It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Colek bocah tengil @Obipopobo
Moga ajh baca.
Masih nyimak ni, ditunggu update nyaaa
thx
@abyyriza siap
@Adi_Suseno10 okeh
@ardavaa oke, maksih juga
@harya_kei coba kita cari cluenya
@Otho_WNata92 Haha nih coba lihat di updatean inih
Update :x :-*
@balaka @akina_kenji @SteveAnggara @freeefujoushi @lulu_75 @haha5 @Rifal_RMR @LostFaro @3ll0 @Rikadza @hendra_bastian @cute_inuyasha @Akang_Cunihin @abiDoANk @harya_kei @Otho_WNata92 @rizal_91leonardus @ardavaa @Adi_Suseno10 @abyyriza @Pradipta24 @raden_sujay.
Jangan lupa di like yah
thanks. love u mumumu :-*
-Devo's Pov-
Aku masih belum bergeming sampai terdengar suara ketukan pintu. "Lu belum selesai juga 'pup'-nya? Cepetan keluar kalau udah, gw mau mandi." Suara datar yang begitu menohok dadaku, langsung menyadarkanku dari shock yang menyerangku.
"Oh_My_Gosh!!" Aku menggeram gemas menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Dimana aku harus segera menyembunyikan wajahku? Ini memalukan!
Aku menjentus-jentuskan belakang kepalaku ke dinding kamar mandi. Merutuki kebodohanku. Ah, sakit!
Bagaimana caranya aku keluar dari kamar mandi ini tanpa harus melalui pintu?
Aku segera membersihkan hajatku. Aku mengitari sekitar, meneliti kamar mandi ini untuk mencari jalan keluar. Aku melihat pentilasi jendela di sisi dinding yang lebih tinggi di atasku. Apa aku keluar dari sana saja ya seperti adegan-adegan di dalam film?
Oke, ini lantai dua. Kalaupun aku bisa memanjat dan keluar dari pentilasi itu, apakah aku akan baik-baik saja kalau terjun dan jatuh ke bawah?
Kalau kakiku patah gimana?
Kalau leherku patah gimana?
Kalau aku tak tampan lagi gimana?
Arrggghh! Kenapa aku sial sekali hari ini?!
"Gak usah kayak perawan gitu deh. Cepetan keluar! Gw pastiin lu gak akan lihat gw, jadi lu bisa menyelamatkan wajah lu itu keluar dari sini."
Siaaal! Dia lagi!
Mau tak mau dan harus mau. Dengan mengedap-ngedap aku keluar dari kamar mandi. Aman.
'Mungkin dia salah satu anak dari keluarga ini.' Pikirku. Sepertinya dia menepati kata-katanya, karena aku tak melihat batang hidungnya saat ini. Bagus.
Aku bergegas turun menuju dapur menemui Tante Dila untuk berpamitan. Begini juga aku tuh tahu sopan santun! Gimana kalau Tante Dila nanti bilang ke Mama, aku ngilang gitu aja? Yang ada uang bulananku akan langsung dipotong sama Mama! Yah, sopan santun adalah alasan kedua setelah harus mengamankan uang bulananku dari Mama yang—sering—tega memotong uang bulanan kami kalau kami tak menuruti 'tihta'—nya.
"Tante, Devo pulang dulu yah." Pamitku pada Tante Dila yang masih sibuk memotong-motong kue yang kami buat tadi. Pandanganku sedikit mengitari rumah ini untuk mencari-cari sosok seseorang yang sudah menjatuhkan harga diriku tadi.
Jika ada seseorang yang melirik bagian selangkanganmu dan tersenyum 'mengejek', bukankah itu artinya dia sudah meremehkanmu kan? Dan juga tadi dia terang-terangan mengejekku 'kayak anak perawan'. Menyebalkan sekali dia!
Tante Dila menghentikan kegiatan memotong kuenya. Dia menjulurkan tangannya, menyentuh pipiku dengan telapak tangannya. "Devo sakit?"
Aku menggeleng.
"Muka Devo kok pucat?" Tante Dila meneliti wajahku.
