It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3
@JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo
@PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova
@jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro
@new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18
@delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia
@diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku
@ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan
@Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie
@sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday
@Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran
@rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto
@Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream
@shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji
@abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar
@kaha @blasteran @BN @dian_des
@Pyromaniac_pcy @melkikusuma1
@asik_asikJos @opatampan @The_jack19
@ori455 @lukisan_puisi @usernameku
@dadanello @boncengek3 @earthymooned
@gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama
@OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif
@satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa
@Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay @AndikaRiskiSya2 @DafiAditya @Nino6 @wisnuvernan2 @Riyand @askar_12 @babikapeler @dewa_ramadhanna @yogan28 @the_angel_of_hell @KuroZet @Reyzz9 @RivaldyMyrus @Algibran26 @UiOOp @ktp23 @Apell @Abdulloh_12 @QudhelMars
Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.
Part 44
“Nama kamu siapa?”
“Adrian Aditya tante.”
“Jadi nama kamu Adrian Aditya?” tanya nyokap Askar memandang gue penuh benci dan amarah. Mata berkilat-kilat marah seperti hendak melumat gue saat ini juga.
“I...iya tante.” Gue meremas baju yang gue kenakan tanpa mau menatap sang calon mertua gue yang ganas. Rasanya gue bakalan hancur malam ini di permalukan si nyonya besar.
“Jangan menekur saja. Dan jangan panggil saya tante.”
Gue menaikan kepala menatap matanya yang seperti menelanjangi gue. Matanya yang garang dan menusuk membuat gue menjadi ngeri untuk menatapnya berlama-lama. “Trus saya harus memanggil ibu dengan apa?” tanya gue sopan.
“Panggil saya nyonya besar.” Jawabnya dengan sombong.
“Baik nyonya.”
“Kamu ada hubungan dengan anak saya?”
“Eng... anu.”
“Jauhi anak saya! Saya tidak sudi anak saya menjalin hubungan dengan kamu!” bentaknya menatap gue garang.
“Tapi nyonya...”
“Saya sangat jijik melihat muka kamu. Dasar homo!. Keluar kamu dari sini! Keluar kamu dari rumah saya!” teriak wanita itu dengan keras sambil berdiri lalu memukul meja.
Gue hanya diam membeku di kursi menatap nanar piring berisi makanan yang belum gue sentuh sama sekali. Gue nggak mungkin berlari begitu saja keluar dari rumah dengan mata berlinangan air mata sambil menutup mulut, ditambah dengan hujan yang sangat lebat dan petir menggelegar. Ini bukan sinetron yang ada di televisi. Askar menepuk bahu gue, menggoncang-goncangkan bahu gue dengan keras.
“Adrian, oi Adrian!” Askar menggoyang-goyangkan tubuh gue. “Lo kenapa sih?” ujarnya membuyarkan semua khayalan gue tentang nyokapnya yang ganas dan tidak berperi kemaluan (yang tidak punya perasaan malu maksudnya ).
Gue menatap mata wanita yang telah melahirkan calon pacar gue itu sekali lagi. “Nama saya Adrian Aditya tante.” Jawab gue berusaha sesopan mungkin kepada calon mertua gue yang cantik.
“Kamu teman sekelasnya Askar?”
“Nggak tante, saya dan Askar pernah sekelompok bareng. Tugas membuat makalah Bahasa Indonesia tante.” Jawab gue seadanya. Beliau menatap gue sekilas sambil memasukkan makanan yang telah terhidang kemulutnya.
Nyokapnya Askar nampak orang yang sangat sibuk dan berpengaruh. Rambut sebahu, dengan wajah tegas dan kacamata beliau yang berframe besar membuat beliau nampak (sedikit) garang. Memakai stelan khas wanita karier dengan perhiasan yang mewah, membuat gue yakin beliau adalah orang yang berkelas.
