It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lagi sibuk sama kerjaan baru dan belum ada libur, pergi pagi, pulang juga udah malam...jadi belum sempat ngetik...padahal tinggal dikit lagi part berikutnya...
Ini baru nyampe kosan pkl setengah dua belas, udah pegell, ckck
Aku juga pengen lanjutin, tapi nyampe kosan udah hampir dini hari, udah tepar...baru buka lappy, udah ketiduran.. Di tempat kerjaku yang baru gak boleh buka hp lama2. Jadi gak bisa nyicil ngetiknya..
*******
Part 27
Libur telah selesai. Kami juga sudah kembali disibukan oleh kegiatan di sekolah. Belajar, mendapatkan tugas, tapi yang lebih penting tentu bertemu lagi dengan teman-teman. Aku juga sudah mengirim pesan ke Sony bahwa kita ketemuan saat jam istirahat nanti, karena aku belum melihat kehadirannya di sekolah ini.
Aku melangkahkan kaki memasuki kelas, sudah ada beberapa orang teman yang datang. Mereka kelihatan asyik membicarakan liburan kemarin. Menyapa mereka sebentar sambil menuju tempat dudukku dan Andre.
“Oi, Dri. Lu sama Tora liburan kemana kemaren?” tanya Agung, salah satu teman yang duduk tak jauh dari tempat dudukku.
“Di hotel,” jawabku sambil menjatuhkan pantat ke kursi.
Mendadak suasana kelas menjadi hening setelah aku menjawab pertanyaan Agung barusan. Aku jadi kikuk sendiri saat semua yang ada di kelas menatapku penuh minat. Apa ada yang salah dengan jawabanku?
“Seriusan lu, Dri?” tanya Agung dengan cengonya.
“Iya, gue serius,” jawabku dengan pastinya. Mereka yang ada di sini jadi kasak-kusuk meninggalkan bangku masing-masing menuju tempatku.
“Gue curiga nih. Ngapain lu berduaan di hotel? Bulan madu? Gimana rasanya malam pertama, lu?” tanya Agung lagi, beruntun. Yang lain pada mengangguk mengiayakan ucapan Agung dan ikutan menanyakan pertanyaan yang sama.
“Pea. Gue liburan di hotel itu, ngantar makan siang buat Tora. Lu kira gue mau berbuat mesum di hotel? Dasar ya, lu, lu pada otak mesum,” sarkasku pada Agung dan yang lainnya. Sekarang giliran mereka yang kikuk.
“Salah lu sendiri, yang gaje ngasih jawaban ke kita-kita.” Kali ini yang bicara adalah Gea temanku yang cewek.
“Gaje gimana coba? Tora kan kerja di hotel, jadi gue liburannya cuma ke hotel aja sambil ngantar makan siang buat dia.”
“He he he..bener juga sih jawaban lu. Gea cengengesan mendengar penjelasanku, begitupun dengan Agung dan yang lain.
“Ah, gak asyik liburan lu, Dri.” Aku memanyunkan bibir mendengar penuturan Agung.
Walaupun orang lain menganggap liburanku nggak asyik. Bagiku itu asyik-asyik saja, karena memasak untuk Tora dan mengantarkan makan siang ke tempatnya kerja merupakan sesuatu yang menyenangkan bagiku, dan aku menikmatinya.
‘Teeett’
Bel masuk berbunyi. Teman-temnku yang lain bergegas kembali ke tempat duduk masing-masing. Di depan pintu, aku melihat Andre baru datang sambil tersenyum lebar.
***
Kali ini aku mengajak Rere, dan kawan-kawannya ikut bergabung bersama kami di kantin, karena aku mau memperkenalkan Sony kepada mereka. Dan kalian pasti tahu bagaimana reaksi mereka ketika berkenalan dengan Sony. Ya, wajah meeka berbinar-binar seperti orang yang baru saja mendapat sebuah berlian. Sony duduk di antara mereka. Kelihatannya Sony adalah anak yang mudah berinteraksi. Hanya teman-teman di sekolahnya saja yang tidak menerima dirinya. Terbukti, dia sudah akrab dengan Rere, dan yang lainnya.
