It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Keren kak ceyitanya, tapi aku gk di mention.
Ehhm, ootnya gini. Dari sekian byk yg dimention, hanya sedikit yah yg ngasih vote.
Mereka tak mau membalas ketikan panjang yg melelahkan itu dengan 1 klik saja. Egois ya.. Ck! Padahal mereka menikmati.. *bukanmaksudapa2*
@M_Rifki_S siip (y)
@Nino6 siip nanti d mention y.
@JimaeVian_Fujo Yg neror Adrian itu anonymous, tapi identitasny blm d ketahuin. Aamiin.
D tunggu y
Aku jga gtu, nggk mengharapkan balasan muluk2, aku malah bersyukur bisa share cerita n ngeramein bf yg udah mulai sepi (nampaknya). Tapi ya gtu deh, itu tergantung pembaca juga, positif aj, mungkin mereka pake OpMin yg susah ngelike. XD
Inilah jiwa penulis yg hebat..tidak mengharap timbal balik. Menyalurkan hobi dan berkarya..brsikap santai menanggapi setiap komentar dan tidk mengobral janji..( kenti di obral gk ya ? ,v )..
..moga menjdi penulis yg hebat dan punya nama..,
..5 jempol buat kamu..
Oh ya soal kenti pm aj y wkwkwk
@mustajab3 nggk ap2 bang, mksih bnyk udah membaca.
@RenataF Sabar y, mungkin besok InsyaAllah.
@gaykumis168 Makasih om...
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3
@JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo
@PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova
@jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro
@new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18
@delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia
@diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku
@ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan
@Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie
@sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday
@Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran
@rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto
@Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream
@shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji
@abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar
@kaha @blasteran @BN @dian_des
@Pyromaniac_pcy @melkikusuma1
@asik_asikJos @opatampan @The_jack19
@ori455 @lukisan_puisi @usernameku
@dadanello @boncengek3 @earthymooned
@gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama
@OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif
@satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa
@Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay @AndikaRiskiSya2 @DafiAditya @Nino6
Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.
Part 38
Gue masih tetap tertunduk lemas sambil menatap handphone gue yang menampilkan notifikasi dari akun Anonymous.
"Jadi apa yang mau lo lakuin sekarang?" suara Aldi terdengar keras menahan emosi, membuat gue mendongakan kepala tanpa menatap matanya.
"Gue akan ngindarin Askar."
Aldi geleng-geleng kepala sambil merampas handphone gue. Dia nampak membaca lalu mengetikan sesuatu, lalu membanting handphone itu ke depan gue. Syukurlah gue sedang diatas kasur saat ini. Kalau nggak udah hancur kasur eh hape gue.
"Gue nggak nyangka Rian, gue nggak nyangka. Gue udah berkali-kali bilang sama lo kan kalau lo ada masalah bilang ke gue, bukan lo pendam aja sendiri." ujarnya terdengar lirih. "Jadi gue ini apa bagi lo Rian, apa?"
Gue menelan ludah. Lidah gue terasa terkunci tak bisa mengeluarkan kata-kata. Aldi lalu melemparkan pandangannya keluar rumah sambil membarut kepalanya pelan.
"Gu... Gue nggak mau aja ngebebanin kalian berdua."
"Ngebebanin? Ngebebanin lo bilang? Sesama saudara itu harus saling tolong menolong Rian, harus saling meringankan." matanya mulai berkaca-kaca memandang awan yang mulai menghitam. Cuaca dingin mulai masuk kedalam kamar gue.
"Maaf, gue udah membuat lo marah."
Dia menatap gue. Air matanya telah jatuh bercucuran menatap gue kecewa. "Gue nggak marah sama lo Rian, gue marah sama diri gue sendiri. Gue udah gagal jadi saudara yang baik buat lo. Gue udah gagal menjadi pelindung lo, peringan beban lo, gagal menjadi orang yang akan lo temui disaat lo kesusahan. Gue marah sama diri gue sendiri. Gue kecewa sama diri gue. Maaf karena gue udah gagal menjadi orang yang akan dicari oleh Adrian Aditya saat dia kesusahan."
