It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tangan bajuMU SISIngkan untuk negara~
blablabla
@rama212 @boyszki jangan berantem dunk adik2 kk.
@QudhelMars Wah adek mlah menyanyi...
@arya_s maaf ya bro. Lgi proses bikin membikin. Tinggal ditambah dikit periksa dikit, siapngecrot deh. Eh mksdny update
biarin nyanyi juga, emang kka mau adek nangis dan ga bisa tidur tiap malem ?
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3 @JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo @PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova @jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro @new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18 @delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia @diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku @ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan @Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie @sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday @Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran @rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto @Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream @shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji @abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar @kaha @blasteran @BN @dian_des @Pyromaniac_pcy @melkikusuma1 @asik_asikJos @opatampan @The_jack19 @ori455 @lukisan_puisi @usernameku @dadanello @boncengek3 @earthymooned @gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama @OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif @satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa @Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay @AndikaRiskiSya2 @DafiAditya @Nino6 @wisnuvernan2 @Riyand @askar_12 @babikapeler @dewa_ramadhanna @yogan28 @the_angel_of_hell @KuroZet @Reyzz9 @RivaldyMyrus @Algibran26 @UiOOp @ktp23 @Apell @Abdulloh_12 @QudhelMars
Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.
Part 45
Gue melangkahkan kaki gue meninggalkan kelas sambil menuju kelas Askar yang terpisah beberapa kelas dari kelas gue. Banyak dari siswa IPS yang sudah berhamburan keluar dari kelas mereka sambil melirik gue sekilas, penuh tanda tanya. Biasalah, gengsi-gengsian antar jurusan anak SMA. Di sekolah gue, sangat janggal kelihatannya apabila seorang anak jurusan IPA yang main ke jurusan IPS. Kalau diibaratkan sama kayak ngengat biston betularia bewarna hitam, nongol di gerombolan ngengat biston betularia bewarna putih. Janggal banget, keliatan banget bedanya.
Gue lalu menongolkan kepala gue sambil celengak-celenguk kayak maling memperhatikan seluruh isi kelas Askar yang rupanya telah sepi. Hanya ada beberapa siswi yang bertugas piket di dalam kelas, menyapu kelas mereka ogah-ogahan. Sedangkan yang cowok pasti udah kabur duluan tanpa mau mempertanggung jawabkan tugasnya.
“Ada apa ya Adrian?” tanya seorang cewek yang sedang menghapus papan tulis menatap gue dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sedangkan dua orang cewek yang sedang menyapu, menoleh kearah gue sebentar lalu melanjutkan acara sapu-sapuannya acuh tak acuh dengan kehadiran gue.
“Eh anu...” gue menggaruk tengkuk gue yang tidak gatal.
“Pasti cari Askar ya?” potong si cewek.
“Huum. Gue lagi cari ‘bos’ nih.” Ujar gue nyengir. Ketahuan aja kalau gue lagi cari bos sekarang. Lo semua masih ingat kan kalau gue pembokatnya Askar beberapa minggu ini.
“Bos lo nggak hadir hari ini Adrian.” Ujar cewek yang lagi memegang sapu bewarna biru ketus tanpa menoleh kearah gue. Gue lupa nama cewek belagu saingan gue dulu di kelas sepuluh yang ongehnya minta ampun itu. Ditambah lagi para cowok yang piket sekarang yang pada kabur membuat emosinya pasti lagi nggak stabil. Plus lagi jikalau sedang datang bulan, lengkap sudah.
Gue melirik si cewek yang sedang berdiri memandangi gue sambil memegang penghapus papan tulis ditangannya. Nampaknya dia cewek paling care sama gue saat ini. “Absennya bos gimana?”
“Oh kalau absennya sakit. Tadi pagi suratnya dibuat sama Evan.” Ujarnya tersenyum.
Gue juga tersenyum. Cewek yang manis. “Okelah. Makasih ya...” gue meletakkan telunjuk gue di pelipis seperti sedang berfikir keras memikirkan namanya, walau boleh jujur gue nggak tahu siapa namanya.
“Meta.” Ujarnya tersenyum geleng-geleng kepala, lalu melanjutkan tugasnya yang tertunda.
“Oke makasih ya Meta, makasih ya cewek yang memegang sapu biru yang gue lupa namanya.” Ujar gue seraya ngacir dari kelas itu. Gue mendengar rutukan si cewek yang memegang sapu biru dari arah kelas Askar.