Aku melambaikan tangan saat melihat Tora mencari keberadaan kami. Dia memang tidak bareng denganku karena harus ke toilet dulu katanya. Dia berjalan mendekat ke meja kami, dan begitu sampai Tora sedikit mengacak rambutku lalu duduk di sebelahku. Entah kenapa mataku tiba-tiba melirik ke arah Sony, dan dia memandang Tora dengan tatapan yang seperti memuja. Bahkan ketika Tora menyantap makanan yang telah kupesankan, Sony masih memandangi Tora. Aku berusaha mengabaikan pikiran-pikiran negatif yang singgah di otak, kemudian kembali menyantap makanan.
“Dri, pulang sekolah nanti lu ke rumah gue ya, bareng kita-kita?” ucap Andre di sela-sela kunyahannya.
“Nggak boleh.” Sebelum aku menjawab, Tora sudah lebih dulu memberi jawaban kepada Andre.
“Ah, gak asyik lu, Tor. Gue gak akan mengajari Andri bawa motor lagi, kok. Ini juga mama gue yang nyuruh.”
Mendengar Andre mmembawa nama Tante Prita, aku langsung memiringkan tubuh menghadap Tora, “Aku boleh ikut Andre, ya?” tanyaku sammil memasang wajah memelas.
Tora menghembuskan napas sejenak sebelum menjawab pertanyaanku, “Aku yang akan mengantarmu,” balasnya pelan, lalu menyantap kembali makannnya.
“Love you,” bisikku ke telinga Tora sambil tersenyum senang. Sementara Andre mengacungkan jempol padaku dan Resti yang tersenyum di sebelahnya.
“Kalian pasangan yang serasi,” ujar Sony dari tempat duduknya, diikuti anggukan dari Rere dan kawan-kawan. Aku hanya tersenyum malu-malu mendengar penuturan Sony.
“Serasi apanya. Mereka itu pasangan yang aneh, asal lu tahu,” beritahu Andre kepada Sony.
Aku berdiri dari duduk dan memukul kepala Andre dengan botol air mineral milikku.
“Enak aja lu bilang, kami pasangan aneh,” gerutuku ke Andre.
“Kok, lu mukul kepala gue sih, Yang. Sakit tau,” protes Andre tanpa rasa bersalah, sambil mengusap-ngusap kepalanya.
“Emang gue pikirin,” ujarku sambil memeletkan lidah ke Andre. Resti hanya geleng-geleng kepala melihat keributan kecil kami. Sedangkan yang lain tertawa di atas kesakitan Andre.
Tora menarik tanganku untuk duduk kembali. Aku menurutinya dan kembali makan. Lagi-lagi aku mendapati Sony memandang ke arah kami, tapi lebih fokus ke Tora. Aku benar-benar heran dengan sikapnya itu.
*****
“Hari ini kamu ke rumah Andre lagi?” tanya Tora di balik kemudi.
“Nggak. Hari ini aku ingin menghabiskan waktu denganmu,” jawabku dengan manis.
“Kalau gitu kita ke puncak sepulang sekolah nanti,” balasnya lembut.
“Benarkah?” aku bersemangat mendengar ucapan Tora. Besok adalah hari minggu, dan seninnya ada tanggal merah jadi kami dapat libur selama dua hari. Akhirnya aku pergi liburan berdua dengan Tora.
Tora mengangguk dan mengacak rambutku. Dia melepaskan sabuk pengaman, begitupun denganku. Aku keluar dari mobil dengan senyum yang terus terukir di wajah sepanjang perjalanan menuju kelas. Walaupun hanya liburan ke puncak, tapi itu sudah lebih dari cukup. Yang penting aku bersama dia. Tanpa sekolah, tanpa pekerjaan yang mengganggu.
Di dalam kelas pun aku bersemangat selama mengikuti pelajaran. Andre juga tak henti-hentinya menggodaku. Dia sempat kecewa karena aku menolak untuk ikut ke rumahnya hari ini, tapi akhirnya dia ikut senang karena aku bisa pergi liburan bareng Tora.