Perkataannya menampar gue bolak-balik atas bawah. Kerongkongan gue tercekat. Air mata gue yang udah berusaha gue tahan akhirnya tumpah. Kata-kata sindirannya tadi membuat gue mati kutu. Tak seharusnya gue menyimpan semua kesusahan gue, disaat banyak orang yang peduli terhadap gue. Gue lalu menarik badannya dan meneluknya erat. Gue menumpahkan semua kegundahan gue di pundaknya sekarang. Hanya suara isakan dan kata maaf dari mulut guelah yang terdengar memenuhi setiap sudut ruangan. Berbeda dengan Dwi yang menatap gue mematung ditepi kasur, sebelum akhirnya dia mendekat dan memeluk kami berdua.
"Udah nggak usah nangis, kita bertiga bersaudara sampai kapanpun." ujar Dwi memeluk erat kita berdua. Cukup lama kami berpelukan, sebelum Dwi melepaskan pelukannya.
"Udah ah, yuk makan kue, gue yakin tuh kue udah matang tuh." ujar Dwi sambil tersenyum kearah kita berdua. "Yang tadi nggak usah di fikirin. Mending kita nolong Rian dari si anonymous ini, kita cari tahu siapa orangnya. Jadi masalah si Rian bisa cepet selesai." dia menepuk pundak kita berdua.
Gue melepas pelukan gue tanpa sanggup menatap Aldi sehingga membuat gue tertunduk memandang kasur. Gue bisa merasakan Aldi menatap tajam gue sebelum mengangkat dagu gue lalu menyeka air mata gue dengan jempolnya. Aldi lalu melepas kacamatanya lalu menyeka matanya yang telah basah. Gue tetap terus memperhatikannya sampai ia memasang kacamatanya kembali. Setelah itu tanpa berkomentar sedikitpun, dia bangkit dari ranjang, membuka pintu dan turun ke lantai dasar. Membuat gue sedikit takut dan cemas dengan ekspresinya itu.
Kami (gue dan Dwi) memandang punggung Aldi sampai punggung itu hilang dibalik pintu. Dwi lalu menoleh kepada gue sambil tersenyum. "Nggak usah lo fikirin. Tau aja deh lo, Aldi orangnya gimana."
Gue merunduk sambil tersenyum kecut lalu menyeka sisa-sisa air mata gue. "Yuk! Kita cobain kue buatan chef-chef kita." dan Dwi menyeret gue meninggalkan kamar gue.
Gue duduk di bangku yang bersebrangan dengan Aldi yang sedang menikmati kuenya dengan tenang. Tidak ada wajah marah yang terpatri diwajahnya saat ini. Hanya saja dia tidak memandang gue sama sekali, tapi duduk tenang dengan handphone di tangannya. Ntah apa yang dikerjakan dengan handphonenya itu sekarang.
"Al?" ujar gue memanggil namanya. Dia menoleh dan menatap gue. Gue bisa merasakan dari sorot dingin matanya bahwa dia tidak ingin diganggu kali ini.
"Nggak jadi deh." ujar gue sambil tersenyum kecut merutuki kelakuan gue yang nggak jelas. Dia kembali memakan kuenya dengan tenang, seperti tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita.
---
"Rian." terdengar suara Dwi mengejutkan gue dari lamunan gue yang udah nyampe ke Madagaskar sana.
Gue menatapnya yang menatap langit-langit malam yang dingin. Kita sedang ada diteras rumah gue sekarang. Aldi udah pergi sekitar seperempat jam yang lalu mengantarkan Bunda ke rumah, sebelum kembali menjemput Dwi yang malang. Mama lagi di dapur, menemani Papa yang mencicipi kue buatan Mama dan Bunda.
"Gue nggak nyangka kalau nasib lo bakalan rumit kayak gini setelah bertemu dengan Askar." Dwi membuka suara. Gue hanya menghembuskan nafas seraya menatap orang yang lalu-lalang di depan kompleks rumah gue. "Gue nggak nyangka aja kalau lo berubah haluan kayak gini." ujarnya terkekeh miris kepada gue.
Gue menatap matanya yang kecewa, memandangi gue miris. Dia lalu mencomot kue yang ada di piring lalu menyuapkannya kedalam mulutnya seraya kembali menatap jalanan kompleks. Begitupun gue yang memilih bungkam mendengar lanjutan perkataan Dwi tadi.
"Gue awalnya sih nggak yakin cinta lo sama si 'A' itu bakalan langgeng. Guesih merasa jikalau lo pacaran sama si 'A' itu cuma buat pelarian aja, menuntaskan sakit hati lo yang diputusin si Intan dulu." Dia kembali mencomot kue. "Tapi setelah melihat perjuangan kalian berdua, gue merasa jikalau cinta lo pantas untuk diperjuangkan."