‘Kar, lo dmn? Lo sakit? Kok nggk blng2 k gw? Udah minum obat? ( ‘
15.47
Gue mengirim pesan ke Askar sambil berjalan sendiri tanpa ada yang menemani menuju gerbang sekolah. Mending gue pulang dah daripada keluyuran nggak jelas di sekolah, ntar diculik om-om gue lagi. Si Askar kampret gue juga nggak ngebales pesan gue, sehingga gue memasukkan handphone buntut gue ke dalam tas.
Sesampainya gue di tangga lantai dua, gue seperti merasakan ada yang memeperhatikan dari jauh. Dia seperti lagi membuntuti gue. Serius. Gue berhenti sejenak, lalu langsung menoleh ke belakang. Tidak ada orang, gue lalu naik kembali kelantai atas dan melihat kearah lorong yang sepi. Hanya ada beberapa siswi yang sedang piket, tanpa mempedulikan gue. Fix, betul kata Aldi, gue dibuntuti saat ini. Gerak-gerik gue diawasi oleh anonymouse atau kawanannya. Shit, parah abis nih. Gue lalu jongkok pura-pura mengambil sesuatu supaya sipenguntit gue tidak curiga. Lalu mengeluarkan handphone gue dari tas sambil bersandar di dinding.
‘Al, lo dmn?’
15.49 . Baca
‘Gue di halte, fans gue pada ngumpul di halte. ‘
15.49
‘Lo bwa helm 2 kn? Gw mau nebeng. Gw otw k sna’
15.50 . Baca
‘Lo bukannya bareng Askar ya?’
15.50
Gue mengabaikan pesan yang dikirim oleh Aldi tadi. Setelah memasukkan handphone gue kembali kedalam tas, gue langsung turun tangga berjalan senormal mungkin supaya si anonymouse tidak curiga kalau dia sudah ketahuan telah membuntuti gue. Gue bisa merasakan dia membuntuti lagi, mengendap-endap menatap gue jauh. Gue menoleh ke belakang, menampilkan dinding sekolah yang telah dicat baru. Setelah berjalan beberapa langkah turun, gue kembali menoleh, memperlihatkan sekelebat bayangan yang sedang menyembunyikan diri dibalik dinding. Gue langsung kembali naik tangga mengejar si penguntit gue itu. Memeriksa tiap kelas yang telah kosong sehingga gue mentok di kelas yang siswinya lagi piket.
“Ada apa Rian?” tanyanya cewek yang memegang sapu. “Kamu cari siapa?”
“Eh anu, kalian lihat ada orang yang mencurigakan lewat sini tadi nggak?”
“Mencurigakan kayak apa Rian?” Si cewek yang lagi memegang tong sampah bertanya.
“Orang yang lari kayak dikejar sesuatu gitu?”
Mereka saling berpandangan sebelum mereka berdua serentak menggeleng. “Nggak ada tuh.” Jawab mereka serentak pula.
“Hmmm,” gue melempar pendangan sebentar, “Makasih ya.” Gue tersenyum kearah mereka berdua lalu kembali berjalan kearah tangga. Tidak lupa kembali memeriksa setiap kelas yang gue lewati, walau hasil nihil yang gue dapat.
Sial,dia berhasil kabur.
---
“Al!” teriak gue sesampainya gue di gerbang sekolah. Beberapa siswi kelas X dan kelas XI, tidak lupa Vivi dan Caca sedang mengerumuninya di halte depan sekolah. Gue berjalan kearahnya sambil mengatur nafas karena setengah berlari sejak dari turun tangga tadi.
“Eh kenapa Ian?” tanya Aldi membetulkan kacamatanya menatap gue lekat-lekat, “lo seperti sedang dikejar sesuatu.”
Gue lalu duduk disampingnya menggeser Vivi yang bergelayut manja di lengan Aldi gue, membuatnya misuh-misuh. “Iya nih Al,” gue menggelayutkan kedua tangan gue di lengannya, “gue lagi dikejar hantu nih.” Gue berekspresi seperti telah melihat hantu yang amat menakutkan.
Aldi menatap gue tidak percaya, mengangkat alis kanannya dengan senyum aneh yang dibuat-buat. Caca yang ada di samping kanan Aldi langsung bersuara, “Lo lihat hantu penguntit sekolah kita?”
What? “Maksudnya Ca?” kening gue berkerut.
