It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tapi lingga itu siapa?
Keep mention ya...
***
‘Kenapa jadi gay?’
‘Jika di tanya ‘kenapa jadi gay?’. Gw gak pernah tahu apa jawabannya, yang paling sederhana yang bisa gw katakan mungkin takdir? Atau kalau tiba-tiba ada orang yang nanya langsung seperti itu di hadapan gw, maka di depan wajahnya, di depan bulu hidungnya yang bakal bergoyang-goyang karena gw bakalan ngomong super keras, kalimat dan jawaban yang menurut gw paling tepat adalah ‘gw jadi gay karena gw suka laki-laki titik.’ Ya iyalah, orok naek odong-odong juga tahu. Tapi mengapa gw kasih titik, itu karena sifat manusia memang selalu ingin tahu dan selalu ingin bertanya maka seberapapun gw menjelaskan kalo memang dasarnya orang itu gak menyukai gay (menyukai gw) ya sampai kapanpun dia gak pernah mau faham atau sekedar menerima seadanya dan akan selalu bertanya sampai kita benar-benar berada di titik terbawah dari pada dia itu kan yang biasanya orang-orang ingin lakukan yaitu menjatuhkan orang yang ada di atasnya. Toh hanya karena gw begini gak lantas membuat gw berubah haluan memilih makan rumput daripada nasi. Singkat kata Kecuali karena gw lebih tertarik ke laki-laki dari pada perempuan. Selebihnya ya sama, tetap punya sifat-sifat manusia layaknya.’
Igad menekan tombol kirim, apa yang telah di ketik dengan segenap pikirannya itu tampak muncul di kolom halaman sebuah milis pertemanan ‘BoyzForum’. Ia men-scrol halaman itu kebawah, melihat respon lain yang kebanyakan isinya adalah ekspersi tertawa, entah menertawakan kirimannya, entah menertawakan isinya atau mungkin mereka menertawakan diri mereka sendiri yang secara tidak langsung merasa di gambarkan seperti itu.
Dua tahun lalu Igad menemukan sebuah dunia kecil yang berbeda dari dunia besar yang sebenarnya terasa kerdil, di dunia besar ia harus menjadi seseorang dengan nama Igad M. Mauludin, berjenis kelamin laki-laki, berstatus sebagai mahasiswa jurusan Akuntansi yang sedang berusaha mengejar cita-cita di bawah bayang-bayang orang tuanya. Igad akan duduk jika di suruh duduk, Igad akan melompat jika di suruh melompat selama tidak ada yang menyuruhnya untuk berterus terang siapa sebenarnya dirinya. Igad akan tetap seperti itu, patuh sehingga bisa membaur menjadi manusia normal kebanyakan. Tapi Lewat sarana seperti ini, lewat dunia kecil yang ia temui. Igad merasa bahwa untuk pertama kalinya dia bisa menjadi dirinya sendiri melepaskan topengnya dan lebih faham mengenai ‘Percaya Diri’ tanpa takut seseorang akan menghakimi karena di sana ia merasa sama, merasa normal.
Bunyi notif BBM mengalihkan perhatiannya dari layar computer jinjing. Sebuah pesan berkaca di layar handphonenya, dia menggeser tombol lock yang langsung setelahnya sebuah pesan terlihat di sana. Itu adalah pesan BBM dari Lingga
Lingga :
Udah tidur? (read)
Igad :
Belum, Aku nunggu kamu. Kan katanya tadi pagi, kamu bilang ada yang mau di obrolin dan dijelasin tentang kelanjutan chat kita? hahaha kok gw jadi pengen ngomong make aku kamu. (read)
Lingga :
ya gak apa-apa itu artinya kode ke aku, kalo kamu udah mau terbuka. Makasih.
Iya kamu temenin aku, sambil ngobrol sampe jam 10 nanti.
(read)
Igad:
Ya udah, tapi gini aku masih penasaran. Kita gak pernah saling kenal sebelumnya kan? Gak pernah saling ketemu? Aku takut… (read)
Lingga:
Kita gak pernah ketemu, liat aja Facebook aku kan bisa ketahuan siapa aku. Takut kenapa emangnya? (read)
Igad: Beberapa hari lalu tiba-tiba ada yang invite pin aku terus karena aku ngerasa gak nyaman aku DC dia. Takutnya kamu itu dia. (read)
Lingga:
Ya elaah bukan. (read)
Igad:
Ya udah lah gak usah di bahas gak penting, terus kamu mau ngobrolin apaan? (read)
Lingga:
Ini masalah hubungan kita, kamu mau gak belajar mencintai aku? Aku punya ide gila. (read)
Igad:
Ide gila? (read)
Lingga:
Iya, aku mau nembak kamu, terus kita LDR-an, tepat setahun kita jadian kita bakal ketemuan dan mutusin hubungan kita. (Read)
Igad:
Tapi gimana kalo saat itu aku bener-bener jatuh cinta sama kamu? Pasti rasanya bakal sakit banget lo mau tanggung jawab? (Read)
Lingga:
Nah itu masalahnya kamu siap gak? Dalam kata lain kamu mau gak? Euh lupain aja deh anggap aku tadi gak ngomong apa-apa. (read)
Igad:
Lah kok gitu. Iya gw mau gak papa, ya udah tembak gw. Eh tembak aku maksudnya hahaha (read)
Lingga:
Oh ya udah, kalo gitu. Eheeum eeuhm. Igad M. Maulidin bin pulan. Meski Mungkin aku gak bisa selalu ada di dekati kamu. Meluk saat kamu butuh. Tapi mau ngga lo jadi bagian perjalan hidup gw dan tumbuh tua bareng gw. (read)
Igad:
Iya gw mau tumbuh tua bareng lu. Hahaha cara nembak lu manis alih-alih minta jadi BF tapi lu lebih milih make kalimat tumbuh tua bareng-bareng. Jadi kita resmi sebagai suami-suami? Kita LDR-an? (ceklis)
***
Ezka tersenyum memandangi Ben yang memutar-mutar cincin di jari manis tangannya.
