It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Shin bakalan balik lgi? Lets see..
@gadismanis1990 dibumi? ngga' ada. cuma ada filterisasi air ala kadarnya aja.
@lovelyozan eits! ceritaku g gmpg ditebak smudah itu.
@okimansoor ok!
sorry kl ada yg kelewat. soalnya gue jg manusia bumi. baahahaha~
"Baiklah... Baiklah!" dengus Lyra menyerah. Ia pun memejamkan mata, mencoba membaca masa lalu. Aku menunggu tak sabaran, sedangkan Neil tampak sangat tak suka dengan ide ini.
"Shin sudah tak ada dihotel itu. Dia sudah pindah dikota lain. Sekitar 400km ke utara dari sini." terang Lyra.
"C'mon, kita takkan menjemputnya kan, Sayang?" tukas Neil malas.
Bibirku mengerucut, seakan memaksa mereka menjemputnya.
"Astaga!" dengus Lyra dan Neil kompak. Bersamaan.
"Bagaimana? Kalian akan kesana?" cetus Garth dari dapur. Yang entah tengah sibuk membuat apa.
"Batal!" Neil menimpali. Aku pun menginjak kakinya kuat-kuat.
"Aw! Sakit, Sayang!" ia meringis kesakitan.
"Bagaimana kalau dia tak mau membantu? Sia-sia saja, Alan!
Bagaimana kalau dia mau membantu tapi dia punya rencana busuk dibalik itu?"
"Benar juga!" sahut Lyra. Aku menarik pipi mereka berdua kuat-kuat.
(Walau dia pernah menyakitiku tapi untuk urusan kelompok, setahuku dia sangat setia kawan. Iya, kan? Kalian ingat yang terakhir?
Dia akan membantu kita.
Lagipula urusanku dan dia kan urusan cinta bodoh! Tak ada hubungannya.)
Neil tak terima. "Dasar! Jadi menurutmu aku bodoh, hah?"
Aku menjulurkan lidahku. Namun tiba-tiba dia malah menciumku. Dasar bodoh!!!
Sore hari kami berangkat. Tentu dengan Ble pinjaman Miro, kami segera menuju tempat Shin.
Syukurlah kalau dia tak tertangkap waktu itu. Ternyata dia segera pindah.
"Aku lapar! Buatkan makanan dong, Sayang!"
Aku menulis,
(Kau pikir aku ini suamimu?! Lakukan sendiri!)
Lyra tertawa cekikikan melihat tingkah kami.
Neil menarik-narik tanganku. "Ayolah!"
Aku menulis,
(Lagipula ini kan masih dijalan. Sangat sulit memasak ketika Ble masih berjalan.)
Ia berbisik, "Lain kali kita harus mencoba bercinta saat Ble berjalan. Pasti seru!
Kabin belakang kan ada pintunya."
(DASAR BODOH!!!)
Kami tiba disebuah kota kecil. Cukup terpencil juga. Jalanan amat sepi, hanya ada beberapa pejalan kaki dan mobil yang melintas. Jarang ada yang menggunakan Ble. Bahkan mungkin ini sebuah desa.
Kami berhenti disebuah rumah kayu bercat putih. Dengan pagar kayu dan beberapa jenis bunga dan tanaman dikiri kanan halaman.
Neil dan Lyra tampak sangat malas. Aku menarik tangan mereka. Pintu kayu putih itu segera ku ketok beberapa kali. Tapi tak ada jawaban. Ku ketok lagi, sama saja!
"Ayo kita pulang!" seru Neil enteng. Ditambah anggukan Lyra penuh semangat.
(Gila ya! Kita sudah ke sini!
Ayolah, sebentar lagi!)
Tiba-tiba ada seorang pria berusia 30-an yang membuka sedikit celah pintu. "Siapa kalian?"
"Kami mau bertemu Shin. Kami teman-temannya. (Dulu sih?!)" jawab Lyra.
Pria itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Sebentar!" ia segera berlalu, sembari berteriak memanggil-manggil Shin.
Parahnya, ia hanya mengenakan celana dalam.