Sambil menoleh kiri dan kanan, Caca mendekatkan wajahnya kearah gue sambil membelalakkan matanya, tak lupa dengan tangan yang berada di dekat mulutnya. “Itu loh, legenda sekolah kita.” Bisiknya.
“Legenda apa?”
Caca mempelototi gue tidak percaya. “Astaga Rian, masa legenda sekolah kita aja lo nggak tau sih.” Dia menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin takjub melihat ketidak tahuan gue tentang legenda semacam tu entahlah. “Salut gue sama lo.” Ujarnya lagi.
Gue melirik kearah Aldi yang menatap gue tanpa ekspresi meminta konfirmasi. Dia hanya mengedikkan bahunya membuat gue kembali fokus kearah Caca yang menatap gue takjub.
“Serius lo nggak tahu?” tanya Caca yang hanya gue balas dengan gelengan ketidak tahuan.
“Ah, lo mah Rian.” Vivi mengibaskan tangannya sehingga gue menoleh kearahnya. “Lo harus sering-sering gabung sama kita-kita besok deh. Lo bakalan dapat berita dan gosip paling up to date deh.” Vivi lalu tertawa dengan bangga sehingga dadanya terguncang-gucang, sambil menoyor gue sehingga gue hampir saja tumbang ke tanah. Gila nih cewek, tenaganya besar juga.
“Gini,” Caca bersuara, mengambil nafas panjang hendak memulai cerita horornya yang terputus. “Jadi dulu, zaman Belanda, ada cewek cantik yang tinggal di sekitaran sekolah kita ini. Dia bekerja sebagai buruh cuci di rumah seorang pejabat Belanda. Dia itu cantik banget, saking cantiknya banyak cowok-cowok yang ingin menikahinya. Tapi sayang, dia tidak diperbolehkan oleh bapak tirinya untuk menikah.”
Sebagian dari cewek-cewek fans Aldi mulai bergerumun mendengar cerita Caca.
“Suatu hari, si cewek terpaksa pulang larut malam sendirian dikarenakan sang pejabat Belanda siap melaksanakan pesta di rumahnya. Sayang seribu sayang, sang bapak tiri si cewek yang merupakan hidung belang telah lama menginginkan tubuh si cewek. Si bapak tiri, telah membuntuti si cewek semenjak dari depan pejabat Belanda menunggu situasi kondusif.
Nah, sesampainya di jembatan kecil sana.” Sambil menunjuk kearah barat sekolah gue, “Si cewek itu dicegat oleh sang bapak tiri bersama beberapa orang temannya. Si cewek berontak sehingga mereka memukuli si cewek dan menyeret si cewek ketepi danau alias belakang sekolah kita saat ini. Si cewek diperkosa bergilir beberapa ronde sehingga si cewek meninggal secara tragis. Lalu mereka mengubur jasad si cewek di tepi danau dekat wc belakang saat ini.” Terang Caca.
“Lo tahu darima Ca?” tanya salah seorang fans Aldi anak XI IPS 2 yang namanya nggak gue ingat.
“Dulu kakak sepupu gue kan juga bersekolah di sini. Kebetulan, dia itu bisa melihat makhluk halus gitu. Semenjak zaman kakak gue itu, udah banyak para siswa yang diuntiti gitu. Jadi pas kakak gue main ke danau belakang sekolah, kakak gue itu kesurupan. Setelah ditolong orang pintar, akhirnya si hantu itu bercerita gitu lalu cerita tentang hantu cewek penguntit itu tersebar seantero sekolah kita, dan ceritanya turun dari generasi ke generasi.”
Gue menatap Aldi yang juga menatap gue, sehingga kita berdua saling tatap-tatapan. Melalui sorot mata gue, gue memohon ke Aldi supaya dia meyakinkan gue siapa atau apa yang menguntiti gue tadi. Gue butuh kepastian. Gue jadi ragu, apa benar itu si anonymouse yang nguntitin gue seperti apa yang Aldi katakan tadi, atau emang beneran hantu sekolah gue yang mungkin saja ngefans sama gue yang ganteng ini. Bitch please... difansi oleh hantu, membayangkan saja sudah membuat bulu roma gue berdiri.