“Lo kaya orang yang lagi baca pelet mbeek, kaya dukun yang lagi baca jampi-jampi sambil megang cincin batu aki yang segede jengkol.”
Ben tertawa lirih, “Lo masih belum mau pake punya lo?”
“Dari dulu kan gw selalu pake, selalu gw bawa kemanapun”
“Maksud gw di pake di jari, cincin kan harusnya dipake di jari bukan dijadi-in gantungan kalung kaya gitu”
“Ben, udah deh jangan mulai bahas itu lagi”
“Gw ngerasa aja kalau lo belum mau make cincin itu di jari, lo belum maaf-in gw sepenuhnya”
Ezka mengeluarkan kalung yang tersembunyi di balik kemejanya, kalung dari tali berwana hitam dengan cincin yang dijadikan sebagai bandulannya.
Saat tahun pertama hubungan mereka di selamati. Ben membelikan mereka sepasang cincin dari gaji pertamanya yang sangat ia banggakan. Ben ingin menunjukan pada Ezka bahwa apa yang ia lakukan adalah nyata. Ezka memasangkan cincin itu kejari manis sebelah kiri Ben, namun saat Ben akan memasangkan cincin satunya ke jarinya, Ezka menolak, ia malah menyuruh Ben melepas sepatu model boots gunung kesayangan yang sedang dipakai. Lalu ia melepaskan tali sepatu itu, mengikatnya menjadi sebuah kalung dengan simpul mati dan menjadikan cincin itu sebagai bandulnya.
Sampai saat ini Ben masih mengingat jelas apa yang dikatan
Ezka setelah itu:
‘Lo mungkin gak tahu gimana hubungan kaya gini akan berakhir pada nantinya, bukan karena apa-apa tapi lebih kepada bahwa ada sesuatu yang lebih kuat dari keinginan yaitu kenyataan. Dan itu apa yang selama ini gw fahami saat mengejar lo. Cincin di tangan kiri lo adalah pertanda bahwa ada orang yang menunggu lo dan selalu memerhatikan lo yaitu gw tempat lu untuk pulang. Filosofinya orang memakai cincin dijari manis tangan kirinya adalah bahwa jari manis tangan kiri mempunyai urat nadi yang berhubungan ke hati dan semoga ketika lo liat cincin itu lo selalu inget gw di hati lo meski suatu saat tangan lo bakal menggenggam tangan orang lain dan bahagia lo gak perlu gw lagi untuk ada disana. Tapi apa yang gw lakuin dengan cincin gw adalah begini, lo tahu tali sepatu selalu diciptakan berpasangan tapi meski mereka ingin bersama-sama mereka tidak akan pernah bisa terikat menjadi satu selalu ada sepatu yang melangkah di depan yang akan di ikuti sepatu yang di belakang gw ingin di bimbing sama lo bukan di giring gw akan ikutin gimana lo mau bawa hubungin ini. Dan gw pakai tali sepatu lu buat jadi kalung supaya mengingatkan gw bahwa seberapa jauhpun nanti lo pergi, apa lagi orang kaya lu yang suka traveling manjat gunug kemana-mana. Gw akan selalu ingat bahwa bagian dari langkah lu akan selalu dekat di hati gw karena kalung dengan bandulan cincin ini akan selalu berada dileher gw menggantung mendengarkan hati gw.’
Tapi jauh di lubuk hati Ben, ia tahu bukan sekedar basa-basi seperti itu yang Ben percayai dan ia merasa Ezka melakukan hal itu adalah karena dia belum bisa memaafkan kejadian-kejadian di masa lalu mereka.
***
***
Selama lima tahun menjalin hubungan, tidak pernah sekalipun terlintas di kepala Ezka mengenai masalah pernikahan. Tetapi jika di katakan hubungan mereka hanya main-main apalagi sebatas hasrat seksual, jelas dengan tegas Ezka akan menolak. Bagi pria yang sudah mapan seperti mereka hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan berapa banyak main-main yang bisa mereka lakukan dalam lima tahun jika hubungan mereka hanya bersifat main-main.
Yang jelas tak ada pijakan kokoh dalam dunia seperti ini pikirnya, tak ada orang yang benar-benar bisa membuat ia bergantung selamanya. Ikatan-ikatan tidak mengikat, komitmen dapat berubah setiap saat dan logika kadang tak punya validitas. Mungkin karena hal-hal seperti itu Ezka sudah tidak berani berharap, tidak berani bermimpi. Ia takut kecewa karena semakin ia tumbuh dan tua ia menyadari kenyataan terkadang terlalu menyakitkan.
Menurutnya menikah tidak sesederhana dengan kawin, tidak sesederhana main mata kemudian main kelamin. Menikah itu seperti benang laba-laba yang sekali terjerat mereka berdua terperangkap selamanya. Dan akan terlalu banyak beban-beban baru, terlalu banyak beban-beban yang akan di tumpukan di bahu oleh teman-teman mereka, oleh hubungan baru mereka bahkan lingkungan pergaulan mereka. Bagi Manusia yang katanya berbeda seperti dia, sebuah pernikahan itu seperti utopia yang ketika dia mendekatinya selangkah, pernikahan akan menjauhinya sebanyak langkah yang di ambil dan selamanya akan menjadi sesuatu yang takan pernah terjangkau dan terjamah. Pikirannya kembali berkumpul melihat pria di depannya yang dari tadi masih memperhatikan.
