It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@bayu15213 -_-
@RenataF iya, tapi dia gak bisa jalan..
Selamat membaca...
@JosephanMartin @Aurora_69 @o_komo @okki @denfauzan @3ll0 @Yirly @QudhelMars @Abdulloh_12 @RifRafReis @abyyriza @Chu_Yu7 @StevenBeast @liezfujoshi @RenataF @hananta @Rars_Di @wisnuvernan2 @adammada @yogan28 @Algibran26 @arifinselalusial @Adi_Suseno10 @Apell @Mr27 @ryanadsyah @Firman9988_makassar @Reyzz9 @jose34 @vane @kunnnee @AvoCadoBoy @Satria91 @bayu15213 @RinoDimaPutra @alfan_Fau
*******
Part 25
Tora
Aku tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah manis Andri. Memperhatikannya berbicara dengan Leon sambil memilih beberapa pakaian yang diberikan oleh salah seorang karayawan sepupuku itu, memberikan kebahagiaan tersendiri buatku. Aku selalu ingin membuatnya tersenyum bahagia seperti itu. Terkadang Andri tersipu malu saat Leon menggodanya.
Aku masih dapat mendengar pertayaan yang dilontarkan Leon kepada Andri. Sudah berapa kali making love dengan Tora? Apakah dia tipe pria yang romantis di atas ranjang atau dia penganut BDSM? Apakah kamu kesakitan saat dia melakukan penetrasi? Ingin rasanya aku membenturkan kepala supupuku itu ke dinding saat ini juga karena pertanyaan-pertayaan bodohnya itu. Tetapi aku terlalu menyayanginya.
Aku memiliki saudara-saudara yang gila. Leon dan Elisa adalah dua diantaranya. Jika Elisa yang seorang fujo suka meminta foto-foto mesraku, maka tidak dengan Leon. Leon akan menanyakan hal-hal sensitif seperti yang ditanyaakannya kepada Andri saat ini.
Aku masih ingat pertama kali jujur kepada mama mengenai orientasi seksualku. Keesokan harinya mama menghubungi semua keluarga kami melalui video call. Para orangtua ada yang bersikap biasa saja, dan ada juga yang kaget. Tetapi mereka tetap menerimaku. Bahkan mereka mulai berceloteh memberikan banyak wejangan mengenai, seks aman, mencari kekasih yang baik, sampai membahas keturunan padaku. Aku hanya mengangguk-ngangguk mengerti menerima wejangan dari mereka sambil tersenyum walaupun sebenarnya pusing mendengar celotehan mereka.
Kakak dan sepupu-sepupuku lebih heboh dan antusias lagi dari para orangtua itu. Mereka menggodaku, hingga bersedia mencarikan pasangan untukku. Karena di dalam keluarga besar kami hanya aku yang berbeda, mereka mengatakan kalau aku unik. Jadi, mereka begitu bersemangat dan bertanya banyak hal.
Kalian bisa bayangkan, dalam satu layar komputer menampilkan beberapa pasangan suami istri berbicara padamu, beserta anak-anak mereka yang juga tak mau tinggal diam. Itulah pengalamanku saat come out dulu.
...
Aku beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri Andri yang masih saja digoda oleh Leon. Begitu sampai ditempat mereka, aku menjitak kepala Leon hingga membuatnya mengaduh kesakitan.
“Berhenti menggodanya. Aku tidak pernah ‘memasukinya’. Jadi simpan saja pertanyaan-pertanyaan bodohmu itu,” kataku datar sambil mengusap kepala Andri. Bisa kulihat Andri menundukan wajahnya karena malu.
“Wow! Amazing. I’m absolutely proud of you, Bro,” ujar Leon semangat sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku hanya memutar bola mata jengah menanggapi ucapannya, lalu memilih beberapa pakaian dan menyuruh Andri mencoba pakaian-pakaian tersebut.
Setelah membayar semua pakaian-pakaian yang kami pilih. Kami berpamitan kepada Leon. Tapi sebelum keluar dari distro miliknya, aku menyurruhnya untuk main ke rumah.
“Jika kamu ada waktu, datanglah ke rumah. Mama sudah kangen,” ujarku mengingatkan Leon. Dia mengacungkan jempol sambil tersenyum lebar.
