It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ambo rasa uda @Aurora_69 masih sibuk nian nii....
Uda @Aurora_69 alun ado lai caritonyo? Alah dakek tigo minggu iko haa...
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3
@JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo
@PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova
@jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro
@new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18
@delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia
@diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku
@ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan
@Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie
@sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday
@Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran
@rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto
@Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream
@shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji
@abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar
@kaha @blasteran @BN @dian_des
@Pyromaniac_pcy @melkikusuma1
@asik_asikJos @opatampan @The_jack19
@ori455 @lukisan_puisi @usernameku
@dadanello @boncengek3 @earthymooned
@gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama
@OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif
@satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa
@Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay
Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.
Part 37
Jam baru menunjukan pukul enam lewat tiga puluh lima menit ketika gue sampai didepan gerbang sekolah. Gue melambaikan tangan ke papa yang berlalu dengan mobilnya meninggalkan kompleks sekolah. Begitupun dengan adik gue, Fandi -yang kebetulan ditebengin papa- juga melambaikan tangan kearah papa.
Gue memandang kearah sekolah yang sepi melompong. Hanya ada Pak Syafii, penjaga sekolah yang nampak menyapu-nyapu area parkir. Selebihnya adalah bangunan besar yang bernama sekolah yang seperti menatap gue dengan kesedihan.
"Ayo kak!" Fandi menarik narik lengan baju gue. Gue menatapnya lalu tersenyum melihat mukanya yang seperti biasanya ceria.
Sebuah pesan masuk, membuat handphone buntut gue bergetar.
'Lo dimana sih? Masih ngolor juga, Gue udah didepan rumah lo nih.'
Gue menghembuskan nafas, sambil menutup pesan dari Askar. Dia pasti ngamuk besar nih sekarang karena gue tinggalin dia tanpa ngasih kabar. Dia pasti nggak bakalan terima jikalau gue tiba-tiba bilang nggak mau dijemput pagi ini, dan bakalan tetap jemput walau udah gue larang.
Handphone gue kembali bergetar, gue membuka handphone gue dan mendapati nama Askar disana. Sejenak, gue sedikit ragu keputusan apa yang bakalan gue ambil. Mengangkat atau membiarkan panggilan Askar. Gue menatap Fandi sejenak -yang juga menatap gue-, sebelum gue menarik nafas dalam, mayakinkan diri gue sambil mengangkat panggilannya.
"Halo?"
"..."
"Maaf kar, gue udah disekolah sekarang."
"..."
"Gue diantar papa. Sama Fandi juga. Maaf ya kalo gue nggak bilang-bilang ke elo sebelumnya.."
"..."
"Iya. Bye."
Gue menutup handphone gue dengan jantung berdegup kencang. Syukurlah dia nggak marah ke gue. Gue nggak sanggup melihatnya marah ke gue, sampai ngambek nggak karuan, dibalik kenyataan bahwa Askar akan ninggalin gue dan gue yang harus ngejauhi Askar demi keselamatan Askar dan orang tua gue.
"Dari kak Askar ya kak?" Tanya Fandi membuyarkan lamunan gue.
Gue mengangguk.
"Kakak kok nggak barengan sama kak Askar kak?" Dia menatap gue penasaran.
Gue menatapnya heran. Darimana dia tahu kalau gue sering bareng ke Askar kesekolah. Secara guekan biasanya pakai helm kok.
"Fandi tahu kok, kalau yang diboncengi kak Askar itu kakak. Kan Fandi naik angkot yang sering disalib oleh kak Askar, so Fandi tahu aja kalau yang diboncengi kak Askar itu kakak." Jadi nih anak naik angkot ugal-ugalan yang sering melanggar lalu lintas itu ya. "Fandi salut aja, kakak bisa berteman dengan ketua Yakuza Junior yang ditakuti." Ujarnya.
"Hmm..." gue membelai rambutnya. "Sekali-kali bareng papa dan adik sendiri boleh kan." Jawab gue tersenyum kearahnya. Syukur deh kalau dia nggak beranggapan macam-macam sama gue.
Dia mengangguk-angguk seraya melayangkan pandangan kearah kelasnya. Tak lupa dia menoleh kearah jamnya sambil menatap gue penuh makna. "Kak, Fandi ke kelas dulu ya."
Gue tersenyum sambil menepuk bahunya, sebelum Fandi berjalan kearah kelasnya.
Guepun menyusuri koridor kelas XI yang sepi, sambil tetap memikirkan tindakan apa yang akan gue ambil kedepan. Ancaman si Anonymous terngiang-ngiang di fikiran gue sampai saat ini. Gue sangat takut saat ini, saking takutnya sehingga gue hampir tidak bisa tidur semalaman.