“Oh ya, seberapa dekat kamu dengan anak saya?” tanya nyokap Askar membuyarkan lamunan gue tentang beliau, sambil memotong bistik yang ada di piringnya tanpa melihat kearah gue. Gue menoleh ke Askar sejenak sebelum mengambil nafas dalam, hendak menjawab pertanyaan si tante yang bikin dilema itu.
“Cukup dekat tante. Kami cukup mengenal satu sama lain.”
Si tante memandang gue lekat-lekat, seperti mencerna jawaban gue tadi. Beliau menggeleng seperti sedang membuyarkan pikirannya lalu kembali memotong bistik buatan bi Ijah sambil bertanya. “Kamu dan anak saya nggak ada hubungan yang spesial kan?” tanya beliau yang sontak membuat gue tersedak hingga terbatuk-batuk saking kagetnya.
Askar secara spontan langsung meraih gelas gue dan menyerahkannya ke tangan gue, tak lupa tangannya yang lain membarut-barut punggung gue. Gue lalu mengucapkan terima kasih, meminum air tersebut, dengan mata tetap memandang nyokap Askar yang menikmati makanannya tanpa terganggu sedikitpun. Dia kelihatan acuh tak acuh. Sang anak Askar juga nampak terkejut dengan pertanyaan nyokapnya yang frontal dan mengena tepat sasaran itu.
“Kita hanya sebatas teman biasa Ma. Sama seperti Askar dengan Aldo dan Evan.” Jawab Askar.
“Askar, Mama bertanya pada temanmu, kenapa kamu yang menjawab.” Nyokap Askar kembali menatap gue, “apa yang dikatakan Askar itu benar Adrian?”
“I...iya tante. Saya dan Askar hanya sebatas teman biasa saja.” Jawab gue meyakinkan nyokapnya Askar.
“Baguslah kalau begitu.” Beliau mengangguk-angguk tanda mengerti. “Bagaimana dengan orang tua kamu? Dimana mereka bekerja?”
“Papa bekerja di sebuah perusahaan bidang telekomunikasi tante, sedangkan Mama bekerja di perusahaan BUMN."
Si tante mengangguk-angguk lagi sambil meraih gelas yang berisi air dan meminumnya.
Beliau tersenyum menatap gue. “Beruntung sekali anak saya dapat teman seperti kamu. Sangat sopan.” Beliau melirik Askar dengan pandangan menghina, “berbeda sekali dengan teman-teman gengnya yang urakan dan tidak mengenal sopan dan santun itu. Tapi syukurlah, semester depan dia sudah ikut tante ke Surabaya.”
Askar terdiam di tempatnya mendengar pernyataan nyokapnya. Rahangnya tiba-tiba mengeras dan penolakan terpancar dari mata elangnya. “Askar nggak mau ke Surabaya Ma! Askar mau disini.” Askar bersuara.
“Mama tidak ingin kamu rusak nak! Akademis kamu sangat jelek. Kamu nyaris tinggal kelas tahun kemarin dan kamu juga ikut geng-geng yang nggak jelas yang menjerumuskan mu kepada hal-hal yang buruk.” Teriak mamanya sedikit keras.
Gue begidik ngeri dengan kata-kata nyokapnya Askar yang sedemikian frontal terhadap anaknya sendiri. Tanpa ada rasa malu, walau didepan gue sebagai teman anaknya.
“Aku nggak rusak kok Ma. Askar udah berubah sekarang, Askar udah ada Adrian yang selalu ngingetin Askar untuk belajar.” Askar menoleh kearah gue sebentar lalu menatap nyokapnya kembali. Begitupun nyokap Askar yang menatap gue dengan kening berkerut. “Askar udah bahagia dengan kehidupan Askar sekarang Ma. Dan Askar harap Mama nggak merusak kebahagiaan Askar itu.”
“Askar!” teriak nyokapnya Askar membuat ruangan besar itu seketika menggema dengan suaranya, sambil berdiri menatap Askar dengan mata melotot.
“Maaf Ma. Tolong jaga kehormatan Askar di depan teman Askar Ma.” sahut Askar dengan muka menatap kedepan tanpa memandangi nyokapnya lagi.