Aku mengerjap. "Eh.. Enggak kok Tante." Ucapku sedikit canggung. Yah, jelas saja wajahku pucat! Aku shock! Shock! Dan shock! Aku ingin segera menyembunyikan wajahku di suatu tempat. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah pergi dari rumah ini!
"Sebentar. Tante bangunin Ben dulu yah. Kamu belum pernah ketemu Ben kan?"
"Ben?" Tanyaku menaikan sebelah alisku.
"Iya Ben. Anak pertama Tante. Kasihan dia belum ada temannya di sini. Dia seumuran kan sama kamu. Apalagi karena kesibukannya, Ben pasti susah cari teman di Jakarta." Jelas Tante Dila.
Aku sedikit berpikir. Jangan-jangan dia.....?
"Kamu gak tahu Ben?" Tante Dila bertanya sedikit heran.
Aku menggeleng. "Devo tahu Ben tuh artis, tapi belum tahu orangnya. Maaf Tante." Ucapku tak enak karena harus jujur mengakui kalau aku tak mengetahui bagaimana sosok anaknya yang sebentar lagi pasti akan menjadi artis top. Yah, bahkan hampir semua teman di sekolahku sudah sering sekali membahas tentangnya dan mengagumi dirinya dari semenjak dia baru menjadi seorang finalis yang mengantarkannya menjadi pemenang dari ajang tersebut.
Aku dan tante dari tadi memang tak sempat mengobrol banyak, karena Bella—anak perempuan di rumah ini—terus saja mengajakku mengobrol. Sepertinya gadis itu naksir aku.Heheh
"Itu Photonya yang berdiri di samping Papanya." Tante Linda menunjuk satu Photo keluarga berukuran besar, yang terbingkai menempel di salah satu sudut dinding rumahnya.
Deg!
Bola mataku terasa mau keluar. Aku shoot wajah seseorang di photo itu dengan nge-zoom-nya lebih besar lagi, lagi dan lebih besar lagi.
Deg!
Senyum kecil di sudut bibir itu, bagaimana aku bisa tak mengenalinya?! Senyum iblis. Yah, senyumannya tuh seperti iblis yang sudah berhasil menjerat mangsanya! Dia berdiri di samping Pria yang terlihat lebih tua dari Papaku. Sementara Tante Dila duduk bersama Bella di samping Tante. Dan satu orang bocah lelaki seumuran Meysa Meysi yang berdiri di sebelah Tante Dila.
"Tante maaf, Devo harus pulang sekarang!" Aku berbalik dan langsung melangkahkan kakiku berjalan cepat.
"Devo tunggu sebentar!" Panggil Tante Dila.
Aku berbalik tanpa menghentikan langkahku. "Maaf Tante, Devo sakit perut!" Balasku dan langsung berbalik lagi.
"Bruuk!"
Aku menabrak sesuatu yang tiba-tiba berada tepat di hadapanku. Kakiku menyelandung tubuh bocah yang sudah terjatuh di lantai. Tubuhku sendiri akhirnya kehilangan keseimbangannya sampai akhirnya terjatuh menghadap lantai.
"Dukk!"
Aarrggh! Aku merasakan sakit di daguku yang terhantam lantai.
"Huwaaaaa~Bundaaaaa~" Bocah itu menangis.
Aku langsung bangun tanpa mempedulikan rasa sakit di daguku yang sudah menjalar ke atas kepalaku.
"Kamu gak apa-apa? Apa ada yang sakit?" Aku membangunkan bocah lelaki seumuran Meysa Meysi dan meneliti tubuhnya kalau saja ada yang terluka karena kecerobohanku. Bocah ini yang aku lihat ada di photo keluarga itu juga.
Bocah itu berhenti menangis dan menatapku dengan menahan isak tangisnya. Dia mengerjap. "Abang dagunya berdarah..." Ucapnya menunjuk ke arah daguku dengan polos.
Aku langsung memegang daguku. Aaw, perih! Aku sedikit tersontak saat melihat darah di tanganku yang baru saja memegang daguku.
"Loh kalian kenapa?" Tanya Tante Dila cemas menghampiri kami.
