It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hehehe, iya, nih aku sibuk Menyibukkan diri
@kikyo kejar tayang? Wah, ditampung dulu deh sarannya. Aku usahain deh update cepet. Paling cepet 2 - 3 hari. Tpi klo lama ya bisa berbulan - bulan :v
@yirly makasi udah membaca.
@Lovelyozan Alfa: dibandingkan mereka, di hatiku cuma ada kamu *eaa
Mungkin? :v ditunggu aja lanjutannya
@lulu_75 menurutmu sendiri gimana? Liat aja deh kedepannya :v
BAGIAN #3
Setelah pulang dari pasar malam Ica dan Jimmy pamitan padaku. Aku nggak bisa menatap Jimmy walau untuk sesaat. Entah bagaimana perlakuaannya yang 'remeh' itu membuatku punya perasaan berbeda. Aku langsung masuk ke dalam kamarku. Ku lihat si tiang listrik sedang mengetik di laptopnya.
"Baru pulang? Darimana tadi?"tanyanya.
"Pasar malem. Kakak buat apaan, tuh?"tanyaku sambil menghampirinya.
"Biasa, bikin tugas. Kamu bantuin kakak ketikin,ya? Kakak capek banget, nih"keluhnya sambil meregangkan tubuhnya. Dia menatapku dengan pandangan memohon. Aku menggeleng. Menolak permintaannya.
"Yah, jangan gitu dong, dik! Sekali aja, ya? Please! Kakak capek banget, nih. Besok kakak bayar kamu, deh"bujuknya dengan pandangan 'anak kecil kepengen lolipop' yang membuatku mengalah dan mengangguk. Dia langsung berseru girang dan menghambur kearahku.
"Kamu emang adik kakak yang paling ganteng"pujinya
"Ya, aku tahu"sahutku cepat. Dia tersenyum lalu mengambil jaket dan helmnya.
"Mau kemana, kak?"tanyaku. Dia cuma melempar senyum cerah.
"Dasar males! Dia malah enak - enakan jalan - jalan!"sungutku dan dia membalas dengan cengiran lebar. Aku menghela nafas panjang.
Kulirik jam tanganku. Baru jam sembilan. Aku pergi ke kamar mandi dan mencuci muka serta menggosok gigiku. Setelah itu aku duduk manis diatas bangku menghadap layar laptop yang menyala. Aku minimize dulu tugas yang diketik si tiang listrik, ku buka galeri musiknya.
Sekarang aku siap mengetik ditemani Simple Plan. Baru setengah jalan mengetik, hape ku berdering.
Ada panggilan masuk. Randy.
Langsung ku acuhkan telpon itu. Lalu seperti biasanya masuk puluhan telepon dan ratusan sms darinya. Kayak nggak tau Randy aja. Aku meneruskan ketikanku sambil ikut menyanyi. Setidaknya capeknya ngetikin tugas si tiang listrik jadi lebih berkurang. Karna dapet telpon beruntun dari Randy aku seperti dapat inspirasi mendadak. Segera kucari kontak Arsha dan kutelpon dia. Lima detik menunggu telponku tak kunjung diangkat. Kumatikan telponku dan kucoba lagi. Kali ini telponnya sibuk.
Kok bisa? Siapa, sih yang dia telpon?
Kembali aku menelpon dan berulangkali suara cewek operator menyebalkan itu yang kuterima. Pikiran jahat mulai menggelayuti pikiranku. Arsha itu jomblo, kan? Siapa, sih yang lagi ditelpon sama seorang 'jomblo'? Aku mencoba menarik pikiranku. Memenuhinya dengan pemikiran positif.
Jangan - jangan dia bohong padaku? Dia sebenarnya punya pacar? Atau dia sudah punya gebetan? Semangatku langsung down, perasaanku menggelayut nggak karuan. Sial!
Kalo bener buat apa juga dia bohong?
Aku mengacak - acak rambutku sendiri saat telponnya kembali sibuk. Aku akhirnya menyerah dan melanjutkan tugasku. Setengah jam kemudian tugasku selesai. Aku meregangkan badan. Kulihat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku bangkit dari tempatku, berjalan menuju jendela. Kubuka gorden yang tertutup dan kubuka jendelaku. Angin malam yang dingin menerpaku. Untuk terakhir kalinya aku menelpon Arsha. Kali ini tak ada suara si operator cewek tapi telpon tak juga diangkat. Kuremas handphoneku erat. Tidak diangkat. Aku mengeluh menatap bulan sabit yang kelabu. Cuma ada sedikit bintang dilangit. Tertutupi kabut dan awan.
