainwright dan lain lain. Aku tak pernah mendengarkan satupun dari lagu lagu ini jadi aku tak sabar untuk mendengarkannya nanti dirumah. Rasanya menyenangkan, apalagi yang membelikan dan menyarakanku adalah orang yang selalu kupikirkan.
Saat kami ingin membayar, sesuatu menangkap mataku dari rak kaset.
"Ooohhh!! Dolly Parton!" Aku kemudian berjalan dan meraihnya. Versi vynil dari album The Greatest Hits nya yang sudah kupunyai dalam versi CD dirumah. Dia adalah artis favorit ibuku dan kami berdua menyukai lagu lagunya. Kami selalu memutarnya dan lalu bernyanyi bersama dirumah.
Vincent mendekatiku. "Dolly? Really?"
Aku merasa agak kesal. Vincent mungkin bisa menghina selera musikku, tapi kali ini tidak dengan Dolly. "Sejujurnya dia sangat hebat. Dia penyanyi yang hebat dan penulis lagu yang menakjubkan"
Vincent mengangkat alisnya. "Aku tak tahu kalau kau adalah penggemar musik country"
Aku memeluk album itu didadaku. "Well, album ini sangat brilliant meski nggak cukup keren bagimu" aku melepaskan pelukanku dan lalu meletakkannya lagi ketempat asal. "Tapi aku sudah punya versi CD-nya dirumah dan aku juga nggak punya pemutar vinyl"
Sebelum aku meletakkan album itu, Vincent lalu merebutnya. "Aku punya. Mungkin aku harus mendengarnya..."
Mulutku menganga. "Kau cuma menjadikannya guyonan!"
"Memang" aku Vincent. "Tapi karena kau menyukainya, so... aku akan mencobanya"
Dia lalu meletakkan CD itu ditumpukan bawah CD-CD yang telah kami ambil tadi. "OK. Kubayar dulu"
Aku lalu meraih tangannya. "Kau yakin ingin membelikanku ini semua? Aku jadi ngga enak...."
"Nggak apa apa, Specs. Aku akan dapat uang yang banyak jika menang Band Showcase nanti dan juga kontrak rekamaan bernilai jutaan"
Dia kemudian meletakkan tumpukan CD itu diatas meja dan Dave lalu mulai menghitung harganya. "Pilihan yang bagus, Vince ..... seperti biasa" gumamnya sambil mengemas barang barang itu. Jelas sekali kalau Vincent adalah salah satu pelanggan setianya.
Saat kami sudah meninggalkan toko, aku tak tahu lagi harus mengatakan apa. Apa ini akhir dari hari ku bersama Vincent? Cuman satu jam dan aku tak tahu lagi selanjutnya apa.
Seperti bisa membaca pikiranku, Vincent lalu meletakkan tangannya diatas pundakku. "Mau pergi minum dulu?"
Aku merasa merinding oleh sentuhan Vincent. Aku benar benar ingin mengatakan ya, tapi aku takut. "Aa.. aku.. aku belum 18 tahun..."
Vincent lalu tertawa. "Aw Specs, aku bisa memesankanmu minuman. Atau kita beli soft drinks saja? Terserahmu"
"Oke" kataku dengan senyum. "Ayo"
Aku tak peduli lagi jika ini hanyalah pertemuan yang dilandaskan oleh rasa iba. Atau jika Vincent takkan pernah bisa membalas perasaanku. Aku cuma ingin berada disampingnya. Besok, mungkin disekolah dia akan kembali ke dunianya bersama Alexis. Tapi hari ini, hanya ada kami berdua dan aku tak ingin pulang lebih awal.
kalo lanjut mention aku juga ya @AbdulFoo
penasaran dengan endingnya...