It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Rika1006
@balaka @akina_kenji @SteveAnggara @freeefujoushi @lulu_75 @haha5 @Rifal_RMR @LostFaro @3ll0 @Rikadza @hendra_bastian @cute_inuyasha @Akang_Cunihin @abiDoANk @harya_kei @Otho_WNata92 @rizal_91leonardus @ardavaa @Adi_Suseno10 @abyyriza @Pradipta24 @raden_sujay @Kibosuke @ardi_yusman @amir_tagung @Toraa @alvin21 @4ndh0 @ricko_syilendra @Rajeendra.
=============================
[2. Degup Pertama]
-Ben's Pov-
Hari ini sebenarnya aku ingin tidur cepat, karena besok aku harus bangun pagi sekali. Aku tak ingin terlambat di hari pertamaku masuk sekolah baruku. Tapi, coba lihat apa yang sedang dilakukan tetangga di depan rumahku itu. Dia menyetel musik dengan audio yang terdengar sampai sini. Bayangkan seperti apa suaranya terdengar di sana, kalau di sini saja suaranya sampai memekikan telingaku. Lagu dangdut pula. Berisik sekali.
Aku sudah kehabisan akal. Aku sudah menyumpal kedua telingaku dengan kapas. Menyembunyikan kepalaku di bawah bantal, tapi suara musik yang aku yakin dari arah kamar Devo masih bisa terdengar olehku!
Kenapa orang tuanya membiarkan dia menyetel musik sekeras itu sih! Ini sudah jam 9 malam, sudah waktunya orang-orang beristirahat. Dia tingal di tengah pemukiman padat penduduk, bukan di hutan!
Kenapa dia tidak mengenakan ear phone saja! Dia bisa menyetel dengan audio sekencang mungkin yang dia mau tanpa harus mengganggu orang lain di sekitarnya.
Bukankah dia waktu 'pup' itu juga memakai ear phone? Lalu kenapa ear phone itu tidak dia manfaatkan sekarang!
"Oppaa!" Suara Bella terdengar dari balik pintu kamarku sambil mengetuk-ngetuk pintu.
Ada apa lagi dengan anak itu?
Tentang panggilannya untukku, aku tidak tahu sejak kapan dia mengubah panggilannya terhadapku dari 'Abang' menjadi 'Oppa'. Awalnya aku merasa risih dipanggil seperti itu, tapi kelamaan aku menjadi terbiasa juga dengan pangilan khas orang Korea itu. Bella tak pernah mau mengubah kembali panggilannya itu! Dia bilang panggilan 'Oppa' sedang nge-trend saat ini. Huh, ada-ada saja.
"Buka aja, gak dikunci!" Aku berteriak tanpa mengubah posisiku yang sedang duduk bersandar di sisi ranjangku.
Bella langsung masuk dengan senyuman lebar di wajahnya. Beberapa tahun lalu, dia adalah adikku yang lucu dan menggemaskan. Tapi, sekarang dia sudah berubah menjadi gadis yang licik. Aku sungguhan mengatakan ini, dia benar-benar licik.
Coba kalian bayangkan, saat aku pulang pertama kali setelah menyelesaikan kompetisi yang membuatku terkenal seperti sekarang. Bella menyambutku dengan tumpukan buku-buku yang awalnya aku tak paham untuk apa buku-buku itu.
Kalian tahu bagaimana liciknya dia? Bella memberikanku lebih dari 500 buku yang harus aku tanda tangani. Buku-buku itu seperti majalah yang dipenuhi photo-photoku. Photo pribadi saat aku berusia 1 bulan sampai photo terbaruku. Dia menjual semua itu di sekolah dan bahkan secara online dengan harga yang menurutku sangat mahal. Dan herannya, semua buku itu habis terjual!
Dia juga selalu mengabadikan aktivitas-ku lewat kamera yang selalu tergantung di lehernya. Dia juga men-stalker kehidupan pribadiku, lalu kemudian dia menjual semua photo dan info yang didapatkannya langsung dariku! Bella sepertinya berbakat sekali menjadi seorang wartawan. Hebat.
Apa dia benar adikku?
Yah, dialah adikku yang licik dengan tampang polosnya dan modal mata yang berkaca-kaca, membuat aku tidak pernah bisa menolak permintaannya.
