It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kami tengah berjalan menuju stasiun. Setengah berlari lebih tepatnya. Sekitar 400 meter dari rumah sakit.
Tiba-tiba Alan menulis,
(Hei, kita harus menjemput Shin juga!)
Aku menghentikan langkahku, "Disituasi seperti ini kau masih saja memikirkan dia?"
Anak-anak lainnya pun ikut berhenti. Menatap Alan tak percaya.
"What's wrong?!"
"Astaga! Untuk apa menjemputnya? Itu tak mungkin. kita tak punya banyak waktu lagi!" cetus Lyra. Ia menghela nafas kesal, lalu membenarkan ikatan rambutnya.
"C'mon, Alan!" sahut Oscar.
Namun Alan malah meronta, seakan memintaku menurunkannya. Aku pun menurunkannya.
Aku mulai kesal, "Apa lagi?"
Alan mengangkat R-Trix putihnya,
(Bagaimana kalau dia sampai tertangkap oleh tentara Alle? Dia masih di Ellafreis, aku bisa merasakannya.
Bagaimana pun juga kita tak dapat meninggalkannya sendirian begitu saja!)
Lyra mulai kesal, "Oh, shit! Kita benar-benar tak punya banyak waktu, Alan! Sebentar lagi mereka sampai."
Tiba-tiba Lyra memberiku kode lewat kerlingan matanya. Aku pun segera merangkul Alan dan menaikkannya ke bahuku. Mengunci lenganku erat melingkari pinggulnya.
Ia meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Memukul-mukul punggungku sekuat yang ia bisa.
"C'mon!"
Kami segera berlari menuju stasiun. Melewati jalanan yang cukup ramai saat itu. Beberapa kali menabrak pejalan kaki lainnya.
Setibanya distasiun, kebetulan tak butuh waktu lama untuk menunggu kereta tujuan kami.
Selama didalam kereta, Alan hanya terdiam. Menyandarkan kepalanya dijendela. Pandangannya lurus, memperhatikan Ellafreis yang mulai kami tinggalkan.
Aku mengusap pipinya, lalu menempatkan kepalanya dibahuku. "Hei, sudahlah!" aku mengecup keningnya beberapa saat.
Ia membenarkan posisi kepalanya, lalu mendaratkan tangan kirinya dibahuku.
Tiba-tiba Lyra tampak gelisah. Tengah memejamkan matanya, mungkin melihat sesuatu.
"Mereka ada di rumah sakit itu beberapa menit yang lalu. Mengobrak-abrik bekas kamar Alan. Dan sekarang mereka sedang menuju kemari." cetus Lyra cemas. "Alan, kau punya rencana?"
Alan tampak memikirkan sesuatu,
(Aku sudah mengatur semuanya. Kita hanya perlu menunggu sekarang.)
"What?!" seru Lyra bingung.
Alan meminta kami berhenti didua stasiun berikutnya. Ia sepertinya punya rencana.
Lagipula percuma juga tetap berusaha kabur dan hanya menunggu dikereta ini. Cepat atau lambat, tentara Alle akan segera menyusul kami.
Dan benar saja, beberapa menit kemudian ada dua unit pesawat tempur tak berawak tampak meluncur mendekati kereta kami dan mulai menembakkan ratusan misil hanya dalam 10 detik. Menghancurkan jendela-jendela kaca. Membuat lubang diatap dan dinding kereta.
Kami pun segera berlari menuju ujung kereta. Alan mulai membuat Forcefield. Peluru-peluru tersebut tak dapat menembusnya, dan ia segera melakukan Telekinesis pada peluru-peluru tersebut hingga berbalik dan menembaki dua unit pesawat itu.
Dua-duanya meledak, lalu jatuh menghantam lintasan Sky Train. Sedangkan yang satunya hancur dan puing-puingnya berjatuhan menghantam beberapa bangunan. Membuat ratusan warga sipil panik, berlarian menyelamatkan diri.
Tak lama kemudian pesawat lainnya mulai bermunculan, menembaki kereta kami bertubi-tubi.
Para penumpang berlarian menuju ujung kereta, menghindari tembakan misil tersebut. Namun puluhan orang-orang tak bersalah mati tertembak dalam keadaan mengenaskan. Berjatuhan dilantai kereta.