Ia melihat kembali cincin yang kini sudah di pegang ditangannya. Cincin yang masih terikat menjadi bandulan sebuah kalung yang terbuat dari tali sepatu. Ia memberikan cincin itu kepada Ben, sejenak Ezka menggenggam erat-erat tangan Ben ada rasa takut di hatinya, perasaan itu seperti api di lilin yang ada di meja mereka, meliuk-liuk yang sekali hempas saja akan mati tiba-tiba. Sejenak keduanya diam, Ben masih tidak bisa menebak apa maksud Ezka. Dan Ezka juga masih belum menjawab persoalan apakah dia masih belum memaafkan kejadian di masa lalu. Ketika Ben mencoba menatap matanya seakan mempertanyakan. Ezka malah menjauhkan pandangannya, memilih memandang lautan di depan mereka, memandang obak yang tidak terlalu tampak tapi suaranya terdengar, memandang langit diangkasa dan menerka-nerka apa yang ia lihat berkilauan di langit itu bintang atau planet. Dan tiba-tiba ia teringat sebuah diskusi mengenai Planet Pluto yang selama ini di kategorikan sebagai planet pada akhirnya ternyata bukan. Dan Ezka takut bahwa apa yang di rasakannya akan berakhir seperti itu, ia takut cinta yang dia rasakan sebenarnya bukan cinta.
“Hello Stranger? IS Pluto a planet?” Ezka kembali menatap mata Ben.
“Yes Stranger, Pluto Is planet,” Ben menjawab, mencoba meyakinkannya. Ia membalik tangan Ezka yang masih di pegangnya kemudian mencium punggung tangan itu.
Ezka tersenyum.
Malam semakin larut di beranda restaurant Samudera Beach Hotel itu, di kejauhan lautan dan langit semakin saru. Kapal-kapal nelayan sisa kerlip lampu yang terlihat, bintang dan bola lampu itu membaur entah mana yang nyata entah mana yang palsu. Di kejauhan seorang pria paruh baya tampak bergegas dengan istrinya mengikuti seorang pelayan yang mendahului mereka. Si wanita duduk ketika si pria menarik kursi mempersilahkannya untuk duduk. Samar-samar Ezka bisa melihat wajaah pria itu andai saja pandangannya masih setajam dulu. Tapi jelas ia masih bisa melihat dan mengenalinya. Semudah ia mengenali bayangan dirinya sendiri.
“Surya?” Ezka membatin, tiba-tiba ia teringat pria dari masa lalunya.
***
‘Everyone calls you by your name, but only one person can make it sounds special’. Itu mungkin kata-kata yang kini terngiang-ngiang di pikiran Igad, setelah beberapa hari lalu Lingga menelponnya untuk sekedar bertukar sapa dan mencoba mengenalnya lebih dekat, seseorang yang mencintainya yang juga sedang belajar dia cintai menyebut namanya di telefon. Hampir semalaman suntuk mereka bebicara mulai dari bertanya basa-basi sudah makan apa belum sampai akhirnya Lingga memberi tahu bahwa dia adalah seorang yang mempunyai hobi panjat gunung yang sebenarnya juga impian yang belum pernah di wujudkan oleh Igad selama ini. Dan tepat satu bulan mereka jadian yaitu tanggal 25 nanti, Lingga akan pergi ke Semeru setelah jauh-jauh hari merencakannya, ada sesuatu yang terasa sesak di hati Igad namun ia tidak mengerti kenapa.
Sudah lebih dari tiga hari dan di tambah hampir seharian ini Igad dengan motornya, berputar-putar ke sana kemari mencari sebuah boneka beruang yang dia lihat di mimpinya setelah semalaman mengobrol di telfon dengan Lingga. Di mimpinya itu Igad memberikan sebuah boneka beruang yang super besar kepada Lingga sebagai hari jadi mereka yang kesebulan, terasa berlebihan mungkin pikirnya dan terasa norak tapi entah kenapa dia jadi ingin melakukan hal seperti mimpinya itu. Lantas dari pagi-pagi buta dia sudah pergi kembali mengunjungi beberapa toko souvenir dan boneka mencoba mencari yang persis seperti di mimpinya Boneka beruang warna kreme namun tetap nihil. Dan kini dia sudah berada di sebuah pusat perbelanjaan, tempat terakhir yang menjadi harapannya untuk mencari boneka itu setelah merasa semua toko di kota itu telah di ubek-ubeknya. Sejenak Ia duduk dengan lemas memulihkan tenaga di sebuah bangku yang menghadap kelantai 1.
“Door!!” Seseorang menganggetkan Igad dari belakang.
“Kampret..,” Igad kaget. Lalu wanita yang menepuk pundaknya tadi terlihat tertawa lantas Igad melanjutkan bicara. “Sophie… Kaget gw… ampir jantung gw mau salto.”
“Ceuilah… Ngapain lu bengong di sini”
“Gw lagi nyari sesuatu Soph, lo lagi ngapain? Eh Btw apa kabar?”
“Baek, gw lagi jalan-jalan aja nggak ada kerjaan, nyari apaan lu yang bening-bening?”
“ Dasar lu, adalah kepoo.” Jawab Ezka sedikit ketus. Di kejauhan seorang anak kecil tampak berlari ke arah mereka di ikuti seorang pria yang tampaknya adalah bapak Si anak di lihat dari cara dia mengkhawatirkan si anak yang takut terjatuh ketika berlari setengah melompat-lompat.
“Wah dek liat mamah kamu selingkuh ama orang lain,” Si pria yang baru tiba membuka percakapan. Kemudian dia tertawa.