Tak lama kemudian Shin keluar dari salah satu ruangan. Ia berjalan malas, sembari memakai jeans.
Saat ia melihat kami bertiga, ia pun menghentikan langkahnya dan berjalan mundur ke belakang.
"Shin! Kemari kau!" seru Lyra.
"Aa-ada apa kalian menemuiku?"tanyanya gugup. Ia tampak sedikit gelisah.
"Oscar ditangkap! Kami butuh bantuanmu untuk menyelamatkan Oscar!"
"Apa peduliku?!" tukas Shin enteng. Kami menatapnya tak percaya.
Tiba-tiba Neil masuk dan mendorongnya hingga terjatuh. "Kau ini...!"
"Hei, apa yang kau lakukan padanya!" Amuk pria berbadan besar dan berbulu itu. Ia mengayunkan tonjokan ke arah Neil, namun dengan mudah Neil menangkisnya.
Shin meludah, "Pergilah! Kalian datang-datang menganggu kami saja dengan berita tak penting! Bukan urusanku, goblok!" kemudian ia beralih menatapku tajam, "Terutama kau! Rasanya tanganku gatal ingin mencabik-cabik wajahmu! Dasar murahan! SLUT...!!!"
"BANGSAT!!!" Neil menonjok rahang Shin pelan. Ia pun jatuh terguling beberapa kali ke belakang. Bibirnya robek, mengeluarkan darah.
Pria satunya hendak membalas, namun Neil langsung memiting tangannya ke belakang dan melayangkan tendangan ringan dipunggungnya. Membuatnya tersentak jauh ke belakang. Menghantam buffet kaca, hingga pecah berkeping-keping.
"Pergi kau kalau ingin selamat! Ini bukan urusanmu!"
"Aku akan membunuhmu!!!" Neil menghampiri Shin, mencekik kuat-kuat lehernya hingga ia tak berdaya. Matanya terbuka lebar, seakan hendak mencelos keluar. Mulutnya ternganga lebar, nafasnya tersengal-sengal.
Pria satunya tiba-tiba mengambil kursi dan menghantamkannya ke punggung Neil. Namun Neil tak memperdulikannya. Tetap mencekik kuat-kuat leher Shin.
Lyra mengepalkan tinjunya ke arah pria itu, hingga akhirnya ia berlari ketakutan lewat pintu belakang.
Aku menghampiri Neil, berusaha melepaskan cekikannya. Namun Neil tak bergeming.
Lyra segera membantu, namun Neil benar-benar kuat. Kita berdua tak dapat melepaskan, bahkan membuka salah satu jarinya pun tak bisa.
"Neil, hentikan Neil! Bukan begini!"
"Dia harus mati! Akan ku pastikan, aku yang akan membunuh iblis sepertinya!" pekik Neil penuh kobaran amarah dan dendam.
Neil menatap Shin tajam, "Kau tahu? Gara-gara kau, orang yang sangat ku sayangi jadi tak dapat bicara sekarang! Sebenarnya yang murahan itu kau! Dasar iblis! Aku akan membawamu ke neraka!"
"Neil, hentikan!!!" pekik Lyra. Terus berusaha melepaskan tangan Neil.
"Setidaknya aku akan menghajar dan merusak pita suaramu seperti dengan teganya kau menyakitinya! Aku akan membuatmu mengerti betapa sakitnya melihat orang yang sangat ku sayangi hanya dapat menatapku. Tak pernah mengatakan apapun! Bahkan kata cinta sekalipun yang begitu mudah kau umbar!"
Tangisku pecah. Aku berhenti berusaha melepaskan cekikan itu, lalu memukul-mukul punggung Neil sekuat yang ku bisa. Namun ia tak bergeming.
Shin mulai lemas. Matanya sayu. Terdengar suara erangan yang terputus-putus, tak jelas.
Ia menggerakkan semua air yang ada dirumah ini dan membanjirkannya dari lantai atas. Tapi itu tak mempan. Bahkan Neil tak bergeser sedikitpun.
Sedangkan aku dan Lyra langsung terbawa arus air yang sebegitu deras dan dalamnya, hingga keluar dan berhenti dihalaman depan rumah.