Bella memiliki badan yang tinggi untuk ukuran anak cewek berusia 15 tahun. Kulitnya putih, berwajah imut dengan rambut sebahu bergelombang. Hidungnya kecil, matanya bulat dan bibir yang mungil. Dia mirip denganku. Hanya saja wajahku terkesan innocent.
Jadi kalau ada temanku yang bilang. "Lu beruntung banget punya adik kayak Bella, gw mau lah jadi Abangnya", atau "adik lu imut banget, gw pacarin boleh gak?". Maka dengan senang hati aku akan menjawab, "silahkan jadi Abangnya, silahkan jadi pacarnya. Silahkan diambil dan dibawa pulang, tapi dengan syarat, jangan dibalikin lagi kesini."
Bella memainkan mulutnya, menggigit bibirnya, memanyunkannya. Dia terlihat seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi masih ragu. Kalau udah begini, pasti berat nih yang akan dia sampaikan atau lebih tepatnya meminta sesuatu dariku.
"Oppaaa~" Bella mendekatiku dengan memberikan tatapan puppy eyes andalannya.
Aku meliriknya sekilas dan melanjutkan membaca buku yang sedang aku pelajari.
"Oppa, kita bilang sama Mama untuk tukar kamar yuk?" Bella tersenyum sambil mengedip-ngedip memainkan matanya.
Kukerutkan keningku heran. "Kenapa mau tukar kamar? Repot mindahin barang-barangnya lagi." Tolakku logis. Aku tipe orang yang kalau sudah menempati satu kamar, tak bisa tidur di kamar yang lainnya. Auranya beda. Lagi pula kamarku dan Bella sama, sebelahan juga, terus kenapa dia mau tukar kamar?
Wajah Bella langsung murung. Dia menoleh melihat ke luar jendela kamarku, tepatnya ke kamar di depan kamarku!
Oke, sepertinya aku tahu alasannya sekarang kenapa dia mau tukar kamar. "Bella," panggilku.
Bella menoleh dengan wajah sedihnya dan mata berkaca-kaca andalannya. "Oppa~"
Aku menggeleng. "Nggak bisa. Kalau alasannya karena tetangga kita di depan sana. Abang gak mau!"
Bella menaikan alisnya. "Kenapa?"
"Pokoknya nggak!"
"Oppa!"
"Kamu dengar sendiri kan, dia nyetel musik jam segini kayak orang gak punya aturan. Kamu nanti gak bisa konsen belajar. Dia aneh!" Tegasku.
Bella terlihat berpikir sebentar. "Maksud Oppa, Devo Oppa? Yang tadi siang bantu bikin kue di sini?"
"Iya dia. Dia aneh tahu gak." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sedikit sambil mengingat-ngingat kejadian saat kami bertemu. Tak ada yang bagusnya dari Devo, semua minus. "Terserah kamu mau pdkt sama siapa, asal jangan sama dia!" Tegasku lagi.
Bella mengerjap. Dia tertawa kecil dengan menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. Yah, aku tahu adikku juga aneh. Karena itu aku tak ingin adikku dekat dengan yang 'sama' anehnya dengan dia. Harus ada yang waras untuk menyeimbangi seorang yang aneh bukan?
Bella melihat lagi ke luar jendela masih dengan tersenyum-senyum tak jelas. "Oppa sini deh!" Bella menarik tanganku.
Aku menahan tubuhku tak ingin beranjak. "Mau kemana?"
Bella mengayun-ngayunkan tanganku manja. "Ayooo Oppa~"
"Hhh," aku hanya bisa menghela nafas pasrah dan mengikuti Bella yang menarikku terus ke arah Jendela.
Bella menggeser jendela kamarku, dia mendorong tubuhku untuk melangkah ke luar, ke balkon kamarku.
Mataku langsung tertuju pada kamar depan. Suara musik semakin keras terdengar. Seseorang yang sepertinya Devo, sedang duduk di balkon kamarnya juga, dia terlihat sedang membaca sebuah buku dengan memakai ear phone di telinganya.
Lalu kenapa dia menyetel musik sekeras itu kalau dia sendiri memakai ear phone?