Ben tampak sedikit terkejut, sejenak melihat anak kecil itu yang kini sudah ada di pangkuan Sophie, kemudian berpindah melirik pria yang bernama Dimas dan terakhir menatap Sophie tak percaya.
“ Udah hasil lu berdua?” Ezka masih berwajah bingung
“ Iya anak gw ” balas Sophie seolah sudah membaca apa yang di maksudkan Igad mengenai rasa bingungnya.
“ Hebat juga otong lu Dimas,” Kata Igad, mereka bertiga lalu tertawa.
Igad tiba-tiba mengingat masa lalunya dengan Sophie. Masih seperti baru rasanya saat itu, kejadian yang dulu sekali ketika Sophie berkata kepada Igad bahwa ikatan yang terjadi antara ia dan dirinya tidak sesederhana ikatan sepasang sahabat. Ada sesuatu yang lebih. Yang tanpa di jelaskan lebih lanjutpun sebenarnya Igad tahu maksudnya namun ia lebih memilih untuk pura-pura tidak mengerti. Jauh di dalam hati yang terdalam, sebenarnya Igad juga memiliki hal yang sama kepada Sophie namun ia tidak yakin akan hal itu karena pada saat bersamaan dia juga menyukai orang lain. Dan akhirnya perbincangan mereka berakhir menggantung dengan pertanyaan terakhir Sophie “Apa mungkin lo jatuh cinta ama gw?”
Kemudian suatu hari Igad mendapat pesan singkat dari Sophie, yang menyatakan bahwa dia ingin bertemu di Café tempat biasa mereka hangout, sebenarnya igad sudah mencoba berbagai macam hal agar mereka tidak jadi bertemu namun ia mengurungkan niatnya itu dan menyetujui untuk datang ke Cafe. Igad merasakan firasat bahwa hari itu secara langsung Sophie akan bicara mengenai perasaanya, secara seluruhnya dan mungkin saja dia akan ‘menembaknya’ meski kadang ia berpikir wanita nembak pria adalah hal mustahil. Tapi bagi orang yang namanya di mabuk cinta gak ada yang namanya hal yang mustahil semuanya bisa terjadi. Kaya istilah kalau lagi jatuh cinta, tai kotok bisa jadi rasa coklat. Dan mengingat istilah itu Igad mencoba menemukan berbagai cara untuk menolak Sophie apabila benar kejadiannya akan demikian. salah satu cara yang di persiapkannya adalah membaca sebanyak mungkin hasil pencarian di google dengan kata kunci ‘Cara menolak orang’.
***
***
Hampir sore waktu itu, ketika Sebuah mobil mewah berkaca gelap tampak berbelok perlahan kearah sebuah gerbang dengan papan penunjuk bertuliskan ‘IN’. Mobil itu berhenti sejenak di depan sebuah kantor resepsionist, tak ada tanda-tanda bahwa si empunya mobil akan keluar dari mobil mewahnya, dengan santai ia hanya membunyikan klakson. Seorang lelaki berseragam terpogoh-pogoh keluar dari kantor itu dengan memegang segenggam kunci di tangan sambil memberi isyarat kepada si empunya mobil untuk mengikutinya berjalan. Mobil itu bergerak seperti siput mengikuti pria berseragam, menyusuri Jalan setapak yang sedikit basah karena hujan baru saja turun. Tepat di depan sebuah garasi dengan roling door si pria berseragam mengarahkan mobil itu untuk masuk kedalam dan perlahan-lahan mobil mewah itu tenggelam ke dalam garasi beserta bayangannya
Dari dalam mobil Ezka bisa melihat pria berseragam itu pergi setelah mengantongi beberapa lembar uang lalu menyerahkan kunci kamar kepada si empunya mobil yang kini memberinya tanda untuk turun dan segera masuk mengikutinya. Ezka turun dari mobil sejenak memperhatikan pria itu yang dengan sekali ‘klek’ membuka kunci motel di hadapan mereka. Pintu itu terbuka, menunjukan ruangan yang cukup luas bercat putih dengan ranjang ukuran King Size dan jendela yang menghadap ke arah perkotaan. Ezka mendekati jendela itu, dari sana ia bisa melihat pemandangan kota yang seperti kerumunan sarang semut sedangkan sisanya pohon-pohon cemara berjejer di sepanjang lekukan jalan. Tiba-tiba sebuah tangan terasa melingkari pinggangnya, di ikuti mendekapnya sebuah tubuh paruh baya dari belakang yang disusul sebuah ciuman mesra di lehernya.
“Kamu lihat apa sayang? Aku kangen,”
“Mas, Gombal,” Jawab Ezka. Ia menggerakan tangannya mencoba membuat tangan Surya, pria paruh baya si empunya mobil yang kini sedang memeluknya, agar semakin erat. Kemudian Ezka memutar tubuhnya, melepaskan tangan Dimas perlahan-lahan yang mulai mengirimkan sinyal-sinyal seksual tubuh mereka ketika saling bergesekan. Kini posisi mereka saling berdiri berhadapan, Surya kembali melingkarkan tangannya membuat tubuh mereka berhimpit erat. Sesuatu terasa menegang di bawah sana. Surya kemudian menggenggam erat kedua tangan Ezka menyatukannya di depan tubuh kemudian menciumnya. Lalu perlahan Dimas mengecup kening Ezka, mengecup tulang hidungnya namun ketika akan mengecup bibirnya Ezka menolak perlahan. Surya terdiam sejenak melihat mata Ezka yang mencoba menghindari pandangannya, lalu melanjutkan ciumannya di leher Ezka, mendesah perlahan di telinga sebelum mengigit cupingnya. Dan seingat Ezka entah bagaimana Surya sudah berhasil membuat mereka berdua telanjang bulat mempertontonkan kegagahan masing-masing.