Kami berdua terbatuk-batuk.
Aku segera berlari, lalu memfokuskan pikiranku dan mengontrol pikiran Neil. Aku membuatnya melepaskan cekikan itu.
Neil sangat marah! Tatapannya bengis. Tatapan yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Ia berusaha melawanku, hingga aku mulai kewalahan. Namun tetap ia tak bisa menghancurkan Mind Controll yang ku lakukan. Aku menghempaskannya ke dinding dan membuatnya berhenti disana.
Shin terkulai lemas. Ia terbatuk-batuk beberapa kali hingga mengeluarkan darah. Ia terus memegangi lehernya yang memerah. Matanya terbelalak lebar. Air matanya berlinangan. Cekikan Neil benar-benar parah.
Aku segera membantu Shin, tapi ia malah menendangku kuat-kuat hingga aku menghantam meja.
Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tak bisa. Kemudian ia berusaha meraih sesuatu dilantai, dan menghantamkannya ke kepalaku. Pot bunga kecil itu hancur berkeping-keping menghantam kepalaku.
Aku terjatuh lemas dilantai. Atap rumah itu seakan berputar-putar dan pandanganku mulai meredup. Kepalaku nyeri tak karuan dan telingaku berdenging hebat.
Sontak membuatku melepaskan Neil.
Tiba-tiba samar-samar ku lihat Lyra berlari dan langsung menendang kepala Shin kuat-kuat hingga ia tak sadarkan diri. Lyra tampak sangat marah.
"Dasar iblis!" pekik Lyra geram. Kedua tangannya mengepal kuat.
Dan kemudian semuanya gelap...
Aku mendorong tubuhku, berusaha bangun dari ranjang. Mataku masih tertutup rapat.
Saat ku raba, luka dikepalaku sudah menghilang. Hanya menyisakan sedikit migrain.
Sayup-sayup ku dengar suara Neil, "Sayang, bagaimana keadaanmu?" Suaranya berat dan penuh kegelisahan.
Aku membuka mataku perlahan. Mengusap pipinya lembut, berusaha menenangkannya.
"Syukurlah!" ia langsung mendekapku erat.
"Kau tak apa kan? Bisa-bisanya ia menendang dan menghantam kepalamu. Lagipula kenapa kau masih mau membantunya sih?! Kau itu terlalu baik atau bodoh sih?!" cerocos Lyra kemudian. Terdengar masih kesal.
Neil membersihkan peluh dikeningku dengan tissue. "Harusnya kau biarkan aku membunuhnya saja! Iblis sepertinya pantas mati!"
Aku menggeleng...
"Maafkan aku... Aku masih emosi sampai saat ini. Memang Shin sangat keterlaluan."
"Berhentilah menyalahkan dirimu... Aku yang salah!" Neil seakan membaca pikiranku. Ia tersenyum hangat. Sudah lebih tenang dari sebelumnya. Kemudian ia mengecup keningku beberapa saat, lalu memelukku.
Miro yang tengah duduk dikursi segera menghampiriku. Lalu mengusap kepalaku lembut.
"Hei, jangan pegang-pegang!" tukas Neil. Kami semua terkekeh. Tapi Miro malah mencium pipiku dengan cepat dan langsung berlari keluar. Tertawa cekikikan.
"Hei, kau mau mati ya! Kemari kau!" Neil langsung berlari mengejarnya.
Garth yang mengetahui bahwa aku sudah sadar langsung masuk membawa nampan berisi makanan. "Syukurlah kalau kau baik-baik saja! Makanlah!"
Aku mengepalkan tinjuku ke arahnya. Garth segera menyambut dan menempelkan kepalan tangannya. Membuat kami bernostalgia ketika kami masih kecil.
***
Keesokan harinya kami membahas dan membuat rencana untuk menyelamatkan Oscar. Kami berlima berkumpul diruang tengah.
Lyra tengah sibuk membaca masa depan dan menjelaskan denah yang ia gambar di R-Trix. Mencari titik dan rute yang paling lemah untuk masuk ke dalam. Karna memang Allegos memiliki sistem keamanan yang sangat kompleks disetiap sisi.