Aku berencana akan pergi ke rumah sakit lagi bersama Andri untuk membesuk kakaknya yang masih koma. Di saat-saat seperti ini aku ingin selalu ada bersamanya karena dia begitu terpukul atas kecelakaan yang menimpa kakaknya. Tapi, kami harus pergi ke toilet sebentar karena Andri ingin buang air kecil. Dia tidak tahan jika harus menundanya sampai tiba di rumah sakit.
Aku mengambil alih kantong belanjaan yang dibawa Andri dan menyuruhnya masuk ke dalam toilet. Sembari menunggu, aku menyibukkan diri dengan melihat-lihat foto hasil jepretan diam-diamku di distro Leon tadi. Memandangi satu-persatu ekspresi bahagia Andri di galeri ponselku. Kembali, aku tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar di wajahnya.
Saat sedang asyik melihat-lihat foto Andri. Aku dikagetkan oleh seseorang yang memanggil namaku. Mencari asal suara, aku menatap heran orang yang ada di depanku. Orang itu adalah Dipta. Aku heran kenapa dia bisa ada di Jakarta karena sekarang belum masuk masa liburan sekolah.
Dipta tersenyum lebar dan melangkah mendekatiku yang masih heran melihat kehadirannya saat ini. Begitu sampai, tiba-tiba dia memelukku erat.
“Aku gak nyangka kita bertemu di sini. Aku kangen sama kamu,” ujarnya didekat telingaku. Dan yang tidak kusangka. Aku merasakan bibirnya mencium leherku dengan lembut.
“Dipta.”
Aku melepaskan pelukan Dipta yang membuatku tidak nyaman. Aku juga tidak ingin Andri melihat dan salah paham padaku. Namun, Dipta kembali memeluk diriku dengan masih tersenyum cerah. Kali ini pelukannya lebih erat dari sebelumnya. Kembali aku merasakan Dipta mencium leherku. Hingga aku mendengar suara dering ponsel Andri yang sudah kukenal dengan baik. Secepat mungkin aku melepaskan pelukan Dipta di tubuhku.
“Andri....”
“Iya, Ma?”
Andri menghiraukan panggilanku. Lebih memilih menjawab pangilan telepon yang ternyata dari mamanya.
“Ada apa, Ma? Mama kenapa suaranya serak gitu. Mama habis nangis? Apa terjadi sesuatu dengan Kak Hendra?”
Aku menjadi khawatir ketika melihat wajah panik Andri setelah mendapat telepon dari mamanya. Matanya juga sudah berkaca-kaca. Tetapi, saat aku ingin menanyakan apa yang terjadi di rumah sakit, Andri sudah lebih dulu pergi meninggalkanku. Tanpa peduli dengan keheranan Dipta, aku mengejar Andri yang berjalan dengan langkah besar di depanku. Walaupun aku memanggil-manggil namanya, dia tetap tidak mau berhenti.
Sampai di depan mall Andri nampak celingukan mencari kendaraan. Pipinya sudah basah oleh air mata walau dia berusaha untuk menghapusnya, tapi air mata itu tetap keluar. Dengan cepat aku melangkah mendekatinya dan menahan lengannya saat ingin menyetop sebuah taksi. Aku tidak inign dia pergi sendirian dalam keadaan yang kacau seperti sekarang ini.
“Kamu mau ke mana?” aku menatapnya sendu. Dan bisa kulihat wajahnya memancarkan kekecewaan dan kemarahan terhadapku.
“Lepaskan!” bentaknya padaku. Tapi aku tidak akan melepaskan tangannya begitu saja. Aku tidak ingin dia pergi sendiri.
“Tidak. Aku yang akan mangantarkanmu,” tegasku. Lalu menarik tagannya menuju parkiran. Mengabaikan rontaannya yang ingin lepas dari genggaman tanganku.
...
Aku membuka pintu mobil dan menyuruh Andri masuk. Setelah menutup pintu, aku bergegas menuju pintu kemudi. Memasangkan sabuk pengaman untuk Andri, kemudian memandangnya sebentar yang tidak mau menatap wajahku. Aku tahu dia kecewa dan marah karena melihatku dipeluk oleh seseorang dari masa laluku. Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat memberikan penjelasan padanya karena pikirannya sedang kacau.