***
Di café siang hanya tinggal sepotong, di langit awan-awan di gulung ketat seakan ingin memperlihatkan kening matahari yang sudah sebulat kuning telur di barat. Igad tiba lebih dahulu dengan kaos putih oblong dan celana jeans yang sedikit bermodel rombeng, kemudian Sophie tiba menyusulnya dengan gaun hitam panjang yang menyapu lantai, Igad tidak pernah melihat Sophie secantik hari ini dengan rambut yang sengaja di gerainya alih-alih biasa di ikatnya. Dandanan Sophie terasa berlebihan dalam artian membuat Igad malu yang datang dengan memakai baju seadanya jeans robek dan kaos oblong, terakhir Sophie berkata bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Dan tiba-tiba pikiran Igad teringat ke kata kunci pencarian di google itu.
“Lo tau gak rasanya sakit hati itu gimana?” Sophie memulai pembicaraan.
“Gw tahu,” Jawab igad sekenanya. Yang mencoba menebak apa maksud dari perkataan Wanita di sampingnya.
“Gak, lo gak akan pernah tahu, karena kalau lo tahu lo pasti menghargainya.”
Igad sejenak diam, dia tidak tahu harus menimpali atau tidak. Tiba-tiba saja Igad melihat kantung air mata Sophie sudah membuncah, yang sekali sentil saja kantung itu akan pecah meluberkan isinya dari a sampai z. Igad mencoba menenangkan Sophie dan merebahkan dibahunya Sophie mulai menangis ia mencengkram erat kaos oblong Igad. Entah bagaimana selama mereka bersahabat air mata itu selalu tau tempat yang pas untuk berpulang, bahunya, bahu Igad. Yang kata Sophie satu dari seribu sahabat yang dia miliki, satu yang selalu ada disaat suka duka dan tertawa namun, Menurut Sophie Igad tak pernah mengerti atau mungkin pura-pura tidak mengerti.
Tangan kiri Igad terangkat, seorang pelayan mendatangi meja tempat mereka berada. Entah dia atau pelayan yang tersenyum duluan seakan minta dimaklumi dengan tidak sopan memakai tangan kiri untuk memanggil, karena saat ini wajah Sophie minta untuk kusut di bahu kanannya, Igad tidak punya pilihan. Ini bukan kali pertama, bisa di bilang café ini Basecamp mereka. Si pelayan itu mengagguk saja saat Igad bilang pesanan seperti biasa. lalu tiba-tiba Igad melupakan hapalan yang dia temukan di pencarian googlenya mungkin firasatnya salah. Sophie ingin menemuinya sekedar untuk curhat bukan menembaknya.
Segelas lemon tea dan secangkir kopi diantar tidak berapa lama, Sophie menegakan duduknya. Meninggalkan kusut dan masa lalu di bahu Igad. Igad sudah bersiap, bila tahap pertama itu sudah berlalu berarti ritual selanjutnya akan segera dimulai. Lalu Sophie membuka kamus kenangan sendunya yang halamannya benar-benar tebal. Bukan hanya karena terus ditulis dan ditulis ulang tetapi karena yang sulit baginya bukanlah melenyapkan kenangan melainkan ketidakmampuan untuk belajar merelakan. Bukannya selalu begitu? Selama hidup manusia konstan mengeluh dan mengaduh, tapi begitu hidup ingin menarik diri, mereka tidak pernah rela.
“Lu harus belajar merelakan Soph”
Sophie hanya terdiam, seakan-akan kata-kata Igad tadi membuatnya patah hati. Mulut Igad terasa kecut seperti irisan lemon yang masih setia di bibir gelas pikirnya.
“Gw mau ke toilet sebentar, makasih lo udah ada dan ngingetin,” tak ada hal lain saat ini yang ingin di sampaikainnya ia sudah terlalu lelah. Sophie berjalan, siluetnya menghilang saat berbelok di selasar.
Igad memandangi Sophie yang berjalan di kejauhan, kembali menuju ke meja tempat dia berada, tapi ada yang lain di belakangnya, seorang pria berjalan mengikuti. seseorang yang sudah tidak asing lagi bagi Igad, ia adalah Dimas teman di kampusnya. Mereka berdua tiba. Sophie sudah terlihat cantik lagi setelah sebelumnya dia menangis. Sedangkan menurut Igad , Dimas yang datang menyusulnya juga tampak serasi dengan kemejanya yang secara tidak sengaja Igad melontarkan gurauannya ketika mereka berdua tiba di hadapannya.
“Wah lu ganteng malem ini Dimas, kalau gw cwe pasti udah naksir. Nah kebetulan, gw pikir ada yang lagi nganggur di sini dan kalian berdua pasti cocok,” canda Igad, matanya melirik kearah Sophie.”
Dimas tertawa, “Ya, udah ayu jalan keburu kemaleman.”
“Jalan?” Igad bingung. “Kemana?”
Sebelum sempat menjawab, sebuah telefon berbunyi dari saku Dimas, dia mengeluarkan telefon itu dan memberi tanda ke mereka berdua untuk segera menuju keluar. Dimas berjalan meninggalkan Sophie dan Igad sambil bercakap-cakap di telefon.
“Jalan kemana Soph?” Igad masih tertegun. “Sama Dimas?”
