It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
cocok si kalo itu jadi gambaran andri
dia lazuardi, pernah ikutan di acara 'petir' alias penghuni terakhir...@kunnnee
*woles..
Apalagi kalo jago olahraga, trus buka baju keringetan pas pelajaran olahraga.
Ugghh..
*kipas kipas
Lanjut dong @akina_kenji
dan maaf juga kalau part ini kurang bagus menurut kalian...tapi kuharap kalian suka..
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @gaybekasi168 @amostalee @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra @Sicilienne @LeoAprinata @liezfujoshi @josiii @freeefujoushi @RenataF @ricky_zega @ocep21mei1996_ @naraputra28 @AvoCadoBoy @chandisch @RinoDimaPutra @Derbi @JosephanMartin @Viumarvines @akumisteri1 @Obipopobo @babehnero @vane @kunnnee
*******
Part 12
“Tora, aku capek.” Aku menyandarkan tubuhku pada tempat tidur Tora.
“Sebentar lagi sayang,” katanya sambil membelai rambutku lalu melanjutkan lagi aktifitasnya.
“Istirahat dulu, nanti kita sambung lagi y....” tiba-tiba dia membungkam mulutku dengan bibirnya hingga membuatku berhenti bicara. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, lalu kurasakan bibirnya bergerak lembut melumat bibirku. Aku memejamkan mata dan mulai membalas ciumannya. Dia menghisap bibir atas dan bawahku secara bergantian, kemudian memasukan lidahnya kedalam mulutku dan mengajak lidahku bermain dengan lidahnya. Manis, itu yang kurasakan saat aku membalas menghisap lidahnya. Aroma nafasnya yang segar dan dia yang selalu menciumku dengan penuh cinta, selalu membuatku terlena dan betah berlama-lama berciuman dengannya.
Aku mengatur nafas setelah cukup lama kami berciuman. Tora membersihkan sudut bibirku dengan tisu yang ada di dekat kami. Setelah beberapa saat Tora mengajakku melanjutkan kembali aktifitas kami yang sempat tertunda. Saat akan memulai lagi, dengan cepat aku beranjak dari tempatku, membuka pintu kamarnya dan menutupnya dengan cepat kemudian menuruni anak tangga dengan buru-buru. Tak kuhiraukan teriakannya yang memanggil namaku. Sampai di bawah aku mencari-cari sosok Tante Alya tapi tidak ketemu, hanya ada Mbak Nur yang sedang sibuk di dapur. Aku berjalan mendekati Mbak Nur yang tengah asyik memotong buah. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku yang sudah ada di belakangnya.
“Mau bikin apa Mbak?” tanyaku sambil menepuk pundaknya dengan pelan. Tapi reaksinya sangat di luar dugaanku.
“Eh copot..eh copot..ehh..” aku tertegun sebentar lalu tertawa pelan melihat ekspresinya. Tak kusangka ternyata Mbak Nur orang yang latah. “...Mas Andri bikin kaget Mbak saja. Ini Mbak mau bikin es buah,” katanya menjelaskan. Aku mengangguk-ngangguk pelan sambil meminta maaf padanya, lalu meminta izin Mbak Nur untuk mencicipi buah yang sudah dipotongnya.
Baru saja satu potong stroberi masuk ke dalam mulutku. Aku mendengar sebuah deheman yang kuyakini itu adalah Tora. Dia datang menghampiri kami dengan ekspresi yang menakutkan. Aku segera bersembunyi dibalik punggung Mbak Nur yang baru saja menghadap ke arah Tora.
“Eh mas Tora, ada apa Mas?” tanya Mbak Nur dengan sopan.
“Aku mau orang yang ada di belakang Mbak itu,” katanya sambil menunjukku dengan tatapan membunuh. Mbak Nur menoleh ke belakang, aku menangkupkan kedua tanganku meminta perlindungan darinya. Kemudian Mbak Nur mengalihkan pandangannya pada Tora.