"Maaf Tante, Devo gak sengaja." Sesalku.
"Loh itu dagu kamu!" Tante Dila menunjuk daguku dengan wajah khawatir.
"Enggak apa-apa kok Tante." Aku tersenyum menahan sakit di daguku. Tanpa membiarkan Tante Dila bicara lagi, aku langsung berlalu dengan cepat menuju rumahku dengan memegangi bawah daguku.
-
-
"Lu kok bisa keluar kamar?" Selidikku saat melihat Deva duduk selonjoran di sofa sambil menonton TV dengan santai.
"Gw turun lewat jendela kamar pake tambang." Jawabnya cuek dengan masih menonton TV. Ah, sudahlah! Aku harusnya sudah bisa menerka kelakuannya itu.
Tanpa mempedulikan Deva lagi, aku melanjutkan langkahku mencari kotak obat untuk segera mengobati luka di daguku. Aaah, rasanya perih, ngilu, sakit!
"Eh, dagu lu kenapa, Vo?" Deva yang baru menyadari luka di daguku langsung terlonjak dari sofa dengan berlebihan, nyaris seperti melompat.
"Enggak apa-apa!" Elakku cepat.
Dengan gerakan cepat Deva mendekatiku dan meneliti daguku yang dari tadi aku tutupi dengan tanganku. "Enggak apa-apa gimana?! Ini darahnya banyak banget begini! Pantes aja perasaan gw gak enak dari tadi." Deva bersungut-sungut.
"Gak usah lebay deh. Gw cuma jatoh aja tadi." Balasku menanggapi sikapnya yang berlebihan.
"Lu tuh yah, bego banget sih! Kok bisa lu jatoh sampe dagu lu kayak gini?! Makanya lu punya mata tuh buat ngelihat jalan, bukan buat jelalatan!" Deva mengomel tak karuan.
"Udah deh gak usah ngoceh aja! Tambah bikin sakit aja lu." Aku mendengus kesal.
"Ayo kita ke rumah sakit!" Deva menarik tanganku.
"Gw gak apa-apa! Lebay banget sih lu, Va." Aku menepis tangan Deva yang memegang lenganku. Kalau ke rumah sakit, walaupun lukaku tak seberapa, sudah pasti lukaku ini akan mendapatkan jahitan dari dokter. Bekas jahitan kan tak bisa hilang!
"Lu itu bagian dari diri gw! Kalau lu sakit, gw juga sakit. Kalau lu luka, gw juga ikut ngerasain efek dari luka lu itu, Vo. Ngerti lu!" Tegas Deva menatapku tajam.
Aku mengerjap. Deva jarang sekali marah seperti ini. Deva adalah orang yang hampir tak pernah serius. Jadi kalau dia sudah serius begini, itu artinya 'jangan coba-coba melawan dia'.
"Kalau lu gak mau ke rumah sakit, lu duduk diem di sofa. Biar gw yang obatin." Perintah Deva. Aku mengangguk pasrah.
-
-
Aku meringis menahan perih saat Deva membersihkan darah di daguku dengan antiseptik. Deva terlihat sangat hati-hati dan teliti mengobatiku sambil mulutnya membentuk huruf O meniupi lukaku. Ah, kalau Deva lagi seperti ini. Dia terlihat seperti anak kucing yang manis sekali. Aku ingin sekali mengecupnya kalau dia sedang 'jinak' begini.
Yang berbeda dari kami selain model potongan rambut adalah bentuk wajah. Wajahku lebih tegas dari pada Deva yang terkesan imut. Karena itu aku bilang kalau aku lebih tampan darinya, karena Deva lebih terlihat cute dariku. Oke, aku mengakui itu karena dia saat ini sangat manis sekali. Aku jarang sekali mau mengakui keimutannya itu. Wajah imutnya sama sekali tak sesuai dengan tingkahnya yang sering membuat onar.
"Udah beres." Deva menekan plaster yang dia pasang di daguku.
"Aiish! Pelan napa sih." Aku mendengus.
"Lu kelihatan kerenan deh pake plaster begini." Ujar Deva tersenyum simpul.