....
“Kak Andri?” sapa Sony padaku saat kami ber pas-pasan di pintu toilet.
“Eh, Son. Kamu gak ke kantin?”
“Iya, setelah ini,” jawabnya sambil mencuci tangan, “Kakak ke kantin juga kan? Kita bareng aja,” lanjutnya lagi, menunjukan senyumannya yang sangat manis menurutku.
“Aku bawa bekal.”
“Makan bareng Kak Tora?” tanyanya lagi. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Wah, Kak Tora beruntung sekali dibawakan bekal. Dia juga sangat sayang dan perhatian ke Kak Andri. Dia tipe seme idaman.” Aku hanya tersenyum mendengar pujian Sony terhadap Tora.
“Aku kagum sama Kak Tora, dan ingin punya pacar seperti itu,” lirihnya.
“Apa?”
“Eh..maksudku. Aku ingin punya pacar yang penyayang dan perhatian seperti Kak Tora juga. Sekarang ini susah nyari yang seperti itu,” jawab Sony salah tingkah sambil menggaruk-garuk tengkuknya.
“Kamu akan mendapatkannya suatu saat nanti. Mungkin lebih baik dari Tora,” ujarku sambil tersenyum.
“Kamu di sini?”
Aku menoleh ke arah pintu masuk. Mendapati Tora berdiri di sana dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celananya. Aku tersenyum padanya, lalu menoleh kepada Sony untuk berpamitan. Mengernyitkan kening, aku menatap Sony dengan bingung, karena matanya tak berkedip memandang Tora.
“Sony. Aku duluan, ya?” kataku sambil memegang bahunya. Dia tersentak setelah mendapatkan sentuhan dariku.
“Oh, iya, Kak. Aku juga mau ke kantin,” balasnya salah tingkah dan pipi bersemu merah.
Aku mengenyahkan pikiran negatif yang sempat terlintas di benakku. Mengikuti Tora berjalan di depanku menuju kelas.
....
“Tora.”
“Hm.”
“Sepertinya Sony menyukaimu.”
Tora menghentikan makannya dan menoleh padaku, “Dia tidak mneyukaiku. Sekarang lebih baik kamu makan,” katanya, kemudian menyuapiku dengan sesendok nasi goreng bakso buatanku.
“Tapi aku merasa—“
“Jangan memikirkan hal yang tidak penting. Pikirkan saja liburan kita. Dan kamu harus banyak makan,” perintahnya. Aku mengangguk patuh dan menyantap makananku.
*****
“Ngapain lu bawa adik gue jauh-jauh ke sana? Lu mau ngajarin yang aneh-aneh ke adik gue?” Aku memutar bola mata mendengar pertanyaan yang diberikan Kak Hendra ke Tora.
“Sayang. Puncak itu gak jauh. Mama juga percaya sama Tora, dia gak akan ngajarin hal yang aneh-aneh ke Andri.” Aku tersenyum mendengar perkataan mama dan mengangguk setuju.
“Tapi, Ma—“
“Sudah, adikmu akan baik-baik saja,” potong mama, membuat Kak Hendra diam, “tolong jaga Andri dengan baik ya, Nak Tora?”
“Tentu tante. Dan terima kasih sudah memberi izin,” ujar Tora sopan. Mama tersenyum dan bangkit dari duduknya karena mendapat telpon dari papa.
Sekarang hanya tinggal kami bertiga. Tora menggenggam tanganku sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya. Kami sangat senang karena mendapat izin dari mama.
“Heh, ngapain lu pegang-pegang tangan adik gue. Lepasin dia!” seru Kaka Hendra menyaksikan tangan kami. Aku dengan kikuk melepas genggaman tangan Tora.
“Hanya karena gue sudah merestui hubungan kalian, bukan berarti lu seenaknya meyentuh-nyentuh adik gue,” omel Kak Hendra dengan suara pelan tapi penuh penekanan.