“Mau diapain Mas Andrinya Mas, sampai ketakutan gitu?” Mbak Nur melihat kami dengan bingung secara bergantian.
“Mau saya kasih pelajaran, biar gak nakal lagi,” katanya sambil menatapku dengan tajam. Aku langsung mengkeret di belakang Mbak Nur.
“Oalah jadi Mas Andri nakal toh. Udah gede kok masih nakal toh Mas,” kata Mbak Nur dengan polosnya sambil melihatku. “Yaudah silahkan dibawa Mas Andrinya, Mas,” katanya lagi seraya beranjak dari tempatnya. Namun aku terus bersembunyi dibalik punggung Mbak Nur.
“Mbak kok percaya aja sih dengan yang dikatakan Tora. Aku gak nakal Mbak,” kataku meyakinkan Mbak Nur. Dia kembali menatap Tora dengan bingung. Tora mencoba menarik tubuhku yang masih bersembunyi di belakang punggung Mbak Nur, dengan cepat aku menghindar. Dia melakukan hal sama sekali lagi, aku juga masih berusaha menghindar dari jangkauannnya, membuat Mbak Nur jadi kewalahan karena tingkah kami yang boleh dibilang seperti anak kecil yang lagi main kucing-kucingan.
“Kalian lagi ngapain?” sebuah suara menghentikan aksi kami. Tante Alya menatap kami dengan heran, sementara Mbak Nur bernafas lega melihat kedatangannya.
“Untung Ibu cepat datang, mereka berdua membuat saya pusing, Bu,” lapor Mbak Nur. Tante Alya menatap kami secara bergantian seolah meminta penjelasan.
“Anak Tante ini sangat kejam, dia tidak mengizinkan Andri untuk istirahat sejenak, padahal Andri udah capek dari tadi nggak berhenti ngerjain tugas-tugas itu,” kataku sambil memasang wajah sedih ke mamanya. Tante Alya menatap dan membelai rambutku dengan sayang, kemudian memandang Tora dengan tajam minta penjelasan.
“Cuma tinggal dua soal lagi.” Tora membalas tatapan mamanya dengan datar.
“Tapi rumusnya sangat susah dan untuk satu soal itu membutuhkan jawaban yang panjang juga,” kataku sambil merajuk. Okey, aku mulai sedikit lebay, tapi biarlah, yang penting aku bisa istirahat sejenak, dan semoga saja Tante Alya berpihak padaku.
“Kamu nggak boleh gitu sayang. Andri pasti lelah mengerjakan tugas-tugas yang banyak itu. Biarkan dia istirahat sebentar, setelah itu kalian bisa melanjutkannya lagi,” kata Tante Alya sambil mengusap-ngusap bahu Tora. Aku tersenyum senang karena mendapat pembelaan dari mamanya. Ya, tiga hari belakangan ini tugas sekolah kami memang banyak dan itu cukup menguras isi kepalaku. Sedangkan Tora selalu santai dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut dan mengajarkan rumus-rumus yang susah padaku.
“Tapi Ma....”
“Ayo-ayo, daripada Mas Tora dan Mas Andri ribut terus mending cicipi es buah buatan Mbak dulu, biar pikirannya segar saat mengerjakan tugasnya nanti,” Mbak Nur memotong pembicaraan Tora. Ternyata dia sudah selesai membuat es buahnya. Aku langsung sumringah melihat es buah yang sudah diletakan di atas meja makan. Aku dan Tante Alya segera menghampiri meja makan, sementara Tora menghembuskan napas keras lalu mengikuti kami di belakang.
Aku sangat menikmati es buah buatan Mbak Nur yang enak sambil memuji dan tak lupa aku juga minta diajarkan cara membuatnya nanti. Mbak Nur dengan senang hati bersedia mengajarkanku. Tora yang duduk di sampingku selalu mengingatkan agar makan dengan pelan-pelan sambil sesekali melap bibirku yang belepotan makan es buah, sedangkan Tante Alya hanya tersenyum penuh arti melihat kami berdua, hehehe.