Handphoneku lalu berdering lagi. Kulihat penelponnya. Bukan dari Arsha tapi dari Randy. Tak seperti tadi, kuangkat telpon dari Randy. Aku tak mengatakan apapun.
"Hallo? Alfa?"katanya
"Iya?"balasku lemah
"Hah, aku senang akhirnya kamu mau mengangkat telponku"katanya kedengaran lega. Aku mengangguk walaupun kutahu dia takan bisa melihatnya. Kubalas dengan tawa renyah.
"Aku nggak ganggu kamu, kan?"
"Tergantung"kataku
"Tergantung? Maksudmu?"
"Kalo kamu menelpon saat aku sibuk memandangi rembulan"jawabku tak berusaha menutupi sesuatu. Memangnya aku mau menutupi apa? Dan apa yang bisa kututupi? Dia balas tertawa. Aku juga tertawa.
"Talking to the moon kalo kata Bruno Mars"
"Kamu tahu lagu itu?"
"Tahu"
"Kamu mau nyanyiin lagu itu untukku?"tanyaku. Kudengar jeda sebentar. Apa permintaanku berlebihan? Sedetik kemudian hening itu terpecahkan oleh jawaban Randy.
"Mau. Spesial buat kamu"
Dan dia mulai menyanyi. Seperti yang aku duga. Suaranya jernih dan merdu. Aku masih tetap memandang bulan. Sekarang aku bertanya dalam hati.
Apa yang sedang kulakukan?
Lagu itu habis. Membuat darahku berdesir. Aku tak mengerti pada diriku sendiri.
"Fa?"serunya pelan.
"Ya?"
"Hmm, besok apa kamu sibuk?"
"tidak. Memang kenapa?"
"Hmm, kamu mau nggak kalo kita.. er.. jalan - jalan? Refreshing kemana, gitu?"tanyanya. Aku tetap memperhatikan bulan yang mulai menghilang.
"Mau"jawabku singkat. Bulan itu sudah benar - benar menghilang. Terdengar suara Randy ceria diseberang sana.
"Besok sore aku jemput kamu kalau gitu"katanya.
"Ok"balasku singkat. "Aku mulai ngantuk. Selamat malam"kataku dan kumatikan telpon itu sebelum Randy selesai menjawabnya.
Apa yang baru saja aku lakukan?
Bukankah aku sudah berjanji nggak akan menjalin hubungan lagi dengan mantan? Nggak akan membawanya lagi masuk ke duniaku? Kenapa aku tadi setuju menerima ajakan jalannya? Aku bukan cowok bodoh yang nggak tahu maksud 'jalan bareng'nya itu. Dia berusaha mendekatiku lagi dan persetujuanku jelas - jelas akan membuatnya salah paham.
Tapi gimana kalo dia sama sekali nggak ada maksud seperti itu?
Aku menghela nafas panjang. Semoga saja begitu. Aku menghempaskan diriku sendiri keatas kasur. Aku mengecek handphoneku dan tak ada telepon masuk dari Arsha. Oke.
Aku menarik selimutku. Aku nggak mau menyakiti perasaan siapapun kali ini. Tidak perasaanku ataupun Randy. Bahkan orang bodoh sekalipun tahu kalau aku itu manusia jahat yang menjadikan Randy sebagai pelarian karna aku kesal pada Arsha.
Sangat ditunggu komentar, like, saran dan kritik dari kalian :v
# hasuatan iblis.....
#Menyakitkan
Arsha mungkin lgi denial tu..
@Otsutsuki97S putus cinta
#luka perih digosok garam
@kikyo Alfa: aku masih bingung dengan keputusanku. Apa aku mengambil tindakan yg benar?
@Lovelyozan Alfa: hmm.. Arsha kelihatan misterius. Dan kalo denial pun, mau sampe kapan dia denial?
BAGIAN #4
Kulihat Arsha ada di depan gedung kelas IPA. Berdiri menjulang dengan senyum yang menawan. Aku tak menatap matanya tapi kurasa dia menatapku. Aku yakin betul dia menatapku tajam seolah aku seorang kriminal.
Aku belum bisa menghilangkan rasa kesalku. Kalau dia bisa cuek kenapa aku, tidakk?
Jadi untuk pertama kalinya aku berjalan tegak dengan wajah datar melewati Arsha begitu saja.
Tak ada saling sapa atau saling melempar senyum. Tidak. Arsha melakukan itu. Tapi aku tidak.
