It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Daser
blm bro
@Agova
hahaha Hedynya galau
@Adi_Suseno10
makasih XD
@rama_andikaa
Oke Bro
@akina_kenji
Oke dek
@Aurora_69
Makasih ganteng
@Hajji_Muhiddin
Cieeeee Hedy Mario
@hendra_bastian
@DoojoonDoo
wahahahhaa makasih
@viji3_be5t
hahhaa oke Bro
@amir_tagung
hahahaha lihat aja hehehehe
@JimaeVian_Fujo
Oke adek
@RenataF
Oke Bro
@duatujuh
hahahaha oke
@diccyyyy
oke
@aldhy_virgo
Iyalah Hedy cemburu
@lulu_75
Lihat aja hahaha
@William_Earthlings12
makasih Bro
@cansetya_s
Oke adek
@Firman9988_makassar
Oke bro
@AdeNugraha
Oke Bro
@DilanRichson
Iya makasih #Hedy
@Chi_dudul
@liezfujoshi
hahahhaa makasih
@Niel_Tenjouin
gak posting di wattpadd
@jimmy_tosca
@_abdulrojak
@Rifal_RMR
@JimaeVian_Fujo
@lulu_75
@Aurora_69
@harya_kei
@3ll0
@Otho_WNata92
@hyujin
@j4nji
@rizal_91leonardus
@Rikadza
@lucifer5245
@abyyriza
@terry22
@rama_andikaa
@Gabriel_Valiant
@ramadhani_rizky
@Otsutsuki97S
@Sho_Lee
@raw_stone
@Rars_Di
@kaha
@haikallekall
@ffirly69
@gilang22
@viji3_be5t
@LostFaro
@nakashima
@kie_kow
@littlemark04
@akina_kenji
@Daser
@sn_nickname
@Vanilla_IceCream
@Dhi96
@Greent
@Toraa
@jimmy_tosca
@cansetya_s
@tianswift26
@zenfonepro
@bapriliano
@cela
@dadannnnnnn
@bagastarz
@Agova
@syafiq
@sonyarenz
@delvaro80
@Badguydrunkby6
@boybrownis
@hearttt
@Phantex
@malmol
@roy_rahma
@RezzaSty
@aries18
@abong
@new92
@soratanz
@pangeran_awan99
@rezka15
@yansah678
@Mami100C
@hendra_bastian
@dim4z_
@BOMBO
@Rabbit_1397
@rubi_wijaya
@NanNan
@ardi_yusman
@kristal_air
@Methan
@Nova_APBS
@Bleach.boy
@dewanggaputra
@Watiwidya40Davi
@aldhy_virgo
@Ninia
@aries18
@Fruitacinno
@Tsu_no_YanYan
@akha
@malmol
@Valle_Nia
@Lovelyozan
@PHfila
@diccyyyy
@Adi_Suseno10
@revtwo
@dafaZartin
@Rangga_San
@DM_0607
@radit_rad1t
@boygiga
@Fendy200
@tsu_gieh
@Yudin87
@amir_tagung
@Djie_hk
@Dannamaku84
@mahardhyka
@rigil
@ananda1
@fian_gundah
@bapriliano
@FajarrSipitt
@DoojoonDoo
@dakishimetai_
@Kim_Hae_Woo679
@Reffy
@nagnarik
@gaybekasi168
@AdeNugraha
@RenataF
@duatujuh
@Hajji_Muhiddin
@William_Earthlings12
@Firman9988_makassar
@DilanRichson
@Chi_dudul
@liezfujoshi
@Niel_Tenjouin
@Otsutsuki97S_Part2
SAKIT CINTA
SINAR matahari yang menerobos jendela membuatku terbangun. Dengan malas aku menggeliat dan mengerjap-ngerjap mata. Semalam aku nggak bisa tidur sampai tadi menjelang subuh. Perlu kantuk yang dahsyat untuk membuatku bisa tertidur.