“Terima kasih sudah merestui kami,” balas Tora dengan sopan dan tenang.
Kak Hendra berdecak, lalu mulai berceramah panjang, “Lu harus ingat. Jangan pernah lu ‘nidurin’ adik gue, jangan sampai dia lecet sedikit pun. Dan lu harus selalu bersama dia. jangan pernah lu tinggalin dia sendirian. Jika sampai terjadi sesuatu pada adik gue, lu berurusan dengan gue. Paham lu?”
Aku hanya melongo mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut Kak Henda. Entah sejak kapan dia berubah menjadi begitu posesif seperti sekarang ini.
“Terima kasih sudah merestui kami. Saya akan menjaganya dengan baik. Tapi, untuk tidak memegang tangannya saya tidak bisa,” ujar Tora sambil memegang tanganku kembali. Dan hal itu sukses membuat Kak Hendra kesal.
“Lu mau cari gra-gara sama gue!” Tora tersenyum melihat reaksi Kak Hendra. Sementara aku hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan mereka.
“Ada apa sayang?” seru mama mendekati Kak Hendra. Dengan cepat Tora melepaskan genggaman tangannya. Sepertinya mama sudah selesai berbicara dengan papa.
“Nggak ada apa-apa, Ma. Mama udahan nelponnya?” tanya Kak Hendra mengalihkan pembicaraan. Mama menggangguk sebagai jawaban.
Tora berdiri dan berpamitan kepada mama, juga Kak Hendra. Aku ikut pamit dan mengikuti Tora dari belakang.
*****
Sepanjang perjalanan aku tidak berhenti tersenyum. Hubungan kami tidak seperti pasangan-pasangan lain. Jika setiap pasangan kekasih selalu pergi kencan pada saat malam minggu, atau pada hari libur. Kami malah sangat jarang berkencan pada malam minggu. Kami hanya menghabiskan waktu bersama di sekolah, atau sesekali pergi main setelah pulang sekolah. Kesibukan Tora membuat waktu yang kami punya sedikit.
Mulai bulan depan -yang tinggal satu minggu lagi- tora juga akan pergi ke luar kota, melihat perkembangan hotelnya di Bali selama beberapa hari. Bali memang bagus untuk bisnis perhotelan, jadi aku tidak heran jika Tora memiliki cabang hotel di sana. Dan terkadang aku masih tidak percaya, diusia yang masih sangat muda ini Tora disibukan oleh pekerjaan yang sangat berat menurutku. Mengurus beberapa hotel bukan pekerjaan yang mudah.
“Kamu capek?” tanya Tora membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Kami masih belum sampai di villa. Oh ya, kami akan menginap di villa Om Heri.
“Aku mau makan bakso,” ujarku sambil memegang perut.
“Baiklah. Tidak jauh dari sini kita akan sampai ke tempat yang menjual bakso.”
Benar saja, kami sampai ke tempat tujuan. Tempatnya tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Begitu sampai di dalam dan memilih tempat, langsung saja aku memesan bakso rudal untuk diriku, dan Tora mmesan bakso biasa, dengan minuman dua jeruk hangat. Tidak lupa kami juga memesan dua buah sop durian untuk dibungkus nanti.
......
Setelah menaruh barang-barang kami ke dalam kamar, aku menjatuhkan tubuhku ke atas sofa ruang keluarga. Tora menghidupkan televisi lalu duduk di sampingku. Aku menggeser duduk, menyandarkan kepala ke bahu Tora. Sangat nyaman. Seandainya kami bisa terus seperti ini. Rasanya aku ingin pindah ke luar negeri saja agar kami bisa hidup bersama tanpa harus menyembunyikan identitas hubungan kami. Jujur saja, setiap kali aku mengingat di mana kami tinggal. Setiap kali itu pula aku merasa ketakutan. Takut akan kehilangan, takut akan berakhirnya hubungan kami karena budaya yang menentang.