Sontak nyokap Askar kembali duduk sambil merapikan posisi duduknya, sambil tersenyum ke gue walau dengan sorot mata yang tajam dan menusuk. “Maaf ya Adrian. Saya terbawa emosi tadi.”
“Iya tante, nggak apa-apa.”
“Askar.” Si tante lalu memegang tangan Askar dengan lembut dan menggenggamnya. “Tatap Mama Askar! Yah begitu.... Kamu udah dewasa sayang, kamu sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Mama hanya ingin kamu ikut Mama ke Surabaya sayang. Mama akan mencarikan kamu sekolah yang terbaik sayang, kamu bisa belajar dengan teman-teman barumu di sana. Ya...”
Askar menarik tangannya. “Nggak Ma. Askar nggak mau pergi. Askar mau tetap tinggal disini. Askar punya banyak kenangan disini. Askar juga sudah punya banyak teman disini.” Dia bersikukuh.
Si tante lalu menatap gue putus asa sebelum dia kembali menatap Askar. “Askar. Kamu tahu bukan? Rumah ini akan Mama dan Papa kamu jual sayang. Jadi kamu mau tidak mau harus pindah dengan Mama.”
“Mama saja yang pindah ke Surabaya. Biar Askar disini dengan Papa.”
“Askar! Kamu anak saya, dan saya ibu kamu. Secara hukum di Indonesia, hak asuh anak jatuh kepada saya, bukan kepada papa kamu.” Suara nyokap Askar kembali meninggi dengan tunjuk tepat di kening anaknya.
“Tapi ma... kenapa Papa dan Mama harus berpisah? Kenapa? Apa salah Askar sampai kalian berpisah?” Teriak Askar dengan suara yang bergetar. Matanya telah merah dan air mata telah menggenang di pelupuk matanya.
“Ini bukan salah kamu Askar.” Si tante lalu merunduk menatap meja. Hampa. “Kami tidak seprinsip lagi.”
“Tapi kenapa harus berpisah Ma? Kenapa? Nggak ada cara lain kah? Askar rela Ma, Askar rela nggak mendapatkan kasih sayang papa dan mama asalkan papa dan mama masih bersama Ma. Askar rindu keluarga kita yang dulu, yang bahagia seperti dulu.”
“Kita tidak akan bisa seperti dulu lagi...” ujar nyokap Askar sambil meneteskan air matanya. Begitupun dengan Askar yang telah bercucuran air mata.
“Apa karena Azka ma? Oleh karena itu papa dan mama bercerai, lalu mama berniat membawa Askar ke Surabaya?”
“ASKAR!!” teriak seseorang dari arah belakang kami dengan suara menggelegar, membuat kami langsung berdiri menoleh kearah sumber suara. Sang pria yang gue yakini bokapnya Askar lalu berjalan kearah kami dengan tergesa-gesa sambil menatap anaknya dengan wajah yang sulit gue ekspresikan.
“Papa dan mama kamu berpisah bukan karena Azka! Dan satu lagi...” beliau menatap nyokapnya Askar. “Askar akan ikut bersama saya.” Ujarnya mantap.
“Tapi, saya ibunya , saya yang melahirkan Askar. Dan saya lebih berhak dari pada kamu.” Teriak nyokap Askar tidak mau kalah.
Nyokapnya Askar memandang kearah gue, “Adrian, bisa tinggalkan kami bertiga?”
Gue tergagap sambil menekurkan kepala “Baik tante.” Ujar gue. Gue menatap Askar memberi isyarat kepada Askar kalau gue ke kamarnya, dan memberi hormat kepada bokap Askar sebelum gue ngacir menuju kearah kamar Askar yang ada di lantai dua.
