It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lanjut kk
Cerita ini masuk nominasi SUPER LOVE AWARDS 2017 sebagai Story of the Year!
Kunjungi profil kami atau boyzroom untuk memenangkan cerita ini
Makasih juga @lulu_75 @Aurora_69 atas ucapannya
kemaren kemaren aku sibuk banget nyelesaiin kerjaan terakhir, cowok aneh jadi tertunda deh ngetiknya. kuota juga habis..ini baru ngisi...
sekarang lagi lanjutin ngetik cowok aneh...maap ya, jadi telat updatenya..
kuharap kalian suka sama part ini. dan jangan lupa like dan komennya ya...
@JosephanMartin @Aurora_69 @o_komo @okki @denfauzan @3ll0 @Yirly @QudhelMars @Abdulloh_12 @RifRafReis @abyyriza @Chu_Yu7 @StevenBeast @liezfujoshi @RenataF @hananta @Rars_Di @wisnuvernan2 @adammada @yogan28 @Algibran26 @arifinselalusial @Adi_Suseno10 @Apell @Mr27 @ryanadsyah @Firman9988_makassar @Reyzz9 @jose34 @vane @kunnnee @AvoCadoBoy @Satria91 @bayu15213 @RinoDimaPutra @alfan_Fau @yandiChan @happyday
*******
cerita sebelumnya dari pov Tora...
“Orang yang kucintai saat ini adalah kamu... orang yang ingin kumiliki adalah kamu... selamanya... jadi, jangan pernah mengucapkan kata-kata bodoh seperti tadi. Megerti!?” tegasku.
Kali ini aku memandangnya lebih lama. Kulihat matanya berkaca-kaca, dan air mata itu kembali keluar dari sudut matanya. Aku mendekatkan wajah. Mencium kedua matanya, sambil menyapu air yang terasa asin itu dengan lidahku.
“Selangkah lagi kita akan mengikat hubungan ini dengan ikatan yang sah. Jadi, kamu gak boleh menyerah.”
“M..maksudmu?”
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya mendekatkan kembali wajahku, dan melumat bibirnya dengan lembut. Kali ini Andri membalas ciumanku, membuatku semakin memperdalam ciuman kami. Tanganku juga mulai menyentuh titik-titik sensitif di tubuh Andri. Hingga suara desahan tertahan keluar dari mulutnya.
*******
Part 26
Aku sangat menikmati sentuhan yang terjadi antara kulitku dengan kulit Tora saat ini. Dengan kepala bersandar di dadanya, merasakan detak jantungnya yang teratur. Aku merasa nyaman dipeluk seperti ini. Tangannya tak henti-henti memainkan rambutku, sambil sesekali mencium puncak kepalaku. Tubuh setengah telanjang kami ditutupi selimut dengan nyaman.
Perlahan aku memassukan tanganku ke dalam selimut. Menyentuh kulit perut Tora, terus ke bawah hingga berhenti tepat pada tonjolan yang terbungkus celana dalamnya. Mengelus benda lembut itu dan sedikit meremasnya, membuat tubuh Tora menggeliat.
“Kamu mau membuatku khilaf, hm?” tanya Tora sambil mencubit pipiku pelan. Aku hanya tertawa pelan menanggapi pertanyaannya.
Mendongakan kepala dan menggeser tubuhku sedikit ke atas. Aku mulai menggigit kecil dagunya, kemudian turun ke leher. Tapi tidak sampai meninggalkan tanda.
“Aku ingin tahu maksudmu tentang ikatan sah yang kamu katakan tadi?” tanyaku setelah puas menggigiti dagu dan lehernya.
“Sebentar lagi kita akan lulus. Jadi, aku berencana mau minta restu kepada orangtuamu,” ujar Tora memberitahu keinginannya.
“Kamu seius?” Aku langsung duduk setelah Tora berkata demikian. Dia mengangguk serius sebagai jawaban. Aku tersenyum senang dengan keseriusan Tora. Tapi, senyumku seketika hilang mengingat di mana kami tinggal dan bagaimana reaksi orangtuaku nanti jika tahu anaknya seorang gay.