"Gw gitu loh!" Ucapku bangga dengan menaikan bahuku. "Va, sini gw bisikin!"
Deva mendekatkan wajahnya dengan memberikan telinganya ke depan wajahku. Aku tersenyum jahil.
Cup!
Aku mengecup pipi Deva dan langsung memeluk lehernya erat.
Deva memberontak. "Aiiih! Lepasin Devoo! Jijay banget gw iiih!" Deva mengusap-ngusap pipinya dengan kasar—seolah—dia ingin menghapus bekas jejak bibirku di pipinya.
"Hahaha!" Aku tertawa melepaskan Deva. "Aduh sakit.." Aku merintih mengelus daguku, saat lukaku terasa lebih sakit karena tawaku sendiri.
"Hahah sukurin lu!" Tawa Deva puas sambil berjalan membawa kotak obat untuk disimpannya lagi.
-
-
"Belagu banget lu, Va! Tari aja rela ngelakuin apapun demi mendapatkan bibir gw yang seksi ini." Aku misuh-misuh bercanda. Kami berdua masih duduk di sofa sambil menonton TV.
Deva melirikku. "Coba mana sini bibir Devo yang seksiii~" Deva memajukan bibirnya dengan memonyongkannya mendekati wajahku."Mmmm~"
Aku terkekeh. Kutepis wajah Deva menjauh. "Idiiih minggir ah! Sakit nih dagu gw nahan ketawa ngelihat muka lu."
Deva menggeleng. Dia masih memonyongkan bibirnya dan mendekati wajahku lagi. "Mmm~Mmm~" Deva memberi isyarat dengan mulutnya yang menunjuk ke mulutku agar melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan. Baiklah kalau itu maunya, mari kita mulai..
Aku juga memajukan mulutku, memonyongkannya mendekatkan bibirku pada bibir Deva. Tangan kami berdua saling memegang bahu lawan—seolah—menahannya untuk mendorongnya menjauh. Bibir kami berdua saling mencari—seakan—sulit sekali menyatukan bibir kami berdua. Seperti maghnet yang bertolak belakang.
Entah berapa lama kami berdua bermain seperti itu. Sampai mataku tak sengaja menangkap bayangan seseorang yang sepertinya sedang memperhatikan apa yang sedang kami berdua lakukan saat ini.
Deg!
Tubuhku lemas.
Dia Lagi.
"Hey, Lu Ben Calus kan?" Deva dengan antusias langsung mengenalinya.
Dia mengangguk pelan dengan canggung. Matanya terus menatapku dan Deva bergantian seolah sedang melihat sesuatu yang belum bisa dia pahami.
Arrggh! Kenapa bumi tak menelanku saja sekarang.
"Kita kembar." Deva tersenyum menjelaskan dengan menunjuk dirinya sendiri dan aku—seolah—dia bisa membaca pikiran Ben saat ini.
Dia melirik ke arahku sekilas. "Sorry, tadi pintunya gak ditutup." Jelasnya tersenyum simpul. "Ini ada kue dari Bunda."
"Waah, tahu aja gw lagi laper." Deva mendekati Ben dengan cengiran di wajahnya. "Wah wah wah! Ben, ternyata aslinya lu lebih keren yah." Uweeek! Aku mual sekali mendengar Deva memuji Ben. Kerenan aku kemana-mana lah yah!
Aku beranjak dari sofa tanpa suara. Aku dan Ben bertatapan sekilas, sebelum aku berlalu menaiki tangga menuju kamarku. Aku ingin mengunci diriku saja di dalam sana.
===================================
-Ben's Pov-
Kenapa Devo terlihat seperti tak menyukaiku? Apa salahku?
Yah, aku tahu namanya Devo. Bunda sudah menceritakannya padaku tadi. Dan Bunda juga yang menyuruhku datang ke rumah ini untuk mengantar kue sekalian melihat luka di dagu Devo yang darahnya menetes-netes di lantai rumahku.
Aku lihat tadi dagunya sudah diperban. Sepertinya tak perlu dibawa ke rumah sakit. Bunda sangat berlebihan sekali tadi mengkhawatirkannya.