Gue lalu duduk didepan kamar Askar bersandar ke pintu kamar sambil menatap dinding dengan foto-foto Askar disana. Beberapa foto Askar kecil, Askar dengan adiknya dan Askar dengan adik serta kedua orang tuanya. Mereka nampak bahagia. Ada juga foto Askar di saat bangku Sekolah Dasar sambil memegang medali perunggu olimpiade tingkat provinsi. Ada foto lainnya yang memperlihatkan mereka dulu adalah keluarga yang harmonis.
Suara ribut-ribut masih terdengar dari bawah, perang dunia telah terjadi di rumah ini. Gue langsung masuk kedalam kamar Askar, supaya tidak mendengar pertengkaran di bawah.
Terdengar teriakan sang kepala rumah tangga yang memanggil anaknya, sehingga tak lama Askar muncul membuka pintu kamar dengan wajah penuh emosi. Dia membanting pintu, mengerang sambil meninju pintu kamarnya dengan keras. Askar menoleh kearah gue yang mungkin nampak ketakutan, lalu meraih tangan gue dan membawa gue pergi dari rumahnya.
---
Gue masih kefikiran dengan kejadian malam minggu di rumah Askar. Gue nggak menyangka bahwa makan malam gue dengan calon mertua gue bakalan seperti itu. Berakhir dengan ribut-ribut dengan keputusan bulat bahwa mereka berdua akan tetap bercerai dan nyokapnya Askar tetap bersikukuh hendak membawa putra satu-satunya ke Surabaya.
Setelah mengantarkan gue pulang, Askar lalu berpamitan ke Papa dan Mama yang sedang duduk-duduk di teras depan. Askar lalu pergi entah kemana tanpa memberi tahu kemana dia sekarang. Sampai pagi tadi, Askar belum dapat gue hubungi sama sekali. Gila, gue nggak nyangka kalau masalah yang Askar hadapi malah lebih rumit daripada yang gue alami.
“Oi lo kenapa Ian?” tanya Dwi menggoncang-goncangkan badan gue dengan kepala gue yang tertekur di meja sekeluarnya ibu Silvi dari kelas. Gue nggak ingin di ganggu sekarang. Fikiran gue kosong sejak awal belajar tadi.
“Ian lo kenapa? Lo ada masalah? Cerita dong sama kita.” Aldi merangkul gue dari belakang. “Lo di teror anonymouse lagi? Atau ada masalah sama Askar?”
Mendengar nama Askar, dengan terpaksa gue mendongakkan wajah gue ke belakang. Nama Askar sangat sensitif sekarang, dan bisa-bisa Aldi salah faham dengan Askar kalau gue nggak cepat-cepat menjelaskannya. Liatlah mukanya saja udah mulai mengeras menahan amarah. Pasti fikirannya udah aneh-aneh tuh terhadap Askar.
Gue mengisyaratkannya untuk duduk kembali ke kursinya. Begitupun gue yang kembali duduk sambil menyandar ke dinding. Hanya beberapa orang yang tinggal di dalam kelas sekarang. Dwi lalu duduk diatas mejanya sambil berselonjor memperhatikan gue.
“Nggak kok.” Gue menggeleng. “Ini nggak ada hubungannya dengan Askar.”
“Lalu kenapa lo gini Ian?” Aldi mengusap pipi gue. “Lo keliatan nggak bersemangat.”
“Gue hanya kefikiran tentang teror anonymouse aja.” Jawab gue bohong. “Gue takut dia akan mengirimkan foto itu ke Mama.” Gue mengetuk-ngetukkan telunjuk gue ke meja.
“Gue yakin, dia nggak bakal ngirim tuh foto.” Dwi berkomentar. “Dia hanya menggertak lo saja. Sampai sekarang aja dia belum ngirimin kan?”
Gue mengangguk. “Sampai saat ini belum.”
“So gue yakin dia hanya menggertak saja.”
Aldi menggeleng, “Menurut gue nggak Wi.” Aldi menaikan kacamatanya sambil menatap Dwi. “Gue yakin dia bakalan ngirimin tuh foto cepat atau lambat.” Ujarnya mantap. “Anonymouse itu lagi menunggu kapan momen yang tepat untuk mengirimkan foto itu ke email Mama. Mungkin dia sedang memantau Adrian saat ini, menikmati ketakutan yang dirasakan oleh Adrian. Disaat Adrian sudah memancing emosinya, maka dia akhirnya mengirimkan foto itu ke Mama.” Terang Aldi menatap gue dan Dwi bergantian.