Setelah masuk kedalam kelas, Gue meletakan tas di bangku dan mengeluarkan buku untuk mengusir kebosanan gue. Gue terlampau pagi untul pergi sekolah, bahkan siswa yang bertugas piket saja belum datang. Gue membalik-balik halaman buku tanpa satu halamanpun yang diserap otak gue. Bunyi notifikasi di smartphone gue berbunyi, sehingga gue menutup buku lalu membongkar tas dan membuka aplikasi Line.
'Anak pintar.'
06.46
Gue mendesah sambil menekurkan kepala ke meja. Apa maksud si Anonymous melakukan semua ini? Apa dia ingin memisahkan gue dengan Askar, sedangkan sisa waktu gue bersama Askar tinggal sedikit. Atau dia ingin membuat gue menderita karena tidak berjumpa dengan Askar. Gue seperti sedang diawasi olehnya sekarang, banyak kamera CCTVnya yang merekam setiap gerak gerik yang gue lakukan.
Seseorang menepuk pundak gue, sehingga gue terlonjak kaget. Rupanya Aldi dan Dwi. Gue buru-buru menutup aplikasi dan memasukan smartphone gue kedalam tas. Peraturan sekolah gue tidak memperbolehkan siswanya membawa handphone berkamera kesekolah. Gue juga menutup buku dan meletakannya di laci meja.
"Nggak biasanya lo bawa smartphone lo ke sekolah Ian? Kesambet apa?" Sindir Dwi yang meletakan Tas di bangkunya.
"Lagian, tumben nyampai pagi-pagi bener? Nggak bareng Askar." Tanya Aldi seraya duduk disamping gue. Dia menatap gue penasaran.
"Gue tadi diantar papa." Jawab gue tersenyum masam.
"Trus smartphone lo?" Bukannya lo jarang bawa gituan kesekolah."
"Eengg..., gue kepengen aja ah. Temen-temen yang lain juga bawa kan."
"Ooh gitu." Aldi ngangguk-ngangguk. Sedangkan Dwi menatap gue dari belakang sambil bertopang dagu. Gue seperti lagi di interogasi oleh FBI. Untung aja bukan dibilik kosong dengan sebuah bangku, meja dan lampu yang tergantung menerangi ruangan. Plus mereka dengan baju introgasi, jadilah resmi gue sebagai tahanan mereka.
"Bukan karena tingkah aneh lo semalam kan?" Selidik Dwi. Aldi menoleh ke belakang atas pertanyaan Dwi yang mengena tepat sasaran tadi, lalu kembali menatap gue minta konfirmasi. Dwi memperparah ruang introgasi sekarang.
"Ng... nggak kok Wi. Lo su'zhan aja deh sama gue."
Edogawa Conan gue memperbaiki kacamatanya yang molor. Dia nampaknya disarankan mengganti frame kacamatanya dengan yang kekinian deh menurut gue. Dia (Aldi) lalu memegang kedua pundak gue seperti orang yang hendak cipokan, menatap gue dalam-dalam."Yakin?"
Nafas gue tertahan sebelum gue tersenyum dan mengangguk, "Gue yakin kok.". Tak lupa gue menepuk pundaknya untuk meyakinkan.
"Hmm..., baiklah." Aldi melepaskan pegangannya. "Kalau ada apa-apa lo harus bilang ke kita-kita. Oke? Kita kan saudara." Dia menepuk pundak gue seperti apa yang gue lakukan tadi. "Makan yuk!" Diapun berdiri sambil memegang tangan kanan gue dan menariknya.
"Gue udah makan." Gue berusaha melepaskan tangan kanan gue dari pegangan Aldi sebelum tangan kiri gue berhasil dipegang oleh Dwi yang entah kapan udah didepan gue.
"Aah kalau udah makan, nemenin kita doang aja nggak mau." Dwi menarik tangan gue sehingga mau tak mau gue berdiri sebelum kedua tangan gue putus ditarik mereka berdua. Gue dengan malas akhirnya mengikuti mereka yang menyeret gue laksana hewan ternak yang hendak dibawa ke rumah pemotongan.