Gue menatap layar handphone gue yang berkedip-kedip menampilkan layar notifikasi dari anonymous.
"Rian, lo kenal siapa anonymous itu?"
Gue menggelengkan kepala menatapnya sayu.
"Trus, dimana dia mendapatkan photo ciuman lo di perpustakaan itu?"
Gue menempelkan telunjuk gue didepan bibir sambil mempelototinya, gue melirik kedalam rumah memastikan Mama dan Papa nggak mendengar percakapan kita berdua.
Dia menutup mulutnya dengan tangan menyadari kebegoaannya saat ini. Dwi lalu menggeser kursi mendekati gue.
"Maaf." bisiknya.
"Gue nggak tau Wi, gue nggak tau pelakunya siapa. Tapi gue rasa masih orang terdekat kita." ujar gue berhipotesis.
"Anak sekolah kitakah?"
Gue mengangkat bahu.
"Jangan-jangan Tia lagi Ian." dia menjentikan jari kirinya. Dia lalu mencomot potongan terakhir dari kue yang ada di piring, lalu memasukan kedalam mulutnya. "Mungkin aja dia kesal karena lo nggak ngasih kejelasan."
"Nggak mungkin lah Wi, gue nggak yakin kalau Tia pelakunya. Orangnya polos gitu."
"Walaupun polos-polos, mana tahu aja kalau dibalik kepolosannya itu tersimpan rubah berekor sembilan yang akan ngehancurin lo."
Gue terkekeh, "Lo kira ini Naruto apa. Trus gue apanya ayo?" gue lalu memperbaiki posisi duduk gue. "Gue nggak yakin kalau dia pelakunya. Gue kenal Tia, karena kita satu organisasi. Gue yakin sekali kalau bukan dia. Lagian darimana dia tahu coba kalau gue ada hubungan sama..." gue memandang ke sekeliling, sebelum menyebut "Askar." dengan volume sangat pelan.
Dwi mengangguk-angguk. "Orang yang tau dengan 'keanehan' lo contohnya."
Dasar si Dwi mulutnya nggak disaring. Gue menoyor kepalanya. "Lo bilang gue aneh? Burung lo aneh."
Dwi tertawa terkikik sambil memegang perut. "Burung gue sih besar, jadi cukup anehlah dibanding burungnya rerata orang Indonesia." ujarnya. "Lagian lo emang aneh kok, menurut pandangan kebanyakan orang. 'Sakit' malah. Rokok kok cari rokok, bukannya bibir."
"Terserah lo dah." ujar gue. Panjang ceritanya kalau gue menanggapi perkataannya tadi. Bibir gue malah gatal ingin mengomentari tentang burungnya yang besar diatas rata-rata itu. Yaa..., sebagai gay, gue akui emang agak sensitif dengan kata 'burung besar' itu.
"Oke, kembali ke laptop. Siapa aja yang tahu sama ke..., eh bukan, sama orientasi lo?"
"Lo, Aldi..." gue manut-manut mengetuk-ngetukan telunjuk ke dagu. "Siapa ya?"
Kalau Ibeth nggak mungkin lah dia ngelakuin itu, soalnya dia malah senang dengan hubungan gue dengan Askar. Istilahnya kerennya gue lupa, fuji ntah apa gue lupa, tapi yang jelas gue ragu kalau anonymous itu Ibeth. Kan berkurang objek dari hobbynya itu ntar. Hihihi.
"Aldo?" tanya Dwi menatap gue intens. "Lo sendiri yang bilang kalau anak itu nggak suka banget sama lo, mana tau aja kan?."
Gue menepis-nepiskan tangan gue di udara. "Nggak mungkin dia Wi. Aldo dan Evan kan kaki tangan si Askar, ragu gue kalau pelakunya mereka. Terlalu beresiko buat mereka buat ngelakuin itu, minimal bakalan di bantai deh oleh si Askar kalau ketahuan." ujar gue berhipotesa.
"Lo pada ragu mulu lah. Jadi menurut lo siapa? Emaknya si Askar yang neror lo?"
Jantung gue tiba-tiba bergemuruh mendengar kata-kata Dwi tadi. Pandangan gue nanar dengan otak tiba-tiba buntu. Gue meremas pegangan bangku seraya mencerna dan berhipotesis dengan kata-kata Dwi tadi.