Meloloskan diri akan lebih mudah, walau tetap saja itu hal yang rumit dan sulit, ketimbang diam-diam masuk dan menyusup.
Setelah itu Miro membawa kami ke sebuah ruangan yang penuh dengan berbagai macam senjata. Kami hanya dapat ber 'WOW!' lebar melihat ruangan itu. Entah untuk apa dan kenapa ia punya senjata sebegitu banyak.
Kami mendengarkan Miro menjelaskan beberapa senjata paling efektif yang dapat membantu kami. Kemudian kami akan memilihnya.
"Pertama dan yang paling penting adalah Armor. Ini terbuat dari material duralumin dan titanium campuran. Ringan, tapi efektif untuk melindungi diri dari tembakan misil dan laser. Tapi kalau senjata laser mereka setingkat dengan Red Slicer kita, kalian harus segera menjauh dari serangan tersebut. Sebelum Armor ini meleleh, dan hancur." Miro menjelaskan, sembari mendekatkan armor tersebut pada kami.
"Lanjut!" seru Garth dan Lyra kompak. Lalu mereka jadi saling menatap dan gugup beberapa saat. Sontak anak-anak lain meledeki mereka berdua.
"Oke! Senjata pertama... Shockwave; Senjata ini akan mengalirkan arus listrik pada musuh, hanya dengan menekan satu tombol saja. Dan akan menciptakan ‘wilayah penolakan’ yang menembakkan energi electro-static dengan kekuatan 65 ribu volt. Efektif di jarak 8 meter."lanjut Miro.
"Kedua, Red Slicer; Senjata ini hanya berdiameter beberapa centimeter. Laser ini 70 kali lebih panas dibanding kompor listrik dan dapat melukai tentara musuh dengan parah dibanding senjata lain. Senjata ini juga dapat membelah baja dan menjatuhkan pesawat."
"Mengerikan!" komentar Lyra.
"L105 Airburst Weapon; ini memiliki julukan ‘The Punisher’ dan mampu menembakkan granat generasi baru dengan akurat pada jarak 500 meter."
"Granat senjata ini bisa diprogram secara manual dalam jarak 80 meter hingga mengenai target."
"Tillanian Bow; Otomatis dan dirancang seperti portable ballista. Cukup memasukkan maks. 30 anak panah dalam sekali refill. Ujung anak panahnya bisa meledak dengan bermacam efek dan radius, bila dilesakkan dan mengenai suatu obyek. Ada 16 macam anak panah lainnya dengan berbagai fungsi; Smoke, Flare, Tears-Gas, Electic Arrow, dan masih banyak lagi. Ditandai dengan warna-warna yang berbeda dipangkalnya."
"Nanti aku akan memberikan catatan dan menjelaskan lebih lagi untuk yang memilih ini."
"Ingat, pilih senjata yang dapat membantu dan meng-cover kelemahan kalian!"
Kami mulai menimbang-nimbang...
Kemudian Garth memilih Red Slicer.
Lyra memilih Shockwave.
Neil memilih Tillanian Bow dan L105 Airburst.
Dan aku memilih Shockwave dan Tillanian Bow.
Miro membawa kami ke ruangan sebelah, "Oke, sekarang silahkan pilih item tambahan yang dapat membantu kalian saat kalian terdesak."
Oh My God!!! Kami sekali lagi ternganga lebar melihat berbagai macam item tambahan yang tertata rapi dan apik di rak.
Sebenarnya siapa sih dia? Dan untuk apa dia punya senjata banyak, diapartment nya pula?
***
Masih penasaran ma miro...lanjuttt
"Oke, semuanya sudah selesai kita bahas. Kita akan beraksi lusa. Dan untuk besok, kita gunakan waktu seharian itu untuk istirahat total atau refreshing, semuanya terserah kalian." Lyra menjelaskan.
Malam itu seusai makan malam, Miro mengajak Alan berbincang-bincang dibalkon. Kemudian ia menanyakan suatu hal serius. Tapi Alan menolaknya. Miro tak menyerah, ia terus memaksa Alan, hingga Alan mulai kesal karna harus berulang kali menolaknya.