“Kamu mau ke rumah sakit?” tanyaku lembut. Namun, Andri menghiraukan pertanyaanku. Dia lebih memlih memandang keluar jendela, seakan ada sesuatu yang menarik di luar sana.
Tidak mau menunggu lama, aku memutuskan menjalankan mobil ke rumah sakit. Mendengar ucapannya di telpon tadi, aku yakin dia ingin pergi ke rumah sakit. Jadi aku mengambil inisiatif sendiri untuk mengantarkannya ke sana.
...
Baru saja mobilku terparkir di area parkir rumah sakit, Andri dengan tergesa-gesa membuka sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil. Kembali aku menahan tangannya bermaksud memberitahunya bahwa dia salah paham dengan kejadian di mall tadi.
“Tunggu—“
“Terima kasih tumpangannya,” potongnya cepat, lalu keluar dari mobil. Meninggalkanku sendirian memandang punggungnya yang mulai menjauh dari area parkir.
Aku memukul stir mobil, melepaskan kekesalan karena telah membuat orang yang kusayangi menangis. Mengutuk kebodohanku yang sudah menyakiti hatinya.
Lama aku menyesali kedodohanku, hingga teringat akan barang belanjaan Andri tadi karena dia pergi begitu saja. Aku menoleh ke kursi bagian belakang. Di sana tergeletak beberapa kantong belanjaan. Mengambil kantong-kantong belanjaan tersebut, aku segera turun dari mobil menyusul Andri ke dalam rumah sakit.
Aku sampai di depan pintu ruang rawat Kak Hendra. Dari sini aku bisa mendengsr mereka berbicara saling meminta maaf, dan Kak Hendra juga sudah mau menerima orientasi seksual Andri. Dia juga berjanji tidak akan memberitahu orangtua mereka mengenai hubunganku dengan Andri. Aku ikut senang mendengarnya, dan lebih senang lagi mendengar hubungan mereka yang sudah membaik.
Tidak ingin mengganggu kebahagiaan mereka, aku memutuskan untuk membawa kantung belanjaan yang kupegang ini pulang. Lebih baik aku menyelesaikan mesalahku dengan Andri besok saja. Berharap Andri tidak marah lagi nanti. Namun, baru beberapa langkah aku berjalan. Aku bertemu dengan Kak Inka. Dia memandang heran ke arahku. Mungkin karena aku hanya sendirian ke sini sambil membawa banyak belanjaan.
“Loh Tora, kok sendirian aja? Gak bareng Andri?”
“Andri, ada di dalam,” jawabku sopan, lalu menyerahkan kantong belanjaan yang kupegang, “tolong berikan ini ke Andri, Kak.”
“Loh, kok dititipin ke Kakak?” Kak Inka tambah heran sambil mangambil kantong-kantong yang kuberikan.
“Tunggu dulu. Jangan bilang kalau kalian lagi bertengkar?” tanyanya menyelidik.
“Hanya salah paham. Kalau gitu aku pamit pulang dulu, Kak. Tolong jagain Andri. Jangan biarkan dia pulang sendiran,” pamitku serta meminta tolong sama Kak Inka, yang dibalasnya dengan kekehan kecil.
“Kamu jangan khawatir. Semoga masalah kalian cepat selesai ya?” aku mengangguk sambil tersenyum, dan tak lupa mengucapkan terimakasih pada Kak Inka.
Meninggalkan Kak Inka, aku kembali ke mobil dan pulang. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang mungkin sudah di antar oleh Om Arif ke rumah.
***
Sampai di rumah, aku melihat mama sedang menangis bareng Mbak Nur. Di depan mereka terpampang sebuah adegan film India yang mana tokoh wanitanya menangis tersedu-sedu. Sambil geleng-geleng kepala aku duduk di samping mama, kemudian menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Mencium mama sekilas, lalu mengambil camilan yang terletak di atas meja. Mengabaikan dua wanita paruh baya itu sibuk menghapus air mata mereka dengan tisu.
“Mas Tora, mau Mbak ambilin minuman dingin?” tanya Mbak Nur sambil terisak sedih.