"Kenapa lo?" dia melambai-lambaikan tangannya di depan muka gue.
Gue memegang pergelangan tangan Dwi. "Nggak apa-apa kok." jawab gue tersenyum penuh paksaan.
Perasaan gue nggak enak mendengar kata emaknya Askar tadi. Walau gue belum pernah berjumpa dengan beliau, perasan gue tiba-tiba nggak nyaman mendengar sebutan itu. Apa beliau yang merancang semua ini untuk memisahkan gue dengan Askar? Mengancam gue untuk menjauhi Askar dan membawa Askar ke Surabaya semester depan. Kalau benar, gue yakin beliau adalah seorang yang hebat sekaligus jahat.
Gue menggeleng mengusir fikiran jahat itu.
"Trus, lo tetap akan menuruti permainan si keparat itu?"
"Ya gimana lagi Wi, gue nggak ingin foto-foto mesra gue dengan Askar tersebar di sekolahan dan sampai ketangan Mama dan Papa." Dwi bergidik ngeri. "Gue takut kalau Mama bakalan ngedrop melihat foto itu. Gue takut kalau Mama kenapa-kenapa."
"Udah lo nggak usah khawatir. Lo ikuti aja permainan si Anonymous dulu, trus biar gue sama Aldi nyelidikin ini." Dia tersenyum. "Biar Edogawa Conan kita memecahkan masalah ini." ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu gue.
"Soal Aldi gimana, dia kan..."
"Serahin aja ke gue Ian, lo beruntung punya teman kayak gue yang bisa ngutak ngatik hati orang Ian. Hahaha" tawanya bangga. "Selow aja deh, nggak usah khawatir, selow bro selow."
Gue tersenyum menatap dirinya. Gue beruntung banget punya sahabat macam Aldi dan Dwi yang mau bersusah-susah bareng gue. Gue lalu menatap jalanan kompleks gue yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. "Thanks ya Wi."
"Nggak masalah. Kita ini saudara."
Tidak ada percakapan lagi, kita sibuk dengan fikiran masing-masing. Menatap anak kuliahan yang apel dimalam sabtu, ataupun abang-abang penjual sate yang masih setia berjualan walau hari udah malam dan cuaca mendung sejak sore. Gue masih berusaha mengusir fikiran jahat gue yang mengatakan bahwa ibunya Askar dalang dari semua ini, sambil memikirkan hipotesa lain tentang sipelaku.
Aldipun datang, lalu mengklakson Dwi dibalik pagar rumah. Dia nggak masuk lagi rupanya. Dwi lalu pamit ke orang tua gue, lalu naik ke boncengan motor Aldi. Aldi masih belum memandang gue dengan muka masih mode poker face, meninggalkan gue sendirian di teras rumah. Tapi gue yakin, Dwi bakalan melunakan hati Edogawa Conan gue itu.
---
Pagi ini, gue kembali berangkat pagi-pagi sekali sebelum Askar menjemput gue ke rumah. Pagi ini Papa nggak bisa mengantarkan gue sehingga gue harus ngeangkot sekarang. Gue udah sampai di depan kompleks ketika seseorang yang sangat gue kenal berhenti didepan gue.
Gue termenung melihat dia yang menyerahkan sebuah helm kearah gue. "Pakai! Ntar lo telat lagi." ujarnya lagi. Masih cuek seperti semalam, Aldi kembali menggoyang-goyangkan helm yang dia pegang. "Pakai atau gue tinggal."
Gue tersenyum sambil meraih helm bewarna putih dengan motif biru itu. Gue langsung naik dan memposisikan pantat gue senyaman mungkin dengan jok motor Aldi. Aldipun lalu melaju meninggalkan gerbang kompleks gue.
Gue menatap punggungnya yang dilapisi jaket kulit hitam, lalu menatap kepalanya yang terlindungi helm bewarna biru. Dia masih bungkam tanpa mau mengajak gue bicara. Guepun masih segan untuk memulai pembicaraan dengannya.
"Maaf..." terdengar suara Aldi membuat gue menatapnya dari kaca spion kiri. "Maaf kalau gue udah keterlaluan sama lo. Gue kebawa emosi kemarin."
Senyum terpatri diwajah gue. Syukurlah Aldi nggak marah sama gue. Gue melempar pandangan kearah jalanan yang belum begitu ramai dengan kendaraan. Gue menarik nafas. "Gue juga minta maaf karena udah nyembunyiin masalah gue dari lo. Gue minta maaf, nggak seharusnya gue seperti itu."