*****
Aku membuka mata secara perlahan, menyesuaikan penglihatan dengan cahaya yang masuk melalui jendela. Memperhatikan ke sekeliling, rupanya aku sudah berada di dalam kamar. Sepertinya aku ketiduan saat menonton semalam. Di sampingku, tora masih tertidur dengan nyenyak. Bangkit dari tempat tidur, aku berjalan ke kamar mandi sekedar mencuci muka dan menggosok gigi, lalu keluar kamar untuk menyiapkan sarapan buat kami berdua.
Di dalam kulkas ada beberapa bahan masakan yang sempat kami beli sebelum berangkat. Karena Om Heri mengatakan kalau mereka menyimpan persediaan beras di villa, jadi pagi ini aku berencana membuat nasi goreng.
Sambil menunggu beras yang kumasak matang, aku mneyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat nasi goreng. Tak lupa aku menambahkan sosis, bakso, dan tentu juga ada telur ceplok.
Tora bangun disaat aku sedang menata meja makan. Setelah mencium pipiku, dia duduk pada salah satu kursi. Aku duduk berhadapan dengan tora. Aku merasa, kami seperti pasangan yang sudah menikah. Seandainya hal itu terjadi.
Menjadi pendamping tora adalah salah satu keinginanku. Aku tidak pernah bisa tertarik pada perempuan, dan aku tidak mudah jatuh cinta pada laki-laki. Dan tora dengan segala sifatnya telah membuatku jatuh cinta. Ah, tidak, dia telah membuatku bergantung dan sangat mencintainya. Dia membuatku benar-benar membutuhkannya. Entah apa yang akan terjadi pada diriku jika hubungan kami berakhir.
Aku tersenyum melihat Tora menambahkan nasi ke piringnya. Ternyata dia sangat menyukai nasi goreng yang kubuat. Aku memang sengaja membuat lebih, karena aku ingin nambah nanti. Tidak kusangka Tora juga menambah porsinya.
***
Selesai sarapan dan bersih-bersih, kami bersantai sejenak di ruang keluarga. Dan sekarang kami berada di luar menikmati liburan yang singkat ini. Menikmati indahnya daerah puncak dan sekitarnya.
Jalan-jalan ke sebuah tempat yang sering disebut oran-orang ‘little venice’, sambil naik gondola, hingga ke tempat wisata yang terkenal di sini selain little venice juga sudah kami singgahi.
Sekarang kami berada di sebuah restoran bernuansa putih dengan pemandangan yang sangat menakjubkan. Dan yang membuatku bersemangat memasuki restoran ini adalah, karena aku akan bertemu dengan Andee.
Kalian tentu masih ingat dengan teman dumayku -Andee- yang pernah kutemui dulu. Kebetulan dia juga sedang berada di puncak bersama kekasihnya. Saat dia menuliskan kata ‘pacar’ di sms tadi, aku jadi senang dan ingin berkenalan dengan pria yang sudah berhasil mendapatkan hati temanku itu.
.....
Aku dan Tora berjalan mendekati tempat duduk yang telah ditempati oleh dua orang laki-laki yang membelakangi kami. Salah satunya adalah Andee. Dia sudah memberitahukan padaku kalau dia mengenakan kemeja hijau kotak-kotak.
Aku menepuk pundak Andee dan berdiri tepat di belakangnya. Dia tersentak sedikit, tapi begitu tahu aku yang menyapanya, Andee tersenyum lebar padaku.
“Eh, Andri.” Andee berdiri, lalu menyalamiku. Setelah kami berjabat tangan, dia memperkenalkan seseorang yang duduk di sebelahnya. Dia sedang menelpon waktu Andee berbisik padanya.
Aku kaget ketika orang yang berasama Andee berbalik badan, begitupun dengan dirinya. Dia. Kak Wisnu. Aku menoleh ke arah Tora yang berdiri di sampingku. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk. Kulihat emosi terpancar di mata tora. Segera kugenggam erat tangannya supaya dia tidak kelepasan emosi. Walaupun kejadiannya sudah lama, sepertinya Tora masih menyimpan kemarahan jika melihat Kak Wisnu.