“Tapi...gimana jika orangtuaku marah dan malah memisahkan kita?” aku menundukan wajah setelah mengatakan kekhawatiranku.
Tora mengangkat daguku agar menatap matanya, “Maka dari itu kita nggak boleh menyerah. Kamu mau, kan?”
Aku memandang Tora beberapa saat, kemudian tersenyum kepadanya, “Aku mau.”
....
Sedang asyik menikmati kebersamaan kami. Tiba-tiba pintu kamar Tora di ketuk dari luar. Mbak Nur memanggil kami untuk turun makan malam. Sepertinya Mbak Nur bakal menginap di rumah Tora. Sama sepertiku yang harus menginap di sini. Karena Tora sudah meminta izin ke mama. Mengatakan bahwa kami mau mengerjakan tugas sekolah bersama.
Kami turun ke lantai bawah. Di ruang makan sudah duduk Tante Alya dengan beberapa lauk pauk terhidang di hadapannya. Aku mebalas senyumannya dengan malu-malu saat sampai di dekat meja makan. Mengingat kejadian di saat Tora menggendongku kayak karung beras, benar-benar membuatku malu berhadapan dengan Tante Alya.
“Gimana keadaan kalian? Sudah kelar masalahnya?”
“Sudah.” Aku dan Tora menjawab pertanyaan Tante Alya berbarengan.
“Baguslah. Mama senang mendengarnya.” Tante Alya memandang kami secara bergantian sambil tersenyum, dan mengambilkan nasi untuk kami berdua.
“Mbak Nur, makan bareng kami aja,” ujar Tora saat melihat Mbak Nur mau pamit ke dapur. Mengikuti perintah Tora, Mbak Nur mengambil satu piring lagi untuk dirinya, lalu duduk di sebelah Tante Alya.
Kami makan dengan nikmat, sambil mendengar cerita Mbak Nur tentang keluarganya, juga tentang ajakan Tante Alya yang memintanya menginap di sini, hanya karena mereka sama-sama suka nonton film India, dan ingin nonton bareng malam ini. Tentu Mbak Nur sudah mendapat izin menginap dari suaminya. Mereka juga mengajakku untuk ikutan nonton sambil melepas kangen. Tentu aku mau bergabung bersama mereka, karena aku juga menyukai film India. Tapi, Tora hanya membolehkanku ikut menonton setelah selesai mengerjakan tugas sekolahku, ck.
...
“Tora, aku udah selesai. Coba kamu cek.” Aku memberikan buku tugasku kepada Tora yang sedang asyik di depan laptopnya sambil membolak-balik kertas-kertas yang ada di sekitarnya. Dia menghentikan aktifitasnya dan mengambil buku yang kusodorkan.
“Bagaimana?” Aku memperhatikan wajah serius Tora. berharap tidak ada lagi kesalahan yang kulakukan. Karena aku sudah tiga kali gagal dalam menjawab pertanyaan terakhir pada tugas itu.
“Sudah benar.”
Aku merasa lega saat Tora mengetakan kalau jawabanku benar kali ini, “Jadi, aku boleh turun ke bawah?” tora menggangguk sambil tersenyum dan mengacak rambutku.
“Yeaayy!” aku bersorak riang. Akhirnya aku terbebas dari tugas matematika yang menyusahkan itu.
Secepat kilat aku turun dari atas tempat tidur meninggalkan Tora yang kembali berkutat pada pekerjaannya. Sedikit berlari aku menuruni anak tangga menuju ruang keluarga. Begitu sampai aku langsung mengambil posisi, duduk di sebuah sofa yang terletak tidak jauh dari tempat duduk Tante Alya dan Mbak Nur. Sambil nonton, mereka menceritakan adegan yang terlewatkan olehku. Untung hanya sedikit adegan yang kulewatkan.