Aldi tersenyum seraya memperbaiki kacamatanya, lalu kembali fokus ke jalanan. "Nggak ada namanya rahasiaan diantara kita." diktenya. Nampaknya Dwi berhasil kembali mempengaruhi Aldi supaya tidak mendiami gue.
Gue tersenyum seraya melemparkan pandangan ke jalanan.
Setelah memarkirkan motor di parkiran, kita berduapun berjalan beriringan melewati koridor kelas XI yang masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang baru datang ke sekolah. Termasuk diantaranya Tia yang nampak sedang bertugas piket pagi ini. Mata gue saling bertemu dengan matanya yang sedang menyapu koridor di depan kelasnya, sehingga dia tersenyum seraya merundukan wajahnya yang telah merah. Tia lalu bergegas masuk kedalam kelasnya dengan kepala tertunduk, lalu beberapa temannya yang ada didalam kelas bergegas menongolkan kepalanya memandangi gue dari belakang sambil tertawa cekikikan.
Aldi menyenggol bahu gue. "Tia tuh." ujarnya. Gue hanya membalas dengan senyum kecut atas fakta kalau gue nggak ada rasa padanya.
"Udah ah, mending lo aja sama dia." Gue meninju bahu Aldi, hingga dia terkekeh lalu merangkul gue hingga kedalam kelas.
Gue meletakan tas sambil membuka dan memeriksa handphone gue, tumben jam segini Askar nggak sms atau nelpon gue. Biasanya udah ribut tuh anak di depan rumah. Gue melirik Aldi yang sibuk mengobok-obok tasnya.
Gue menghembuskan nafas sambil mengetikan sesuatu lalu mengirimnya ke Askar.
Gw udh brngkt breng Aldi.
Aldi yang sedang menutup tasnya menatap handphone yang gue pegang. "Anonymous lagi?" tanyanya dengan ekspresi ketidaksukaan. "Apa katanya?"
"Nggak kok nggk. Bukan Anonymous itu. Gue cuma mau ngabarin Askar kalau gue bareng lo."
Dia lalu duduk sambil mengangguk-angguk. Dia lalu membuka buku lalu membacanya sebentar sampai dia buka suara sambil tetap membaca buku.
"Lo sebaiknya jujur ke Askar." Sontak pandangan gue yang sebelumnya di handphone teralihkan ke Aldi.
"Lo sebaiknya bilang ke Askar tentang peneroran ini. Dia mungkin lebih bisa membantu dibanding kita-kita."
Gue takut menyeret-nyeret Askar dalam masalah ini, sedangkan masalah dengan orang tuanya saja belum selesai.
"Terserah lo sih. Lo mau pilih yang mana Adrian. Gue sebagai saudara aja kesal sama lo yang nggak mau jujur sama gue. Apalagi Askar."
Gue menatap handphone gue kembali, menunggu Askar menjawab pesan gue. Mungkin dia lagi di jalan atau lagi sibuk.
Gue kembali menoleh ke Aldi yang sedang fokus membaca buku Biologi yang kemarin dia pinjam di Perpustakaan. Gue menggigit bibir menoleh ke handphone, ragu hendak menelpon Askar atau tidak. Gengsi kalau gue nelpon dia duluan, ntar dia bilang yang nggak-nggak lagi. Gue mencari kontak Askar dengan jempol kiri berada diatas tombol panggil. Gue kembali menoleh ke Aldi yang sudah mengetahui gelagat mencurigakan gue.
"Ada apa?"
"Ng... Nggak."
Gue memencet tombol panggil dan nada tersambungpun berbunyi.
"Oh ya Ian, gue pinjam buku Biologi lo yang kita pinjam di Perpus kemarin dong." ujar Aldi.
Oh ya, kita meminjam buku paket Biologi dengan penerbit berbeda, yang kalau nggak salah gue tinggal semalam didalam laci meja.
"Bentar ya."
Gue lalu mengobok-obok laci gue sambil menajamkan pendengaran ke speaker handphone gue yang udah agak 'kena' itu. Tak sengaja, tangan gue menyentuh sesuatu yang dingin di dalam sana, membuat gue terpekik tertahan sambil menarik kencang buku Biologi berhalaman setengah rim kertas dari laci meja.