Darahnya membasahi seluruh dinding dan lantai kereta.
"Tidak!!!" pekik Lyra.
Anak-anak menatap mereka nanar. Sedangkan Alan menangis sejadi-jadinya. Hendak berlari kesana untuk menyelamatkan mereka.
Namun aku merangkulnya dan membawanya paksa.
"Go go go!!!"
Aku berusaha menenangkannya dan mengajak anak-anak cepat berlari menuju ujung kereta.
Alan tampak sangat marah. Ia meronta, lalu berbalik dan menyeringai penuh luapan emosi. Kemudian ia mengontrol pesawat-pesawat tanpa awak tersebut berbalik menembaki puluhan Ble yang tengah mengejar kami.
Banyak Ble meledak diudara dan berjatuhan menghantam gedung-gedung perkotaan dan jalanan.
Ratusan orang berlarian menyelamatkan diri. Jalanan tampak sangat kacau dengan banyak ledakan, reruntuhan bangunan disana-sini, dan banyak kendaraan saling menabrak, menghantam satu sama lain.
Dibelakang kami mulai ada tentara Alle bersenjata yang menyusup ke dalam kereta, melalui atap. Mulai menembakkan senjata laser mereka dan membuat Sky Train ini rusak parah.
Alan mulai kewalahan menahan tembakan mereka, lalu menggerakkan tangannya ke atas. Membuat semua barang-barang, puing-puing besi dan kaca berterbangan, lalu menghantamkannya ke pasukan Alle. Membuat mereka terhempas jauh dan terjatuh dari kereta.
Tak lama kemudian ia melenyapkan Forcefieldnya dan akhirnya kami terlibat pertarungan dengan puluhan tentara Alle lainnya.
Oscar mengeluarkan kuku-kuku panjang dan tajamnya, lalu dengan cepat mencabik-cabik perut dan tubuh mereka. Membuat kulit mereka tersayat dalam dan isi perut mereka berjatuhan dilantai. Darah segar terciprat dimana-mana.
Lyra bergerak cepat, secepat kilat. Dengan cepat menghabisi mereka hanya dengan tangan kosong. Menaiki bahu mereka dan mematahkan leher-leher mereka.
Dengan mudah ia dapat menghindari setiap tembakan, karna ia dapat membaca setiap gerakan mereka 30 detik yang akan datang.
Alan tampak kelelahan dan kami menempatkannya ditengah untuk melindunginya.
Aku dengan cepat menghabiskan jumlah mereka. Meluncurkan pukulan dan tendanganku. Membuat tulang-tulang mereka remuk dan terpental menghantam dinding kereta.
Sebagian ku lempar keluar dari jendela dan jatuh ke bawah.
Setelah kereta tersebut berhenti distasiun, kami segera berlari keluar.
Tampak puluhan Ble lainnya diudara, yang sedang menuju kemari.
Aku segera menggendong Alan dan berlari didepan, membawa kami semua ke tempat yang Alan maksud. Ke rencana yang sudah ia siapkan.
Disana sudah ada sunit Ble mewah yang menanti kami.
Miro segera membuka pintu, menyuruh kami cepat masuk.
Oh My God, kenapa harus Si brengsek itu lagi!
"Cepat pakai safety belt kalian!" seru Miro. Ia tampak sibuk mengontrol kendali.
"Here we go!"
Dengan cepat ia membawa kami meluncur tinggi diudara.
Puluhan Ble yang tadi sedang menuju ke stasiun langsung menukik tajam dan mulai mengikuti Ble kami.
"Apa rencana kalian? Kemana kita sekarang?" tanya Miro cemas.
"Kemanapun! Kalau perlu meninggalkan Letechia." jawab Lyra cemas.
"Baiklah!" Miro menambah kecepatan.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau membawanya kemari?" dengusku kesal. Namun Alan tak menggubrisku dan menempelkan telunjuknya dibibir merahnya. Menyuruhku diam.
"Hei, kau baik-baik saja?" sela Miro.
Alan mengangguk. Kemudian ia menulis untuk kami,
(Aku bisa menjelaskan ini!
Awalnya aku hanya berniat menghubunginya untuk pamit, karna kita akan meninggalkan kota ini. Tapi Miro menawarkan bantuan, yang aku pikir memang kita sedang membutuhkannya.)