Aku menguap, dan saat tanganku menyentuh bibir, ingatan tentang ciuman semalam melintas di benakku. Seketika aku terlonjak dati tempat tidur bagaikan orang yang baru dapat mimpi buruk, bernapas terengah-engah dan berusaha menguasai diri. Nggak, itu nggak beneran terjadi. Mungkin cuma imajinasiku.
Pasti aku mengkhayal semalam dan ilusi itu muncul, batinku meyakinkan diri. Aku diam sejenak lalu mengembuskan napas putus asa. Dengan pasrah aku menjatuhkan diri di tempat tidur. Kejadian semalam nyata, dan aku benci karena nggak bisa menyangkalnya. Aku menutupi kepala dengan bantal, berusaha keras menyingkirkan memori di otakku yang memuat ingatan tentang kejadian itu, tapi yang terjadi malah semua terulang dengan jelas sampai detail terkecil.
"Brengsek!" Setelah beberapa menit berlalu dengan sia-sia, aku menyerah. Lebih baik aku pergi keluar dan menghirup udara segar. Aku mau keluyuran buat cuci mata, tapi kayaknya aku lebih berharap bisa cuci otak sekalian.
***
Aku tahu sekarang bukan ide bagus buat nonton di bioskop. Tempat ini mengingatkanku pada ''kencan'' malam Mingguku bersama Mario dan Edwin.
Aku jadi ingin mengulang saat-saat itu, tapi sepertinya aku nggak boleh berharap semua terjadi lagi. Aku meyakinkan diri untuk jadi murid Pak Mario saja, bukan teman, sahabat, atau pemuja rahasianya, dan itu berarti nggak boleh ada kebersamaan lagi kecuali di ruang kelas waktu pelajaran matematika.
Aku membeli popcorn di tempat yang sama dengan waktu nonton bareng malam Minggu itu. Bedanya, popcorn-nya sekarang nggak dibagi tiga. Dengan malas aku melangkah masuk setelah membeli satu tiket film thriller, bukan kartun.
Satu jam berlalu, tapi aku nggak tahu gimana jalan cerita film yang sedang kutonton. Sejak tadi aku cuma duduk selonjoran dengan mata menatap kosong ke layar, tangan yang secara perodik mencomot popcorn satu-satu dari kotaknya, dan mulut yang secara ritmis mengunyah tanpa selera.
"Aaargh......!" Teriakan cowok di sebelahku membuatku kaget. Spontan aku tersentak sampai popcorn di tanganku berhamburan. Kayak orang yang dibangunin kapai lima beker sekaligus, seperti yang pernah kualami.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan mencoba sedikit menaruh perhatian ke layar di hadapanku, bukan cuma melayangkan pikiran nggak tentu arah. Sepanjang sisa film, teriakan-teriakan histeris cowok di sebelahku cukup memeriahkan suasana.
Film itu selesai tanpa sempat kumengerti cerita atau hikmahnya. Saat keluar gedung bioskop, aku bejalan tepat di belakang cowok yang tadi duduk di sebelahku. Aku jadi penasaran sama cowok yang nonton dengan penuh penghayatan itu.
Kebetulan dia menoleh ke belakang dan wajah cowok itu mengingatkanku pada si Billy cowok manis yang menyukai sahabatku Steve.....
"Marhedy? Kamu , pacarnya Steve, kan?" ujar cowok itu.
"Eh.....hai. Billy, kan?"
"Sendirian?"
"Biasalah." Billy tersenyum.
"Kamu juga sendirian? Steve...."
"Aku sendiri," potongku cepat.
"Mau ke mana sekarang?"
"Makan siang. Bareng yuk!"
"Boleh. Di mana?"
Billy menunjuk restoran di dekat bioskop. Aku menggigit bibir bawah. "Kencan'' malam Minggu-ku dulu dulu juga bersetting di restoran itu. Kenapa harus ke sana lagi? Aku dan Billy mengobrol dengan akrab sambil makan.