*****
Setelah kejadian salah paham itu, hari-hariku kembali terasa indah. Tora yang tak bosan mengantarkanku ke rumah sakit sebelum pergi ke hotelnya. Tapi, Tora belum ketemu lagi dengan Kak Hendra, hingga sekarang saat Kak Hendra sudah dibolehkan pulang ke rumah. Dia sedang sibuk-sibuknya sekarang. Hari minggu pun dia sibuk mengurusi pekerjaan.
Sekarang kami sudah libur sekolah setelah ujian semester yang melelahkan. Dan Tora tetap sibuk dengan pekerjaannya. Tapi hal itu tidak membuatku harus bersedih hati, karena aku jadi memiliki banyak waktu luang dengan Kak Hendra di rumah, dan aku juga jadi bisa pergi ke hotel Tora tiap hari sambil mengantarkan makan siang untuknya. Seperti hari ini, aku mau membuatkan makanan kesukaan Tora. Namun, aku mau menghabiskan kebersamaanku dulu dengan kak Hendra di taman belakang rumah.
“Dri, besok teman kakak akan datang ke sini. Dia datang bersama adiknya yang pernah kakak ceritakan kemaren. Kamu mau kan menjadi temannya dan membantu dia di sekolah nanti?” Kak Hendra mengambil potongan buah apel yang kuberikan padanya.
Teman Kak Hendra, yang bernama Kak Lingga akan memindahkan adiknya ke sekolahku. Dia satu tahun di bawahku, yang artinya dia seumuran dengan para fujo yang selalu menggodaku. Aku juga berencana akan memperkenalkan adik Kak Linggak kepada mereka, agar dia memiliki banyak teman di sekolah nanti. Tentu para fujo itu akan sangat senang jika aku menyodorkan satu orang ‘bottom’ kepada mereka. Ya, adik Kak Lingga seorang ‘bottom’. Kak Hendra sudah mengatakannya padaku.
“Kakak tenang aja. Andri jamin di sekolah nanti dia gak akan sendirian. Bakal banyak teman yang dia dapatkan nanti.” Aku kembali mengupas buah apel untuk kak Hendra. Dia tersenyum dan mengacak rambutku.
Saat sedang asyik bercengkrama, kami dikagetkan oleh kehadiran Kak Mia. Setelah bersalaman dengan Kak Mia, aku berpamitan kepada mereka berdua, karena mau memasak untuk makan siang. Tadi Kak Hendra memang sempat menelpon Kak Mia dan menyuruhnya langsung masuk jika sudah sampai.
***
Aku mengetuk pintu ruangan Tora, dan membukanya perlahan. Di dalam sana Tora begitu sibuk dengan pekerjaannya, sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku. Menutup pintu yang kubuka, kemudian berdehem memberitahukan keberadaanku.
“Ehm...”
Tora menghentikan aktifitasnya dan menoleh ke arahku. Dia tersenyum memandangku, lalu beranjak dari tempat duduknya. Aku membalas senyum Tora sambil berjalan mendekat.
“Kamu bawa apa hari ini?” Tora menggandengku menuju sofa yang terletak tidak jauh dari kami.
“Ada nasi capcay, kroket kentang, sama telur gulung.” Aku menaruh kotak bekal yang kubawa ke atas meja dan mulai membukanya satu persatu.
Di atas meja juga sudah tersedia dua buah piring, juga minuman. Aku menyendokan nasi pada sebuah piring. Tak lupa aku menaruh laup pauknya, kemudian menyerahkan kepada Tora.
“Kaliatannya lezat,” ujar Tora meraih piring yang kusodorkan. Dia mulai menyendok nasi berserta lauknya dan mengunyah dengan pelan, menikmati masakan yang kubuat.
“Bagaimana?” tanyaku penasaran ingin tahu pendapatnya.
“Hmm...sepertinya kamu akan menjadi ‘istri’ yang baik, Sayang. Ini sangat lezat,” komentarnya, dan kembali menyantap makanan tersebut.