"DEVOOOO OPPAAAA!!" Teriak Bella nyaring sampai aku menutup telingaku agar gendang telingaku tak pecah.
Orang itu masih diam tak menyahut, apalagi menoleh. Ya, iyalah dia tak mungkin bisa mendengarnya!
"Mau ngapain sih?" Aku menyipitkan mataku pada Bella.
Bella tak menggubrisku. "DEVOOOO OPPAAAA!!!!" Teriak Bella lagi lebih keras. Hasilnya masih sama, orang yang dipanggil masih juga tak menoleh.
Aku berbalik, aku ingin masuk ke dalam kamarku lagi. Tapi tangan Bella langsung menahan langkahku dengan memegangi bajuku. "Mau ngapain?" Aku menekan nada suaraku. Malas.
Bella tak menyahutku. Lalu dia langsung merogoh kantong celana pendeknya untuk mengambil ponselnya. Bella seperti sedang menelpon seseorang. Aku tak tahu apa lagi yang mau dia lakukan sekarang.
"Hallo Deva Oppa?"
"......."
"Oppa dimana? Bella lagi di balkon kamar Ben Oppa."
Ngapain Bella nelpon Deva? Dan pertanyaan yang terpenting, sejak kapan Deva dan Bella tukaran nomor telpon? Aku saja belum sempat tukaran nomor telpon sama Deva.
Mata Bella dengan antusias melihat ke kamar depan. Terlihat di sana orang yang aku yakin adalah Deva sedang memegang ponsel juga di telinganya. Dia sepertinya memang sudah berada di sana dari tadi, hanya saja dia berada di dalam kamar yang tak terlihat oleh kami.
Bella berteriak-teriak memanggil Deva sambil melambai-lambaikan tangannya. Begitu juga dengan Deva.
Deva menggeser jendela kamarnya dan melangkah ke balkon.
Aku tersenyum dan mengangkat tangan kananku saat Deva juga menyapaku.
Orang yang sedari tadi diam seperti patung, langsung terkesiap ketika menyadari kembarannya berada di dekatnya sambil berteriak-teriak. Dia lalu membuka ear phone di telinganya dan seperti sedang berbicara sesuatu dengan Deva. Dia tiba-tiba menoleh ke arah kami. Matanya berhenti mencari-cari saat mata kami saling bertatapan.
Dia terlihat bingung.
"DEVOOO OPPAA!!" Teriak Bella lagi. Teriakan Bella langsung menghentikan tatapan kami berdua. Kali ini Devo menyahutnya dan melambaikan tangannya juga dengan tersenyum lebar pada Bella.
Ada apa dengan mereka dan adikku? Aku salut sekali dengan gerak cepat adikku ini. Dia terlihat sangat akrab dengan mereka berdua.
Tidak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna putih yang berhenti tepat di depan rumah itu.
Bunyi klakson mobil yang nyaring berkali-kali langsung membuat Devo dan Deva kocar kacir. Musik seketika itu juga langsung mereka matikan. Mobil itu memasuki rumah mereka.
Pantas saja mereka menyetel musik sekeras itu, ternyata orang tua mereka baru saja pulang. Mereka berdua kelihatan seperti terpegok sedang malakukan kesalahan. Lucu sekali.
"Tadinya Bella pikir, Oppa cocok sama Deva Oppa. Makanya Bella minta pindah kamar." Bella tersenyum mengulum bibirnya. "Tapi, ternyata akan lebih seru kalau Oppa sama Devo Oppa, hihihi." Bella tertawa kecil yang membuatku semakin bingung. "Jadi sekarang Bella gak jadi tukar kamarnya. Heheh."
Aku diam. Bingung. Apalagi keanehan yang menjangkit adikku ini? Ide aneh apa lagi yang sedang ada di kepalanya sekarang?
Bella mengecup pipiku. "Cal Cayoo Oppa." Dia tersenyum polos(?).
Cal Cayoo? Bahasa planetlanet mana lagi itu?
Bella keluar dari kamarku sambil bernyanyi-nyanyi seperti orang yang sedang Fall in love. Aku menarik nafasku berat melihat tingkahnya yang semakin aneh dan semakin tak bisa kupahami.
Tapi sudahlah. Aku lebih baik masuk dan beristirahat karena keadaan di rumah tetanggaku juga sudah menjadi lebih tenang.