Mereka menyeret gue yang pasrah tapi tak rela ke kantin dengan bringasnya, menuju kantin yang pasti sudah mulai terisi dengan manusia-manusia kelaparan yang membutuhkan amunisi untuk belajar nanti. Beberapa anak kelas sebelah sudah banyak yang nongkrong di depan kelas mereka sambil memperhatikan gue yang diseret-seret oleh Aldi dan Dwi. Ada yang menertawakan dan ada acuh tak acuh melanjutkan kegiatannya. Mungkin mereka telah lelah dengan kelakuan kekanakan dari kelas XI IPA 5 yang bikin heboh. Gue tidak sengaja melewati Tia yang sedang ada di depan kelasnya. Dia tersenyum sambil merundukan kepala melihat gue yang sedang diseret-seret nggak karuan. Tak lupa dia menutup mulutnya sambil menahan tawanya yang mungkin hendak meledak. Sedangkan Kayla -yang baru datang- terbengong, lalu mentertawakan gue sambil mencolek-colek gue bersama rekannya. Gue tahu itu adalah kesempatan cucu Firaun cs ambil kesempatan buat menyentuh tubuh gue. Wkwk
Sesampainya di kantin, kita mengambil posisi di tempat biasa, di sudut kantin. Gue lalu duduk menghadap ke pintu masuk sambil menatap kepergian Aldi dan Dwi memesan makanan. Nampak Aldo disudut ruangan menyantap makanannya dengan mata yang tertuju kearah gue. Selain gue dan dia, ada beberapa anak kelas X yang sedang menikmati makanannya. Gue hanya diam menatap Aldo yang juga menatap gue. Berbeda dengan tatapannya yang biasa, tatapakan kali ini menampakan kesedihan dari sorot matanya, seperti sesuatu yang hendak dia sampaikan ke gue.
"Woi! Ngapain lo bengong-bengong nggak jelas gitu. Ntar kesambet loh." Kata Ridho yang tiba-tiba menepuk meja dan duduk di depan gue. Selain Ridho, ada Sandi, Vivi dan Caca yang membawa makanan mereka masing-masing. Gue yang kaget langsung meninju Ridho yang tertawa puas melihat ekspresi keterkejutan gue.
"Sialan lo Dho. Lo mau bikin gue jantungan?"
"Lo sih, bengong-bengong nggak jelas. Kalau si Kayla anak kelas lo itu yang kesurupan mah, gue rela lahir buat nolongnya. Hehehe." Ujarnya mengelus-elus dagunya menatap gue dengan muka mesumnya. Gue tahu yang dia fikirkan bukan mau nolongin Kayla, tapi mau curi-curi kesempatan buat nyentuh-nyentuh si Kayla yang bertubuh aduhai.
"Lo bengongin siapa sih?" Tanya Sandi. Gue menoleh kearah Aldo yang membuang muka ketika gue menoleh kearahnya. "Mikirin Tia ya?" Tuduhnya lagi.
"Eh nggak kok." Jawab gue. "Lo su'zhan mulu sama gue."
"Jujur ada deh lo sama gue. Ntar gue 'tolongin' deh." Sandi menyenggol bahu gue. Caca dan Vivi yang duduk di depan gue, menandang jahil kearah gue sambil sesekali tertawa cekikikan.
"Ada apa ini?" Tanya Dwi yang sedang menenteng makanan, datang menyosor duduk diatara Caca dan Vivi, sehingga membuat mereka berdua menjerit-jerit menjauhi Dwi. Si Dwi lagi cari kesempatan tuh. "Ada apa nih?"
"Itu loh. Si Adrian lagi bengongin seseorang." Kata Ridho menatap gue jahil.
Aldi -yang duduk disamping gue- dan Dwi menatap gue terkejut. Dwi menatap gue sambil menaik-naikan kedua alisnya mengkode gue hendak menanyakan kebenarannya. Berbeda dengan Aldi yang menatap gue cemas.
"Siapa?" Tanya Aldi berhati-hati. Dia nampak sangat cemas kalau gue ketahuan mahonya.
"Tia." Jawab Ridho dan Sandi bersamaan dengan muka penuh kemenangan. Dwi yang hiperbola langsung mempelototi gue tidak percaya. Aldi langsung menghembuskan nafas lega, lalu menarik-narik baju gue meminta konfirmasi atas perkataan Ridho dan Sandi tadi.
"Wew, lo udah 'sehat' lagi ya Ian?" Celetuk Dwi menatap gue tidak percaya. "Selamat ya Ian." Ujar Dwi menggenggam tangan gue dan menggoyang-goyangkannya.
Sifat Dwi yang sering asal bunyi keluar lagi, membuat Ridho, Sandi, Caca dan Vivi memandang gue dan Dwi bergantian. Gue harusnya membawa lakban dan menyumpal mulutnya supaya tidak ember lagi. Aldi menekur sambil memegang jidatnya yang mungkin terasa sakit karena ulah saudaranya sendiri.