“Nampaknya saudara gue udah ketakutan banget nih.” Aldi buka suara seraya bangkit dari duduknya sambil menarik gue bangkit. Mau tidak mau, guepun ikut tertarik dari bangku halte -walau gue emang menginginkan itu- yang terbuat dari beton itu. “Maaf ya girls, gue harus pulang dulu.” Dan terdengar suara desahan kekecewaan cewek-cewek abege labil yang tidak suka dengan keputusan Aldi, seraya mempelototi gue dengan ganas sebagai biang keladi perginya pujaan hati mereka. Gue hanya bisa nyengir, memandangi seraya meminta maaf secara tidak langsung kepada mereka satu-satu. Peraturannya, saudara lebih utama daripada fans.
Aldi menyerahkan helm kepada gue, yang langsung gue pakai sambil naik keatas motor Aldi. Tidak lupa gue merapatkan badan gue ke badan Aldi serta melingkarkan tangan gue di pinggang Aldi dengan manja, membuat fans Aldi memandang iri kearah gue. Jikalau mereka bawa pisau, mungkin saja pisau-pisau itu sudah mendarat di punggung gue seketika itu juga. Aldi lalu menjalankan motornya sambil mengklakson pamit kepada para fansnya yang luar biasa itu. Setelah sedikit jauh dari lingkungan sekolah, gue melepaskan pelukan dari tubuh Aldi hingga dia merengut tidak terima. Gue terkekeh sambil memeluk pinggangnya kembali, walau tidak sekencang tadi.
“Lo nggak bareng Askar?” Dia membuka kaca helmnya, melirik gue sekilas dari spion kirinya.
“Nggak Al. Askar nggak datang, sakit katanya.”
“Bisa juga tuh anak sakit?” Aldi terkekeh diujung katanya.
‘Dia bukan sakit badan Al, perasannya yang lagi sakit.’ Gue membatin lalu menatap matanya dalam diam.
“Owh maaf Ian. Gue hanya bercanda, nggak bermak-”
“Nggak apa-apa kok. Selow aja.” Potong gue. Gue melepaskan pelukan gue dari pinggangnya, membuatnya mendesah kecewa. Gue lebih memilih melempar pandangan kearah jalan raya yang ramai daripada menatap matanya yang memandangi gue sesekali dari kaca spion kirinya.
“Lo emang beneran di kejar hantu?” Aldi mengalihkan topik pembicaraan kami yang sempat terputus tadi.
“Nggak!” teriak gue spontan. Beberapa orang menoleh kearah kami, saking kerasnya gue berteriak. Dia sukses membuat gue kembali bersuara. Gue mendekatkan tubuh gue ke tubuhnya, mendekatkan mulut gue ke telinganya, “Gue rasa gue diuntiti seseorang deh. Tapi mendengar cerita Caca tadi-”
“Lo diuntiti?” Tanya Aldi memotong perkataan gue. “Lo pasti diuntiti si anonymouse atau orang suruhannya.” Ujarnya.
“Lah, kok lo yakin diuntiti orang sih? Lo nggak yakin kalau gue...” gue mengggit bibir bawah.
“Soal hantu itu?” Aldi terkekeh.
Gue mengangguk sambil menatap matanya dari spion kiri, meminta penjelasan.
“Lo nggak tahu ceritanya?” tanyanya sambil tersenyum menyindir.
“Udah tahu dari Caca tadi.”
“Tapi itu belum selesai, ada rahasia yang tidak diceritakan Caca ke lo Ian. Rahasia yang hanya diketahui sama cowok saja.” Dia mengecilkan volume suaranya pertanda bahwa ini memang rahasia para lelaki sekolah gue.
“Apa?”
“Iya, rahasia yang hanya diketahui cowok saja secara turun temurun.”
“Rahasia apa?”
“Yang digentayangi itu hanya cowok yang belum mandi wajib.” bisiknya memandangi gue geli.
“Eh?” gue terbelalak kaget. “maksudnya?”
“Biasa aja kali. Nggak perlu gitu amat.”
“Oke-oke. Gue agak kaget aja.” Gue menjulurkan lidah. “Lanjutkan!”
“Gini, lo tahu kan gimana anak cowok sekolah kita. Ada yang alim, ada yang bejad. Apalagi anak cowok berlibido tinggi yang sering ngebokep di belakang kelas, mesumnya minta ampun bukan. Nah, ada sebagian dari mereka yang nggak mampu untuk menahan birahinya, sehingga mereka pergi ke wc di belakang sekolah melampiaskan nafsu mereka yang telah diujung.” Dia seperti berfikir sebelum menjentikkan jarinya. “Wc tempat lo biasa ganti pakaian olahraga.”