Selesai menyantap es buah kami berbincang-bincang mengenai banyak hal, termasuk mengenai anak-anak Mbak Nur, dia sangat bahagia menceritakan tentang anak sulungnya yang selalu juara umum di sekolahnya dan tentang anak bungsunya yang sebentar lagi masuk SD. Aku mendengarkan cerita Mbak Nur dengan semangat, namun Tora mengajakku kembali melanjutkan tugas kami yang masih tertinggal. Aku beralasan masih kenyang dan memintanya untuk menunggu sebentar lagi, namun dia mamaksaku untuk ikut ke kamarnya. Dengan terpaksa akupun ikut dengannya.
*
Aku merasakan seseorang membelai-belai pipiku dengan lembut. Perlahan kubuka mataku dan menemukan Tora yang tersenyum manis padaku. Kuedarkan pandangan ke sekitar, ternyata kami sudah sampai di depan rumahku. Kubiarkan dia membuka safety belt-ku sambil menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam.
“Istirahatlah,” katanya setelah mengecup keningku. Aku mengangguk dan tersenyum, lalu keluar dari dalam mobilnya. Aku memang membutuhkan istirahat.
Jam tangan. Ya, setelah teringat dengan percakapan kami beberapa waktu lalu yang membahas tentang pekerjaan Tora, aku memutuskan untuk memberikan jam tangan saja sebagai hadiah ulang tahunnya. Dan sepertinya aku membutuhkan bantuan Resti lagi nanti, mengingat papanya seorang pemilik Toko jam yang cukup besar dan ternama di kota ini, dia bisa diandalkan dalam memilih jam yang bagus dan tentu saja diskon khususnya, hehehe.
Aku membenarkan posisi tidurku, lalu mencari kontak Resti dan menelponnya.
“Halo!”
“Halo Res! Gue butuh jam tangan. Dan besok lu ikut gue dan keluarin yang bagus-bagus ya?!” kataku to the point.
“Sip, serahkan sama gue. Eh tapi lu beli jam tangan untuk apa? Lu kan nggak suka pake jam tangan.”
“Untuk Tora, sebentar lagi dia ulang tahun,” kataku menjelaskan.
“Okey gue ngerti, besok pulang sekolah kita mampir ke Toko.”
Setelah beberapa lama ngobrol dengan Resti, aku langsung memeriksa celenganku. Namun hasilnya sangat mengecewakan. Segera saja aku turun ke lantai bawah dan mencari Papa di ruang kerjanya. Setelah mengetuk pintu terlebih dahulu, aku segera masuk dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Papa. Papa menoleh sebentar lalu melanjutkan kembali aktifitasnya.
“Pa, Andri minta uang dong buat beli kado,” kataku to the point ke Papa.
“Andre ulang tahun?” tanya Papa yang masih sibuk dengan aktifitasnya.
“Bukan Pa.”
“Doni?”
“Bukan Pa.”
“Pacarmu?”
“Eng...i..iya Pa,” kataku kikuk.
Papa menoleh sebentar, lalu membuka laci meja kerjanya dan menyerahkan beberapa lembar uang seratusan padaku, totalnya lima ratus ribu. Aku memandang lesu uang tersebut.
“Yaahh masa cuma lima ratus ribu Pa?” kataku merajuk.
“Itu sudah banyak, kalau tidak mau uangnya Papa ambil lagi.” Papa hendak mengambil lagi uang itu, namun dengan cepat aku merebutnya. Lalu beranjak dari kursiku dan meninggalkan ruangan Papa sambil bersungut-sungut. Sementara Papa malah tertawa dan menyuruhku meminta tambahannya ke Mama atau Kak Inka.
Aku mencoba meminta uang tambahan pada Mama, tapi Mama malah lebih parah lagi dari Papa. Mama mau memberi uang asalkan aku mau uang jajanku dipotong, ckckck. Akhirnya aku memasuki kamar Kak Inka dengan harapan kakakku itu mau memberiku uang. Tapi Kak Inka malah mengintrogasi aku dan menanyakan hadiah apa yang akan kuberikan ke Tora, setelah aku memberitahunya untuk apa aku meminta uang. Dan dia malah memberikan syarat padaku.