“Iya,” lirih sophie. “Malam ini, gw mau lo jadi saksi bahwa di dunia ini pernah ada seekor kucing yang memperjuangkan cintanya sampai akhir, meski dengan cara membuat dirinya terlihat lebih bodoh, dia bahkan harus pura-pura percaya bahwa ketika dia mengungkapkan perasaannya ke pada Bintang Jatuh, Bintang Jatuh itu bersikap tidak mengerti apa yang Si Kucing maksudkan dan yang bisa dia lakukan hanya tersipu tolol. Karena meskipun cinta itu sudah lebih dekat di bandingkan dekatnya urat nadi dan leher. Cinta itu di anggap Oleh Bintang Jatuh hanya sebatas udara yang masuk ke paru-paru lalu dengan mudah di lepaskan. Dan pada akhirnya di depan Bintang Jatuh itu Si kucing menunjukan bahwa dia tidak akan pernah mengejarnya lagi selamanya, mengubur jauh-jauh dan memilih menghargai orang lain yang juga sudah lama menunggunya, karena Si kucing tahu mengejar sesuatu yang seperti utopia itu melelahkan karena setiap selangkah mengejarnya dia juga akan menjauh selangkah.”
Mata Igad membulat.
Sophie ingin mendengar sesuatu dati mulut Igad namun karena tak ada yang terdengar Sophie melanjutkan.
“Malam ini gw sama Dimas tunangan,”
“Tunangan? Lo sama Dimas?” Igad masih tak percaya. “Sejak kapan lo..”
Saat itu Igad merasakan istilah bagai di sambar petir di siang bolong. Sophie akan tunangan dengan Dimas, sesuatu yang menurut Igad terasa terlalu cepat untuk masuk kepikiran atau mungkin tidak? Mungkin sebenarnya ketika Sophie beberapa hari yang lalu berkata kepada Igad bahwa dia menyukainya sebenarnya Sophie ingin diyakinkan karena pada saat itu juga Dimas menembaknya dan belakangan Igad tahu karena orang tua mereka sahabat lama mereka ingin anaknya lanjut melakukan pertunangan. Dan selama ini Sophie ingin di yakinkan apakah Igad akan menerima cintanya atau ia harus menerima Dimas. Namun Igad tak pernah membalas seperti yang di harapkan. Mungkin akhirnya Sophie terlalu lelah untuk mengejar Igad.
Dan Sampai saat ini tanpa pernah Dimas ketahui dua orang sebenarnya patah hati hari itu. Sophie patah hati karena Igad dan Igad patah hati karena Dimas. Dan sejak itu juga tiba-tiba Igad merasa kehilangan keduanya terlebih lagi ia merasa kehilangan Sophie. Dan rasanya kehilangan seseorang yang selama ini terasa menganggu karena mengejar-ngejarnya adalah seperti sebuah karma kini dia yang merasa ingin balik mengejarnya. Tapi setelah itu tak ada yang bisa dilakukannya. Beberapa bulan kemudia undangan datang ke rumah Igad. Beberapa tahun mereka tidak bertemu karena Sophie mengikuti Dimas ke Jerman yang melanjutkan Studi di sana.
“Hei, lu malah ngalamun,” Suara Sophie, meruntuhkan siluet-siluet masa lalu itu, dan membangun kembali kenyataan saat ini. Mereka bertiga dan setengah bila di hitung dengan anak Sophie dan Dimas sedang berada di pusat perbelanjaan.
“Hah, euh kaga,” Igad mencoba menutupi rasa kagetnya dengan tertawa. “Nama anak lu siapa?”
“Nattan,” Jawab Sophie. “ Say Hello to Uncle Igad, Nattan.” Sophie menggendong Anaknya, yang terlihat tertawa gemas.
“Uncle, idih gw udah jadi Paman aja…” Dengus Igad. “Hello Nattan?” Pangilnya mencoba menarik perhatian anak itu.
***
***
Dua jam sudah mereka ada di sana, Pandangan Ezka sesaat tertuju pada cermin di ruangan itu yang kini basah berembun, sebagaimana basahnya dua pantulan manusia di atas tempat tidur porak-poranda yang terpampang di sana. Ezka bisa melihat salah satu pantulan di cermin tersebut adalah pantulan dirinya yang telanjang bulat di himpit tubuh Surya yang berpeluh dan terdengar melenguh, “ouhhh Fuckhhh”. Ezka memperhatikan mata Surya yang setengah terpejam, kepalanya tengadah dan mulutnya yang kembali mendesah. Tubuh Surya belingsatan tak karuan ketika mencapai orgasmenya, kemudian ia mencium kening Ezka. Sejenak hening terasa, meninggalkan suara nafas yang terpenggal-penggal saling bersahutan di sana yang perlahan mereda. Sampai akhirnya Surya mengeluarkan kemaluannya dari tubuh Ezka melepaskan kondom yang dipakai, mengikatkan ujungnya lalu bergegas ke kamar mandi.
Di kaca kamar mandi Ezka merapihkan pakaian, menyisir rambutnya ke samping, lalu memperhatikan Surya yang tengah mencuci diri di bawah siraman air hangat shower motel ini . Ia membuka sebuah pembungkus sabun yang ada di wastafel lalu menyerahkannya kepada lelaki itu yang langsung ditolaknya mentah-mentah.
“Kenapa Mas, kamu takut ketahuan istri kalau nanti kecium bau sabunnya beda?” Mimik Ezka cemberut.
“Bukan begitu, aku alergi kalau sembarang pakai sabun.”
“Kamu memang paling pintar kalau cari alasan, Mas.”
“Aku bukannya banyak alasan, memang alasannya cuman satu, aku alergi sabun murahan!” Tukas Surya sambil mematikan shower lantas mengeringkan badannya dengan handuk.
“Coba buktikan kalau berani, aku mau lihat apa mas Surya benar-benar berani.”