“Trus?”
“Mereka lalu coli disana sampai muncrat. Nah ada juga nih, coli juga, tapi dirumah mereka, sebelum berangkat ke sekolah.”
Gue mengangguk-angguk dengan fikiran menerawang. “Pantesan aja ada yang aneh dengan bau tuh wese. Trus apa hubungannya mereka yang coli dengan diuntiti hantu?”
“Secara otomatis kalau mereka kan belum mandi wajib tuh?” Gue mengangguk mengiyakan. “Nah, mereka mengalami kejadian yang sama. Mereka sama-sama merasakan seperti diuntiti oleh seseorang dari pagi sampai pulang sekolahnya.” Terang Aldi. “Sedangkan anak cewek dan anak cowok yang sudah mandi wajib...,” Dia tersenyum aneh, “nggak pernah tuh merasa di untiti sama tuh hantu. So, anak-anak cowok pendahulu sekolah kita berkesimpulan kalau yang diuntit sama ‘si neng’ kita itu hanyalah anak yang siap coli tapi belum mandi wajib.” terang Aldi.
Gue mangut-mangut. “Gue juga jarang coli, dan tiap coli gue pasti mandi wajib kok.” Ujar gue. “Berarti gue nggak diuntiti hantu tapi di untiti si anonymouse ya.”
“Ya begitulah.” Ujar Aldi sambil tersenyum geli. “Kecuali kalau lo ‘main’ sama Askar sebelum pergi sekolah tadi.”
Sontak gue mempelototinya dari kaca spion atas pernyataannya yang nggak masuk akal itu.
“Sekarepmu.” Gue memutar bola mata jengah. Dasar Aldi, gue nggak mungkin senekat itu kali, bisa mati lemas gue nanti (?).
“Maaf Ian, maaf. Gue hanya bercanda kok.” Katanya penuh penyesalan. Nampaknya dia merasa berdosa karena (menurutnya) telah menyinggung perasaan gue. “Kalo lo maafin, ntar lo dapet yang bagus-bagus deh.”
Gue mendengus melempar pandangan kealah jalan raya. Terdengar kekehan kegembiraan dari depan gue, karena gue berarti nggak marah kepadanya. Ada konvoi anak sekolah berseragam putih abu-abu yang juga hendak pulang sama seperti kita memotong motornya Aldi. Dan... anjir! Salah satunya ada yang ganteng euy. Badannya yang keker kayak binaragawan mengendara motor gede dan ugh.... Tahan Ian, tahan, lo udah ada Askar. Dan yang terpenting lo jangan menghayal yang nggak-nggak sehingga adek lo ngaceng. Bisa disindir habis-habisan sama Aldi lo nanti.
“Eh Al, masih ada juga nggak anak-anak yang coli di wc belakang?” tanya gue -mengusir fikiran mesum gue- sambil menaik-naikan alis gue. Aldi gue langsung menepuk wajahnya lalu mempelototi gue tidak percaya, membuat gue tertawa. Seberani-beraninya gue, gue nggak bakalan berani ngintipin orang. Njir bisa babak belur dihajar masa gue ntar, nama baik gue bakalan tercemar sebagai anak baik-baik. Apalagi gue masuk berita surat kabar dengan judul, ‘Homok Mesum Ngintipin Temannya Ngocok di Wc. Ketahuan. Bibirnya monyong-monyong di Hajar Masa.’. Gue bergidik ngeri.
Oke sekarang bukan gue yang ngambek, tapi malah dia.
“Udah dong Al, Gue cuman bercanda kok. Gue nggak se pyso itu kok.” bisik gue lagi menyembunyikan tawa gue yang bakalan meledak, sebelum Edogawa Conan gue beneran ngamuk atas kemesuman gue.
“Baguslah.” Dia menghembuskan nafas lega.
“Bay the way soal anonymouse, gue yakin kalau dia udah melancarkan sesuatu deh.”
“Melancarkan sesuatu?”
“Ya, gue yakin udah bersiap-siap melancarkan serangan pamungkasnya ke lo. Secara lo-nya juga nggak gentar sedikitpun di ancam kayak gitu sama dia. So dia udah mulai sedikit mencari-cari kesalahan lo sehingga dia punya alasan mengirimkan foto itu ke Mama. Sedikit kesalahan, dan bom atom bakalan meledak di rumah lo.”
Gue berdecak.
