It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Moga saja nanti TS nya jelasin di ceritanya biar gk buat kita-kita penasaran terus
Ical sakit parah ato cuman Asma?
Ada saingan baru lg nih.
jngn sad ending ya?? please happy ending ajaaaaaaaaaaa
Kok bisa??
Apa Ical sama Dokter Will nantinya???
itu ical jd sakit bgtu apa karena kecelakaan itu?
sepertinya will nih yg gantiin ical atau ...
“Aku harus pergi.” Ucapnya dengan suara tenang tapi aku lebih tahu kalau di balik ketenangannya itu tersimpan gejolak yang tak pernah bisa ia bendung. Aku tahu kalau kepergiannya hanya untuk melindungiku semata, aku tahu ancaman mamanya bukanlah hal sepele untuk hubungan kami, aku tahu bagaimana derita telah mengiringinya. Yang tidak ku ketahui kenapa ia malah menjadikanku tumbal atas deritanya? Kenapa harus aku yang tersakiti di sini? Tidakkah ia bisa menyimpan lukanya sendiri tanpa harus membaginya denganku, aku bukan jahat karena tak menginginkan luka darinya hanya saja aku tidak bisa terluka kalau tidak ada dia sebagai obatku.
Mata hazelnya menatap lurus ke depan, sejak kedatangannya ke tempat ini ia tak pernah sekalipun mengarahkan tatapan hazelnya ke arahku. Sungguh jelas karena bukan keinginannyalah semua ini terjadi. Aku juga rasanya ingin terjun saja ke arah danau yang ada di depan kami, membiarkan pasir hisap itu menenggelamkanku tanpa sisa agar aku tak perlu di dera atas kesendirian yang akan segera aku hadapi
Tangan takdir begitu hebat mempermainkan kami, dalam walau sekejap senyum itu menjadi airmata, dalam sekejap bahagia itu menjadi kesengsaraan. Aku menggenggam udara kosong dan menarik nafas dalam-dalam seolah oksigen di muka bumi ini akan lenyap dari hidupku.
Aku menatapnya walau ia tak menatapku, aku hanya ingin memenuhi pengelihatanku dengan tubuh tingginya. Rasanya aku ingin menarik ia dalam dekapanku dan mengatakan padanya kalau aku siap dengan apapun yang terjadi. Tapi sungguhkah aku siap? Bagaimana jika keadaan semakin tak berpihak pada kami berdua?
“Jadi itu sudah keputusan finalnya?” Akhirnya suaraku keluar setelah kami di landa dengan kesepian yang tak berujung. Tatapku masih setia pada dirinya dan tatapnya juga masih setia pada objek tak hidup tersebut. Sungguh miris rasanya melihat hubungan kami yang sudah di ujung tanduk seperti ini.
Aku tidak pernah tahu apa yang ia pikirkan, bahkan sekarang aku tak tahu ekspresi apa yang sedang ia tunjukan. Aku hanya berharap apapun keputusan yang telah ia ambil, semoga yang terbaik untuk kami berdua. Tapi aku mungkin tak akan pernah baik saat dia tak akan ada lagi di hidupku.
“Kamu tahu sendiri kalau menyakitimu adalah hal yang tak akan pernah aku lakukan, aku tahu mama kali ini muktamat dengan keputusannya dan aku mau kamu mengerti kalau aku melakukan semua ini hanya untuk kamu.” Dia berkata pasti. Aku benci mendengar ia berkata semua yang ia lakukan hanya untuk aku sedangkan aku sendiri tak pernah sama sekali menyetujui keputusan sialan itu.
Aku membuang pandanganku ke arah depan, rasanya tak sanggup lagi untuk melanjutkan semua pembicaraan kami yang tak berujung.
“Berhenti berucap kalau kamu melakukan semuanya untukku, sedangkan aku sendiri tak pernah merasa kalau ini untukku.” aku menimpali tanpa mau memandang lagi kearahnya. Jika aku menatapnya sekarang maka bisa di pastikan aku akan hancur detik itu juga. Aku hanya mencoba mempertahankan hal yang mungkin saja masih bisa di pertahankan.
Aku bisa merasakan tangannya menggenggam jemariku, menguatkan sekaligus menyesakkan. Hatiku bagai di remas dengan keras hingga bisa membuat deru nafasku tak teratur.
“Membiarkan mamamu mengetahui hubungan kita, bukanlah ide yang bagus.” Dia kembali bersuara membuat aku dengan susah menelan ludahku sendiri. Aku tahu itu benar. Seolah ucapannya barusan adalah jawaban kalau tidak ada pilihan di antara kami sekarang.