"Ada apa?" ujar Aldi menengok kedalam laci meja. Dia mengambil sesuatu dari laci meja lalu menyerahkannya ke gue. "Setangkai bunga lagi Ian." ujarnya setengah tersenyum ke gue.
Gue menghembuskan nafas gue yang tertahan tadi. Gue kira ular, parno gue muncul setelah melihat film dokumenter di Animal Planet semalam. Sambil menerima bunga dari orang yang tidak dikenal itu, gue merapatkan telinga di speaker handphone.
"Halo?" ujar gue sambil mendengar jawaban seseorang diseberang sana.
"Ada apa?" terdengar suara diseberang sana dengan nada ketus.
"Mmm..., gue cuma mau bilang kalau gue pergi bareng Aldi."
"Ooh..., cuma itu?"
"Eh..., iya cuma itu kok." jawab gue.
"Okelah."
"Mmm..., Bye Askar. Ntar aku telfon lagi." ujar gue menutup handphone gue. Ada yang nggak beres dengan si Askar, tumben-tumbenan dia kayak gini.
"Lo masih diteror sama si Anonymous itu?"
"Masih, malam tadi dia ngancem lagi." ujar gue menggigit bibir. "Gue takut kalau dia megirimkan foto itu ke Mama."
"Gue juga udah meminta pertemanan sama dia, tapi nggak di terima. Gue yakin, akun itu hanya buat meneror lo. Mungkin dia pakai Line Lite atau semacamnya." ujar Aldi berhipotesa sambil mengelus dagunya memandang mawar yang telah dia letakan di meja.
"Kalau bunga ini, ada hubungan kah?"
"Gue belum bisa memprediksi apakah ada hubungannya atau nggak. Tapi gue yakin, ada benang merah diantara keduanya."
Gue tersenyum memandang keluar ruangan. Nggak salah apabila gue menjuluki dia Edogawa Conan dari Asia Tenggara. Walau nggak seperti tokoh anime detektif itu, dari kacamata dan gaya berfikirnya itu udah mirip dengan tokoh utama Detectif Conan itu. Cara menganalisanya udah bagus kok untuk tingkatan pemula. Cocoknya dia masuk Kriminologi UI deh dibanding Farmasi UGM. Hehehe.
"Ada apa senyum-senyum?"
"Nggak, gue cuma berfikir lo cocok jadi kriminolog daripada apoteker." gue menerawang.
"Aamiin..., gue terserah aja deh. Rezeki dimana kita kuliah itu urusan Tuhan, kita hanya bisa berusaha dan Tuhanlah yang menentukan semuanya. Sama kayak kakak kelas kita yang mau masuk perguruan tinggi sekarang, mereka boleh berharap tapi Tuhanlah yang menentukan semua.
Oh ya, Udah lo bilang sama Askar?" dia melambatkan suaranya. Anggota kelas gue udah hampir lengkap, kecuali Dwi yang belum datang juga.
"Soal apa?"
"Anonymous, udah lo bilang belum?."
"Belum, ntar sepulang sekolah gue mau nyamperin dia sekalian mau bilang tentang Anonymous itu."
"Baguslah kalau begitu."
"Tapi ada yang berbeda dengan dia pagi ini." gue memandang handphone buntut pengganjel jendela kepunyaan gue yang tergeletak diatas buku Biologi. "Dia seperti ada masalah sama gue". Walau gue tahu dia ada masalah.
"Mungkin dia kesal sama lo, beberapa hari ini lo jauhi." Aldi mengangkat kedua bahunya, tanda ketidaktahuannya. "Makanya lo bilang kedia tentang Anonymous itu."
Gue memainkan handphone. Lalu memandang Aldi lagi yang menatap gue. "Menutut lo, gue juga perlu nyeritain masalah bunga ini atau nggak?"
"Jangan dulu deh, ntar dia cemburu lagi. Kalau udah jelas, baru lo ceritain semuanya."
Gue mengangguk-angguk sambil memasukan handphone buntut gue kedalam saku serta bunga tersebut kedalam tas. Tak lupa gue memeriksa aplikasi Line di smartphone gue. Syukurlah nggak ada teror lagi.
Belpun berbunyi, dan si Dwi masuk kedalam kelas dengan muka sumringah.
"Ada apa lo nyengar nyengir gitu? Tanya Aldi penasaran. "Kesambet ?"