“Boleh Mbak,” jawabku sambil memperhatikan televisi di depan. Membiarkan mama mengelus-ngelus kepalaku dengan sayang.
“Sayang. Kamu jangan bikin Andri sedih kayak yang di film itu, ya?” pesan mama yang masih sibuk menonton sambil menangis.
“Tora udah bikin Andri sedih, Ma,” lirihku menjawab ucapan mama, tapi bisa didengar oleh mama dengan baik. Terbukti mama langsung menatapku tajam.
“Kamu selingkuh? Kamu udah ngasarin Andri? Kamu apain Andri, Tora?” tanya mama beruntun.
Menghembuskan napas lelah, aku pun menjawab pertanyaan mama, “Andri salah paham, Ma,” jawabku lesu, lalu menceritakan semuanya ke mama. Mama mengangguk-ngangguk mengerti mendengar ceritaku. Mengabaikan film India yang belum tamat itu.
Mama memberi nasehat dan masukan setelah mendengar semua penjelasanku. Menyuruhku untuk menyelesaikan masalah kami secepatnya supaya Andri tidak bersedih hati lagi. Mama juga menintaku untuk membawa Andri ke rumah jika masalah kami selesai. Begitupun dengan Mbak Nur yang baru datang dari dapur, ikutan menyuruhku membawa Andri ke rumah, karena sudah kangen katanya. Sedangkan aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu bangkit dari dudukku meninggalkan mereka berdua setelah meminum minuman yang dibuatkan oleh Mbak Nur.
****
Hari ini aku tidak masuk sekolah karena ada rapat penting yang harus kuhadiri. Om Arif sudah memberikan surat izinku kepada pihak sekolah. Kuharap Andri baik-baik saja hari ini, juga berharap kesalah pahaman ini bisa kuluruskan nanti supaya Andri tidak marah lagi. Munkin saat ini aku harus fokus dulu sama kerjaan. Baru setelah Andri pulang nanti aku menjemput dan mengajaknya bicara baik-baik.
Rapat hari ini berjalan sangat baik. Aku sudah tidak sabar lagi bertemu dengan Andri dan meyakinkan dirinya bahwa aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Dipta. Namun, baru saja aku keluar dari lift, seseorang yang suaranya sangat kukenal memanggil namaku.
Aku menoleh kebelakang dan menemukan sosok Dipta tidak jauh dari tempatku berdiri. Dia tersenyum lebar saat melangkah mendekat ke arahku. Aku merasa heran kenapa dia bisa sampai ada di sini.
“Aku gak nyangka kita ketemu lagi. Aku sangat senang bisa bertemu kamu di sini, Tora.” Dipta memelukku lagi pada pertemuan kami untuk yang kedua kalinya. Dengan cepat aku melepaskan pelukannya.
“Kenapa kamu bisa ada di sini, Dipta?”
“Oh, aku nginap di hotel ini bareng orangtuaku. Aku gak nyangka, kamu udah mulai mengurus hotel Wiyaksa,” ujarnya sambil tersenyum riang.
“Kamu gak sekolah?”
“Aku sekarang home schooling.” Aku mengernyitkan keningku heran mendengar jawabannya.
“Oh ya, bisa kita ngopi sebentar? Aku akan mencerikatannya padamu,” katanya seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku.
Dipta menarik tanganku begitu saja tanpa meminta persetujuan dariku. Mengingat di mana aku berada sekarang, dan ada beberapa orang karyawan hotel yang memperhatikan kami, aku memilih mengikuti Dipta ke cafe hotel untuk menemaninya sebentar.
Dipta memesan esspresso dan memesankan cappuccino untukku. Rupanya dia masih ingat minuman kesukaanku.
“Sebelum kenaikan kelas, foto-fotoku yang sedang berciuman dengan Delon tersebar di mading sekolah. Salah seorang murid yang tidak suka denganku yang mneyebarkannya. Dia sudah mengakui kalau foto itu diambil dari dalam galeri ponselku saat dia meminta sebuah sms padaku untuk dikirim ke kakaknya.