Aku menikmati percakapanku dengannya, sampai di bagian dia menyebut-nyebut tentang Steve.
"Gimana hubunganmu dengan Steve?"
"Baik," jawabku seadanya.
"Bagus deh. Aku senang dia dapat cowok baik kayak kamu," ucapnya ceria. Aku tersenyum. Aku merasa nggak enak sama Billy karena aku tahu dia sempat suka sama Steve dan dia pikir aku pacar Steve.
"Kamu tahu nggak kalau aku sempat suka sama Steve?" pertanyaan Billy mengejutkanku. Nggak nyangka dia mengatakan hal itu.
Aku mengangguk.
"Steve cerita, ya? Tapi mikir jangan mikir macam-macam, ya, sekarang udah nggak lagi kok," jelas Billy, seolah menyukai Steve bagaikan mengidap penyakit dan sekarang dia udah sembuh.
"Konyol banget ya. Aku tahu dia nggak akan membalas perasaanku, tapi aku nggak bisa berhenti suka sama dia. Lumayan lama buat menghilangkan harapanku bisa bareng dia. Apa Steve bilang hal malu-maluin soal aku?"
"Nggak kok." Aku mulai salah tingkah. Aku merasa bersalah pada Billy.
"Billy, maaf ya. . ." Dengan canggung aku menatapnya dan bicara pelan.
"Sebenarnya Steve dan aku nggak pacaran. Kami bersahabat sejak kecil. Sekarang dia pacaran sama sahabatku yang selama ini dia suka, yang bikin dia nggak bisa ngelirik orang lain. Mmh.....menurutku, kamu manis dan baik, hanya saja Steve udah punya cowok yang dia suka waktu kamu deketin dia. Dia nggak mau kamu berharap sama dia. Makanya pas nggak sengaja ketemu kamu, dia minta aku pura-pura jadi pacarnya. Maaf ya, kami udah bohong sama kamu....."
Billy kelihatan kecewa. "Oh, gitu."
Aku nggak tega melihat Billy yang sejak tadi ceria langsung murung setelah mendengar pengakuanku.
"Aku mengerti perasaanmu. Aku juga pernah patah hati." Aku menghela napas. "Sakit banget kalo jatuh cinta pada orang yang salah, jadi merasa sedih dan tolol. Tapi mau gimana lagi? Perasaan itu datang tanpa diundang dan mengacaukan kita tanpa direncanakan."
Wajah Billy berubah. Sekarang dia malah menatapku sambil mengulum senyum. "Mmh.....kalau boleh tahu, kenapa kamu berpikir kamu jatuh cinta pada orang yang salah?"
Wajahku bersemu merah. "Dia bikin aku jatuh cinta padanya sementara dia nggak bia membalas perasaanku."
"Rasanya aku mengerti maksudmu." Billy tertawa kecil, membuatku ikut tertawa.
"Tapi bukan Steve kan orangnya?"
"Syukurlah bukan. Jadi sahabatnya aja aku udah menderita," canda.
"Mmh.....kamu gimana? Sekarang udah baik-baik aja, kan?"
"Bisa dibilang begitu kalau yang kamu maksud adalah perasaanku pada Steve. Sejak ngeliat dia punya pacar, aku belajar ngelupain dia."
"Sulit?"
"Pastinya nggak gampang mengeluarkan seseorang dari kepalamu kalau selama ini cuma dia yang kamu pikirin. Tapi waktu bisa membuat segalanya menjadi mungkin. Aku berusaha menerima kenyataan, having fun buat diri sendiri, dan nggak berpikir untuk menyesali perasaan itu. Jatuh cinta itu indah, gimanapun jalan ceritanya. Perasaan itu manusiawi, kita nggak bisa menguasainya. Tapi saat dia mulai bikin kita sakit, mungkin kita perlu sedikit mengendalikannya."
Aku tertegun mendengar kata-kata Billy.
"Kedengarannya sederhana, mungkin aku bisa mencobanya. Menerima kenyataan dan having fun. Rasanya nggak begitu sulit."