“Kamu ini memang tak masuk akal. Aku Sudah selesai mandi kok mau disuruh mandi lagi?”
“Cinta memang tak masuk akal, Mas. Tak masuk rasio. Emang hubungan kita masuk akal? Ayo buktikan atas nama cinta!”
“Udahlah yang jangan kekanak-kanakan kek gini…” Surya buru-buru keluar kamar mandi menghindari pertengkaran. Ezka mengikuti dari belakang, Surya acuh tak acuh mengenakan pakaiannya.
“Kok buru-buru?” Ezka berkata dengan manja sambil membuka kembali rel sleting celana Surya.
“Ezka….!”
Ezka segera tahu kalau Surya mulai serius dengan cara memanggil namanya tanpa embel-embel sayang.
“Mas pengecut! Benar kan, Mas masih takut istri, Mas Gombal. Katanya kangen”
“Aku ada meeting, Ezka… tak enak dan tak pantas kalau aku datang telat.”
“GOMBAL”
Surya menghela nafas. ia kembali mengakftikan telefonnya. Kalimat Home Calling berkedip-kedip, Surya berlari keluar motel lalu ke garasi menyalakan mesin mobil lalu menerima telepon
“Kok ponselmu dari tadi mati?” Suara perempuan terdengar di telefon.
“Dari tadi aku meeting baru selesai ini, sekarang sudah di jalan,” Surya pura-pura membunyikan klaksonnya.
Sedang Ezka memperhatikannya dari balik pintu motel.
Ya Memang seperti itu. Biasanya Surya akan pergi lebih dulu kemudian Ezka akan pergi sesudahnya seakan-akan di antara mereka tak terjadi apa-apa, menyisakan seprei kusut dan sisa kondom yang belum terpakai. Dalam kamar motel ini, dalam senyapnya Sore yang menuju malam, Yang terdengar hanya suara mesin mobil yang di panasi, tiba-tiba Ezka merasa seperti sabun motel murahan atau mungkin kondom bekas? yang sekali pakai bisa di buang kapan saja.
Tiba-tiba di luar hujan turun, awan seperti di peras keras-keras melihat air hujan turun pelahan lalu begitu banyak.
Ezka membenci hujan di malam hari karena selalu membawa sesuatu yang magis, membenci hujan di malam hari yang selalu menebar bau rindu dan masa lalu.
Hujan di malam hari.
Ezka teringat.
***
“Eh kebetulan tadinya gw mau kerumah lo, ketemu si mamah juga mau ngasih tau kalau anak gw minggu depan mau ulang tahun, sekalian kumpul udah lamakan gak pada ngumpul. Gw ama suami gw lagi nyari barang buat ultahya Ezka, ya udah yah gw duluan awas jangan lupa dating.” Sophie pergi meninggalkan Igad yang masih setengah tidak percaya kalau mereka bertemu di sana.
“Bayi, anak-anak, remaja, dewasa, menikah, punya anak, tua pension, gendong cucu,” Igad membatin. “Siklus manusia normal,” Ia menghela nafas yang terasa seakan sesak, ada rasa iri yang menggelayut. Tapi tiba-tiba bayangan Lingga hadir di benaknya yang entah kenapa sesaat bisa membuatnya merasa tenang.
Dua jam kemudian Igad tampak menaiki sebuah escalator yang menuju ke lantai satu. Ia tampak memeluk sebuah boneka beruang cukup besar, karena tidak ada kantong yang cukup besar untuk memasukan ke dalamnya. Orang-orang tampak tersenyum memperhatikannya dengan segala bayangan yang ada di pikiran mereka, yang satu mungkin berpikir betapa romantisnya menjadi pasangan pria ini yang akan di berikan kado boneka yang besar yang secara susah payah dia bawa kemana-mana. Mungkin yang lain akan beruntung betapa bangganya punya ayah dan suami seperti dia yang mau
bersusah payah membelikan boneka anaknya.
Tapi tak ada waktu untuk memikirkan hal seperti itu di kepala Igad, meski hatinya senang karena akhirnya dia menemukan boneka yang mirip seperti di mimpinya dan membayangkan ketika mendapat hadiah itu Lingga akan terkejut bingung dan senang. Tapi dilain hal tubuhnya benar-benar terasa lelah. Ia lalu melihat jam di tangannya yang menunjukan hampir pukul enam sore. Tiba-tiba ia teringat bahwa Lingga hari ini akan berangkat ke Semeru. Dengan susah payah ia merogoh saku celananya, mencoba mengambil handphone di kantongnya. Dia mencoba mengecek panggilan atau mungkin pesan singkat yang di kirim oleh Lingga sebagai tandai dia pamitan dan meminta doa semoga perjalanannya lancar dan selamat. Tanda batre di layar Handphonenya terlihat merah di ikuti pesan Lowbatt yang kemudian secara otomatis layar handphone itu memburam mati. Igad merasa tidak tenang diri, dia mencoba berjalan ke sana kemari tanpa tahu apa yang ingin di pikirkannya sampai akhirnya yang dia butuhkan hanyalah cara untuk men-charge Handphonenya agar bisa secepatnya menyala. Ia benar-benar takut bahwa Lingga saat ini Lingga bersusah payah mencoba menghubunginya sekedar ingin berpamitan bahwa dia akan pergi ke semeru atau mungkin igad takut kalau saat ini Lingga sedang mengecek berulang kali pesannya yang tidak bisa terkirim ke Igad.