"Ayolah, biarkan aku ikut! Disana sangat berbahaya. Aku takut kau kenapa-napa!"
Alan menulis,
(Aku yang seharusnya berkata seperti itu! Bahkan aku juga akan melarang Garth untuk ikut. Ini urusan kami bertiga. Kalian berdua tak ada sangkut pautnya!)
"Aku tak peduli, aku akan tetap ikut! Entah diam-diam mengikuti kalian atau bagaimana."
Alan menghela nafas. Tangannya meremas pagar balkon. Ia pun segera memutar otak.
(Seberapa besar kau mencintaiku?)
Miro terbelalak, "Tentu sangat besar! Aku rela melakukan apapun untukmu. Kenapa kau tiba-tiba menanyakannya?"
(Kalau memang benar begitu, harusnya kau mengikuti apa mauku!)
Miro menggaruk kepalanya yang tak gatal. Meraup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. "Tapi ini beda cerita! Aku tak mau hal buruk menimpamu!"
(Aku juga akan memberimu kesempatan untuk lebih dekat denganku kalau kau mau mengikuti apa mauku saat ini. Bagaimana?)
Miro mendesah kalah. "Baiklah, aku menyerah! Pulanglah dengan selamat untukku! Berjanjilah!"
Alan menghela nafas lega. Akhirnya ia berhasil.
Garth tengah sibuk mencuci piring-piring kotor didapur. Kemudian Lyra masuk, sembari membawa piring dan gelas-gelas lainnya yang tertinggal dimeja makan.
Garth meliriknya sekilas, "Thanks, Lyra! Letakkan saja disini, aku akan mencucinya."
Lyra segera meletakkannya, "Aku juga akan membantumu, biar lebih cepat."
"Eh, tak usah! Kau ke ruang tengah saja berkumpul dengan anak-anak. Aku sudah biasa melakukannya. Biarkan aku saja yang mencucinya!"
Lyra langsung mendekat dan ikut mencuci piring, tepat disamping Garth. Lalu menyikut pinggang Garth, "Kau saja yang ke sana! Aku kan satu-satunya anak perempuan disini. Biarkan aku saja yang melakukannya. Biasanya juga aku yang mencucinya. Walau kadang-kadang Alan membantuku sih! Haha..."
"Aku serius... Pergilah!" pinta Garth sopan, sembari menarik piring yang Lyra pegang.
Lyra ikut menarik piring tersebut, "Aku juga serius!"
Garth mulai menyerah. "Baiklah, kita mencucinya bersama-sama!"
Suasana diruang tengah tampak aneh...
Alan duduk diantara Neil dan Miro. Dihibur film horror bodoh yang mereka tonton bersama-sama.
"Kemana sih Garth dan Lyra? Lama sekali dibelakang. Apa sih yang mereka lakukan?" dengus Miro. Matanya tetap tertuju pada layar televisi.
"Entahlah!" timpal Neil singkat, sembari tetap memfokuskan perhatiannya pada film tersebut.
Alan meringkuk tegang, sembari menutupi matanya. Jemarinya direnggangkan sedikit. Ia ketakutkan, tapi tetap penasaran.
Tiba-tiba mata Neil menangkap sesuatu, "Hei! Kenapa tanganmu bisa pindah kesana?!" bentak Neil kesal. Lalu memindahkan tangan Miro yang semula melingkar dipinggang Alan.
Ia langsung mengangkat tubuh Alan dan mendudukkannya dipangkuannya. Lalu memeluknya.
"Kau ketakutan ya? Hahaha... Payah! Dasar bocah!" bisik Neil. Tapi Alan tak menghiraukannya dan tetap fokus menyaksikan film itu.
Kemudian Garth dan Lyra kembali dari dapur. Saat Alan melihatnya, ia tak sabar ingin mengajak Garth bicara. Ia membawanya ke balkon.
"Tak bisa! Aku akan tetap ikut!" tukas Garth.