“Kita pergi dari sini.” Tora berkata dingin kemudian menarik tanganku.
“Tapi, Tora—“
Tora menghiraukan ucapanku. Terus menarik tanganku beranjak pergi. Langkahku terhenti ketika tangan seseorang menahan tanganku. Orang itu Kak Wisnu.
“Andri, maafkan kakak.” Bisa kulihat Kak Wisnu meminta maaf dengan tulus.
“Lepaskan tangannya.” Kak Wisnu segera melepaskan tanganku setelah mendengar ucapan Tora barusan.
“Tora, aku minta maaf atas sikapku dulu,” ujar kak Wisnu memohon.
“Tolong maafin kakak, Dri.” kini dia berkata kepadaku. Aku mengangguk sebagai tanda bahwa aku sudah memaafkannya. Sedangkan Tora hanya diam, kemudian menarik kembali tanganku menjauh dari Kak Wisnu dan Andee yang bingung menatap kami.
Aku sempat menoleh kepada Andee dan meminta maaf karena acara pertemuan kami harus gagal. Dia hanya mengangguk dengan wajah bingung.
....
“Tora, seharusnya kita gak bersikap seperti tadi. Kak Wisnu sudah menyesali perbuatannya, juga sudah minta maaf pada kita.” Aku membawa dua cangkir coklat panas. Menyerahkan satu gelas kepada Tora, lalu duduk di sampingnya yang sedang menonton film Sherlock Holmes.
“Aku masih belum bisa melupakan perbuatannya yang dulu terhadapmu.” Tora membelai kepalaku yang menyandar ke bahunya, sambil menyesap coklat panas buatanku.
“Tapi dia sudah minta maaf dengan tulus.”
“Sudahlah. Aku gak mau membahas orang itu lagi.” Tora meletakkan minumannya yang tinggal sedikit ke atas meja, lalu beranjak pergi meninggalkanku.
Aku menatap punggung Tora yang berlalu menuju kamar kami. Menghela napas berat memikirkan kejadian tadi siang. Sejujurnya aku juga kembali teringat dengan kejadian yang kulamani dulu saat Kak Wisnu melecehkanku. Namun, begitu melihat ada penyesalan di matanya dan permintaan maaf yang tulus itu membuatku harus memaafkkannya. Ditambah lagi saat ini dia berpacaran dengan teman dekatku di dumay. Andee.
Andee juga sudah menelponku tadi sore. Dia mengatakan kalau Kak Wisnu sudah memberitahunya perihal kejadian yang kualami. Andee juga meminta maaf atas nama Kak Wisnu. Dia tidak marah dan tetap menerima Kak Wisnu karena dia yakin Kak Wisnu sudah berubah, dan benar-benar tulus mencintainya. Aku berharap hubungan mereka berjalan dengan langgeng dan Kak Wisnu menjaga sahabatku dengan baik.
Aku mematikan televisi, kemudian menyusul Tora ke dalam kamar. Mendapati Tora tiduran di atas tempat tidur, aku mendekat dan ikut berbaring di sebelahnya. Meraih tangan Tora dan memijit-mijit pelan jari jemarinya.
“Kamu marah?” tanyaku pelan sambil masih memijit jemari Tora.
Tora memiringkan tubuhnya menghadapku, mengelus pipiku perlahan sembari tersenyum, “Aku tidak marah. Hanya tidak suka membahas orang yang tidak penting,” alasannya, kemudian mengecup keningku.
Aku menghela napas pelan dan menghentikan aktifitasku, “Aku tidak akan membahasnya lagi. Tapi, bukankah sebaiknya kita memberikan maaf untuknya?”
Tora tersenyum, lalu meraih tubuhku agar mendekat ke arahnya. Mendekapku dan mengecup puncak kepalaku beberapa kali. Aku tersenyum dalam dekapan Tora, menghirup aroma tubuhnya yang sangat kusukai, karena selalu memberikanku ketenangan.
****
Pukul dua belas lebih sepuluh menit, kami sampai di Jakarta. Tora menghentikan mobilnya di depan rumahku. Aku menghela napas panjang kemudian menoleh ke samping. Tora tersenyum dan mengelus pipiku dengan sayang.