Aku hanya dapat menahan emosiku. Benar-benar bosan melihat si brengsek itu.
Padahal ku pikir setelah kita berencana meninggalkan kota ini, hidup akan benar-benar lebih mudah. Tak ada lagi si penganggu sialan itu.
"Hei, seksi!" sapa Lyra. Miro hanya tertawa geli.
"Aku Lyra! So, apa yang kau punya?"
Miro menunjuk kabin belakang. "Aku sudah siapkan persediaan makanan, senjata dan kebutuhan lainnya. Apapun yang kalian butuhkan sudah ada dibelakang." cetusnya.
"Wow! Ada anggur?" sahut Oscar. Miro tergelak, lalu mengangguk singkat.
Beberapa menit kemudian kami telah meninggalkan kota dan mulai melewati daerah hutan. Puluhan Ble yang mengejar kami jaraknya semakin jauh.
Setelah mulai baikan, Alan menggerakkan sejumlah Ble dan membuat mereka saling menghantam, lalu terjatuh dan meledak ke tanah. Hingga tak ada lagi Ble yang mengikuti kami.
***
Kami memutuskan bermalam dihutan dan melanjutkan perjalanan besok pagi.
Oscar tengah membuat api unggun. Miro dan Lyra mendirikan tiga tenda untuk kami, sedangkan aku dan Alan tengah menyiapkan makan malam dikabin. Ada dapur juga disini.
Setelah semuanya siap, kami makan bersama-sama. Duduk disebatang pohon, mengelilingi api unggun.
"Jadi, kenapa Allegos sangat menginginkan kalian?" tanya Miro membuka obrolan.
"Karna kami spesimen percobaan mereka yang paling sempurna. Mereka belum dapat menemukan pengganti kami meski percobaan tersebut terus dilakukan pada spesimen lainnya." terang Lyra.
"Mereka akan melenyapkan kami dan takkan membiarkan kami hidup dengan kekuatan yang kami miliki, setelah mereka dapatkan semua yang mereka mau.
Dan akhirnya kami melarikan diri sebelum hal itu terjadi." sambung Lyra.
Miro tampak memikirkan sesuatu. "Lalu apa rencana kalian selanjutnya? Bagaimana pun juga kalian harus tetap punya arah tujuan."
Alan menulis,
(Aku ingin ke Bumi. Aku merindukan Bumi, keluargaku, semuanya!)
"What?!" pekik Lyra tak percaya. Diikuti tatapan kaget anak-anak yang lain.
"Tapi disana tak sehat, Sayang!" timpalku.
Alan menulis,
(C'mon! Tidakkah kalian merindukan Bumi walau sedikit saja? Walau banyak kenangan dan hal buruk disana?
Lagipula kemana pun kita berpindah dari kota ke kota, negara ke negara, ujung Mars ke ujung lainnya, mereka akan terus mencari dan akan menemukan kita.)
Anak-anak tampak memikirkan kata-kata Alan.
Miro berdehem, "Anything, Sweetheart!
Aku siap mengantar kalian! Besok, aku akan meminta orang-orangku mengirimkan kebutuhan untuk selama kita di Bumi. Terutama persediaan oksigen bersih."
"Wow!" seru Oscar tak percaya.
Aku melempar kaleng softdrink kosong ke arah Miro, "Sweetheart, huh?! Kau mau aku meremukkan tulang-tulangmu?!" lemparanku tepat mengenai kepalanya. Ia mengaduh kesakitan. Anak-anak lainnya tertawa geli menyaksikan tingkah kami.
Aku menghela nafas berat. Tak setuju dengan ide ini sebenarnya.
Terlalu banyak kenangan menyakitkan disana. Meskipun sesungguhnya aku sedikit merindukan Bumi dan ingin mengunjungi pemakaman orang-orang yang ku sayangi.
Lagipula disana benar-benar kacau dan tak aman bagi kita.
"Kemana?" tanya Lyra kemudian.
Alan menulis,
(Mengunjungi daerah mana pun yang kita mau. Salah satunya aku ingin ke Victoria, menjemput Ibu dan Kakakku. Mereka tak aman disana, aku ingin membawa mereka.