"Aku akan melindungimu! Kau satu-satunya keluargaku saat ini. Aku hanya punya kau, Alan! Jadi biarkan aku ikut. Oke?
Aku ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja!"
Alan menyerah... Ia terpaksa membiarkan Garth ikut.
Malam itu semuanya sudah masuk ke kamar masing-masing untuk tidur. Miro sudah terlelap disamping Garth, sedangkan Garth membolak-balik posisi tidurnya tak bisa tidur. Ia memikirkan sesuatu...
Kemudian ia beranjak dan keluar dari kamar. Berjalan-jalan hingga akhirnya berhenti diruang tengah. Memutar sebuah film.
Dari arah lain ada Lyra yang baru saja keluar dari dapur dengan segelas teh hangat.
"Hei, Garth? Kau tak tidur?"
Garth tersentak kaget, "Eh?! Iya, susah tidur. Mungkin dengan menonton film drama akan membuatku mengantuk."
Lyra ikut duduk disamping Garth. Lalu menyesap teh hangat tersebut perlahan-lahan. "Berhentilah memikirkan hal-hal tak penting. Lebih baik kau tidur saja!
Memangnya apa sih yang kau pikirkan sampai tak bisa tidur?"
"Ti-tidak! Aku hanya memikirkan teman lamaku di Saint Andrews." tukas Garth.
"Teman?" goda Lyra.
"Calon istri sih! Aku hendak melamarnya."
"Lalu?"
Garth menghela nafas, "Entahlah! Dia berusaha menjauh dariku. Memang sebelumnya aku pernah membuat kesalahan."
"Berhentilah menyalahkan dirimu, itu bukan kesalahanmu!"
Garth menoleh, mengabaikan film yang ia putar. "Ka-kau membaca masa lalu kami?"
"Yap!"
"Beritahu aku lebih banyak lagi!" seru Garth penuh rasa penasaran.
"Dia hanya mencari-cari kesalahan. Dia meninggalkanmu karna pria lain. Lupakan saja dia! Buat apa kau terus memikirkannya."
Garth tampak sangat terkejut, "Aku tak menyangka..."
Lyra menepuk pundak Garth, "Jadi berhentilah memikirkannya dan kembalilah ke kamarmu!"
"Thanks! Aku sudah lama memikirkan masalah ini. Dan sekarang kau memberitahuku. Aku merasa lebih lega sekarang."
"Anytime!"
Garth menelan ludah, "Oh, iya... Sebagai rasa terimakasih ku, aku akan mentraktirmu makan diluar. Kalau kau mau?"
"Boleh! Kenapa tidak?"
Senyum Garth mengembang. "Kau mau? Baiklah, besok bagaimana?
"Bisa! Ketok saja pintu kamarku. Haha..."
"Okay, see ya! Thanks, Lyra!"
***
Pagi itu setelah bangun dan mencuci muka, Alan segera membuat sarapan. Seperti biasanya, ia hanya mengenakan kemeja pastel tipis dan celana dalam.
Ia sibuk mengaduk-aduk adonan pancake.
Miro baru saja keluar dari kamar. Rambutnya masih sedikit basah. Tampak rapi dengan kemeja slimfit maroon dan celana kain hitam. Dasi abu-abu menggantung ditengkuknya. Menenteng tas kulit dan jas hitam.
Ia menuju ruang tengah, hendak mengambil R-Trix nya yang tertinggal.
Saat ia melihat Alan tengah sibuk membuat sarapan, ia segera menghampirinya.
"Bantu aku memakai dasi, dong!" godanya.
Alan hanya diam beberapa saat, lalu meletakkan mangkuk stainless besar berisi adonan. Ia mencuci tangannya, dan mulai memasangkan dasi untuk Miro.
Perlahan tangan Miro merambat. Diam-diam melingkar dipinggul Alan. Ia berusaha mati-matian menahan tawa bahagianya.
Perlahan ia memajukan tubuhnya lebih dekat lagi.
"Sorry, tapi ini kurang rapi. Bisakah kau merapikannya lagi?" cetus Miro iseng. Akhirnya Alan mengulanginya lagi dari awal.