"Maksudnya Dwi, Rian? Lo sehat? Gue gagal faham nih maksud perkataan Dwi tadi." Tanya Ridho minta konfirmasi. Gue melepaskan tangan gue yang digenggam ini cicurut lalu menatapnya yang tengah bengong mencerna kembali kata-kata yang udah dia lontarkan, dengan mulut menganga memandang gue.
"Maksudnya gini kali ya." Semua orang yang dimeja memandang Aldi yang buka suara. Aldi nampak tenang sambil memandang kita bergantian. "Maksud Dwi mungkin, si Rian kan udah terlalu lama sendiri dan tidak ada yang menemani, so kita beranggapan kalau Rian selama ini udah patah hati semenjak putus cinta dari mantannya dulu pas SMP. Jadi baru sekarang kita tau kalau Rian punya gebetan, dan akhirnya Rian udah sembuh dari penyakit putus cintanya. Iya nggak Dwi?"
"Eh iya." Jawab Dwi sambil menggaruk-garuk hidungnya. Dia menatap gue penuh penyesalan.
"Jahat ya kalian, kalian berdua bilang gue selama ini sakit merana putus cinta? Nggak bener dah." Ujar gue sok-sok marah sambil mengembungkan muka.
"Nggak usah marah deh lo ih." Ridho menoyor bahu gue. "Trus mantan si Rian gimana orangnya? Cantik nggak?"
"Cantik." Aldi menatap gue dengan senyum penuh arti. "Dia adik kelas kami dulu. Dia cewek dengan mata bulat, putih, berambut panjang, tinggi sedang dengan body proposional dan sangat ramah." Terang Aldi mendetail.
"Wow kok bisa putus Rian?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Vivi yang sedang memakan bakso.
"Mungkin nggak jodoh." Jawab gue diplomatis. Walau dulu gue sempat galau karena putus cinta, tapi sekarang nggak lagi deh. Kan udah ada Askar.
Vivi dan Caca hanya ber-o ria sambil berpandangan satu sama lain. Berbeda dengan Sandi yang tersenyum penuh arti ke gue. "Lo nggak usah merana lagi, ntar lo gue tolongin deh biar bisa dekatan sama Tia. Tinggal nyatuin nih anak berdua, jadi deh." Ujarnya penuh keyakinan. "Ya nggak Dho?"
"Yoi bro. Demi Rian apa yang nggak bakal kita lakuin."
Gue hanya bisa memaksakan senyum. "Makasih ya bro." Ujar gue pura-pura tertunduk. Sandi lalu mengurut punggung gue sambil tersenyum renyah dibalik kegundahan hati gue sekarang. Berbeda dengan Dwi yang ngegodain Vivi dan Caca yang lagi khusu mandangin dirinya, Aldi malah menatap tajam gue dengan mata empatnya itu. Dia seperti bisa membaca mimik wajah gue kalau gue ada masalah sekarang.
Gue pura-pura nggak tau, sambil melirik kearah bangku yang ditempati Aldo tadi. Rupanya bangku tersebut telah diduduki oleh anak kelas X, bukan Aldo lagi. Sambil lirik-lirikan mata mengintai dan memandangi setiap inchi dari ruangan kantin sekolah yang lumayan besar. Plus penghuninya adalah makhluk-makhluk berbaju sama, sehingga mempersulit mata gue untuk mengenali Aldo. Atau jangan-jangan dia udah pergi duluan.
Setelah menjadi orang yang paling menyedihkan di kantin (karena cuma gue aja yang nggak makan), belpun berbunyi sehingga kita semua menuju lapangan untuk melaksanakan kultum setiap Jumatnya. Selain penyegaran rohani, juga untuk mengasah kemampuan para siswa yang berbakat di bidang keagamaan. Sama seperti upacara, kita berbaris perlokal membuat pola setengah lingkaran sambil menghadap panggung kultum. Guepun mengambil posisi berbaris deretan paling belakang supaya nggak kelihatan sama Askar. Selagi kultum belum dimulai, mata gue masih meliar memandang satu-satu siswa XI IPS 4 yang nggak begitu jauh dari posisi gue. Sampai deret terakhir, gue nggak melihat Askar sehingga gue bernafas lega sambil memandang kembali lurus kedepan. Mungkin ia nggak datang hari ini.
"Cari gue ya?" Bisik seseorang ditelinga kanan gue sehingga jantung gue hampir terlompat dari dada. Gue menoleh kebelakang, menampakan Askar dengan giginya yang rapi.