Seluruh tubuh gue merinding mendengar hipotesa Aldi tadi. Begitupun dengan Dwi yang menatap gue horor. “Oleh karena itu, kita harus bisa menemukan titik terang siapa dia sebelum dia melancarkan serangan terakhirnya.” Tandas Aldi.
“Apakah ada kemungkinan kalau dia bisa saja mengirimkan foto itu ke email Mama sekarang?” tanya gue. Oke sekarang malah terfokus ke anonymouse bukan masalah keluarga Askar lagi.
Aldi mengelus-elus dagunya lalu menggeleng menatap gue. “Nggak. Dia pasti bakalan bilang ke lo terlebih dahulu kalo akan mengirimkan tuh foto. Kebiasaannya seperti itukan?"
Gue mengangguk mengiyakan.
"So, sampai sekarang dia tetap meneror lo?”
“Ya, terakhir dia meneror gue pas malam minggu. Dia menulis ‘jangan macam-macam, kalo lo nggak ingin gue mengirimkan foto’ sekitar jam setengah delapanan.
“Berarti dia masih meneror lo.” Aldi kembali mengelus-elus dagunya berfikir. Kadang dia menatap gue maupun Dwi bergantian sebelum kembali mengelus-elus dagunya berfikir memandang lantai.
Gue jadi bingung sendiri dengan pernyataan Aldi yang terakhir. Ambigu banget. Mungkin dia lagi memikirkan sesuatu, ntahlah. Cuma dirinya dan Tuhanlah yang tahu apa maksud dari kata-katanya tadi.
Sebuah pesan masuk ke handphone Aldi. Diapun merogoh sakunya lalu membaca pesan yang masuk. Diapun tersenyum sambil kembali memasukkan handphonenya lalu menatap kami berdua.
“Yuk ikut gue!” ajaknya seraya bangkit dari bangkunya.
“Kemana?” tanya Dwi yang juga ikut bangkit dari posisi pw nya tadi.
“Ke kantin.” Jawabnya sambil menggerling ke Dwi sehingga tuh anak bersorak. Aldi lalu keluar dari kelas meninggalkan kami berdua dan Dwi dengan bernafsunya turun dari meja dan menyeret gue dengan ganas laksana singa mau kawin (?). Mau tidak mau gue harus pergi ke kantin, mungkin ada hubungannya dengan masalah gue sekarang.
Setelah sampai di kantin, Aldi pun memilih meja di sudut kantin yang sedikit terasing dari meja yang lain karena berada di sudut dan disamping meja kasir pula. Aldipun memesan makanan lalu kembali ke meja kita sambil merunduk-runduk kayak maling. Ditambah lagi dia celengak-celenguk nggak jelas sambil sesekali mengecek handphonenya.
“Lo ngapain sih celengak-celenguk kayak maling gitu?” Dwi menepuk pantat Aldi sehingga dia langsung mempelototi Dwi marah sambil meletakkan telunjuknya di bibir.
“Tolong diam please.” Bisiknya sambil duduk menatap kami berdua. “Gue lagi nunggu seseorang nih.”
Bi Yanti sang pemilik kantin, datang membawa pesanan kami. “Oalah, nunggu bi Yanti aja kayak gitu amat sih." Ujar Dwi sambil menerima pesanan kami dari bi Yanti. “Thanks ya Bi. Udah ditungguin sama 'Afghan' kita nih. Katanya laper. Takut ketahuan sama fans pula."celetuk Dwi sambil mengopor makanan kami lalu menepuk pantat semok Aldi yang lagi berdiri, sehingga Aldi menatap Dwi ternista. Sedangkan bi Yanti hanya tersenyum maklum melihat kelakuan aneh kami sambil berlalu pergi.