Miro berhenti berusaha menahan tawa. Hatinya berdebar semakin kencang. Ia mulai serius, dan menatap Alan lekat. Menatapnya dalam jarak sedekat ini, yang biasanya ia hanya bisa menatapnya paling dekat dalam jarak kurang lebih setengah meter.
Ia tak bisa mengendalikan debaran jantungnya yang semakin menderu kencang.
Kemudian tiba-tiba Miro mendekap erat tubuh mungil Alan dan langsung mendaratkan ciuman dibibirnya, lalu melumatnya lembut. Semakin lama semakin cepat. Sebelum Alan sadar dan keluar dari zona terkejutnya, lalu berusaha melepaskan ciuman itu.
Alan mulai berusaha melepaskan ciuman itu, kemudian Miro melepaskannya. Ia tersengal-sengal. "Bi-biarkan aku menciummu sekali ini saja! Sudah sangat lama aku ingin memeluk dan menciummu, tapi takkan pernah bisa."
Alan hanya menatapnya tajam. Mengusap bibirnya yang memerah dan basah.
"Kau memilihnya, semua perhatianmu hanya tertuju padanya, dan dia bisa selalu bersamamu. Memelukmu, menciummu, merasakan cinta darimu. Sedangkan aku? Bukankah tak adil, hah?"
"Biarkan aku menciummu kali ini saja!"
Alan hanya berdiri mematung. Menatap Miro dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dengan cepat Miro menarik tangan Alan, lalu mendorongnya ke dinding dan menghimpit tubuhnya. Memegangi kedua tangannya.
Ia langsung melumat bibir Alan, menjejalkan lidahnya, lalu menghisap lidah Alan.
Miro tersengal-sengal, "I love you, Alan! I love you so much!" kemejanya kusut dan berantakkan.
Miro menerawang jauh. Menghembus nafas hampa yang selalu ia rasakan. "Andai aku jadi pria beruntung, yang selalu kau pasangkan dasi setiap pagi."
"Baiklah, aku kerja dulu! Mencari nafkah untuk keluarga kecil kita." godanya kemudian, berusaha memecah suasana panas saat itu, lalu segera pergi.
Alan masih berdiri mematung. Kemudian kembali membuat sarapan.
Beberapa menit kemudian Neil keluar dari kamar, baru saja bangun. Rambutnya acak-acakan, dan hanya mengenakan celana dalam. Ia menguap beberapa kali.
Kemudian menghampiri dan memeluk Alan erat. "Sayang, bikin apa?"
"Lyra dan Garth kemana? Kok sepi, kemana mereka?"
Alan menggeleng singkat. Lalu mentapa Neil, sembari menunjuk beberapa lapis pancake yang sudah jadi.
"Ah, aku masih malas. Nanti saja!" Neil berlalu, kemudian duduk dan mendaratkan kepalanya dimeja. Mengamati Alan yang sedang sibuk membuat sarapan, hingga ia selesai.
Alan meletakkan beberapa piring dimeja, lalu ikut duduk. Ia mengambil dua lapis dipiringnya, dan segera menuangkan coklat cair diatasnya.
"Baiklah, aku lapar sekarang!" cetus Neil. Lalu menarik tangan Alan. Mengamati jemarinya yang belepotan cokelat dan membersihkannya dengan mulutnya.
Alan langsung menarik tangannya, lalu menulis.
(DASAR JOROK! KAU BUKAN SAJA PRIA BODOH, TAPI JUGA JOROK!)
Neil terkekeh, lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. "Sepertinya Garth dan Lyra keluar, dan Miro tentu sudah berangkat kerja. Hanya ada kita berdua sekarang."
(Memangnya kenapa kalau hanya berdua?)
Neil tertawa cekikikan, "Sepertinya bercinta diruang tamu atau tengah boleh juga. Sensasi dan suasananya berbeda. Sebentar lagi aku akan menggendongmu dan menidurkanmu diatas meja."
Alan mendengus kesal, (APA DIOTAKMU ITU HANYA ADA HAL MESUM?!)
"Ayolah, Sayang! Sudah begitu lama, masa' kita hanya pernah melakukannya sekali. Apa kau tak kasihan padaku?"