“Kakak mau memberikan uang sesuai kebutuhanmu, tapi dengan satu syarat,” katanya dengan senyuman licik.
“Ish, masa sama adek sendiri harus pake syarat segala sih Kak,” kataku cemberut.
“Kalau nggak mau yaudah,” katanya dengan santai. “Kalau gitu kamu harus keluar sekarang, Kakak mau tidur.” Dia mendorong tubuhku agar segera keluar dari kamarnya.
“Oke, oke, aku terima syaratnya,” kataku akhirnya. Kak Inka tersenyum lebar mendengar keputusanku. “Apa syaratnya?” tanyaku dengan ketus.
“Syaratnya kamu harus kerja di Restoran Kak Rio yang baru buka itu.” Aku melotot mendengar syarat yang diberikan Kak Inka yang dibalasnya dengan senyuman manis, ck. “Gimana?” tanyanya sambil menaik-turunkan kadua alisnya. Aku mendengus kesal dan mengangguk menerima syaratnya.
“Baiklah Andri mau,” kataku pasrah. Kak Inka begitu senang mendengar jawabanku, lalu mengambil hp-nya dan menghubungi sebuah nomor.
“Halo sayang, kita dapat karyawan baru, tapi dia akan mulai kerja setelah selesai ujian kenaikan kelas, gapapa kan?”
“Oke sayang gapapa, tapi kamu dapat darimana? Kenalan?” terdengar suara Kak Rio dari seberang sana, ternyata Kak Inka mengaktifkan loud speaker hp-nya.
“Dapat di rumah sayang, hehehe.”
“Hah! Dapat di rumah?” Kak Rio sedikit kaget mendengar penjelasan Kak Inka, lalu ngomong lagi. “Jangan bilang kalau karyawan baru kita adik kamu.”
“Iyups, kamu benar. Andri dengan senang hati mau membantu kita untuk sementara, sampai kita mendapatkan karyawan tetap,” kata Kak Inka sambil melirikku, aku hanya bisa cemberut dan pasrah.
Aku tidak mau lagi menyimak percakapan mereka, dan lebih memilih menghempaskan tubuhku ke atas ranjang kakakku ini dan memainkan hp-ku sendiri. Membuka akun facebook, membalas pesan dari Radit dan Andee, serta membalas komentar-komentar dari teman-teman. Tidak lama kurasakan sebuah kecupan mendarat di pipi sebelah kananku disaat sedang asyik chatting. Saat menoleh ke samping kulihat Kak Inka tersenyum manis padaku. Ternyata dia sudah selesai menelpon Kak Rio.
“Makasih ya sayang kamu udah mau bantu Kakak dan Kak Rio. Kamu tau sendiri kan restorannya baru buka dan lagi rame-ramenya sekarang, dan Kak Rio kekurangan karyawan,” kata Kak Inka dengan lembut.
Aku memandang Kak Inka cukup lama lalu tersenyum lembut padanya sambil mengangguk cepat. Mereka benar-benar pasangan yang kompak. Semoga hubungan mereka selalu langgeng sampai maut memisahkan. “Makasih juga ya Kak,” balasku sambil memeluk dan mencium pipinya. Kak Inka mengacak rambutku gemas, lalu kami tertawa bersama. Tidak apa-apa jika syaratnya aku harus kerja di restoran Kak Rio, dengan begitu aku jadi punya kesibukan juga.
**
“Umm..Tora, nanti aku pulang dengan Resti ya?” kataku saat kami tengah asyik makan bakso di kantin.
Tora menatapku intens. Doni dan Andre juga ikutan menoleh padaku, sedang Reno sibuk dengan pacarnya, Tiara.
“Kalian mau kemana?” tanyanya serius. Aku jadi bingung mau memberikan alasan apa, supaya Tora mau mengizinkanku pergi dengan Resti.