Aku terus meniti anak tangga yang rasanya seolah menusuk hatiku dengan jarum. Rasanya ngilu. Aku menarik nafas panjang. Sebagian dari batinku mengharapkan Arsha akan menyusulku, mengejarku dan meminta penjelasan dari sikapku. Bukannya diam membiarkanku pergi begitu saja. Setidaknya dia protes atau marah karna aku mengacuhkan dia! Atau paling tidak dia bersikap acuh pada sikap dinginku dan berbicara seperti biasanya seolah tak terjadi apa - apa?
Aku merutuki diriku sendiri.
Sekarang aku malah ingin berbalik, melihat apakah dia masih disana atau sudah pergi. Saat akan menolehkan kepalaku kesamping kurasakan sebuah tangan menepuk bahuku. Arsha. Jantungku berdetak memikirkannya. Aku kembali memasang wajah datar dan kukatakan pada diriku sendiri bahwa Arsha juga harus tahu rasanya di acuhkan. Aku baru saja berbalik dan mendapati bukan dia yang ada di belakangku. Nafas dan ekspresi dinginku langsung meleleh begitu saja.
"Kamu pikir itu lucu? Dasar gila!"hardikku sambil mengepalkan tanganku. Jimmy tertawa.
"Tentu saja. Kamu itu lucu, Fa"katanya. Aku memutar bola mataku malas.
"Oh, tentu saja. Aku tahu itu"sahutku singkat dan berlalu begitu saja. Jimmy bergeming dan berjalan di belakangku. Aku mendongak padanya dan mendengus kesal. Ku percepat langkahku dan hal yang sama juga ia lakukan. Aku makin kesal dan mencoba berjalan cepat bahkan berlari darinya. Tapi dia mengejarku, mengekor di belakangku. Tatapan mata siswa - siswa lain membuatku menceloskan nafasku.
Bagus, sekarang mereka pikir aku punya keterbelakangan mental.
Aku berhenti dan menatap Jimmy tajam. "Berhenti mengikutiku!"seruku tajam. Dia terdiam. Tentu saja. Aku menatapnya tajam penuh kemenangan.
"Aku cuma mau masuk kelasku, kok"katanya cuek dan masuk ke dalam kelas dengan tampang tak bersalah. Aku cengo sendiri menyadari ketololanku. Bukannya dia teman sebangkuku? Akhirnya aku masuk ke kelasku. Pikiran tentang bersikap dingin dan cuekku melayang.
Tuh, kan aku linglung!
Aku benar - benar mengharapkan lebih saat Arsha menemuiku. Dia datang ke kelasku. Berdiri diambang pintu dengan ekspresi tak terbaca. Aku sendiri kaget. Begitu juga Jimmy. Dia menatap Arsha dan aku bergantian. Aku langsung tahu situasi. Kupasang wajah datarku dan segera menuju kearahnya. Seperti harapan. Dia menyapaku dan aku cuma terdiam. Dia menatapku tegang dan menarik tanganku. Aku tidak berontak karna terlalu banyak orang yang melihat. Aku dibawa sampai gedung belakang IPA dimana nggak akan ada orang yang melihat kami. Aku langsung melepaskan tanganku tapi tak berhasil.
"Kamu kenapa?"tanyanya.
"Aku nggak kenapa - napa. Harusnya aku nanya kamu yang kenapa!"
"Kalo aku punya salah sama kamu aku minta maaf"
"Kamu nggak salah apa - apa"
"Kalo nggak ada masalah kenapa kamu ngejauhin aku? Kamu, kamu cuek sama aku"
"Arsha aku nggak menjauhi kamu atau cuek.."dia memotong ucapanku cepat.
"Aku udah liat sendiri gimana cueknya kamu sama aku! Kamu itu kenapa, sih? Kalo aku salah sama kamu aku minta maaf!"katanya gusar. Aku menatap Arsha tanpa bisa berkata - kata.
"Sha, udah. Aku nggak mau bahas ini lagi"kataku hendak berbalik.
"Jangan mencoba menghindar, Fa!"
"Aku nggak menghindari apapun. Sha, ini omongan absurd kamu ngerti?" kataku padanya."lebih baik lupain aja, Sha"sahutku padanya. Tepatnya mengingatkan pada diriku sendiri. Aku sampai di tikungan gedung IPA dan kulihat Jimmy bersandar disana. Aku menatapnya tak percaya.
Apa dia mendengar semuanya?
"Jangan mencoba menekan air di dalam gelas"gumamnya. Dia menatapku. Tatapannya seolah menyiratkan makna familier sekaligus asing di benakku. Perlahan dia beranjak pergi. Aku mematung di tempatku memperhatikan punggung Jimmy menjauh.
Komo tunggu komentar, saran, like dan kritik dari kalian, ya?
Hahaha
Hahaha