“Sialan lo. Bukan bi Yanti kali. Ngapain juga gue nungguin dia.” Aldi menggerutu.
Gue mengambil botol saus yang ada di depan Aldi. “trus, nunggu siapa?”
“Nah itu mereka datang.” Aldi lalu merunduk menunjuk kearah pintu kantin sehingga guepun melirik kesana. Nampaklah adik gue Fandi dan anggota gengnya si Tia yang kelihatan akrab, bercengkrama, tanpa kehadiran Tia disana. Oh ya, saat ini anak OSIS lagi ada rapat buat persiapan class meeting jadi Tia nggak ada sekarang ini. Yang jadi persoalan saat ini adalah, ngapain adik gue sok akrab sok dekat dengan dua cewek temannya si Tia. Apa ini kerjaan Aldi pula.
"Eh saus lo kebanyakan tuh." Bisik Dwi ke telinga gue. Otomatis gue membalikkan botol itu lalu mengembalikannya ke posisi semula.
Fandi dan gengnya si Tia lalu duduk di meja dekat meja kami. Aldi mengisyaratkan kami untuk diam dan tidak melakukan gerakan mencurigakan sehingga gengnya Tia mengetahui keberadaan kami. Rupanya Aldi ngajak kita berdua kesini buat ngupingin pembicaraan ketiga orang tersebut. Gue dan Dwi mengangguk tanda faham lalu mendengarkan sayup-sayup percakapan mereka yang sudah duduk cantik di bangku masing-masing.
“Jadi Fandi punya blog pribadi?” tanya teman Tia yang sedikit berbadan menatap Fandi tidak percaya.
“Iya kak Riska, Fandi punya blog tentang kehidupan remaja dan sekolah gitu lah kak.”
“Jadi kali ini, lo mau mewawancari kita tentang Tia untuk kamu masukin ke blog kamu gitu?”
“Dapat dikatakan begitu kak.” Fandi tersenyum.
Tunggu dulu, apa jangan-jangan yang kemarin di teras OSIS itu juga...
“Wow keren dah Fand. Kenapa nggak masuk ekstrakulikuler jurnalistik kayak kakak saja. Kan bisa dikembangkan. Kakak aja yang jurnalistik nggak pernah bikin blog kayak gitu, mading sama majalah sekolah aja ogah-ogahan.” Ujar cewek berkacamata teman si Riska ikut nimbrung sekembalinya dia dari memesan makanan.
“Fandi pengen ikut olimpiade Fisika kak Orin, jadi Fandi gabubg di ekstrakulikuler olimpiade Fisika. Biar peluang ikut olimpiade semakin besar.”
“Oooh.” Mereka berdua ber-o-ria sambil berpandangan satu sama lain. Lalu tertawa terkikik sambil menutup mulutnya. “Kayak si ‘onoh’ aja.” celetuk si Riska.
“Si ‘onoh’ siapa kak?”
“Itu loh, gebetan si Tia.” jawab Riska melambaikan tangan kearah Fandi sambil menahan tawanya. Begitupun si Orin yang juga terkikik nggak jelas.
“Maksudnya kak Rian?”
Kedua cewek itu langsung terdiam berpandangan satu sama lain sebelum keduanya menatap Fandi dengan horor. Fandi dengan bodohnya hanya memandang mereka dengan rasa tidak bersalah sedikitpun.
“Kamu tahu darimana Fandi?” tanya Orin seperti hendak melumat Fandi bulat-bulat.
“Fandi kan cowok, masak itu aja nggak tahu sih. Dari gelagatnya aja kelihatan. Lagian di sekolah kita yang lolos seleksi olimpiade kota kan cuma kak Rian dan kak Nadya. Jadi Fandi berkesimpulan kalau kak Tia suka sama kak Rian. ” terang Fandi tanpa dosa.