“Membuatmu meninggalkanku juga bukanlah hal yang baik buatku.” Aku tahu kali ini kami sama-sama memegang keyakinan yang berbeda yang kalau kami telaah lebih dalam lagi maka akan kami ketahui kalau cinta itu masih terlalu kuat untuk memisahkan kami.
“Sebisa mungkin itu akan baik.”
“Pergilah!” Aku berkata tajam membuatku bisa mendengar suara desahannya dengan sangat jelas di indera pendengaranku.
“berhenti membuat semuanya menjadi sulit.” Aku tahu dia frustasi sekarang tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa untuk tak menyuarakan isi di hati dan kepalaku yang sama-sama kompak berteriak menolak kepergian pemuda yang aku cintai.
“Semuanya tak akan pernah mudah Joi, dari awal kamu membuat keputusan itu seharusnya kamu tahu kalau aku pasti tak akan menerima dengan suka cita bahkan mungkin saat kamu melangkahkan kakimu keluar dari hidupku maka bukan cinta lagi yang akan ku miliki untukmu melainkan kebencian yang akan ku tanam di dasar hatiku.” Aku kali ini menantang mata hazelnya yang terlihat redup dan dapat ku pastikan ia sama-sama tersiksa dalam hal ini. Jika boleh jujur, aku sungguh tak pernah berniat membuat dia semakin terluka dengan kekerasanku tapi aku sedang tak ingin bernegosiasi dengan kejujuran sekarang, aku lebih suka dia memilih tetap bersamaku menghadapai masalah pelik ini.
“Jika dengan membenciku membuatmu bisa terhindar dari hal yang tak ku inginkan itu maka aku siap menerimanya.” Aku bagaikan jatuh ke tempat yang antah berantah dan menemukan diriku seorang diri dengan luka di sekujur tubuhku, aku sakit. Sakit rasanya hingga aku bisa merasakan dengan mudah kalau ada sesuatu yang membakar hatiku.
“Maka pergilah!” Aku berucap dengan nada tajam tapi ada kemirisan di sana.
“Aku mencintaimu, selalu Rival.” Dia mengecup keningku tanpa bisa aku cegah, bahkan aku tak mendoronganya malah dengan tenang ku pejamkan mata mencoba menikmati kecupan tersakit yang pernah ia berikan untukku.
***
“Joi!!!” Aku terbangun dengan cepat dan dapat kurasakan tubuhku di balut dengan keringat yang tak bersahabat, lagi-lagi kilasan itu mendatangiku. Aku benci dengan kesakitanku. Sebenci aku akan kepergiannya, bagaimana bisa ia semudah itu untuk menyerah pada hubungan yang telah mamanya ketahui.
Aku rasanya ingin menghajarnya saat itu juga tapi apa dayaku, jika kulakukan itu bisa di pastikan penyesalanlah yang akan menghukumku.
Desahan yang keluar dari bibirku seperti suara rintihan, lagi-lagi dadaku berdenyut sakit. Adakah dia mengalami kesakitan yang ku alami sekarang. Terpurukkah dia? Atau dia malah telah mendapat penggantiku. Rasanya memikirkan itu semua membuat sekujur tubuhku di landa keringat dingin.
Aku melihat weker di atas nakasku dan mendapati kalau sebentar lagi pagi akan menyapa. Kusibak selimut yang membungkus tubuhku dan berjalan ke arah lemari mengambil singlet putih dan juga celana jersey. Sepertinya lari pagi cukup untuk mengurangi sarafku yang terasa menegang.
Setelah membasuh wajahku, aku keluar dari rumahku dengan handuk putih kecil yang ku sampirkan di leherku.
Aku berlari dengan pelan mengelilingi komplek rumahku, udaranya memang cukup membantu untuk menenangkan diri . Apalagi keheningan yang tercipta mampu membuatku mengulas senyum tipis di bibirku.
Tiba-tiba langkahku terhenti saat aku merasa ada yang sedang mengawasiku. Aku memutar tubuhku tapi tak kudapati siapapun atau apapun hanya tembok yang diam tanpa ada niat untuk berbicara karena tak mempunyai mulut.
Aku menggeleng dan melanjutkan lariku, mungkin hanya perasaanku saja. Aku memasang headset di kedua telingaku dan memutar musik sekencang mungkin lewat ponselku.
Aku melihat mobil biru tua terparkir di halaman rumahku, baru pertama kalinya rasanya aku melihat mobil itu. Tanpa banyak pikir, aku langsung melangkahkan kakiku ke dalam rumah dan kudapati seorang pria yang tak asing lagi sedang duduk dengan tenang di meja makan dan juga ada buku di tangannya. Aku terperangah mendapati dia di sini tapi tak heran kalau memang dia akan dengan mudah mengetahui alamatku karena mama adalah akses yang bagus.