“Kami mau ke Toko Papa gue. Papa gue pengen ketemu Andri karena udah lama gak ketemu. Setelah itu kami mau ke salon.” Tora menaikan sebelah alisnya menatapku, setelah mendengarkan penjelasan Resti. Sementara Doni dan Andre kembali menyantap makanannya.
“Beneran kalian hanya pergi ke salon dan ke tempat Papa Resti?” tanyanya masih dengan serius.
“Iya,” jawabku cepat. “Boleh ya?” aku memandangnya dengan tatapan memohon...*ah lebih tepatnya tatapan puppy eyes seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam drama korea yang dinonton Mama* agar dia mengizinkan.
Dia tersenyum dan mengangguk tanda memberikan izin. Aku tersenyum senang setelah mendapat jawaban darinya, lalu menoleh ke Resti, dia mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Resti memang bisa diandalkan.
“Habiskan makananmu, setelah itu kita kembali ke kelas,” katanya seraya melanjutkan kembali makannya yang sempat tertunda. Aku mengangguk cepat lalu fokus ke baksoku.
**
Saat ini kami tengah melihat-lihat jam tangan yang cocok buat Tora. Tadi kami sempat bertemu dengan Papa Resti, Om Idris, dan berbincang-bincang sejenak diruangannya. Dia menanyakan seputaran sekolah kami, sampai menanyakan siapa pacarku sekarang. Dan Resti yang ember langsung saja memberitahukan papanya itu, membuatku malu saja, ckckck.
Oh ya Papa Resti juga sudah mengetahui tentang orientasi seks-ku loh. Kenapa bisa? Karena papanya pernah nggak sengaja mendengarkan pembicaraan kami yang membahas tentang hubunganku dengan Awan di kamarnya. Waktu itu aku sangat takut saat Papa Resti menanyakan kebenaran tentang orientasi seks-ku, lebih tepatnya dia ingin aku mengatakan dihadapannya dengan jujur. Dan kalian tahu bagaimana reaksinya? Om Idris memelukku. Dan aku masih ingat perkataannya saat dia memelukku. “Kamu jangan takut, Om tidak akan marah ataupun benci. Bagaimanapun keadaanmu, kamu akan tetap diterima di keluarga Om, karena Om sudah menganggapmu sebagai anak Om sendiri.” Ah aku benar-benar terharu waktu itu dan dengan tak tahu malunya menangis dibahunya. Dan ternyata Om Idris memiliki adik yang orientasi seks-nya sama denganku, ‘gay’.
Mataku berbinar-binar melihat jam-jam yang ada dihadapanku, dan yang membuatku bahagia adalah, Papa Resti memberikan diskon yang cukup besar padaku, yeeyyy.
Dan kalian tahu? Kak Inka tidak jadi memberikan uang padaku, tapi dia memberikan kartu kreditnya. Dengan begitu aku bisa memilih jam yang sedikit lebih mahal dari budget yang sudah kuperkirakan sebelumnya hehehe. Tapi aku bingung harus milih yang mana.
“Dri, apa lu nggak merasa terlalu diikat sama Tora?” tanya Resti tiba-tiba.
“Diikat maksudnya?” sungguh aku tidak mengerti dengan pertanyaan Resti barusan.
“Maksud gue, setiap kali lu bilang pengen pergi ke suatu tempat ke dia. Pasti dia nggak bakal mengizinkan lu pergi sendirian dan harus pergi sama dia, atau hanya boleh pergi dengan gue, Doni atau yang lain buat nemenin lu. Dan setiap kali ada cowok yang ingin berteman dengan lu pasti dia marah, kayak kasusnya Revan kemaren. Nah, apa lu nggak merasa kalau dia terlalu membatasi gerak lu. Mungkin lebih tepatnya tidak memberikan kebebasan pada lu dalam berteman, selain sama kita-kita.” Resti menjelaskan panjang lebar maksud dari pertanyaannya tadi.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. “Nggak, gue nggak merasa dibatasi sama dia. Mungkin dia telalu over protective atau posesif sama gue, tapi gue menganggap begitulah cara dia mencintai dan menjaga gue. Dan gue bisa menerima sikapnya itu. Kenapa? Karena gue mencintainya. Ah bukan, gue sudah sangat mencintainya, cowok aneh itu, hehehe.” Aku terkekeh kecil karena kata-kata terakhir yang kuucapkan. ‘Cowok aneh itu’. Ya aku sudah sangat mencintainya.