Riska menghela nafas berat. Mereka seperti tersangka yang tertangkap basah telah menyembunyikan sesuatu. Dia menoleh kearah Orin yang berekspesi sama lalu menatap Fandi menyerah. “Iya sih, nggak mungkin juga si Tia suka sama si Nadya. Diakan bukan LGBT."
Dia lalu menopang dagu dengan kedua tangannya
"Kadang disuatu segi cowok itu sangat peka, walau disegi lainnya cowok itu nggak peka sama sekali.” Racau Riska yang malah terdengar seperti curhatan hatinya.
“Tergantung cowoknya juga kali kak.” Fandi menatap mereka bergantian. “Jadi, iyakan kak Tia suka sama kak Adrian?”
Orin mengangguk pasrah, tidak dapat mengelak lagi.
“Sejak kapan kak?”
“Sejak kelas X, semenjak mereka seorganisasi bareng.” Jawab Orin melemparkan pandangannya keluar kelas dengan senyuman mengembang di bibirnya.
“Tapi brengseknya, sampai sekarang si Rian nggak juga peka-peka.” Gerutu Riska. “Pengen gue remas-remas tuh anak.” Dia seperti meremas sesuatu seakan gue tepat berada di depannya, membuat gue merinding melihat tangannya yang..., ya faham aja deh sendiri, sebelas duabelas sama bodynya yang aduhay dalam tanda kutip. Aldi dan Dwi bukannya prihatin, malah terkikik menahan tawa sambil melirik kearah gue saking gelinya. Gue lalu menunjuk-nujuk kearah meja Fandi mengingatkan mereka ke tujuan utama kita disini.
“Mungkin kak Adriannya kurang peka kali kak.” Fandi melirik kearah meja kami. Jadi Fandi tahu kalau kita lagi mata-matain dia. Njir gue secara tidak langsung disindir sama adik gue sendiri bahwa gue nggak peka.
“Bukan kurang lagi Fand, nggak peka sama sekali.” Ujar Riska berapi-api. “Fandi kan adiknya tuh, bilangin deh sama kakak Fandi itu supaya peka dikit sama cewek. Jangan digantung tidak bertali seperti itu dong, kasihan Tianya.” Riska menghembuskan nafas.
“Iya deh nan Fandi bilangin supaya kak Adrian agar ‘peka dikit sama cewek’.” Ujarnya memberi penekanan di peka dikit sama cewek sambil melirik kearah kami dengan sudut matanya. Aldi dan Dwi kembali terkikik menahan tawa mereka yang mungkin saja bakalan meledak.
“Sekalian, suruh si Adrian nembak si Tia.” Orin juga berkomentar.
“Iya. Fandi bilang ke kak Adrian supaya cepetan ‘nembak’nya. Biar semua ‘jelas”.” Sindir Fandi lagi dengan menekan kata nembak dan jelas. Sialan juga nih anak. Nembak apa maksudnya nih dek? Nembakin pejuh ke muka lo.
“Kasihan Tia Fand, dia berubah sekarang.” Riska memainkan botol kecap dengan kepala bertumpu pada tangan.
“Berubah gimana kak? Kak Tia udah jadi ranger pink?”
Riska mempelototi Fandi yang berekspresi tanpa dosa. Sedangkan Aldi dan Dwi udah memegang perut menahan tawa yang terpendam sejak tadi. “Bukan itu dodol. Kadang nih anak sama aja dengan kakaknya. Ngeselin.”
“Hehehe maaf deh kak, becanda peace..." Aldi nyengir mengangkat tangannya membentuk huruf V.
“Iya Fand, kita kan udah sekelas sejak kelas sepuluh. Dan entah kenapa kita bertiga kembali sekelas di kelas sebelas. Sebenarnya kakak sih pengen masuk IPA. Papa nyuruh kakak masuk Pendok ta...” ujar Orin ngelantur yang akhirnya dipotong langsung sama Riska.
“Topiknya apa penjelasannya malah apa. Gimana sih? Biar Riska yang jelasin. Tia suka ngelantur gaje.