Aku masuk ke dalam kamar dan menutup jendela kamarku yang terbuat dari kaca berukuran dua pintu. Saat aku ingin menarik gorden jendela kamarku, entah mengapa kepalaku menengadah ke depan.
Mataku menangkap sosok Devo yang juga sedang menutup jendela kamarnya. Dia sudah melepaskan bajunya. Bertelanjang dada dan hanya mengenakan boxer.
Deg!
Ada apa denganku? Bukankah itu hal yang biasa dan wajar. Beda urusannya kalau yang kulihat itu seorang cewek. Tapi dia cowok! Jadi bukan masalah bukan, karena aku pun cowok, dan aku tak berniat untuk meneliti bentuk badannya yang lumayan terbentuk dengan dada yang bidang, perut yang membentuk empat bantalan.
Hey! Bukankah aku tidak menelitinya? Tadi hanya kebetulan saja aku melihatnya. Sedikit kagum karena iri bentuk badanku tak sebagus dia. Itu saja!
Tapi kenapa dadaku tadi berdegup?
"Ciee, yang bisa cuci mata sama Devo."
Kenapa juga aku teringat kata-kata candaan Deva padaku tadi? Aku tak cuci mata!
Arrrgh sial! Ini semua karena Bella!
Sepertinya aku harus mencuci isi kepalaku.
====================================
-Devo's Pov-
"Mamaaa kunci motor Devo manaaa?" Teriakku dari lantai dua, menundukan kepala ke bawah, tepat di meja makan dimana keluargaku sedang berkumpul untuk sarapan pagi.
Oke, ini menyebalkan. Semalam Mama mengomel habis-habisan karena Mama memergoki Deva menyetel musik sangat keras semalam. Ya, Deva. Itu salahnya!
Bukankah aku sudah cerita kalau dia pembuat onar kan?
Dia selalu saja mengacau di kamarku, bukan di kamarnya sendiri!
Semalam aku memilih mengenakan ear phone kesayanganku, duduk di balkon kamar sambil membaca buku. Pak Ardi sudah memperingatkan sebelumnya kalau senin, kami akan ada ulangan.
Aku bukan siswa yang jenius, yang tak perlu belajar untuk mendapatkan nilai di atas 90. Semua nilai yang kudapatkan selama ini adalah dari hasil kerja kerasku yang rajin membaca semua buku-buku pelajaran ini.
Sementara Deva. Ah, anak itu! Dia sudah pasti akan menyontek padaku nanti. Tapi, semalam dia malah mengacau di kamarku. Ya, memang aku mendiamkan saja saat dia mengacau di kamarku, karena dia sangat manis sebelumnya tahu.
Saat Ben datang kemarin, aku memilih masuk ke dalam kamar sampai akhirnya aku terbangun menjelang Maghrib. Di meja belajarku sudah tergeletak sebuah buku baru, lengkap dengan salinan dari buku lamaku yang dirobek Deva. Oke aku ralat, yang tak sengaja robek karena ditarik Deva. Dan ada sebuah kertas bertuliskan "sorry my twins". Oh, so sweet sekali kan dia.
Lalu dengan senyuman lebar aku mencari kembaranku yang manis itu-terkadang. Dia tak ada di kamarnya, lalu aku turun ke bawah untuk mencarinya lagi.
Aku sampai speechless saat menemukan dia sedang berada di dapur dengan memakai celemek memasak yang biasa dipakai Mama, dia terlihat sedang menyiapkan makanan yang baru saja dia masak.
"Lu yang masak ini semua?" Tanyaku dengan antusias kemarin. Deva hanya menjawab "siapa lagi?" dengan senyuman kebanggaan di wajahnya. Sangat manis. Aku menjadi terharu dengan usahanya itu, dan tanpa sadar kata-kata yang tak seharusnya terlontar, meluncur dari mulutku begitu saja.
"Lu boleh ngelakuin apa aja malam ini di kamar gw."
Kalimat itu langsung disambut Deva dengan seringai antusias yang tinggi, dan dia segera memulai pestanya sendiri di kamarku. Dia sering melakukan itu! Dia tak mau mengacau di kamarnya sendiri, karena dia malas untuk bersih-bersih setelahnya. Pintar kan dia!