Igad mencoba tenang, hal pertama yang membuatnya sadar adalah ia harus segera pulang, men-Charge Handphonya karena Lingga pasti sedang khawatir memikirkan mengapa dia tidak bisa mengubungi Igad. Tetapi ketika sampai di pintu depan, Igad melihat bahwa dia tidak mungkin pulang saat ini karena hujan mulai turun, dia mungkin mengendarai motornya. Pikiran kedua yang hadir adalah dia harus menuju ke konter handphone membeli Charger baru dan sebentar dengan tanpa malu ikut mengisinya di sana, tapi setelah ia sampai di lantai tiga pusat toko-toko seluler di sana sudah semuanya tutup menyisakan counter yang tidak memiliki stock charger untuk yang dimilikinya. Igad keluar dari counter terakhir yang di masukinya kemudian memasuki Lift menempelkan tubuhnya di samping dan dengan nafas dan kaki yang lemas dia jatuh terduduk kelantai lift sampai akhirnya lift terbuka di lantai satu dan di kejauhan dia bisa melihat Sophie dan keluarga kecilnya yang sedang duduk di sebuah Foodcourt, dengan sisa tenaganya dia berlari menuju Sophie yang terlihat kaget melihat Igad datang menghampirinya membawa sebuah boneka dengan muka merah dan nafas tesenggal-senggal.
“Soph liat hape lu.” Nafasnya terengah-engah.
Sophie yang masih bingung dengan sendok di mulutnya. menunjuk sebuah handphone di sampingnya yang masih satu merk dengan Handphone Igad.
“lu bawa Charger-ran?”
Sophie mengganguk dengan sendok makan yang masih berada di mulutnya. Igad terduduk lemas kelantai dengan perasaan bersyukur yang luar biasa.
Kabel Charger itu sudah menyambung ke handphone Igad, dengan sekeras-kerasnya ia mencoba menekan power handphone agar cepat menyala. Di sampingnya Sophie tampak mengipasi Igad dengan daftar menu sedangkan Dimas tampak pergi ke counter Foodcourt itu memesan minuman untuk Igad. Ezka yang beberapa saat lalu duduk tak mau diam kini memperhatikan boneka beruang yang ada di depannya.
Handphone itu menyala, sesegera mungkin Igad mengecek daftar panggilan, tapi tak ada panggilan masuk. Kemudia dia mengecek kotak pesannya tetapi sama, ia mengecek BBMnya tetap tidak ada, begitupun Path-nya tapi apa yang di harap-harapkannya tidak berhasil dia temui sampai akhirnya dia membuka akun Facebooknya. Layar itu masih berputar menunjukan bahwa Page facebook masih dalam keadaan reload. Tiba-tiba sebuah pesan masuk, dengan tergesa-gesa dan hati sedikit lega ia membukanya:
Nyariin apa sih lo? Serius amat. Mending lo minum dulu kaga kerasa apa tubuh lo dehidrasi kaya gitu?
Igad memandang orang yang dari tadi mengipasinya, pesan itu dari Sophie bukan dari Lingga. Yang kini sudah tersenyum di hadapannya menyodorkan segelas minuman dingin, sesuatu terasa mencelos di hatinya, ada rasa aneh yang mungkin sebenarnya penyesalan tentang apa yang mungkin selama ini telah dia sia-siakan. Igad melihat sepasang suami
istri itu tersenyum kepadanya.
Page Facebook itu kini sudah terpampang di layar, di beranda Igad bisa melihat sebuah foto dari Lingga yang sedang berada di sebuah bis, seorang wanita dan beberapa orang lainnya beserta Lingga tampak tersenyum di sana. Postingan itu di ikuti Tulisan ‘Semeru aku datang dengan teman’.
Ia bersyukur Lingga sudah berangkat dan selamat. Dalam hatinya Igad tertawa kecut, menertawakan dirinya, entah apa yang sebenarnya dia pikirkan dan lakukan dari tadi. Lingga akan pamit kepadanya? Memangnya siapa dirinya? Dia tidak special di matanya sampai-sampai mengapa dia harus pamit ketika akan pergi dan harus bilang ketika akan kemanapun. Dan tanpa dirinya Lingga bisa tersenyum bahagia bersama teman-temannya.
Boneka beruang itu terjatuh kelantai, Ezka tertawa berjingkrakan saat melihatnya dan sekonyong-konyongnya berkata “Teddy..”
Igad tersenyum, “Ezka suka boneka? Mau Teddy ini?”
Ezka menggerak-gerakan tangannya ke depan tanda sangat senang
Sophie dan Dimas bergantian silih pandang, seakan-akan ingin bertanya.
“Ezka ulang tahun kan minggu depan, ini hadiah untuknya,” Kata Igad setengah tercekat.
Igad melihat, tiba-tiba di luar hujan turun lagi, awan seperti di peras keras-keras melihat air hujan turun begitu banyak.
Igad membenci Hujan di malam hari karena selalu membawa sesuatu yang magis, membenci hujan di malam hari yang selalu menebar bau rindu dan masa lalu.
Hujan di malam hari.
Igad teringat.
Bahwa ia kini seperti seekor kucing yang kehujaan, kedinginan, kesepian, di tengah keramaian mereka seperti tidak di inginkan.
***
@_abdulrojak
@Rifal_RMR
@JimaeVian_Fujo
@lulu_75
@Aurora_69
@harya_kei
@Tsu_no_YanYan
@yeniariani
@3ll0
@Otho_WNata92
@hyujin
@j4nji
@rizal_91leonardus
@Rikadza
@lucifer5245
@abyyriza
@terry22
@rama_andikaa
@Gabriel_Valiant
@ramadhani_rizky
@Akang_Cunihin
@Sho_Lee
@raw_stone
@Rars_Di
@haha5
@haikallekall
@ffirly69
@gilang22
@viji3_be5t
@LostFaro
@nakashima
@kie_kow
@littlemark04