“Aku laki-laki, Tora!” protesku saat dia menyematkan kata ‘istri’ untukku. Dia terkekeh mendengar protesanku.
“Iya. Kamu akan menjadi suami yang baik untukku,” katanya sambil mencubit pipiku pelan, “Aku ingin terus memakan masakanmu.” Aku mmengangguk dan tersenyum malu-malu mendengar ucapan Tora. Sangat senang, karena dia menyukai masakanku.
“Kamu juga harus makan.” Tora mengelus rambutku dengan lembut. Menggangguk, aku pun mulai menyantap makananku.
....
“Kenapa gak pulang bersamaku aja?”
“Aku udah janji sama Andre dan Doni.”
“Kalau gitu aku akan minta Pak Rahmat mengantarkanmu ke sana.”
“Gak usah. Aku bisa naik taksi.”
“Tidak. Kamu harus di antar oleh Pak Rahmat.”
“Tap—“
“Tidak ada tapi-tapian. Jika kamu gak mau. Aku gak akan mengizinkanmu lagi bertemu dengan mereka selama liburan ini.”
“Baiklah. Kalau gitu aku pergi sekarang.”
Aku mendongakkan wajah, kemudian mengecup bibir Tora sejenak sebelum meninggalkan ruangannya. Sepertinya dia bertambah tinggi saja, sementara tinggiku masih tetap sama dengan tahun lalu.
Sambil membawa kotak bekal yang telah kosong, aku berjalan menuju loby hotel karena kuyakin Pak Rahmat sudah menunggu di sana. Dan benar saja, beliau sudah berdiri di samping mobil hotel. Pak Rahmat membukakan pintu mobil begitu aku sampai di dekatnya. Aku jadi merasa tidak enak sama beliau. Karena dua hari yang lalu dia juga mengantarkanku pulang ke rumah, dan sekarang dia juga menngantarkanku ke rumah Andre. Tapi, itu sudah jadi perintah Tora. Aku pun tidak bisa menolaknya.
Aku berterima kasih kepada Pak Rahmat karena telah mengantarkanku. Beliau membalas dengan senyuman yang tulus. Setelah mobil yang dikendarai Pak Rahmat menghilang dari hadapanku. Aku membuka pintu pagar rumah Andre yang tidak dikunci dan melangkah dengan semangat memasuki pekarangan rumahnya.
Aku mengetuk pintu rumah Andre. Dari dalam terdengar bunyi orang membuka pintu. Aku pun segera menampilkan senyuman termanisku kepada orang yang membuka pintu di depanku. Rupanya Tante Prita yang mebukakan pintu untukku. Dia langsung riang dan memelukku sayang.
“Andri sayang, apa kabar? Tante kangen banget sama kamu.”
Aku membalas pelukan Tante Prita, ikut melepas kangen, “Andri baik, Tante. Tante sendiri gimana? Andri juga kangen sama Tante.”
“Tante juga baik, Sayang. Ayo masuk. Hari ini tante bikin kue kesukaanmu dan Doni.” Tante Prita menggandengku masuk ke dalam.
“Wah, Andri jadi gak sabar ingin mencicipi kue buatan tante,” ujarku tulus. Tante Prita tersenyum senang mendengar penuturanku.
Begitu sampai di ruang makan. Aku sudah melihat Doni duduk dengan manis di sana sambil menikmati kue buatan Tante Prita. Dia menyapaku sekedarnya, lalu kembali serius menikmati kue tadi. Sedangkan Andre segera meninggalkan makanannya dan menghampiriku. Contoh tuan rumah yang baik.
“Halo, Sayang. Akhirnya kamu datang juga. Aku kangen tahu.” Tapi penyambutannya sangat lebay. Karena dia memelukku begitu erat dan menciumi puncak kepalaku beberapa kali.
“Ehm..sepertinya gue harus menelpon Tora bentar, deh,” seru Doni dari tempat duduknya.