"Mamaaa kunci motor Deva manaaa?"
Aku menoleh melihat Deva yang sudah berdiri di sampingku. "Lu juga?" Tanyaku mengerutkan dahi.
Deva ikut mengerutkan dahinya. "Lu juga?" Kami saling menatap beberapa detik untuk saling meyakinkan bahwa nasib kami pagi ini 'sama'.
Deva langsung bergegas menuruni tangga dengan cepat. Aku berjalan menyusulnya. Lemas.
Kami hampir terlambat, dan akan ada ulangan Matematika di mata pelajaran pertama hari ini. Kunci motor kami disembunyikan Mama entah dimana. Dengan begitu kami berdua harus naik Trans Jakarta dan rela berdesak-desakan dengan warga Jakarta lainnya yang sudah pasti membludak di pagi hari, di tengah kemacetan jalanan yang na'udzubillah macetnya.
Kenapa aku sial banget dari kemarin sih!
"Mama gak lucu. Hari ini Deva ada ulangan di mata pelajaran pertama, Mamaaaa~" Deva merengek pada Mama yang sedang menyuapi Miko.
"Bang Deva sih nakal," celetuk Meysha.
Yah, ada beberapa hal lagi yang belum aku beri tahu tentang si kembar Meysha Meyshi. Mereka kembar yang identik banget, nyaris tak bisa dibedakan kecuali oleh kami sekeluarga. Karena itu Mama membedakan potongan rambut mereka. Meysha berambut panjang sampai sepinggang, dan Meyshi berambut pendek sebatas bahu.
Kalau kembar kan biasanya beda sifat, seperti aku dan Deva misalnya. Tapi, beda ceritanya dengan Meysha Meyshi yang memiliki sifat nyaris 99% sama persis.
Mereka berdua sama-sama-sok-dewasa sebelum waktunya, mereka juga sama-sama ganjen alias lenjeh. Dan yang paling menyebalkan, mereka berdua sama-sama tukang kompor! Bukan kompor yang untuk memasak, tapi kompor yang selalu membuat suasana panas menjadi semakin panas!
"Tuh, dengar kan. Adik kamu yang baru kelas 1 SD aja tahu kalau kamu nakal!" Celoteh Mama dengan cuek, masih sambil menyuapi Miko.
Miko hanya mengunyah makanannya sambil mengedip-ngedipkan matanya memandangi aku dan Deva bergantian dengan polosnya. Ah, dia lucu sekali. Semoga Miko tak mencontoh kakak-kakaknya nanti. Semoga.
"Kan Deva yang nyetel musik kenceng-kenceng gitu Ma, bukan Devo! Ayolah Ma, udah mau telat inih!" Pintaku masih membujuk Mama.
"Kenapa kamu gak melarang Deva? Itu kamar kamu kan! Kalau tetangga gak tahu, mereka pikir orang tuanya gak ngajarin anaknya tata krama!" Tambah Papa ikut mengomel.
"Bang Devo kan Abangnya, jadi Abang harus bisa melarang kalau Bang Deva nakal~"
Yap, bagus sekali Meyshi.
Aku menghela nafas berat. "Ma, dagu Devo lagi sakit inih~" Bujukku lagi belum menyerah.
"Yang sakit kan dagunya bukan kakinya Bang~" Itu Meysha lagi! Dia tersenyum manis sambil mengedip-ngedipkan matanya padaku. Hay, belajar dari mana dia seperti itu!
"Gw nyesel udah ngajarin Meysha Meyshi jadi kayak gitu..," bisik Deva pelan di telingaku seperti bergumam.
Yah, seharusnya aku tahu. Siapa lagi kalau bukan Deva yang merubah si kembar adikku yang manis menjadi gadis kecil mengerikan seperti itu!
"Apa Devo benar anak dari keluarga ini?!" Desisku putus asa.
Mereka semua serempak hanya mengangkat bahu mereka. Waw! Sepertinya benar aku hanya anak pungut yang mereka temukan di jalan, yang kebetulan memiliki wajah yang sama dengan Deva!
Oh, tidak. Adikku Miko tak ikut mengangkat bahunya. "Abang kan Abangnya Miko~" Ucap Miko polos mengerjap-ngerjap dan tersenyum manis sekali.