Gini.” Riska mengabil nafas lalu menawang nggak jelas. Mungkin membalik-balik halaman lama di fikirannya, entahlah.
“Kita bertiga udah sekelas sejak kelas sepuluh. Tia dulu adalah anak yang ceria, walau terkadang dia sangat pemalu dengan orang asing. Setiap pagi dan sore, kami selalu berangkat dan pulang sekolah bareng. Tapi semenjak perpisahan angkatan 59 kemarin, si Tia langsung berubah. Dia lebih pendiam dan tertutup sekarang.”
Fandi mengangguk-angguk. “Emang apa sih perubahan yang paling kakak rasakan sama kak Tia sekarang?”
“Dia udah jarang pergi dan pulang bareng kita lagi. Dia juga udah jarang curhat sama kita lagi. Dan yang terpenting, dia udah tertutup sekarang.” Orin buka suara sambil menerawang nggak jelas menatap plafon kantin.
“Dia seperti menyembunyikan sesuatu dari kita.” Lanjut Riska. “Seperti sesuatu yang besar yang dia lakukan sendiri, tanpa boleh diketahui oleh orang lain.”
“Contohnya kak?”
“Lo kepo banget deh jadi cowok.”
“Udah ah Ris. Tanggung juga, mending si Fandi tahu semuanya dengan jelas. Biar dia bisa nasehatin kakaknya Adrian supaya nembak si Tia, dan semuanya kembali seperti semula.” Orin menenangkan Riska yang terbawa emosi. “Asalkan Fandi ngeshare yang wajar-wajar aja di blognya tentang Tia.”
Fandi mengangguk. “Iya kak.”
Orin lalu memberi kode supaya mendekat kearahnya, lalu menoleh ke kiri dan kekanan sambil memulai perkataannya.
“Kita nggak tahu persis apa yang disembunyikan Tia, tapi belakangan ini dia selalu datang terlambat, dan pulang paling cepat. Kemudian dia juga seperti menyembunyikan sesuatu di ponselnya, walau kami nggak begitu tau apa yang disembunyikannya.” Jelas Orin.
Fandi seolah berfikir mencerna kata-kata Orin tadi. Berbanding lurus dengan Aldi yang juga melakukan hal yang sama. “Kak Tia ada curhat tentang kak Adrian sama kakak berdua nggak?”
Riska dan Orin berpandangan sejenak lalu menggeleng serentak. “Semenjak dia berubah, nggak lagi. Kami aja yang getol terhadapnya sekarang. Hanya saja gue ingat dia pernah bilang kalau dia ingin melakukan sesuatu supaya Adrian tahu dengan sendirinya tentang perasaannya.” Riska menyeruput air putih yang telah berada di mejanya. “Bi Yanti mana sih? Makanannya belum nyampai juga.” Ujarnya lalu bangkit menemui bi Yanti di belakang.
"Tapi selain itu, dia masih seperti Tia kami yang dulu kok." Tandas Orin sambil melirik kearah Riska yang lagi ngomong dengan bi Yanti di belakang.
Fandi menyerngit sambil menoleh sesekali kearah kami. Begitupun gue dan Dwi yang mencerna maksud dari penggalan penjelasan Riska tadi. Berbeda dengan kami, Aldi sudah tersenyum seperti sudah menemukan titik terang dari permasalahan gue sekarang.
--- tbc
R~
Hallo minna! Apa kabar? Gue doain deh antum semua dalam keadaan sehat wal afiat, tdk kurang satu apapun. Aamiin...
Maaf ya... Gue lama lagi update-nya, bukan niat gue untuk menelantarkan cerita ini. Tapi bnyk masalah n kegiatan yg harus gue hadapi belakangan ini. Gue harap antum smua suka dg part ini.
Oke, tidak berlama-lama, selamat siang n sunt.
28 Agustus 2016 – 09.57
Salam
R~
Kzllllllllllll
Huhu~ mana janjimu ka?
Yang kamu lakuin ke aku jahat!!!
Tapi gpp deh dia lagi banyak masalah.
Semangat kak {}