(BIG NOOOOOOOOOOOO!!!
Lagipula kau harusnya bersyukur, aku pernah memberimu kesempatan. Itu pun aku terpaksa melakukannya, karna sesuatu.)
Neil mendengus kesal, "Baiklah, hisap saja hingga keluar!" ia menunjuk tonjolan besar dibalik celana dalamnya.
(Itu juga BIG NOOOOOOOOO!!!)
"Astaga... Kau tak kasihan padaku? Ayolah, Sayang!" Neil langsung melepas celana dalamnya.
Alan mulai kesal, lalu meraih botol berisi coklat cair dan menyemprotkannya kesana. Ia langsung berlari cekikikan masuk ke kamar.
"Hei... Hei! Kau ini!" pekik Neil kesal. Lalu segera mengejar Alan.
Alan merebahkan tubuhnya, hendak melanjutkan tidurnya...
"Kalau begitu kau harus ikut aku mandi! Ini kan ulahmu! Dasar, bocah!"
Neil menarik-narik tangan Alan, "Ayo ikut!"
Alan menendang-nendang tangan Neil, berusaha melepaskan tangannya. Neil pun langsung mengangkat dan membopong Alan. Cepat-cepat memasukkannya ke kamar mandi. Lalu mengunci pintu.
Neil tertawa cekikikan, sembari menyemprotkan air ke sekujur tubuh Alan. Membuatnya basah kuyup.
Terpaksa Alan melepaskan pakaiannya dan ikut mandi. Batal melanjutkan tidurnya.
***
Sore hari Neil dan Alan belepotan, tampak sangat berantakkan. Tengah sibuk menyiapkan makan malam.
Tiba-tiba Garth dan Lyra muncul. Mereka baru saja pulang.
"Hei, kemana saja kalian seharian, hah? Kencan ya? Hahaha..." goda Neil.
"Enak saja!" jawab mereka berdua kompak.
Neil malah cekikikan...
"Jalan-jalan kemana saja kalian? Ceritakan pada kami!"
Lyr berlalu, "Aku mau mandi. Gerah!"
"Aku juga!" sahut Garth.
"Astaga! Ada apasih dengan mereka? Dasar!"
Alan tampak tak begitu tertarik. Ia hanya terdiam. Memikirkan sesuatu.
"Hei, kau sedang memikirkan apa?" sergah Neil.
"Percayalah, besok kita semua akan berhasil dan kembali dengan selamat!" Neil mengerti apa yang sangat dikhawatirkan Alan saat ini. Ia mengusap-usap kepala Alan, lalu memeluknya.
"Aku akan menjagamu, menjaga anak-anak! Walau aku harus mati sekalipun, aku tak peduli. Terutama kau! Yang penting kau selamat."
"HENTIKAN, NEIL...!!!" besit Alan dalam hati. Kata-kata itu malah membuatnya semakin gelisah.
Kami-lah burung dalam sangkar.
Dingin dan berkarat disetiap jerujinya.
Mencicit dan bernyanyi.
Mematuk dan mengibas.
Kami-lah burung dalam sangkar.
Penuh pilu disetiap jerujinya.
Suatu ketika berhasil bebas, bahagia.
Namun kami harus kembali,
Meregangkan otot-otot sayap kami.
Meluncur dan mengepak.
Menembus cakrawala.
Kami-lah burung dalam sangkar.
Terisolasi dalam ironi disetiap jerujinya.
Melawan terik dan badai.
Menyesap segala rintangan,
Hanya untuk sangkar besi.
Kami-lah burung dalam sangkar.
Paruh dan cakar kami siap melawan.
Berjuang mati-matian untuk dapat kembali bebas.
Terbang bersama kawanan dilangit senja.
***
@irfandi_rahman @greent @gabriel_valiant @monster_swifties @lovelyozan @hendra_bastian @daser @vanilla_icecream @readhy_pda @sully_on @akina_kenji @rabbit_1397 @dadanello @gadismanis1990 @melkikusuma1 @1ar7ar @gaybekasi168 @okimansoor