Aku langsung tersenyum kecil pada Miko sambil mengusap-ngusap kepalanya pelan.
Oh, makasih Tuhan, akhirnya Kau memberikanku alasan untuk tetap tinggal di keluarga ini. Oke, ini lebay.
Deva berlutut memegangi kaki Mamaku seperti orang yang yang sedang memohon. "Mamaaa~ hiks... Ampuni anakmu ini Mamaaa~ hiks...," Rengek Deva seperti adegan-adegan di dalam sebuah pertunjukan. Kalau saja saat ini suasana sedang tidak genting, aku pasti sudah tertawa keras melihat kelakuan Deva sekarang.
"Oke Mama ampuni," dengan berwibawa Mama menepuk-nepuk kepala Deva pelan. Keluargaku Memang aneh. Apa mereka pikir rumah ini panggung theater?
Deva langsung berdiri dengan tersenyum kemenangan karena berhasil meluluhkan Mama. "Mana kunci motornya?" Tagih Deva langsung.
Mama mengibaskan rambutnya kebelakang. "Mama kan gak bilang mau kasih kunci motornya. Mama cuma bilang, kalau Mama ampuni." Jelas Mama santai.
Aku dan Deva menghela nafas berat. Kami berdua sudah kehabisan akal.
Mama mengangkat tangannya, lalu tersenyum kecil. "Tapi, jangan khawatir, Mama udah bilang sama tetangga depan kalau kalian berdua akan ikut bareng mereka ke sekolah." Jelas Mama kemudian.
Aku masih belum paham. "Maksudnya, Ma?"
"Ben sama adiknya kan satu sekolah sama kalian berdua. Kalian berdua hari ini berangkat bareng mereka, dan nanti di sekolah kalian berdua temani dan bantu mereka untuk apa saja yang mereka perlukan." Jelas Papa menambahi.
Ben? Ah, kenapa harus berangkat bareng satu mobil sama dia! "Devo ikut Papa aja yah," pintaku ke Papa.
"Bang Devo gimana sih, kan beda arah Papa sama sekolahan Abang." Kata Meyshi lagi dan lagi membuatku sakit kepala.
"Lagian kan Papa mau ngantar ke sekolah kami dulu, abang~" Oke Meysha, kalian berdua memang kembaran paling kompak di dunia ini. Kompak jadi tukang kompor.
"Wah, kenapa Mama gak bilang dari tadi kalau bareng mereka berangkatnya." Deva dengan antusias langsung mencomot roti dari meja makan. Dia langsung berpamitan dan berlalu pergi dengan cepat mendahuluiku. Kenapa dia senang sekali begitu?
Aku masih belum beranjak.
"Udah cepat sarapan dulu! Nanti ditungguin sama mereka lho." Jelas Mama.
"Malas ah," desisku pelan lalu berpamitan juga dengan keluargaku. Aku melangkahkan kaki dengan Malas. Satu mobil dengan Ben?
Arrgghh!
-
-
Sudah aku duga. Saat waktu istirahat, kelasku akan penuh dengan anak-anak alay yang berebut untuk melihat sosok Ben.
Kenapa aku juga harus sekelas dengan Ben? Ini menyebalkan tahu, harus melihat sainganmu di sekolah dikelilingi mantan-mantan fansmu.
Yah, mereka sekarang sudah menjadi mantan fansku setelah sesaat Ben menginjakan kakinya di sekolah ini. Ngenes.
Biasanya cewek-cewek itu matanya tak pernah lepas seperti menelanjangiku saat aku lewat di sekitar mereka. Tapi, sejak tadi pagi, mata mereka semua terus mencari-cari dimana sosok Ben berada sampai mengabaikanku yang ada di hadapan mereka!
Biasanya mejaku akan penuh coklat-coklat pemberian dari cewek-cewek itu, tapi sekarang coklat-coklat itu berpindah ke meja di depanku. Yah, Ben duduk di depanku, dia duduk sebangku dengan Deva karena kebetulan Rama tak masuk hari ini sehingga Pak Ardi menempatkan Ben di bangku Rama yang kosong. Kenapa juga Rama tak masuk hari ini?