“Sialan lu, Don! Lu mau gue mati babak belur di hajar, Tora? Sahabat macam apa, lu. Tega gitu sama gue.”
“Emang gue pikirin. Lu pantas dapat bogemnya Tora,” sahut Doni sambil memeletkan lidahnya ke Andre.
“Lagian, lu main nyosor aja.” Kali ini aku ikut menyalahkan Andre.
“Yah, Yank. Kok lu gak belain gue sih? Gue kan kangen sama, lu.” Andre merajuk seperti anak kecil. Aku berusaha menahan tawa agar tidak kelepasan.
“Lebay, lu. Tadi aja saat ketemu gue, lu biasa aja meluknya. Giliran ketemu Andri, lu peluk-peluk. Lu cium-cium,” cibir Doni dari tempat duduknya.
“Ogah gue, cium-cium elu. Lu gak ada imut-imutnya sama sekali. Kalau Andri, kan imut dan manis. Jadi wajar dong, gue nyium dia.” Andre tidak mau kalah membalas Doni. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka sambil mengambil posisi duduk tepat di sebelah Doni.
“Kalian ini, kayak anak kecil aja berantem mulu.” Tante Prita datang membawa pie coklat dan buah kesukaanku yang baru saja masak dan menaruhnya di atas meja makan. langsung saja aku mengambil masing-masing kue tersbut dan menaruhnya ke atas piring yang ada di hadapanku.
....
“Gue pengen belajar bawa motor. Lu mau ngajarin gue kan, Don?” aku melirik Doni yang sibuk memetik gitar.
Selesai menyantap kue buatan Tante Prita tadi, kami bersantai di gazebo yang terletak di halaman belakang rumah Andre. Doni menghentikan petikan gitarnya; Andre yang semula tiduran, langsung mendudukan tubuhnya. Mereka sama-sama menatapku dengan serius sekarang.
“Kenapa lu pengen belajar bawa motor?” tanya Andre menatapku tajam.
“Biar gue gak naik taksi lagi, dan gak harus merepotkan Pak Rahmat lagi,” ujarku memberitahu, “Tora selalu khawatir tiap kali gue naik angkutan umum ke hotelnya. Tadi aja dia menyuruh Pak Rahmat yang mengantarkan gue ke sini. Gue jadi gak enak sama Pak Rahmat. Dan kalau gue bisa bawa motor, kemana-mana kan jadi lebih mudah juga,” jelasku lagi pada Andre.
“Apa lu pikir, dengan pergi mengendarai motor ke rumah dan hotelnya sedirian, rasa khawatirnya akan hilang?” Doni juga bertanya. Aku menolehkan kepala, menatap Doni dengan bimbang. Bimbang karena ada rasa tidak yakin akan hal itu.
“Umm..mungkin dengan gue ngasih perngertian ke Tora, rasa khawatirnya akan hilang,” jawabku sedikit ragu. Tapi, aku memang harus meyakinkan Tora supaya dia percaya kalau aku akan baik-baik saja.
“Denger ya Andri, Sayang. Pacar lu tuh aneh, tahu gak? Terlalu posesif dan over protektif. Deket sama temen cowok aja dia marah. Pergi sendirian, gak boleh. Gimana nanti kalau kuliah, coba? Dan sekarang, lu mau naik motor kemana-mana? Yang ada lu bakal diomelin sama dia.”
Aku mengerucutkan bibir mendengar ocehan Andre barusan. Seenaknya saja dia mengatakan Tora aneh. Walaupun dulu aku penah mengatakan Tora cowok yang aneh, tapi menurutku sekarang dia sudah nggak aneh kok.
Tapi, apa yang dikatakan Andre benarnya juga. Tora memang terallu posesif. Tapi, dia seperti itu karena dia sayang sama aku. Dan nggak mungkin Tora posesif lagi jika kami sudah kuliah nanti. Atau jangan-jangan tingkat posesifnya bakal bertambah? Ah, aku tidak mau memikikan hal itu sekarang. Saat ini aku harus belajar naik motor, dan aku akan meyakinkan Tora bahwa aku akan baik-baik saja.