Setelah itu terserah kalian mau kemana.)
"Baiklah, aku ikut saja! Aku tak ada keinginan ke Beijing. Untuk apa ke sana." cetus Lyra. Lalu ia beralih menatapku.
"Hmm... Yeah, aku juga! Tak ada seseorang yang perlu ku temui di Santa Fe, New Mexico.
Mengunjungi pemakaman mereka hanya akan membuatku mengingat kembali kesedihanku." aku beralih menatap Oscar.
Ia tampak memikirkan sesuatu. "Maukah kalian mengantarku ke Tampa, Florida?
Aku harus menjemput seseorang disana."
"Sure!"
"Oke, besok pagi setelah orang-orangku datang kita akan berangkat." seru Miro.
Alan menulis,
(Thanks, Miro! Kami tak tahu bagaimana kami bila kau tak membantu.)
"Anytime, Sweetheart!"
Aku benar-benar kesal. Tanpa basa-basi aku beranjak dan ku tarik Alan menjauh darinya.
Membawanya masuk ke tenda.
"Kami tidur duluan!" seruku kesal, sembari menutup tenda.
Oscar dan Lyra tergelak menyaksikan kami. Miro tersenyum puas, melihatku kesal karna nya.
"Okay, kita takkan mengganggu honeymoon kalian!" celetuk Oscar.
"Honeymoon ditengah hutan? Not bad!
Akan jadi malam yang tak terlupakan dan sedikit liar! Hahaha..." sahut Lyra. Kemudian mereka berdua tertawa nyaring bersama-sama.
"Berisik, cepat tidur! Sekarang sudah jam satu pagi."
Mereka malah tertawa semakin kencang.
Aku menghela nafas, lalu membaringkan tubuhku dan melipat lengan kananku sebagai bantal. "Tidurlah!" aku menunjuk dadaku dengan lirikan mataku.
Ia tampak memikirkan sesuatu, lalu merebahkan tubuhnya dan mendaratkan kepalanya didadaku.
Aku dapat merasakan nafasnya yang teratur dan lembut disetiap pori kulitku. Membuat perasaanku tak karuan.
Aku membelai kepalanya lembut, "Aku tahu kau melewati banyak hal sulit belakangan ini. Tapi kau lihat kan, aku selalu disisimu. Menjagamu...
Jangan terlalu banyak pikiran, bodoh! Tak baik untuk kesehatanmu. Kau belum pulih benar!"
Ia menatapku lembut, lalu tersenyum manis padaku.
"Good!" aku mengecup keningnya lembut. "Good Night, Babe!"
Entah pukul berapa, tiba-tiba aku terbangun.
Alan tampak tertidur pulas didadaku.
Dalam keadaan tidur pun ia tampak sangat manis. Membuat darahku berdesir hebat. Jantungku berdegup kencang. Tak karuan.
Membuatku tak tahan kalau hanya memperhatikannya saja. Ia benar-benar manis.
Aku membelai pipinya lembut. Memperhatikannya yang tengah tertidur pulas beberapa saat.
Rambutnya yang lembut dan pirang kecokelatan. Matanya yang indah.
Bibir manisnya yang merah dan terlihat sangat menggoda. Serta wajah manis dan polosnya yang selalu menyita perhatianku.
Aku tak dapat hanya diam menyaksikan keindahan sempurna didepan mataku.
Diam-diam ku lumat bibirnya penuh nafsu, lalu memutar tubuhku dan menindih tubuh mungilnya. Membuatnya terbangun dan menatapku beberapa saat. Sontak ku hentikan aksiku dan kami hanya terdiam, saling menatap.
Aku pikir dia akan marah, namun ia hanya diam dan menatapku lembut.
"I love you, Alan!"
Aku kembali melumat bibirnya penuh nafsu. Melumat setiap sudutnya. Lalu memasukkan lidahku, menyapu setiap rongga mulutnya. Dan menggelitik lidahnya lembut. Kemudian ku isap lidahnya hingga ia menggelinjang dalam dekapanku.
Aku beralih ke lehernya, menggigit dan mengisapnya lembut. Ia semakin menjadi-jadi. Menggeliat dalam pelukanku.
Tangannya merangkul leherku erat dan sesekali meremas rambutku lembut.