Aku bukannya tak punya sopan santun masuk ke rumah orang sepeti ini. Tadi aku sudah menekan bel rumah mereka, namun tak ada jawaban yang aku dapatkan. Dan karena pintu rumahnya terbuka, aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dari pada harus menjamur di luar sana.
"Gw Deva. Tadi kembaran gw Devo. Sorry yah kalo dia rada cuek. Dia mah emang gitu orangnya." Deva menjelaskan dan memperkenalkan dirinya padaku dengan senyuman lebar di wajahnya.
Bunda memang sudah menceritakan sedikit tentang Devo tadi, tapi aku tak tahu kalau dia memiliki kembaran. Mereka sangat mirip kecuali rambut dan bentuk wajah, Deva yang terlihat lebih cute dibandingkan dengan wajah Devo.
"Gw Ben." Balasku tesenyum kecil.
"Yah gw tahu. Siapa sih yang gak tahu Ben Calus? Mungkin cuma Devo aja satu-satunya orang yang gak tahu lu. Miko, adek gw yang masih TK aja tahu sama lu." Deva tersenyum dengan canda. Ah, sepertinya Deva orang yang menyenangkan. Beda banget sama kembarannya itu.
Aku tersenyum. "Oh yah? Heheh." Balasku menanggapinya dengan terkekeh.
"Eh, mau minum apa nih? Artis mah gak suka air putih yah.." Deva menyindir lagi dengan bercanda.
Aku terkekeh. "Suka air putih, asal gelasnya dari emas." Balasku dengan bercanda juga.
"Hahah. Kalau gelas dari emas, gw gak punya. Gw adanya air putih yang di campur serbuk emas. Mau?" Kami berdua tertawa.
-
-
"Jadi besok lu udah mulai masuk sekolah?" Tanya Deva saat aku sedang memperhatikan photo dua bocah kembar memakai seragam polisi yang diletakkan di sisi meja di samping ranjangnya.
Sangat menggemaskan. Dalam photo itu menggambarkan dua bocah lelaki yang sedang berciuman. Mungkin mereka baru berusia sekitar 4-5 tahun di lihat dari photonya. Lucu sekali.
"Iya. Gimana anak-anaknya di sekolah, asik gak?" Tanyaku. Yah, ternyata aku akan bersekolah di sekolah yang sama dengan Deva dan Devo.
"Asik sih. Wah.. Devo bakalan ada saingannya ya nanti. Berat lagi saingannya." Deva menyunggingkan senyum dengan mengelus-ngelus dagunya.
Aku terkekeh. "Lu sendiri gak merasa tersaingi?" Candaku.
"Hahah. Gw mah memang dari sononya udah kalah pamor sama Devo."
"Kok bisa gitu? Kalian kan kembar."
"Devo kan sok misterius, sok cuek, sok galak. Makanya cewek-cewek pada penasaran sama dia. Kalau gw mah kan orangnya ngobral diri. Hahah!" Aku yakin kalau cewek-cewek itu melihat tampang idiot Devo yang cengo, mereka pasti akan ilfeel melihatnya.
Aku tertawa—lagi. "Ada-ada aja lu, Va!"
Deva benar-benar teman yang sangat menyenangkan. Aku merasa terhibur. Aku selalu tertawa dari tadi dibuatnya. Membicarakan hal apapun dengannya, pasti berujung dengan tawa.
"Mama kok belum pulang yah." Deva melihat ke luar jendela kamarnya. Aku juga ikut melihat ke luar jendela. "Ben, itu kamar siapa?" Deva menunjuk ke arah rumahku. Tepatnya ke jendela salah satu kamar di rumahku.
Aku memperhatikan arah jari telunjuk Deva. "Oh, itu kamar Bella, adek gw yang kelas 10."
"Asiik gw bisa cuci mata. Heheh." Deva terkekeh. Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya. "Kalau yang di sebelahnya?" Deva menunjuk lagi.
"Itu kamar gw." Jawabku cepat.
"Cieee, yang bisa cuci mata sama Devo. Hahah!"
==========================
======
Cieee, yang bisa cuci mata sama Devo. Haha kocak dah si Deva.