“Semoga aja nggak Al. Gue takut apa yang bakalan terjadi kalau Mama sampai tahu dengan foto itu. Yang jelas kita harus mengetahui siapa anonymouse sebelum foto itu sampai ke tangan Mama.” Cerocos gue bak kereta api. “Gue takut Al.”
“Jangan takut Ian. Gue pasti dapat membongkar siapa itu anonymouse ‘secepatnya’.” Dia menekankan di kata secepatnya meyakinkan gue.
“Dwi mana?” tanya gue, mengalihkan pembicaraan kita.
“Dia lagi ke KaeFCi sama Nayla.”
“Eh, Dwi balikan lagi sama si ‘susu gede’ itu?”
Aldi terkekeh. “Gue nggak tahu deh soal itu. Tapi yang penting, yang terbaik aja buat Dwi.”
Gue turut mengiyakan perkataan Aldi tadi. Biarlah Dwi kembali dengan mantannya itu, daripada anak itu nelangsa. Bagusan dia pacaran sama Nayla yang aduhay mempesona membuat setiap mata pria normal jelalatan menjelajahi lekuk tubuhnya. Secara, bakalan menang banyak tuh anak jikalau pacaran sama Nayla.
Kita kembali sibuk dengan fikiran masing-masing sehingga tidak ada pembicaraan diantara kami lagi sampai di depan rumah gue. Aldi lalu mengingatkan gue supaya berhati-hati dan Aldi langsung cabut ke rumahnya.
---
Waktu sore merupakan waktu yang pas buat berkumpul bersama keluarga setelah menjalani rutinitas kita masing-masing. Setelah mandi dan berpakaian, gue turun menemui Papa dan Mama yang udah siap di meja makan. Suatu tradisi keluarga, apabila kita sekeluarga ada di rumah, kita semua akan berkumpul di meja makan sambil menunggu hasil eksperimen Mama dengan alat dapur beliau.
Kembali ke laptop, Papa dan Mama nampak bahagia sebagai sepasang suami istri yang harmonis dalam membina rumah tangga. Kadang Papa yang sedang memainkan tabletnya mencubit pinggang Mama genit, sehingga Mama mempelototi Papa yang tertawa bahagia karena ekspresi lucu istrinya. Gue nggak bisa membayangkan apabila Papa dan Mama berpisah seperti apa yang terjadi dengan bonyok pujaan hati gue sekarang. Sekedar lo semua tahu aja, hingga sampai saat ini, pujaan hati gue belum juga memberikan gue kabar bagaimana keadaannya sekarang.
Gue berdehem, mengisyaratkan kehadiran gue. Mereka berdua menoleh kearah gue sambil tersenyum bahagia. “Udah mandi nak?” tanya Mama yang tengah menyiapkan makan malam. Menyalin nasi dari penanak nasi ke bakul besar. Beliau menunjuk rak piring yang tidak jauh dari posisi berdiri gue sekarang. “Bisa tolong ambilkan Mama piring untuk makan malam kita sayang?”
Gue mengangguk sambil mengambil beberapa piring dan gelas dari rak lalu menyerahkan ke Mama. Mama tersenyum sambil menerima piring dan gelas dari tangan gue.
Papa yang sedang membaca sesuatu di tablet beliau melirik gue sekilas. “Bagaimana dengan sekolahmu, nak?” tanya Papa sambil meletakkan tablet yang beliau pegang di atas meja.
Gue duduk di salah satu bangku yang berada di depan Papa. “Alhamdulillah baik Pa. Pekerjaan Papa gimana?” Gue melipat kedua tangan gue diatas meja sambil memandang papa ceria.
“Alhamdulillah Nak, Papa dapat proyek baru.”
“Wess...,” Gue menggosok-gosokkan kedua tangan. “Asik nih, bakalan makan diluar kita lagi.”
“Doainkan supaya proyek Papa gol ya Nak.”
Gue mengacungkan kedua tangan sambil berkedip. “So pasti itu Pa.”
Mama duduk disamping Papa, lalu menyendokkan nasi ke piring Papa. “Eh Askar kemana Rian?”
Gue tertegun sebentar dengan pertanyaan Mama yang tidak tepat waktu.
“Askar, Askar lagi sibuk Ma.” Gue tersenyum kecut. “Dia banyak urusan belakangan ini, jadi nggak sempat main ke sini.”