"Hehehe nggak kok. Gue baru dapat bokep baru dari si Ridho nih." jawabnya dengan ekspresi mesumnya yang buat kita berdua geleng-geleng kepala.
---
Guepun berjalan di koridor, menuju kelas Askar yang berada beberapa kelas dari kelas gue. Kebetulan kelas Tia berada diantara kelas gue dan kelas Askar.
Gue lg otw k kls lo Kar.
Gue mengirimkannya pesan. Semoga pesan gue yang tadi gue kirim dia baca.
Saking fokusnya gue dengan handphone buntut gue, secara tidak sengaja gue menabrak seorang cewek sehingga buku-buku yang dia bawa berserakan semua. Gue secara refleks jongkok lalu memunguti buku-buku latihan yang berserakan. Begitupun si cewek -yang rupanya Tia-, juga memunguti buku-buku yang berserakan. Mukanya langsung memerah takkala melihat muka gue. Lalu langsung menekur menyembunyikan kegugupannya.
"Maaf." ujar gue tulus sambil menyerahkan bukunya, melihat ekspresinya yang sulit ditebak.
"Seharusnya Tia yang minta maaf. Tia jalan nggak lihat-lihat." jawabnya. Dia masih merunduk sambil memeluk buku. "Makasih ya Adrian, udah nolongin ngumpulin buku." ujarnya seraya merapikan seragam pramukanya yang sedikit berantakan.
"Sama-sama." jawab gue sambil menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. Ada kecanggungan yang terjadi disini. "Mau kemana?"
"Mau ke ruang majelis guru ngantarin buku-buku latihan anak kelas," sambil mengangkat sedikit tumpukan buku itu, "terus pulang."
"Mau dibantuin?"
"Nggak usah." tolaknya.
"Nggak usah sungkan ah." Gue lalu merebut buku tersebut dari pegangannya, lalu berjalan kearah ruang majelis guru. "Pasti Tia keberatan, mending gue tolong aja."
Tia tersenyum, masih dengan merunduk seraya mengikuti dari belakang. "Terimakasih." bisiknya yang cukup terdengar oleh gue.
Gue pura-pura budeg. "Apa?! Nggak kedengeran."
"Makasih Adrian." ujarnya dengan volume yang cukup keras dengan muka yang menahan malu.
Gue terkekeh.
"Teman Tia yang lain mana?"
"Mereka udah pulang duluan. Katanya sih mau pergi jalan-jalan dulu ke mall."
"Trus, Tia nggak pergi?"
"Nggak, ada yang akan Tia kerjakan dirumah." jawabnya sambil tetap membuntutu gue dari belakang.
"Nih buku mau diantarin kemeja siapa?"
"Ibu Diah, Rian." tandasnya.
Gue sambil bersiul-siul ria, lalu mengantarkan buku tersebut sampai kedepan meja sang guru, dengan Tia yang setia membuntuti gue dari belakang. Beberapa guru memandangi kami berdua dengan pandangan beragam. Buk Silvi (guru bahasa Indonesia sekaligus walas gue) yang sedang memeriksa latihan kami menatap gue penuh tanda tanya, lalu memanggil gue dengan kibasan tangan. Nampak sekali guru paling akrab dengan siswa lagi pengen ngepoin gue.
"Sedang apa Rian?"
Gue nyengir. "Nolongin teman buk, ngantarin buku." seraya memandang Tia yang menunggu gue dipintu ruang majelis guru.
"Nolongin teman atau nolongin teman?" sindirnya seraya menatap gue dengan tatapan penuh arti. Ya sang mother udah di mode kepo.
"Nolongin teman buk. Apalagi dia cewek buk, kasihan bawa berat-berat. Kalau bisa ditolong kenapa nggak ditolong buk."
"Okelah, bagus, itu baru anak ibu. Oh ya, sekarang masih teman kan ya?" sindirnya yang tepat menembus jantung gue. Bu Silvi menoleh kearah Tia. "Ya udah Adrian cepat pulang sana. Kasihan 'temennya' lama menunggu." kata Bu Silvi penuh arti. "Semoga beruntung." bisiknya.
Gue tersenyum, bu Silvi udah menabuh genderang perang. Gue harus mengadakan pembalasan untuk Bu Silvi supaya posisi skor bisa imbang dengan beliau.
"Ibu juga ya buk, semoga beruntung." ujar gue seraya mengarahkan dagu kearah Pak Marhedi yang sejak gue masuk, memandang mesra kearah Bu Silvi.