Deva yang biasanya selalu berada di sekitarku, menggangguku, dan mencari perhatianku. Kini dia tak ada bersamaku. Sekarang dia ada di sekitar Ben, mengurusi anak-anak alay yang memenuhi kelasku. Deva terlihat seperti manager Ben di sekolah. Tahu apa yang kembaranku itu lakukan?
Deva menyuruh Amir dan Randy berdiri di depan pintu kelas, mereka seperti penjaga tiket masuk. Siapa yang ingin masuk ke dalam kelas untuk melihat Ben, mereka harus bayar 20.000 rupiah pada Amir dan Randy agar bisa masuk ke kelasku. Sementara yang ingin berselfie bersama Ben, harus membayar lagi 50.000 rupiah pada Deva. Ckck. Mereka keterlaluan bukan!
Dan yang mengejutkanku, bukan hanya cewek-cewek yang histeris ingin selfie bersama Ben, tapi juga cowok-cowok. Bahkan Aldo ketua tim basket di sekolahku juga ikut berselfie dengan Ben. Waw!
"Lu berani melangkah satu langkah aja dari sini, gw keluar dari tim futsal!" Ancamku pada Alex yang sedikit demi sedikit sudah bersiap beranjak pergi dari sini.
Aku memilih pergi ke kantin dan membawa serta Alex dengan paksa ikut bersamaku. Yah, aku tahu sebenarnya Alex juga ingin berada di kelas saat ini, menyaksikan kehebohan yang disebabkan oleh Ben.
"Lu kenapa sih gak suka banget kayaknya sama Ben. Dia baik kok, walaupun dia artis, tapi dia gak sombong." Protes Alex membela Ben. Oke, sekarang semua orang sudah berkhianat padaku karena Ben!
Aku menengadah. "Sekali lagi lu ngebahas Ben, Ben, dan Ben lagi. Gw keluar dari tim futsal."
Alex merebut teh botol dari tanganku lalu menyedotnya kesal. "Dikit-dikit gw keluar dari tim futsal, dikit-dikit gw keluar dari tim futsal," Alex mendumel.
Kucoba merebut kembali teh botol milikku dari tangan Alex, tapi Alex menahannya agar tak direbut kembali olehku.
Aku tahu saat ini dia sedang kesal denganku. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku butuh seseorang yang menemaniku! Apa mereka semua mau membuangku sekarang karena sudah ada Ben? Bahkan Deva tadi tidak menyontek padaku saat ulangan.
"Pakde, bakso Alex tadi uangnya minta sama Devo!" Teriak Alex pada penjual bakso di kantin yang biasa kami panggil dengan sebutan 'Pakde'. Alex melirikku sambil mendelik kesal.
Pakde menunjukan jempolnya "Siap Mas Alex!"
"Oppaa!" Panggil seorang gadis yang tanpa aku menolehpun, aku sudah tahu siapa gadis itu.
Aku tetap menoleh. Bella sudah menyeringai lebar sambil melambaikan tangannya padaku. Aku juga membalas lambaian tangannya sambil tersenyum. Gadis itu manis sekali dan suka sekali menyeringai.
Bella berlari kecil menghampiriku, sepertinya dia dari arah kelasku.
"Vo, gw jatuh.., cinta..," Alex bergumam dengan mata yang penuh menatap Bella. Dia sepertinya sudah terpesona dengan gadis imut itu.
Kalau di dalam iklan-iklan di TV, saat ini pasti ada angin yang membuat rambut Bella yang bergelombang itu melayang-layang tertiup angin. Sementara di mata Alex akan keluar gambar-gambar berbentuk hati yang keluar dari matanya.
Wait!
Alex bilang tadi jatuh cinta? Apa semudah itu jatuh cinta? Hanya pada detik pertama saat kamu melihatnya, dengan mudah kamu bilang kalau kamu jatuh cinta.
Apa cinta se-simple itu?
"Oppa, tadi Bella cari Oppa di kelas kok gak ada?" Tanya Bella. Dia langsung duduk di depanku.
"Bakso, Bell," tawarku tersenyum menunjuk mangkok baksoku yang sudah kosong.
Bella mengangguk. "Oppa ayo balik ke kelas Oppa!" Bella memegang tanganku dan mengoyang-goyangnya.