“Oh begitu. Mama kira kalian ada masalah.” Ujar Mama menyerahkan piring gue yang telah berisi makanan. Insting Mama memang tepat, kita memang punya masalah saat ini. Askar dengan masalah keluarganya dan gue dengan teror si anonymouse.
Gue menggeleng, “Nggak kok Ma.”
“Okedeh. Sampaikan salam Mama sama Askar ya Nak.”
“Iya Ma.” Jawab gue sambil melirik handphone gue. Belum ada balesan dari Askar.
“Kamu ada masalah Rian?” Tanya Papa yang memandangi gue intens. “Seperti ada yang disembunyikan?”
“Nggak kok Pa.” Sahut gue sambil menggeleng. “Hanya saja... Rian kefikiran sesuatu.”
“Kefikiran apa Ian?” Mama yang mengisi gelas dengan air melirik gue sekilas.
“Kenapa sih ada pasangan yang setelah bersama sekian lama akhirnya memutuskan untuk berpisah Pa, Ma?”
Kedua orang tua gue terdiam sejenak lalu saling berpandangan sebelum meneguk ludah hendak menjawab pertanyaan gue. Entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut gue tanpa difikirkan sebelumnya.
“Adrian, di dunia ini tidak ada yang abadi sayang.” Papa memulai perkataannya sambil menopang dagunya menatap Gue. “Cepat atau lambat semua pasangan pasti akan bakalan berpisah nak. Ada yang dipisahkan oleh maut, tapi tidak sedikit pasangan yang berpisah di meja pengadilan. Alasannya beragam sayang, ada yang tidak cocok lagi, perselingkuhan, ekonomi, kekerasan pada rumah tangga, bahkan juga politik juga mengakibatkan pasangan memutuskan untuk bercerai sayang.”
Gue berusaha mencerna kata-kata Papa tadi.
“Mama nggak begitu hebat dengan Kimia Ian, tapi sama dengan ikatan kimia sayang. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan ikatan itu putus. Begitupun pernikahan sayang, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pasangan memilih untuk bercerai. Salah satunya ikatannya yang kurang kuat, ataupun pengaruh faktor luar yang sangat besar yang memungkinkan pasangan untuk bercerai.” Terang Mama.
“Apa mereka nggak sayang sama anak mereka sehingga mereka memutuskan untuk bercerai? Karena anak mereka pasti yang akan menjadi korbannya.”
“Tidak ada seorangpun yang tidak menyayangi anaknya Ian. Seorang anak adalah belahan jiwa raga dari orang tuanya, mustahil jikalau mereka tidak menyayangi anak mereka. Kecuali ada kelainan pada diri sang orang tua. Kamu juga pasti akan merasakannya nanti apabila sudah menikah dengan seorang wanita dan memiliki anak Ian.” Ujar Papa memukul gue telak. “Setiap orang tua pasti bakalan akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Tapi keadaaan yang memaksa mereka untuk berpisah. Kita tidak dapat menyalahkan orang tua, dan tidak dapat pula menyalahkan sang anak. Semua butuh proses, pengertian satu sama lain dan komunikasi yang jelas. Sehingga sang anak akan mengerti bahwa perpisahan orang tua mereka itu tidak akan menghilangkan kasih sayang orang tua mereka.”
“Ya samalah dengan HCl yang berpisah, unsur H tetap Hidrogen dan unsur Cl tetap Clorida. Hanya saja mereka bukan lagi asam klorida, H dan Cl yang bersatu. Itu saja.” Mama beranalogi asal-asalan.
“Apakah prilaku anak mereka yang bikin aib atau berbuat kesalahan juga salah satu faktor perceraian orang tua Pa?”
“Ya, salah satunya sayang.
Tapi yang harus Adrian ingat pesan Papa. Bagaimanapun seorang anak berbuat kesalahan ataupun bagaimanapun seorang anak membuat malu orangtuanya, orang tua akan tetap sayang dengan anaknya. Tidak ada orang tua normal yang tidak menyayangi darah dagingnya sendiri. Bahkan mungkin saja sepasang suami dan istri yang saling bermusuhan dan membenci satu sama lain akan memafkan dan saling menyayangi karena anaknya.”
Gue mengangguk-angguk mencerna kata-kata yang Papa ucapkan.
“Nah Adrian, kok tanya seperti itu ke Papa? Kamu mau mencoreng arang di kepala Papa?”