“Please, ajarin gue bawa motor. Gue akan buatin brownis kesukaan lu,” bujukku ke Andre.
“Lu lupa kalau nyokap gue sekarang ada di sini? Jadi, gue tinggal minta buatin sama nyokap.” Bujukanku ternyata tidak mempan buat Andre kali ini karena ada Tante Prita.
“Don, lu ma kan ajarin gue?” Kali ini aku memelas ke Doni yang duduk di sebelahku. Tapi malah dijawab dengan angkat tangan.
“Teman macam apa kalian yang gak mau bantuin temannya,” sungutku pada mereka berdua.
“Ajarkan saja Andrinya, sayang.” Tante Prita tiba-tiba muncul dari dapur. Sepertinya aktifitas memasak tante sudah selesai.
“Mama gak tahu sih pacarnya itu kayak apa. Kalau dia kenapa-kenapa, Andre yang bakal kena amukan pacarnya, Ma. Pokoknya Andre gak mau ngajarin.” Andre tetap bersikeras tidak mau mengajariku.
“Kalau kamu ngajarin Andri bawa motor, nanti mama bikinin brownis kesukaanmu, gimana?” Aku menganggk-ngangguk mengiyakan ucapan Tante Prita. Aku yakin kali ini Andre tidak akan bisa menolak lagi.
“Hmmm...baiklah kalau gitu. Tapi Mama janji ya, harus bikinin brownisnya besok?” Tante Prita mengangguk menjawab Andre, kemudian tersenyum menatapku. Aku membalas senyuman Tante Prita dengan riang sambil mengucapkan ‘terima kasih’.
...
“Lu harus tenang, gak usah gugup. Nah sekarang kita coba lagi. masukan gigi satunya, dan mulai gas dengan pelan-pelan. Ingat, gas dengan pelan,” ingat Andre menyuruhku mengulang lagi membawa motor yang sedang kududuki ini dengan Andre di belakangku.
Kualihkan sebentar pandanganku ke arah Doni yang tengah asyik bercengkrama dengan seorang anak kecil di bangku taman. Aku tersenyum memandangnya, kemudian kembali mengalihkan fokusku pada stang motor yang kupegang.
Kami memang sedang berada di taman sekitaran kompleks perumahan Andre, dan Doni memang mudah sekali dengan anak-anak, jadi aku tidak merasa heran saat melihat dia begitu menikmati pbrolannya dengan anak perempuan yang duduk di sebelahnya itu.
Aku memasukan gigi satu sesuai perintah Andre dan mulai mengegas motor yang akan kubawa dengan pelan. Aku benar-benar gugup, sudah dua kali aku gagal. Pertama, setelah mengegas motor aku tidak menahannya, alhasil motor yang kutunggangi tidak jalan. Kedua, setelah memasukan gigi aku mengegas motornya sedikit kencang yang membuat kami hampir jatuh. Untung Andre segera menahan dengan kedua kakinya di belakang, tapi membuat dadaku berbenturan dengan kepala motor.
Walaupun dadaku jadi sedikit sakit, aku tidak mau menyerah. Dan sekarang aku menahan gas nya dan melakukannya dengan perlahan. motor yang kutunggangi berjalan dengan pelan. Aku sangat senang karena usahaku mulai berhasil.
....
“Hati-hati saat berbelok,” seru Andre di belakang. Aku mengangguk sebagai jawaban.
Sudah dua kali putaran aku mengendarai motor yang kubawa, dan sangat menikmati suasana sore ini dengan berkeliling sekitar taman walaupun masih suka setiap kali aku berbelok. Beruntung taman ini tidak terlalu ramai.
Kulihat Doni sudah tidak berdua lagi dengan gadis kecil tadi. Dia memandang ke arahku dan tesenyum sambil mengacungkan jempolnya padaku. aku membalasnya dengan senyuman pula. Namun, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja tidak jauh di depan sana ada seorang anak kecil yang berlari mengejar sebuah bola yang berhenti tepat di tengah jalan. Aku yang kaget tidak bisa mengendalikan diri. Motor yang kukendarai menjadi oleng karena ingin menghindari anak kecil tersebut.