"Jangan terlalu yakin. Nggak sesederhana itu kok," ujar Billy.
***
Billy benar. Ternyata menerima kenyataan dan having fun pas patah hati bukan hal sederhana atau kerjaan gampang.
Sepulang dari bioskop tadi sampai malam ini, aku yang tadinya berniat beli komik dan baca sambil nonton TV seharian, malah cuma ngabisin waktu buat bengong dengan pikiran melayang nggak tentu arah.
Semuanya mengandung unsur Mario. Aku benci ini. Mendingan aku dihukum seharian merapikan perpustakaan sekolah yan kayak kapal pecah daripada harus merasa kayak gini.
AKU BENCI JATUH CINTA.
Aku meraih kalung berinisial ''M'' di leherku, melepas kaitannya, kemudian melemparnya ke halaman.
"Aow!"
Terdengar teriakan dari bawah. Aku kaget lalu melongok ke bawah. Steve yang baru masuk ke halaman menengadah melihatku.
"Heh! Gue kira kita udah gencatan senjata. Ternyata gue masih diserang saat masuk perbatasan."
"Sori, Steve, nggak sengaja. Beneran."
Aku kelimpungan, nggak nyangka Steve datang malam-malam begini.
"Ayo naik!"
Aku tersenyum saat cowok kurus itu muncul di pintu kamarku.
"Ngapain lo malam-malam ke sini?"
"Tadi pas lewat depan rumah, gue ngeliat lo nangkring di jendela kayak penyair patah hati. Gue jadi penasaran terus mampir ke sini. Kenapa lo?" Steve duduk di sebelahku, di kusen jendela.
"Lagi bete aja," bohongku. Aku nggak mau Steve yang lagi hepi-hepinya karena baru jadian, ikutan bete karena masalahku.
"Gue kan pernah bilang, berapa lama sih gue jadi temen lo? Lo nggak ngomong pun gue tau lo lagi ada masalah. Cerita aja ke gue. Walaupun gue nggak bisa bantu, paling nggak lo bisa berbagi biar pikiran rada enteng."
Aku meliriknya, lalu menghela napas.
"Steve, gue nggak lagi mabuk atau di bawah pengaruh obat bius. Ini beneran. Gue jatuh cinta." Steve langsung tertawa.
"Serius? Hahaha! Akhirnya lo kena juga. Lo jatuh cinta sama siapa? Emang dia punya kuping anjing dan taring serigala?"
"Sialan lo!" Wajahku memanas. Aku malu mengatakannya pada Steve.
"Siapa cowok malang yang ketiban cinta lo? Jangan-jangan cowok yang lo ajak ke pesta Sony, ya? Oke juga. Tapi kata Sony, itu wali kelas kalian. Nggak apa-apa sih, masih muda ini. Hahaha!"
"Tapi Sony nggak bilang ya, wali kelas gue itu pacarnya tante Martabak?"
"Mungkin Sony lupa. Naas banget nasib lo." Steve menepuk-nepuk punggungku.
Aku tahu Steve cuma bercanda dengan kata-katanya, tapi nggak tahu kenapa, aku nggak bisa nahan sedih di hatiku mendengar ucapannya. Air mataku perlahan keluar. Aku menangis di depan Steve.
Rasanya ini lebih malu-maluin daripada masuk di got dilihat banyak orang .
"Yah, gue cuma bercanda, Hedy." Steve langsung panik saat menyadari aku mulai menangis.
"Sori, sori, gue nggak bermaksud ngejek atau nyakitin lo. Beneran. Maafin gue, Hedy." Aku mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku, memandang ke atas, ingin memasukkan kembali air mataku yang mulai menetes.
"Bukan karena lo. Gue cuma lagi sensi dan jadi konyol kayak gini. Malu-maluin banget, ya?" Tiba-tiba Steve memelukku.