Gue menggigit bibir seraya melirik kearah mereka berdua. Terkejut dengan pertanyaan Papa yang menohok. Gue lalu tersenyum selebar mungkin, mengendalikan emosi gue, seperti tidak terjadi sambil menggaruk-garuk tengkuk gue. “Nggak lah Pa. Durhaka tahu.”
“Kan Adrian tahu tuh.” Seloroh Mama sambil menyendokkan sayur ke piring Papa. “Ini Pa. Nah Adrian jangan nakal-nakal ya, nanti mama kutuk kamu jadi emas mau?” Mama terkikik geli.
“Lah kok jadi emas? Bukannya jadi batu ya?”
“Kalau mama kutuk Adrian jadi emas, minimal mama bisa kaya raya saat menjual sebongkah Adrian ke toko emas.” Mama menutup mulutnya menahan tawa sambil menepuk bahu papa yang geleng-geleng kepala.
“Kalau kita kaya, boleh dong papa ‘nambah’ lagi ma?” seraya menaik-naikan alisnya menggoda mama. Kening mama langsung berkerut mencerna kata-kata Papa sebelum melototi Papa dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Nambah maksudnya gimana nih Pa?”
Gue tersenyum sambil merunduk, menggeleng-gelengkan kepala melihat Papa yang salah tingkah sebelum papa nyengir memeluk pinggang Mama. “Nambah adeknya Adrian Ma.” Jawab Papa.
Mama mempelototi sambil menepis papa sambil memajukan dagu kearah gue mengingatkan jikalau gue ada di depan mereka berdua.
“Eh ada pesan masuk tuh.” Papa menunjuk handphone gue yang berkelap-kelip. Maklum, sebagai pelajar, handphone memang harus di silentkan apabila dibawa ke sekolah. Sehingga tak jarang, gue pasti kelupaan untuk menonaktifkannya sesampai di rumah. “Dari pacarnya ya Nak?” Goda Papa.
“Semoga saja begitu Pa.” Jawab gue sambil menjulurkan lidah meraih handphone gue yang terletak di samping gue.
Ah... Dari Askar.
‘Maaf tidak memberi lo kabar. Kita ketemuan sepulang sekolah besok di belakang sekolah. Gue akan menjelaskan semua ke lo.’
19.12
“Seneng banget dapat sms dari pacar Ian?” Papa bersuara saat gue lagi membalas pesan dari Askar.
‘Ok, Kar. Gw tunggu.’
19.12 . Baca
Gue nyengir menyembunyikan kebahagiaan gue. “Cuma dari teman Pa.” Jawab gue.
“Temelan atau temen?” goda Papa lagi. “Teman kok girang gitu sih.”
“Ya teman Pa.”
“Mama tahu itu pacar kamu.” Ujar Mama bersuara sehingga gue menoleh kearah Mama yang menatap gue dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Tadi Mama dikirimin foto sama teman kamu lewat email, Adrian. Mama nggak nyangka kalau kamu seperti ini.”
--- tbc
R~
Haloha minna! Aurora kembali di MBA yang ntah kapan mau tamatnya. Gue harap antum semua nggak bosan dengan cerita gue yang udah ngambang ini, sampai-sampai kalau boleh jujur dari hati gue yang paling dalam, bahwa gue merasa banyak yang udah bosan dengan cerita gue ini dah. Dari hari ke hari, yang ngevote semakin sedikit. Berarti ya..., mungkin pembaca gue juga semakin sedikit. Gue berprasangka baik aja kalau mereka sedang sibuk sekarang. Ya nggak? Ya dong.
So, gue mohon vote n komentar dari antum semua. Bagi yang udah komentar, gue bukannya nggak niatan atau seperti menelantarkan lapak gue (ada yang bilang gitu ke gue), tapi gue sengaja ngumpulin komentar antum semua buat gue jawab satu-satu sehingga lebih mudah untuk dijawab. Dan soal menelantarin dan lama update, gue mohon maaf, gue nggak bermaksud kok. Ciuz. Gue hanyalah manusia biasa yang kadang-kadang mood gue baik dan kadang-kadang pula mood gue anjlok sehingga tidak jarang gue ngelantarin nih cerita. Maaf bngt.
Eh gue malah curcol nggak jelas. Gue harap nggak usah baca curcol nggak jelas gue.
Terakhir, gue mohon vote n komentarnya n sunt Selamat Berhari Raya...
11 September 2016 – 17.59
Salam
R~
free upload
Ingat selalu bahwa banyak yg membaca karyamu...