Bu Silvi menoleh dan tiba-tiba muka bu Silvi langsung memerah sambil menepuk lengan gue. "Apaan sih Adrian." Ibu Silvi menahan malu. Gue terkekeh seraya mencie-ciekan walas gue itu. Hahay 1-1.
"Udah ah!" ujar Bu Silvi seraya menutup mulutnya dengan tangan. Lalu mendorong-dorong badan gue menjauhinya.
"Ya buk, Adrian pulang dulu Bu." guepun sungkem dengan ibu Silvi yang tanpak syok atas kejahilan gue tadi.
"Hati-hati ya Adrian." ujar Bu Silvi disertai cengiran gue kearah beliau seraya berjalan kearah Tia yang sedang memikirkan sesuatu.
"Maaf ya lama, biasa mah kalau dengan Bu Silvi Adrian emang lupa waktu."
Tia tersenyum sambil melangkah keluar majelis guru. "Nggak apa-apa kok. Malah bagus dong Rian, sama walas bisa sedekat itu." Dia memain-mainkan ujung seragamnya. "Mmm... Bay the way, OSIS mau ngadain rapat persiapan acara Class Meeting sabtu depan. Suratnya ntar nyusul."
"Rian datang kok, InsyaAllah.
Siap ini langsung pulang?"
Dia berfikir sejenak dengan jari tangan mengetuk dagu, lalu kembali menatap gue dengan senyum khasnya.
"Nampaknya iya. Kenapa?"
"Nggak, nanya aja. Hati-hati ya." jawab gue.
Mimik wajah Tia langsung berubah. "Ooh gitu." Nampak kesedihan dan ketidak sukaan yang terpatri di wajahnya. "Okelah Tia pulang dulu ya."
"Ya."
Sebagai cowok yang baik, guepun mengantarnya kedepan sekolah. Tia lalu duduk di halte depan sekokah menunggu angkot ke kompleksnya, gue lalu duduk sekitar semeter disampingnya. Setelah berbasa basi sebentar, guepun kembali ke dalam perkarangan sekolah meninggalkan Tia di halte. Kalau gue tungguin bisa lama, dan Askar bakalan ngamuk ntar. Tak lupa, gue melirik motor Askar yang (syukur) masih terpakir cantik di parkiran sekolah.
Gue kembali menoleh kearah Tia yang nampak dari jauh sedang menelfon seseorang, menatap gue dari kejauhan lalu tersenyum yang gue balas dengan senyuman pula.
Guepun lalu menuju kelas XI IPS 4 yang ada dilantai dua. Selama perjalanan ada beberapa siswa sedang duduk-duduk di koridor kelasnya, ada pula yang berpacaran di tangga sekolah. Sedangkan sekelompok siswa ekstrakulikuler Pramuka dan Paskibra sedang berlatih di lapangan sekolah di sabtu sore yang cerah.
Gue sedikit berlari saat gue dekat dengan kelasnya, takutnya dia marah lagi harus nunggu lama.
"Maaf Kar, gue telat. Ada yang gue kerjain tadi." ujar gue saat gue masuk kedalam kelasnya. Gue melihat keseluruh sudut kelasnya yang kosong melompong nggak ada orang. Kemana nih Askar, apa dia udah pulang duluan? Tapi motornya masih di parkiran kok.
Kar, lo dimana? Gue udah di kelas lo nih.
Gue kembali celengak-celenguk keluar kelasnya sambil sesekali mematap layar handphone yamg masih gelap. Gue akhirnya menelpon si Askar kampret. Dan suara operator memberitahukan bahwa nomor Askar tidak aktif.
Gue kembali masuk kedalam kelasnya. Mending gue duduk di bangku guru sambil menunggu Askar yang ntah dimana. Gue juga bisa membaca buku untuk mengisi waktu. Walau bagaimanapun, gue harus memberitahukan tentang Anonymous ke dia, serta menanyakan kebenaran kepindahannya ke Surabaya.
Berapa langkah lagi menuju kursi guru, tiba-tiba mulut dan hidung gue disekap oleh seseorang dengan sapu tangan. Gue mencoba berontak dengan melepaskan tangannya namun dia berhasil memegang tangan gue. Sebelum pandangan gue akhirnya gelap dan gue nggak ingat lagi apa yang terjadi.
--- tbc
..jangn2 itu org suruhan si Tia...