"Maaf, gue nggak ngerti, ternyata lo beneran jatuh cinta sama cowok itu. Gue nggak akan nganggap lo konyol atau gimana. Cerita aja semuanya ke gue. Gue nggak pengen lo nyimpen sedih lo sendiri."
Sejenak aku ragu buat cerita semuanya ke Steve, nanti malah bikin aku ingat semuanya dan tambah sedih lagi. Tapi akhirnya, ketumpahkan juga soal pencurian mangga itu, kejadian di halte, kesalahpahaman yang melibatkan Steve, juga tentang Tommy, dan pengorbananku buat Angga.
Di tengah cerita, kadang tanpa sadar air mataku mengalir. Steve mengusapnya dengan tisu. Malam ini aku benar-benar merasa jadi cowok cengeng bukan cowok urakan, dan aku bersyukur Steve menemaniku saat aku rapuh begini.
Malam sudah larut. Waktu untuk bercerita dan curhat pada Steve berakhir.
"Buat sekarang, mungkin gue nggak bisa ngomong apa-apa ke lo. Karena, saat kita jatuh cinta pada seseorang, kita akan kehilangan kendali otak atas perasaan kita. Lo nggak bisa memerintah hati lo buat menghapus rasa itu atau melupakan orang yang kita cinta. Mungkin saat ini lo cuma bisa mencoba menerima semuanya dan menikmati sakitnya." Steve menoleh padaku sambil tersenyum menghibur.
"Jangan menyesal jatuh cinta, Hedy. Kita nggak bisa nentuin kapan dan pada siapa kita jatuh cinta. Nggak semua cinta bisa terbalas. Tapi bagaimanapun hancurnya hati, cinta pasti meninggalkan kenangan ajaib yang bisa mengajari kita tentang kebahagiaan. Saat kita berusaha menemukan maknya, kita akan bertambah bijaksana dan pada akhirnya kita akan sadar cinta itu indah."
"Kayaknya gue belum bisa, Steve. Ini baru terjadi pertama kali. Saat bersama dia gue nggak tau kalau gue jatuh cinta sama dia. Dan saat menyadarinya, dia udah bersama orang lain. Semua kenangan indah saat kami bersama malah jadi menyakitkan. Seandainya saja semua nggak pernah terjadi," harapku sungguh-sungguh.
"Semua orang nggak bisa menghindar dari jatuh cinta, sama kayak semua orang pasti pernah sakit. Ini bagian dari hidup."
"Gue mau sakit apa aja asal nggak sakit cinta. Udah nggak ada obat, nggak ada dokter ahlinya, nggak tau kapan sembuhya, lagi! Bete gue!" keluhku.
"Gue yakin,Hedy, lo bisa melewatin semua ini sama kayak lo bisa ngejalanin hukuman-hukuman karena masalah yang lo bikin." Steve menepuk punggungku.
"Iya, bener. Gue udah bikin masalah karena jatuh cinta sama guru gue sendiri, dan sekarang gue harus nerima hukumannya berupa patah hati. Tapi kalau boleh milih, mendingan gue disuruh nguras ikan paus. Emang capek, tapi nggak sakit."
Steve tertawa kecil. "Ah, lo ada-ada aja. Akuarium di rumah aja tidak pernah lo bersihin. Sok mau ngurus kolam ikan paus segala." Kami saling diam dan larut dalam pikiran masing-masing.
"Steve, makasih buat semuanya. Gue senang bisa berbagi sama seseorang."
"Itulah gunannya sahabat. Anggap aja ini balasan karena gue udah bersikap egois soal Sony waktu itu. Lo udah merasa lebih baik, kan?"
"Kayaknya."
"Gue pulang dulu, Hedy. Udah malem. Cepat sembuh ya. Jadi Hedy yang dulu lagi. Puyeng gue kalo lo jadi beneran kayak gini terus-terusan."
"Gue cuma perlu tidur sebentar, terus besok bangun dan ngelupain semuanya."
"Dasar matematis. Kasus ini nggak akan selesai segampang itu." Steve melempar kalung ''M''-ku, aku menangkapnya.