Gue kembali menghadap kedepan, dan sedikit bergeser kebelakang. "Ngapain lo disini?" Gue berusaha mengecilkan volume suara supaya nggak mengganggu jalannya kultum.
"Gue kangen elo, jadi gue kesini deh."
"Balik lo ke barisan kelas lo. Ini barisan kelas IPA 5. Lo bisa kena kasus ntar."
"Perhatian banget sih lo, gemes deh." Bisiknya dengan kedua tangannya udah menjewer pipi gue. Muka gue memerah menahan malu. "Gue nggak bakalan kena kasus kok. Palingan orang itu yang akan berkasus sama geng gue."
"Ya deh."
"Lo berangkat sama siapa tadi?"
"Kan udah gue bilang sama Papa."
"Hehe iya, gue lupa." Dia menggaruk-garuk kepalanya. "Sama Fandi juga?"
"Iya. Kenapa?"
"Nggak, sekedar nanya aja. Bisa jugalah sebagai bukti kalau lo nggak pergi sama orang lain."
"Ooh, jadi lo kira gue jalan sama orang lain gitu?"
"Ya bisa jadi aja kan? Soalnya orang yang kayak lo gini langka, so orang pasti bakalan berebut buat dapetin elo."
Sontak muka gue memanas mendengar kata-katanya tadi. "Apaan sih lo." Ujar gue sambil kembali bergeser kedepan. "Gombal." Racau gue dibalik senyum gue yang mengembang di bibir gue.
"Makanya lo harus dikarantinain di hati gue supaya lestari." Ujarnya yang membuat lubang hidung gue semakin mengembang.
Gue kembali fokus untuk mengikuti kultum dengan Askar masih tetap ngusilin gue dari belakang. Sekedar mainin rambut belakang gue, meniup-niup belakang telinga gue sehingga membuat gue nenggelinjang atau yang lebih gilanya nepokin pantat gue. Untung saja gue masih bisa bersabar -sekaligus menikmati- keusilan yang dilakukan Askar. Untung pula, anak-anak pada khusuk mendengarkan kultum, acuh tak acuh dengan gue yang klasak klusuk atas kelakuan Askar.
Ancaman Anonymous kembali terngiang-ngiang di kepala gue.
"Kar, mending lo balik ke barisan kelas lo deh."
"Iih nggak mau ih, gue mau disini."
"Jangan kayak anak kecil gitu ah. Kalau mau disini, lo jaga sikap dong."
"Nggak ah, gue mau kangen-kangenan sama lo karena lo udah ninggalin tadi." Ujarnya seraya meremas bokong kanan gue gemas. Tak ayal gue langsung menginjak kaki kanannya sekuat tenaga sehingga membuat dia mengaduh kesakitan.
Askar masih mengumpat-ngumpat memegangi kakinya. Gue sih masih acuh tak acuh seraya menerobos barisan kelas gue dan berdiri di depan Aldi yang berada di deret tengah. Dia sempat kaget hingga bergeser ke belakang membuat siswa yang di belakangnya protes sambil misuh-misuh bergeser ke belakang.
"Ada apa sih?" Bisiknya lalu menoleh ke belakang. "Lo ngindarin Askar?"
"Nggak kok."
"Trus?"
"Nggak ada." Jawab gue ketus. Gue nggak mau ditanya sekarang. Gue sangat takut kalau ancaman orang yang nggak dikenal itu benar-benar terjadi. Gue nggak bisa bayangin apa yang terjadi kalau itu benar terjadi. Kelemahan gue, gue bakalah lupa segalanya kalau gue udah dekat-dekat dengan Askar. Syukurlah si Askar nggak ngejar gue lagi.
Setelah kultum selesai, gue langsung bergegas ke kelas. Lalu duduk dan membenturkan kepala ke meja. Semoga, sensasi sakit yang gue rasakan dapat mengalihkan kekalutan gue sekarang. Beberapa teman sekelas gue menatap gue khawatir tanpa mau bergeming sedikitpun. Ancaman itu kembali terngiang-ngiang di fikiran gue sehingga gue mengangkat kepala dari meja, membuka tas dan mengambil handphone gue. Gue membuka aplikasi line dan melihat beberapa obrolan dari teman-teman gue. Huft, syukurlah belum ada dari Anonymous. Gue kembali menutup aplikasi dan memasukan handphone kedalam tas disaat Aldi dan Dwi masuk kedalam kelas.
"Nih! Nampaknya lo butuh isotonik deh." Aldi menyerahkan sebotol Pocari Sweat ke gue sambil duduk disamping kanan gue. Gue menerima botol tersebut, lalu membuka tutupnya dan meneguk hampir setengah botol sehingga Aldi geleng-geleng kepala.