Segera ku lepas singlet hitam yang ku kenakan dan kembali bermain dilehernya. Membuat kulit putihnya mulai memerah dibeberapa titik.
Aku menyingkap T-Shirt nya ke atas. Tanpa basa-basi ku isap putingnya yang merah ranum. Ku gigit-gigit kecil.
Ia meremas-remas rambutku dan mendesah pelan. Membuatku semakin liar dan melanjutkan aksiku lebih gila lagi.
Tanganku yang lain meremas-remas pantatnya yang kenyal. Membuatnya semakin jatuh dalam permainanku.
"Alan..." aku menatapnya beberapa saat, lalu membuka dan menarik jeans birunya.
Kini ia hanya mengenakan celana dalam navy. Lekuk tubuhnya begitu sempurna dimataku. Membuatku semakin tenggelam dalam birahiku dan segera menjilat pahanya yang lembut. Sembari meremas pantatnya yang kenyal.
Ia semakin gila dalam permainanku. Menggelinjang hebat dan mengerang dalam kenikmatan yang baru saja ku mulai.
Aku tak tahan lagi. Segera ku lepas jeans hitamku dan melemparnya sembarangan. Kini kami hanya mengenakan celana dalam.
Tubuh kami, setiap pori kulit kami menyatu. Membuat desiran hebat disetiap gesekan dan pertemuannya.
Aku menindih tubuhnya, mendekapnya erat dan mencumbunya buas.
Melumat bibir, leher dan putingnya bergantian.
Ia melenguh, merasakan kenikmatan yang tak pernah ia rasakan. Kedua tangannya menyusuri setiap inchi tubuhku. Membelai lembut dada, punggung dan perutku.
Keringatku tercucur deras. Membuat tubuhnya ikut basah dan mengkilat.
Ia masih terlena dalam permainanku. Menyerahkan kemudi padaku dan membiarkanku menuntunnya ke dalam kenikmatan yang akan ku tawarkan lebih lagi.
"I love you, Alan!" cecarku tak jelas. Terus mengatakannya beberapa kali.
Ia menyibakkan rambutku. Menyeka keringat didahiku dengan tangannya. Pandangan kami beberapa saat bertemu.
Aku mencumbu tiap inchi tubuhnya. Ia membuatku benar-benar gila. Aku jatuh dalam pesonanya. Jatuh dalam setiap inchi ke indahan tepat didepan mataku saat ini.
Kemudian ku genggam tangannya, menuntunnya ke tonjolan yang sedari tadi sudah sangat menegang dan mengeras.
Sedangkan tanganku yang lain perlahan menarik celana dalamnya.
Namun ia tiba-tiba menahan dadaku dan mendorongku kuat-kuat. Membuatku menghentikan aksiku.
Ia segera menarik celana dalamnya dan beranjak.
Aku yang sudah dipenuhi dan dikuasai birahiku tak membiarkannya begitu saja.
Ku rengkuh dia dan ku baringkan dengan paksa. Ku pegangi ke dua tangannya dan mencumbunya lagi dengan sangat buas.
Seperti seekor singa yang sudah terlanjur bangun dari tidurnya.
Ku tarik paksa celana dalamnya, namun ia meronta-ronta. Tangannya berusaha lepas dari cengkeramanku. Kakinya menendang-nendang dan berusaha menjatuhkanku. Namun aku tak memperdulikannya dan berusaha menarik celana dalamnya.
Kreeeek!
Robek... Kini aku dapat melihat tubuhnya yang begitu indah sepenuhnya, tanpa sehelai kain pun.
Tak perlu menunggu apapun lagi, ku balikkan tubuhnya hingga tengkurap. Ku pegangi kedua tangannya kuat-kuat dan ku tindih dia penuh nafsu. Ku gesekkan tonjolan besar dan panjang yang sedari tadi mengeras dan meronta-ronta dipantatnya yang indah dan kenyal.
Ku cumbui lehernya, punggungnya, pinggangnya, takkan ku biarkan seinchi pun tertinggal.
Ku angkat pinggulku dan ku tanggalkan celana dalamku, lalu kembali menindihnya penuh nafsu.
Namun tiba-tiba aku mendengar suara isakan. Seketika itu juga aku melepaskan tangannya dan menghentikan aksiku.