"Baik-baik loya. Jangan dari jendela," pesannya sebelum keluar kamar.
Aku tersenyum lalu memandangi kalung di tanganku. Nanti aja kuputuskan, apakah aku akan memakainya, menyimpannya, atau melemparnya lagi ke halaman.
***
Steve benar. Kasus ini nggak bisa selesai segampang dugaanku. Kukira pagi ini aku bisa bangun dengan ''sehat'' dan semuanya berlalu begitu aja.
Tapi yang terjadi, semalam aku tetap nggak bisa tidur dan dan yang ada di kepalaku cuma Mario, Mario, dan Mario. Sakit cintaku suda akut, kali. Hari Senin ini aku bolos.
Aku bilang pada Mama hari ini nggak ada pelajaran, OSIS masih ngadain lomba puisi. Jadi dengan amat terpaksa, karena rengekanku yang memelas, Mama mengizinkan aku nggak sekolah.
Aku bersyukur banget bisa bolos karena rasanya lebih aman berenang di kolam penangkaran piranha daripada bertemu Mario lagi setelah ciuman itu. Aku nggak sanggup bila harus bertemu lagi dengannya hari ini atau besok. Aku butuh waktu buat mempersiapkan diri, paling nggak sampai tahun depan.
Sepanjang sore ini aku menghabiskan waktu dengan menonton Film X-Man dari HBO. Mama sampai bosan melihat aku duduk dengan berbagai gaya di depan TV. Bel pintu berbunyi.
"Hedy, bukain pintu!" seru Mama dari dapur.
"Tanggung, Ma! Ada Hugh Jackman bertarung lagi seru-seru."
"Bukain pintu atau Mama lepas TV kabelnya," ancam Mama.
Sekarang aku tahu dari mana asalnya darah barbar yang mengalir di tubuhku.
Dengan malas aku melangkah menuju pintu. Sepanjang hari ini aku malas melakukan apa pun setelah tadi siang sampai kecapekan membereskan kamar.
Sebenarnya sejak tadi pagi aku berniat mencari kesibukan biar aku bisa berhenti mikirin Mario, Pak Mario, pemuda berumur 23 tahun itu, tapi kayaknya perjuanganku nggak banyak membawa hasil. Dia masih memenuhi kepalaku.
"Marmuuut!!!" seru Edwin begitu aku membuka pintu. Papa dan mamanya berdiri di belakang Edwin dengan membawa koper besar.
"Eh....Oom, Tante!" sapaku pada orangtua Edwin. Mereka masuk dan disambut heboh oleh Mama. Aku melirik sinis pada Edwin yang masih berdiri di luar.
"Ngapain kamu kemari?" tanyaku nggak acuh, walau dalam hati aku senang melihatnya lagi.
"Edwin mau tinggal di sini lagi. Papa-Mama ke luar kota sampai bulan depan," sahutnya polos.
Aku memang kangen Edwin, tapi kalau soal dia tinggal di sini lagi, aku nggak tahu harus bersyukur karena nggak akan merasa kesepian lagi atau menangis mengingat kamarku yang baru saja kurapikan dengan susah payah.
"Kata mama Edwin, Win mungkin akan tinggal terus di sini kalau kerjanya terus. Jadi mulai sekarang, bukan cuma Marmut yang punya papa dan mama di sini. Edwin juga. Marmut juga harus bagi komik dan mainan sama Edwin."
Aku cuma mendecit kayak burung kecil, nggak bisa ngomong apa-apa. Aku nggak bisa ngebayangin harus membagi orantuaku, juga harta berhargaku, dengan bocah nakal ini dalam jangka waktu yang nggak ditentukan.
Kayaknya hari-hariku di rumah ini bakalan heboh dan nggak damai lagi.
BERSAMBUNG
Sori lama menunggu ya aku banyak kesibukan sekarang
YESSSS 1 Part tamat lagi, besok aku bikin endingnya mengejutkan hahahhahahaha XXD