“Lu boleh bilang kalau gue terlalu naif atau apapun itu, tapi begitulah kenyataannya,” kataku menambahkan. Resti menatapku dalam dan tersenyum dengan lembut.
“Semoga dia benar-benar cowok yang tepat buat menjaga dan ngebahagiain lu. Gue nggak mau melihat lu sedih lagi,” katanya tulus. Aku tersenyum dan mengangguk mantap.
Setelah menemukan jam tangan yang pas untuk Tora, kami memutuskan untuk pergi ke salon langganan Resti. Sebenarnya aku tidak terlalu suka pergi ke salon, tapi setiap kali pergi ke salon Resti selalu mengajakku. Padahal teman-teman cewek yang ada di kelasnya banyak juga yang suka ke salon, sama seperti dirinya. Tapi dia beralasan lebih nyaman pergi denganku, karena teman-temannya itu terlalu heboh. Dan kenapa tidak dengan Andre saja? Karena Andre orangnya mudah bosan, walaupun Resti menyuruhnya untuk ikut perawatan seperti luluran atau facial dan lainnya, biar dia tidak bosan menunggu. Namun dia menolak dengan keras dengan alasan perawatan seperti itu hanya untuk cewek, ckckck. Sedangkan aku? Daripada aku bosan menunggu lebih baik aku ikut memanjakan diri, mumpung dibayarin sama orang yang mengajak hehehe.
**
Hari ini, hari pertama kami ujian. Aku sudah belajar dengan giat dalam menghadapi ujian kenaikan kelas ini dan berharap bisa menjawab semua soal-soal itu dengan baik. Kuperhatikan Reno yang duduk di belakangku, dia nampak sibuk dengan bukunya sambil sesekali menyesap minuman isotonik yang terletak di atas mejanya. Aku juga sudah beberapa kali melihat isi bukuku, tapi sekarang aku lebih memilih memperhatikan teman-temanku yang sibuk dengan buku mereka. Sementara Tora? Dia belum datang.
Baru saja aku memikirkannya, dia sudah terlihat di depan pintu masuk. Aku membalas senyumnya saat dia sudah sampai di tempat duduknya.
“Aku gugup,” kataku memulai percakapan.
“Kamu sudah belajar kan?”
“Sudah. Tapi tetap aja gugup.”
“Kamu pasti bisa menjawab semuanya dan mendapatkan nilai yang bagus nanti,” katanya menenangkan sambil mengusap-ngusap tanganku.
Ujian hari ini cukup membuatku lega, karena aku merasa bisa menjawabnya dengan baik, walaupun ada beberapa jawaban yang salah menurutku. Saat ini kami berjalan beriringan di koridor bersama murid-murid lainnya yang mau pulang, sama seperti kami. Aku meminta Tora agar singgah sebentar ke rumah es krim sebelum pulang ke rumah, karena aku sedang ingin makan es krim hari ini biar otakku segar.
Tora menatapku dengan lembut. Dari saat pertama kami duduk hingga sekarang saat menunggu pesanan kami, dia masih saja menatapku. Ya, kami sudah berada di rumah es krim yang tidak terlalu ramai hari ini, mungkin karena sekarang bukan malam minggu, entahlah.
“Jangan menatapku terus. Kamu terlihat seperti om-om yang ingin memperkosaku,” kataku sedikit berbisik. Dia malah tertawa mendengar ucapanku.
“Apa aku setua itu dimatamu?”