“Besok kita ketemu lagi,” ujarnya dengan tangan yang masih mengelusi pipiku. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.
“Hati-hati di jalan.” Aku mengingatkan, dan dibalas dengan anggukan oleh Tora. Aku mendekat dan mencium pipi Tora sebelum keluar dari mobil.
Namun, begitu membuka pintu mobil, tubuhku menegang seketika melihat seseorang yang berdiri tidak jauh dari mobil Tora. Orang itu adalah. Mama. Mama berdiri menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Tangannya menenteng beberapa kantong belanjaan. Perasaanku mendadak tidak enak.
“Ma..ma?”
“Mama kira ada tamu, ternyata kamu yang pulang.” Mama berkata dengan ekspresi datar.
“Iya, ma.” Aku mencoba bersikap sebiasa mungkin agar tidak kelihatan gugup.
“Tolong bantuin mama bawa barag-barang ini.” mama menyerahkan barang belanjaannya kepadaku. Menganggguk cepat aku meraih belanjaan yang diberikan mama.
Mama mengucapkan terimakasih kepada Tora karena telah mengantarkanku pulang, dan menyuruhnya hati-hati di jalan. Yang diangguki oleh Tora dengan sopan dan berpamitan kepada mama.
......
Aku menaruh semua barang belanjaan mama ke atas meja makan. Dan bersiap hendak naik ke lantai dua untuk istirahat karena badanku terasa capek. Namun, baru saja aku mau melangkah, pertanyaaan dari mama sukses menghentikan langkahku.
“Hubungan seperti apa yang kamu jalin bersama Tora?” suara mama terdengar dingin dari biasanya.
Aku yang tadinya membelakangi mama membalikan badan, “Mak..maksud, Mama?” tanyaku kikuk, pura-pura tidak mengerti dengan pertanyaan mama.
“Pacaran?” tanya mama lagi tidak menggubris ucapanku. Sikap mama benar-benar berubah 180 derajat. Aku menundukan kepala tidak berani menatap mata mama.
“Kami—“
“Akhiri hubungan kalian secepatnya, jika kamu tidak ingin papamu tahu dan murka karena anak yang selama ini disayanginya telah menjalin hubungan yang menjijikan dan mencoreng nama baik keluarga.” Mama memotong ucapanku.
Ucapan yang seperti perintah dan berbau ancaman itu membuatku menegakkan kepala dan menoleh menatap mama tak percaya. Bagaimana bisa aku memutuskan hubungan kami, disaat cintaku sudah terlalu besar untuk Tora dan aku benar-benar takut kehilangannya.
Apakah cinta sesama jenis itu memang harus berakhri seperti ini? Tidak bisakah kami berakhir bahagia seperti hubungan antara pria dan wanita yang bisa berakhir ke jenjang penikahan, dan hidup bahagia bersama paangannya hingga tua dan maut yang memisahkan? Aku hanya ingin hidup bahagia bersama orang yang kucintai, orang yang kupercaya bisa menjaga dan membahagiakanku.
“Maafkan Andri, ma...Andri tidak bisa,” kataku pelan dengan air mata yang sudah keluar.
PLAK.
Sebuah tamparan mendarat dengan mulus di pipiku. Tamparan pertama yang kudapatkan dari seorang mama yang tak pernah memukulku. Hanya karena mengetahui anak bungsunya menjalin cinta dengan sesama jenisnya, tangan yang selalu membelai kepalaku itu, kini dengan indahnya melayang ke wajahku.
“Akhiri hubungan kalian secepatnya atau mama akan memberitahu papa dan memisahkan kalian dengan cara kami sendiri.” Selesai berucap seperti itu, mama berlalu pergi meninggalkanku sendirian sambil memegang pipi sebelah kiriku dengan tubuh bergetar berusaha menahan tangis.
****
jangan lupa like dan komennya ya...dan terimakasih sudah mau menunggu kelanjutan dari cerita ini