"Thanks ya Al." Ujar gue. Matanya masih menatap kearah tas gue sebelum dia menatap gue dan mengangguk sambil tersenyum.
Dwipun duduk dibangku didepan gue sambil menopang kedua dagunya. "Rakus beber lo minumnya." Seperti biasa ekspresi hiperbolanya mudah ditebak. "Lo cocok jadi bintang porno deh."
Gue mengangkat alis gue heran dengan statement dia tadi? WTF, gue jadi bintang porno?
"Ah jangan gitu eh ekspresi lo. Biasa aja kali." Ujarnya seraya membungkam muka Aldi dengan tangannya yang berekspresi terkejut mendengar kata-kata nya tadi.
"Lo sering liat cewek-cewek nelen pejuh kan?" Ujarnya dengan suara pelan sambil sambil celingak-celenguk ke sekeliling. "Nah lo cocok untuk itu, bisa nelen pejuh berliter-liter tanpa terdedak Ian. Yang bisa kayak gitu yang banyak dicari produser Ian." Guepun memandang dia bingung. "Oh ya, gue lupa kalo lo nggak suka cewek ya." Dia menepuk dahinya.
"Eh tapi Ian udah suka sama anak IPS." Sindir Aldi dari sorot matanya. "Buktinya, berbales chat aja udah main sembunyi-sembunyi." Tudingnya lagi.
Gue menelan ludah.
"Ooh pantesan aja dia ngindar dari Askar ya, sampai alesan bareng sama bokap segala." Kini Dwi bukak suara memfitnah gue. "Lo emang kebangetan Ian. Kalau lo emang suka sama tuh cewek, mending lo bilang aja sama dia terus terang."
"Dan satu lagi, lo harus jujur sama Askar. Cukup lo sudah nggak jujur sama kami tapi lo harus jujur sama Askar kalau lo ingin keselamatan lo di sini terjamin." Ujar Aldi.
Gue memutar bola mata. "Udah deh. Gue males ngomong sama kalian." Tak lupa dengan kibasan tangan manandakan ke-'omdo'-an mereka.
Gue lalu merogoh laci meja gue hendak mengambil buku yang gue simpan disana tadi. Daripada mendengar omongkosong mereka yang tidak sesuai fakta dan realita, mendingan gue baca buku menghadapi olimpiade semester depan.
Sesuatu jatuh kelantai disaat gue menarik buku dari laci, sehingga mata kami bertiga tertuju pada benda tersebut. Gue cepat-cepat meraih benda itu, walau tangan gue kalah cepat daripada Aldi sehingga dia berhasil terlebih dahulu meraih benda tersebut.
"Wow, dari siapa nih Ian?" Tanya Aldi sambil memanut-manut bunga mawar bewarna merah tersebut. Dwi berusaha meraih bunga tersebut, walau berhasil dielakan oleh Aldi.
Gue menggigit bibir sambil menatap bunga itu. "Gue nggak tau." Jawab gue jujur. Gue emang nggak tau siapa yang ngirim itu bunga. "Udah ada aja di dalam laci." Gue merogoh-rogoh laci, mana tau ada yang lain.
"Coba buka kartunya, mana tau ada nama pengirimnya." Kata Dwi gemas hendak merebut bunga itu dari tangan Aldi.
"Tunggu dulu." Aldi menepis tangan Dwi. "Ini bunga nggak ada guna-gunanya kan?" Racaunya sambil tetap menatap bunga itu seksama. Tak lupa dia menaikan kacamatanya yang nggak kedodoran.
Dwi nampaknya sangat geram dengan tikah laku Aldi. Dwi lalu merampas bunga itu dari tangan Aldi yang masih manut-manut nggak jelas. "Zaman gini lo masih percaya gituan. Gimana mau masuk farmasi lo ntar." Cerocos Dwi sambil membuka kartu yang terselip di bunga tersebut.
Dwi lalu terdiam sejenak, lalu membolak-balik kartu tersebut. "Nggak ada nama pengirimnya deh?" Ujarnya yang bikin gue penasaran.
"Mana?!" Gue merebut kartu tersebut lalu membaca tulisan yang ada didalamnya.
Jujurlah pada dirimu sendiri, dan lakukan apa yang menurutmu terbaik.
Gue menggaruk-garuk tengkuk gue yang nggak gatal seraya membalik-balik kartu tanpa pengirim itu. Lalu meletakannya kembali keatas bunga yang tergeletak diatas meja. Siapa yang mengirimi gue bunga mawar pagi-pagi ini. Apa ini ada hubungannya dengan Anonymous yang mengancam gue itu.