“Dokter Will!” Seruku dengan nada tak percaya. Pria itu mengangkat wajahnya dan menghadiahiku senyuman hangatnya yang langsung ku balas dengan canggung. Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku bertemu dengannya pagi ini.
“Selamat pagi Ical.” Sapanya ramah.
Aku mengambil duduk tepat di sampingnya, mencoba terlibat dalam percakapan yang mungkin cukup asik untuk kulakukan. Mengingat kalau tadi malam saat aku menonton dengan temanku, aku menemukan dia bersama gadisnya yang tak lain adalah Nadia sendiri dan dapat di pastikan betapa terkejutnya aku akan hal itu. Terkejut sekaligus bahagia karena gadis itu bisa mendapatkan orang yang tepat dan tak kuragukan itu dalam diri dokter muda di depanku ini.
“Jadi apa yang membawamu kesini?” Tanyaku mencoba berbasa-basi yang semoga saja memang tidak basi.
Dia melepaskan kacamata putih yang membingkai mata lembutnya dan menatap kearah mataku dengan senyum yang terus mengembang di sana. “Kamu tidak ingin bertanya darimana aku mendapat alamatmu?”
Aku tersengih, andai aku tak tahu kalau mama mengenalnya mungkin dengan cepat aku akan bertanya seperti itu bahkan mungkin sebelum aku duduk tanya itu yang akan ku lontarkan terlebih dahulu padanya.
“Bukankah mengenal mamaku berarti mengetahui rumahku.”
Dia tersenyum geli mendapati jawabanku yang langsung di anggukannya.
“Jadi karena mamaku Dokter muda ada di sini?” Tanyaku lagi-lagi membuat ia tersenyum tapi kali ini senyum itu mengiyakan atas tanya yang kulontarkan.
“Mamamu mengundangku untuk menghabisi makananmu jadi dengan senang hati aku menerimanya.”
“Apa mama mengajakmu dengan cara memaksa?” Dia tidak menjawab hanya tersenyum dan aku tahu kalau memang itu yang akan di lakukan oleh mamaku tersayang. Dia adalah pemaksa yang handal.
“Mama tidak sepenuhnya memaksanya, Nak Will juga ingin bertemu denganmu. Iyakan Nak?” Aku menatap mama yang sudah ada di dekat meja dan masih asik menata meja makan.
“Ia Tante.” Aku manggut-manggut tak cukup percaya dengan ucapan mama.
“Papa mana?” Tanyaku melihat papa tak muncul juga.
“Pagi-pagi sudah berangkat, jadi dia tak sempat sarapan.” mama menjawab. Kebiasaan dengan papaku itu, terlalu mendewakan kerjaan. Tapi dia selalu menomor satukan keluarga dan aku patut bersyukur untuk itu.
“Oh ya Dek!” Aku menatap mama yang berbicara padaku tapi kedua tangannya masih sibuk mengisi piring-piring kami dengan nasi goreng. “Mama minta tolong sama Nak Will buat cariin kamu mobil, papa nyuruhnya kamu makai mobil mulai sekarang. Biar lebih tenang katanya.” AKu selalu benci akan ke khawatiran berlebihan dari keluargaku.
“Jadi dokter muda seorang penjual mobil?” Tanyaku mencoba bergurau walau nyatanya aku tidak suka dengan cara orangtuaku. Aku melihat mama tersenyum dan Will tergelak dengan mengambil piring yang sudah terisi nasi goreng itu dari tangan mama.
“Bukan penjualnya sih, hanya sebagai perantara saja.” Jawabnya mulai mengambil sendok dan bersiap menyantap nasi gorengnya.
“Ical masih sayang sama ducatinya Ma!” Ucapku dengan nada memelas yang ku buat semeyakinkan mungkin.
Mama menggeleng, terlalu tahu dengan sifat anaknya.
“Kamu masih tetap boleh memakai ducatimu itu.” Ucap perempuan yang paling aku sayangi itu. Aku tersenyu ke arahnya dan mulai ikut menyantap nasi goreng buatan mama yang lezatnya ngalahin restoran manapu
***
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima @hendra_bastian
@akina_kenji @harya_kei @NanNan
@boy @BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@dimasalf9 @freeefujoushi @4ndho
@jacksmile @kristal_air @Pradipta24
@abong @cute_inuyasha @Aurora_69
@JimaeVian_Fujo @Hiruma
@ArDewa @wita @Rifal_RMR
@balaka @ridhosaputra