“Andree..!”
“Andri, awas!”
Aku dan Andre berteriak berbarengan. Karena terlalu kaget, aku membelokan motor yang kubawa ke arah kiri agar tidak menabrak anak tesebut, dan aku sukses menabrak sebuah pohon membuat motorku rebah ke kiri.
Kakiku terhimpit oleh motor, begitupun dengan Andre yang ada di belakang. Dengan cepat Andre bangkit berdiri dan mengangkat motor yang menimpaku. Doni juga sudah berlari ke arah kami dan membantuku berdiri. Aku meringis saat Doni memegang tangan kiriku. Ternyata ada luka gores yang lumayan besar pada sikuku.
“Lu gak apa-apa?” tanya Andre yang sudah selesai memperbaiki letak motornya, “oh, shit! Mati gue.” Andre meremas rambutnya frustrasi melihat lukaku. Dia melihat kakiku, dan menemukan goresan juga di sana.
“Gue gak apa-apa, Dre,” jawabku meyakinkan dirinya yang begitu khawatir melihat luka-luka yang kudapat, “lu sendiri, gimana?” tanyaku balik memperhatikan badannya, kalau-kalau ada luka juga.
“Jangan khawatirkan gue. Gue baik-baik saja. sekarang kita harus pulang dan segera obati luka lu,” balasnya, kemudian menuntunku berjalan menuju motor diikuti Doni. Kami berbonceng tiga pulang ke rumah Andre yang tidak terlalu jauh dari taman.
...
Aku berjalan sedikit pincang saat berjalan keluar dari rumah Andre, karena dia akan mengantarkan aku dan Doni pulang. Walaupun luka di kakiku tidak parah, tapi akibat terhimpit motor tadi kakiku jadi sedikit susah berljalan.
Begitu sampai di depan rumah Andre, aku dikagetkan dengan kehadiran Tora. dia bersandar pada pintu mobilnya. dia tak kalah kaget ketika pandangan matanya melihatku berjalan dengan tertatih dibantu oleh Andre.
Doni membukakan pintu pagar untuk Tora. dengan langkah besar, Tora menghampiriku. Merangkul tubuhku dan mendorong Andre menjauh.
“Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa sampai ada luka-luka seperti ini?” tanyanya tak sabaran.
“Aku..tadi—“
“Apa yang klian lakukan pada Andri?” belum selesai aku menjawab pertanyaannya. Tora sudah memotongnya dengan bertanya kepada Andre dan Doni dengan tatapan penuh kemarahan. Aku jadi takut melihatnya.
“Andri jatuh saat belajar bawa motor,” jawab Andre menjelaskan.
“Apa?” Tora makin marah mendengar penjelasan Andre, “kenapa kamu mau mengajari dia?”
“Tora. andre gak salah. Aku yang memaksa dia.” Dengan cepat aku menjawab pertanyaan Tora supaya dia tidak marah lagi kepadad Andre.
Kulihat Doni dan Andre mengangguk berbarengan, sementara Tora beralih menatapku dengan tatapan yang menuntut.
“Kenapa?”
“Karena aku gak mau selalu ngerepotin kamu.”
“Ngerepotin kamu bilang?” aku menundukkan kepala tidak berani menjawab pertanyaan Tora. Sepertinya aku salah memberi jawaban.
“Jangan pernah mengendarai motor lagi. Cukup ini yang pertama dan terakhirnya,” tegas Tora, lalu memapahku menuju mobilnya.
“Tapi—“
“Aku tidak mau mendengar bantahan.” Sekali lagi Tora berkata dengan tegas. Aku menganggukkan kepala tidak berani membantah lagi.