"Jangan-jangan ini yang ngirim Tia, Rian." Dwi mulai berhipotesis.
"Tia?"
"Hooh, mungkin aja dia selama ini minta kejelasan Rian. Dia nggak ingin lo gantung tanpa kejelasan kayak gini."
"Tapi, kenapa dia harus ngelakuin kayak gini?" Aldi buka suara.
"Ya dia memberi lo (Rian) kode keras buat nembak dia kali. Apalagi lo udah suka sama Tia, so lengkap sudah. Tinggal resmiin lagi deh."
Aldi manut-manut sambil menatap gue dari ujung kepala hingga dada. Lalu kembali menatap muka gue yang kebingungan. Dia sedikit cemas sambil mengetuk-ngetukan jarinya ke meja.
"Mending cinta lo sama Tia lo resmiin deh." Tandas Dwi mengompori gue.
"Menurut gue, mending jangan dulu deh, kalau iya." Dwi menatap heran Aldi yang berkata seperti itu. "Ntar lo diapa-apain sama Askar, Rian. Gue takut lo kenapa-napa." Aldi menggenggam tangan kanan gue. "Gue harap lo jangan cari masalah."
Gue menepuk muka gue gemas. Mending gue jelasin ke mereka sejak tadi. Dari pada sekarang, mereka memfaktakan opini yang dilontarkan Ridho dan Sandi tadi, sehingga membuat dugaan yang tidak benar.
"Stop, nggak usah ngomong lagi." Gue menarik nafas. "kalian udah salah paham."
Gue meminum Pocari Sweat itu sampai habis lalu melemparkannya kedalam tong sampah dibelakang, dan binggo masuk dengan mulus.
"Gini." Gue menarik nafas berat sebelum menatap mereka berdua satu persatu. "Gue nggak ada hubungan dan perasaan sama Tia."
Aldi dan Dwi menganga. Ada rasa lega yang terpatri dari wajah Aldi.
"Yang dikatain Ridho sama Sandi itu?"
"Mereka hanya membual. Mereka mengira gue lagi mikirin Tia yang kata mereka ada rasa sama gue." Ujar gue seringkas mungkin.
"Trus kalau nggak mikirin Tia, so lo mikirin apa?" Tanya Aldi.
"Ngg..., yang jelas gue mikirin sesuatu. Oke."
"Jadi yang ngirimin lo bunga ini siapa?" Ujar Dwi sambil menunjuk bunga yang tergeletak di atas meja.
Gue lalu mengangkat bahu dan tangan berbarengan. "Ntahlah." Gue menatap bunga dari seseorang yang nggak diketahui pengirimnya siapa itu.
"Semoga aja nih bunga bukan guna-guna yang dikirimin sama orang yang nggak menyukai lo Rian."
Perkataan Aldi tadi sontak bikin gue menahan tawa walau fikiran gue melayang-layang ntah kemana. Walau zaman sekarang nggak laku yang kayak gituan, faktanya masih banyak korban yang berjatuhan di lapangan.
"Astaga, Lo guna-guna mulu dah. Nyesel deh gue mutar filem jadul semalam kalau kayak gini." Ujar Dwi seraya bangkit dari bangkunya lalu memegang kening Aldi berlagak laksana mbah dukun yang lagi ngobatin pasiennya.
Dwipun membaca mantra, "Keluarlah, keluarlah wahai jin-jin perasuk tubuh, keluarlah!" Dwi lalu menepuk kening Aldi, sehingga Aldi hampir terjungkal kebelakang.
Sambil menahan tawa gue menolong memegangi Aldi yang hampir jatuh kelantai. Sambil memegangi keningnya, sumpah serapah mengalir dari mulut Aldi untuk mbah dukun yang hampir mencelakakannya.
"Udah-udah." Ujar gue nenangin Aldi yang kesal. "Sabar Al sabar, lo harus inget siapa si Dwi. Lo juga Wi, keterlaluan banget, kalau Aldi kenapa-kenapa lo mau tanggung jawab eh?"
Dwi si mbah dukun hanya nyengir dibalik tatapan tajam Aldi yang kesal nggak karuan.
"Oh ya, kata mama, kalian berdua ntar sore ke rumah ya. Katanya Mama sama Bunda mau nyoba resep kue yang baru."
"Iyakah?"
"Dasar baru denger makanan, kumatlah lo langsung sembuh Dwi." Ujar gue menoyor badannya. "Iya ntar sore siap Ashar."