“Ng...ya enggak sih, tapi kamu membuatku malu,” kataku tersipu, lalu menundukan kepalaku. Aih kenapa aku jadi begini, padahal aku sudah sering ditatap lama-lama oleh Tora tapi kenapa masih merona setiap kali ditatap dengan lembut olehnya.
Tora tersenyum, lalu membenarkan posisi duduknya. “Kamu tahukan kalau aku tidak pernah bosan melihatmu? Dan kamu itu seperti magnet yang selalu membuatku tertarik untuk terus menatapmu lama-lama.” Aku jadi tembah tersipu mendengar ucapnnya.
“Tapi saat kamu marah beberapa waktu lalu, kamu tidak mau menatapku sedikitpun,” kataku pura-pura cemberut. Lagi, dia tersenyum.
“Itu tidak benar. Aku selalu menatapmu sayang.” Aku tersenyum simpul mendengarnya. Ternyata dia selalu melakukannya meskipun sedang marah.
Seorang pelayan menghampiri meja kami dan meletakkan pesanan kami. Mataku langsung berbinar melihat es krim yang ada di hadapanku. Aku memesan spaghetti ice cream, dan Tora memesan banana split. Aku menyantapnya dengan semangat, sementara Tora, dia menyantap esnya dengan santai sambil sesekali melap sudut bibirku yang belepotan es krim. Bahkan dia juga menyuapi es krimnya padaku, aku jadi salah tingkah sendiri karena ini tempat umum. Untung tempat ini tidak lagi ramai dan kami duduk dipojokan. Ah posisi dipojok itu memang tempat yang paling bagus buat orang pacaran.
Aku sempat kikuk ketika melihat ada tiga orang siswi yang tengah bisik-bisik sambil senyum-senyum memeperhatikan kami. Setelah kuperhatikan dengan baik, ternyata mereka dari sekolah yang sama dengan kami. Walaupun cukup banyak yang mengetahui tentang perbedaan orientasi seksualku di sekolah, tapi aku tetap merasa malu juga ketika ketahuan lagi mesraan begini. Parahnya, mereka malah menghampiri meja kami, ck.
“Kak Andri kan?” tanya salah seorang dari mereka.
“I..iya,” aku menjawab dengan sedikit salah tingkah.
“Kenalkan aku Cindy, ini Rara, dan yang itu Lusi.” Cewek yang bicara tadi alias Cindy memperkenal diri dan teman-temannya yang masih senyum-senyum sambil mengangguk-ngangguk semangat. “Kami penggemar Kakak,” kata mereka bersamaan, membuatku jadi kaget dan Tora mengernyitkan keningnya menatap mereka.
“Ehh...”
“Kami boleh minta foto bareng kalian nggak?” Cindy bertanya dengan semangat begitupun teman-temannya yang tak kalah semangat juga. Aku melirik Tora, dia malah membalas lirikanku dengan senyuman. Akhirnya aku hanya bisa menggangguk kikuk menjawab pertanyaan Cindy.
Dengan antusias Cindy mengeluarkan sebuah tongkat kecil dari dalam tasnya. Tidak hanya satu foto, bahkan mereka meminta beberapa kali foto dengan kami. Mereka juga meminta Tora untuk menyuapiku lagi. Saat aku melirik ke arah Tora, dia terlihat tenang-tenang saja bahkan menuruti permintaan aneh dari ketiga cewek tersebut.
Aku bernapas lega setelah ketiga cewek tadi pamit kepada kami. Entah sejak kapan aku memiliki penggemar, aku tidak tahu.
Tora mengusap-ngusap tanganku lalu mengajakku pulang setelah kami menghabiskan es krim tadi. Oh ya, sebelum berpamitan Cindy sempat mengirimkan hasil jepretannya ke hp-ku, ada juga beberapa foto yang isinya hanya aku dan Tora. Aku sangat puas melihat hasilnya. Lebih puas lagi melihat foto disaat Tora menyuapiku es krim.
sekarang ceritanya jadi "Cowok Posesif itu Pacarku"