Aku mengerutkan dahiku. "Mau ngapain? Males ah, di sana sumpek banyak anak-anak." Tolakku halus.
Bella langsung terlihat murung, matanya berkaca-kaca. Aku jadi tak tega.
"Hay, kenalin Kakak alex kembarannya luhan." Alex tahu-tahu sudah berpindah duduk di samping Bella. Dia menjulurkan tangannya pada Bella sambil tebar pesona.
Bella mengerjap. Tesenyum-paksa-dan membalas menyambut tangan Alex. "Bella." Ucapnya cepat dan langsung melepas tangannya dari Alex yang sepertinya enggan untuk melepaskan tangan Bella.
"Bella, gimana udah punya teman baru?" Tanyaku berbasa-basi.
Bella hanya mengangguk dengan wajah yang masih terlihat murung. "Oppa, gak suka yah sama Ben Oppa?" Tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Aku benar-benar tak tega melihatnya.
"Enggak kok. Kenapa juga harus gak suka sama dia?" Elakku mencari alasan.
Bella mengerjap. "Kok tadi waktu berangkat sekolah, Oppa sama Ben Oppa diam-diaman?"
Aku langsung merasa tertohok. Aku tak menyangka Bella menyadari hal itu. "Masih canggung aja." Jelasku tersenyum.
Bella membalas tersenyum padaku. "Oppa jangan benci Ben Oppa yah,"
Aku menggeleng pelan. "Enggalah, gak ada alasan untuk benci sama Ben." Apa itu jujur? Nyatanya saat ini aku punya banyak alasan untuk membenci orang bernama Ben itu!
"Vo, Tari smsin gw terus nih dari kemarin. Katanya, lu gak bisa dihubungi dari kemarin sama dia." Alex menjelaskan sambil menunjukan ponselnya yang berisikan sms dari Tari.
Tari adalah pacarku dari 5 bulan yang lalu. Kami beda sekolah. Dan sekarang aku memang lagi menghindarinya semanjak pertanyaan tentang cinta menggelayuti pikiranku. Dan aku tersadar kalau aku tak mencintainya.
"Biarin ajalah. Kalau dia nanya apa aja, bales aja, gak tahu." Jelasku memberitahu Alex.
Alex geleng-geleng kepala. "Gila lu, Vo. Cewek sebohay Tari jangan sering-sering dicuekin, bisa kecantol cowok lain nanti dia."
"Tari siapa?" Tanya Bella mengerutkan dahinya.
"Pacarnya Devo." Jelas Alex cepat.
Bella mengerjap. "Oppa sudah punya pacar?"
Aku mengangguk.
"Kenapa Oppa punya pacar?!" Desis Bella dan langsung beranjak bangun. "Bella ke kelas duluan!" Pamitnya dengan wajah yang terlihat kecewa.
"Nah lho, satu anak orang lu buat patah hati!" Celetuk Alex. "Pokoknya, lu gak boleh macarin Bella, dia mulai sekarang punya gw."
Aku mengerutkan dahi, dan hanya geleng-geleng kepala sambil mataku terus menatap punggung Bella yang berlari kecil menjauh dari kantin.
Apa aku sudah buat gadis itu patah hati?
-
-
Saat aku berjalan kembali ke kelas, terdengar suara petikan senar gitar dari arah kelasku. Sepertinya anak-anak yang tadi berebut ingin melihat Ben sudah pada membubarkan diri.
Dari jendela kaca kelasku, aku bisa melihat keadaan di dalam kelas.
Ben terlihat sedang duduk di atas mejanya. Teman-teman sekelasku sudah duduk di bangkunya masing-masing dengan menghadap ke arah Ben.
Ben sedang bermain gitar sambil memamerkan suaranya. Suaranya memang bagus. Melody yang dia mainkan menyentuh banget.
aku berhenti melangkah. Kuperhatikan dia dari luar kaca jendela kelas. Dan entah mengapa, sinar matahari dari arah kaca jendela luar seperti sedang menyoroti dirinya. Dia terlihat bersinar.
Deg!
Tanpa sadar, sepertinya aku baru saja mengagumi sosok Ben yang kulihat sedang bersinar karena cahaya matahari.