"Okedeh, ntar sore gue kerumah bareng Bunda." Ujar Aldi sambil melirik Dwi. "Terpaksa deh 'mbah dukun' kita ngangkot."
"Eeh... kok gue ngangkot sih, tega lo Al."
"Trus 'mbah dukun' mau diletakin dimana? Di ban?"
Dwi gelabakan sambil menatap Aldi. "Yaa lo antarin Bunda dulu, trus siap itu lo jemput gue deh kerumah. Ya..., please ah. Ya?"
"Nggak ah, gue nggak mau. Males. Mending gue makan kue di rumah Rian." Ujar Aldi pura-pura ngambek sambil melipat kedua tangannya di dada.
Dwi cemas banget sambil tetap terus mohon-mohon ke Aldi yang tidak bergeming sedikitpun. Sesekali Dwi menatap gue memohon gue membujuk Aldi buat menjemputnya.
"Yaudah ah Dwi. Soal jemput lo, lo tenang aja nggak usah khawatir. Serahin aja ketangan Adrian." Ujar gue menepuk dada.
Dwi masih menatap gue ragu seraya menuju bangkunya. Beberapa anakpun masuk kedalam kelas sebelum Buk Ratna masuk kedalam kelas untuk mengajar.
---
Perjuangan Mama dan Bunda (+gue) akhirnya berbuah kue yang sangat cantik untuk dipandang, walaupun kita belum tahu gimana rasanya saat ini. Setelah berfoto ria dengan kue karya mereka berdua -yang pasti bakalan di unggah di Facebook-, mama menyuruh gue untuk memanggil dua cecurut yang lagi asyik main PS diatas, dikamar gue.
Berbeda dengan gue yang niat bener nolongin mama dan bunda untuk bikin kue, dua bocah temen gue itu ogah-ogahan hanya untuk sekedar liatin di dapur. Mereka lebih memilih untuk go to my bedroom and playing PS in there. Wkwk.
Gue berjalan mengendap-ngendap didepan kamar gue seraya merapatkan telinga gue ke pintu kamar ketika gue tidak mendengar suara PS atau ribut-ribut di dalam sana. Gue sih yakin, mereka berdua lagi lihat koleksi oh no oh yes si Ridho yang diminta Dwi tadi siang.
Gue lalu membuka pintu kamar lebar-lebar sambil berteriak keras dengan sedikit hiperbola. "Apa yang kalian lakukan?!" Tanpa melihat apa yang mereka kerjakan. Firasat gue udah yakin 99,99% kalau mereka lagi ngebokeb di kamar gue. Hahaha gue bisa manfaatin mereka nanti.
Gue melihat ekspresi terkejut mereka seraya menyembunyikan sesuatu kedalam selimut. Senyum gue mengembang melihat ekspresi Dwi yang pucat pasi. Berbeda dengan Aldi yang nampak marah, mungkin karena privasinya terganggu.
"Hayoo... apa yang lo lihat Dwi?"
"Nggak ada Rian." Ujarnya seraya tangan terus begerilya menyembunyikan sesuatu tersebut jauh kedalam selimut. Gue lalu berjalan kearah kasur, hendak mengambil barang yang disembunyikan Dwi itu. Pasti itu handphonenya. Hehe gue bakalan manfaatin momen ini dengan sebaik-baiknya buat manfaatin mereka. Minimal bisa nraktirin gue bakso atau tukang antar jemput gue selama sebulan.
Aldi langsung mencegat tangan gue dan memegangnya erat. "Kita harus bicara!"
"Nggak mau." Gue melepaskan tangan gue dari genggaman Aldi dan naik ke atas kasur lalu mengacak-acak selimut sampai gue menepukan benda yang gue cari.
Handphone gue?
Gue memandang Dwi dan Aldi bergantian. Dwi yang nampak bersalah, berbeda dengan Aldi yang menahan marah.
Gue kembali memandang handphone gue yang telah gelap.
Mungkin mereka lagi ngebokep lewat handphone gue kali, ya liat bokep di handphone gue.
Atau, jangan-jangan mereka melihat semua isi handphone gue?
Line gue?
Anonymous?
Foto itu?
What the fuck!?
---tbc
Jadi agak lapa sama cerita nya .. hehehe
Kelamaan rillis sama faktor fikiran ane yg semrawut .. jadi gak ngena file
Maaf y sampai lupa gtu, krna kelamaan update. Awalnya mau update pas sblum akhir maret, ntah knp file buat part ini tiba2 hilang d memori. Terpaksa deh ulang ngetik lagi. Huhuhu