Ku rengkuh dan ku dekap dia, namun ia malah meronta dan mendorongku. Lalu meluncurkan tinjunya kuat-kuat ke rahangku.
Tangisnya pecah. Ia tertunduk lemas tak mau menatapku.
"Why?" aku tak tahu apa yang terjadi. Kenapa dia tiba-tiba seperti ini.
Aku berusaha mendekatinya, namun ia kembali mendorongku.
Ia meraih R-Trix nya,
(Kita tak seharusnya sejauh itu! Aku sudah berusaha mengingatkanmu dan berusaha menghentikanmu, tapi kau malah lebih mementingkan nafsu sesaatmu dan memperlakukanku seperti barang murahan.
Dengan paksa kau hendak melakukannya padaku.)
Aku menatapnya tak mengerti. Nafasku masih tersengal-sengal.
Ia menulis,
(Go away!)
"Alan!"
Ia menangis sesenggukan. Lalu segera mengenakan pakaiannya dan membuka tenda.
"Alan, kau mau kemana? Aku tahu aku salah. Aku minta maaf.
Aku memang sudah lama tak pernah melakukannya dan aku tak bermaksud menyakitimu."
Ia keluar dari tenda, lalu berjalan cepat meninggalkanku.
Aku pun segera memakai jeansku dan berlari menyusulnya, sembari berusaha menarik resletingku.
"Alan!"
Ia berlari ke dalam hutan. Aku pun mempercepat lariku.
"Alan... Stop!"
Ia berlari semakin cepat, sembari mengusap air matanya sesekali. Namun tiba-tiba ia menabrak sesuatu, lalu terjatuh.
"Alan!"
Ia menabrak seseorang. Seorang Pria yang tengah membawa beberapa potong kayu. Membuat kayu-kayu yang ia bawa berjatuhan.
Ia pun sontak membantu Alan berdiri.
"Alan? Apa yang kau..." cetus Miro kaget.
"Alan!" pekikku.
Namun Alan sontak malah memeluk Miro erat. Membenamkan wajahnya didadanya.
Miro membalas pelukannya dan mengusap-usap punggungnya. Ia menatapku tajam.
"Apa yang kau lakukan padanya?!" pekik Miro geram.
Aku segera mendekat dan berusaha melepaskan pelukannya, "Kau yang harusnya menjauh darinya! Lepaskan dia!"
Namun Miro malah berusaha menjauhkanku dari Alan. "Kau yang pergi! Kau yang telah menyakitinya!"
"Alan, ayo! Kembali ke tenda!"
Namun Alan malah mengacuhkanku dan seakan takut terhadapku. Ia menatapku penuh amarah. Ada ketakutan disana.
"Hei, kau tak apa? Ada apa?" Miro mengusap-usap punggung Alan.
"Pergi! Kau hanya menyakitinya!
Ia tak mau bersamamu. Ia lebih memilih bersamaku!" pekik Miro.
Emosiku meledak. Ku layangkan tinjuku ke rahangnya, lalu ke perutnya. Miro terpental dan terjatuh ditanah. Kemudian Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah.
"Ayo, Sayang!" aku menarik tangan Alan. Namun ia malah menepisnya kasar.
Ia mendorongku, lalu mengacungkan telunjuknya seakan memintaku pergi.
Aku menatapnya tak percaya. "Aa... Alan?!"
Ia berbalik dan berlari ke arah Miro. Lalu merangkulnya dan membantunya berdiri.
"Alan..."
"Tunggu apa lagi, hah? Ia memintamu pergi. Cepat pergi!" seru Miro.
***
@irfandi_rahman @greent @gabriel_valiant @monster_swifties @lovelyozan @hendra_bastian @daser @vanilla_icecream @readhy_pda @sully_on @akina_kenji @rabbit_1397 @dadanello
Alan, don't worry honey, ada Miro sang penyelamat...
Niel bener² badboy hihihi dan alan jadi iilfiel deeehhh
Hmmm bagaimana dengan shin kita saksikan episode selanjutnya
Bagusss kakk jiwa kepemimpinannya si Alan keliatan banget XD
Tinggal menunggu si Shin XD
Goodluck kak XD
hey bagaimana dengan shin, apa mereka tidak kasian padanya? tega bener mereka...