Aku menolehkan kepala ke arah Doni dan Andre, berpamitan kepada mereka berdua. Tapi, ekspresi mereka malah membuatku dongkol. Mereka melambaikan tangan sambil cekikikan. Mereka benar-benar teman yang menyebalkan.
***
Hari ini aku hanya membuat sop ayam untuk makan siang kami. Seperti hari kemarin di rumah hanya ada aku dan Kak Hendra. Sedangkan mama sudah dua hari ini sibuk dengan teman-teman arisannya.
Tora katanya lagi dalam perjalanan mau ke sini. Tadi aku berencana mau mengantarkan makan siangnya seperti biasa, tapi dia melarangku untuk pergi. Sekarang aku menata meja makan untuk kami bertiga. Kak Hendra masih asyik menonton film di kamarnya.
Belum selesai menata meja makan, bunyi bel menghentikan di depan membuatku harus mengehentikan katifitas ini. Berjalan keluar aku membuka pintu melihat siapa yang datang. Ternyata Tora, dengan membawa sekerangjang buah-buahan, dan yang paling membuatku senang dia juga membawa sekotak besar es krim kesukaanku.
“Bagaimana kakimu?” tanya Tora saat aku menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah.
“Seperti yang kamu lihat, kakiku sudah mendeingan,” jawabku melepas tangannya dan berjalan beberapa langkah di depannya.
Tora sudah duduk di kursi makan. Kak Hendra juga sudah keluar dari kamar saat aku memanggilnya tadi.
“Ada buah kesukaan kakak tuh,” ujarku menunjuk keranjang buah yang kuletakkan di atas meja dapur.
“Lu mau nyogok gue?” tanya Kak Hendra datar.
“Anggap saja begitu.” Tora menjawab dengan tenang pertanyaan Kak Hendra.
“Nanti aja ngobrolnya. Lebih baik kalian makan dulu.” Aku mengambilkan nasi untuk Kak Hendra, kemudian untuk Tora.
...
Aku membereskan piring-piring kotor bekas makan kami tadi. Sementara kak Hendra dan Tora sudah berpindah ke ruang tamu. Entah apa yang mereka bocarakan, aku tidak tahu. Yang pasti dari yang kulihat, Kak Hendra tidak menyimpan kamarahan lagi kepada Tora. Tora juga bersikap sangat tenang saat berhadapan dengan Kak Hendra.
Begitu semua kerjaanku selesai, aku menghampiri mereka ke ruang tamu sambil membawa beberapa minuman, karena Kak Hendra meneriakan agar aku membuat minuman untuk temannya.
“Nah, Andri, ini dia teman kakak, Lingga, dan adiknyanya, Sony.” Aku menjabat tangan Kak Lingga dan Sony dengan ramah setelah meletakkan minuman untuk mereka.
Sony memperhatikanku beberapa saat, kemudian tatapannya beralih kepada Tora yang duduk di sebelahku. Aku merasa aneh dengan tatapan Sony terhadap Tora. Namun, segera kutepis pikiran negatif yang sempat terlintas di benakku.
“Andri bilang, di sekolahnya menerima dengan baik anak yang berbeda seperti kalian. Jadi kamu gak usah khawatir. Kakak yakin tidak akan ada yang membullymu di sana,” terang Kak Hendra kepada Sony.
“Benar, Son. Kakak juga akan perkenalkan kamu dengan adik kelas kakak -para fujo-yang unyu-unyu,” ujarku sambil tersenyum kepada Sony.
“Iya, Kak. aku harap di sekolah baru ini, banyak yang mau berteman denganku,” balas Sony ikut tersenyum.
“Kamu tenang aja. Semua anak-anak di sana baik-baik, kok. Betul kan, Tora?” aku mengalihkan tatapanku kepada Tora. dia menangguk sambil tersenyum lembut padaku.
Lagi, aku menemukan Sony menatap Tora dengan tatapan yang berbinar-binar. Matanya tak pernah lepas dari menatap Tora. Entah mengapa, tiba-tiba jantungku jadi deg-deg-an dan gelisah.