Salahku yang memberikan ponselku padanya dan asyik bercanda dengan teman-teman lain. Dia juga sudah minta maaf, tapi nasi sudah jadi bubur. Satu sekolah sudah tahu tentang orientasi seksualku, dan banyak yang menghina dan menghindariku. Jadi, setelah kenaikan kelas orangtuaku menyuruh untuk home schooling saja,” jelas Dipta panjang lebar. Aku turut prihatin mendengar ceritanya.
“Lalu, gimana dengan Delon?”
“Nggak lama setelah kejadian itu kami putus. Aku melihat dia jalan dengan cowok lain.” Dipta menundukan wajahnya dan memainkan jemarinya pada gelas yang dia pegang. Kebiasaannya jika sedang gugup dan sedih.
Aku mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk tangannya dengan pelan, agar dia tidak sedih lagi, “Semuanya akan baik-baik saja.”
Dipta mendongakkan kepalanya, menatap mataku dalam, “Aku sengaja ikut dengan orangtuaku ke Jakarta karena tau kamu pindah ke sini. Aku minta maaf karena sudah mengecewakamu dulu. Mungkin ini karma buatku.”
“Ssstt...udah. Kamu gak usah nyalahin dirimu. Aku udah maafin kamu, kok. Aku juga salah karena terlalu posesif padamu.”
“Tora... apa kita bisa seperti dulu lagi?” tanya Dipta tiba-tiba, lalu kembali menundukan kepalanya.
Aku diam beberapa saat memandangi wajahnya yang menunduk. Cowok yang pernah mengisi ruang di hatiku. Cowok yang dulu aku kira akan selalu bersamaku hingga kami menua nanti. Tapi, dia lebih memilih pria bernama Delon itu. Dan, di saat aku sudah menemukan seseorang yang benar-benar membuatku yakin dan harus kupertahankan. Dia muncul di hadapanku, dan meminta kami untuk kembali lagi.
Aku tersenyum dan menggenggam tangannya, “Dipta... jika saja kamu mengatakannya dua tahun yang lalu, mungkin aku akan menerimamu dan kita kembali lagi. Tetapi, sekarang aku sudah memiliki pasangan dan aku sangat mencintainya. Jadi.. maafkan aku.”
Aku menjawab pertanyaannya dengan hati-hati agar Dipta tidak terlalu kecewa atas penolakanku. Tidak lama dia mengangkat wajahnya menatap mataku sambil tersenyum. Aku tahu dia berusaha memaksakan senyumannya.
“Jadi aku sudah terlambat ya..” ujarnya masih tetap tersenyum, “apakah cowok yang kemarin itu yang sudah menggangtikan posisiku?” tanyanya memastikan. Aku mengagguk sebagai jawaban. Nampak Dipta berpikir sejenak.
“Apa dia salah paham? Karena kemarin aku....” dipta tidak melanjutkan ucapannya. Aku hanya tersenyum dan kembali mengelus tangannya menenangkan karena terlihat dari wajahnya, dia merasa bersalah.
“Kamu jangan khawatir. Semuanya baik-baik saja, kok.” Dipta tersenyum setelah aku meyakinkannya.
“Kalau gitu aku pamit dulu ya. Aku harus menjemput dia,” pamitku, karena tidak lama lagi Andri akan pulang sekolah. Dipta mengangguk mempersilahakan aku pergi. Sebelum aku benar-benar meninggalkannya, aku kembali menatap wajahnya.
“Aku yakin kamu bisa mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Dan ketika kamu sudah mendapatkannya, kamu harus menjaganya dengan baik. Jangan melakukan kesalahan yang sama lagi,” kataku menyemangatinya.
“Pasti.” Kali ini Dipta tersenyum cerah. Tidak terlihat lagi rasa kecewa di wajahnya. Aku pun mulai melangkah meninggalkan Dipta.
...
Aku memperhatikan murid-murid yang keluar dari pintu gerbang sekolah. Mencari-cari keberadaan Andri. Aku tersenyum begitu menemukan keberadaannya. Namun, ada satu sosok yang membuatku emosi. Sosok yang yang berdiri sangat dekat dengan Andri. Revan, cowok yang menyukai kekasihku. Dari pertama bertemu dengannya, aku sudah mengetahuai kalau dia menyukai Andri. Dan sekarang dia datang ke sekolah, mengobrol dengan akrab. Sepertinya dia tidak mau menyerah mendekati Andri.
Aku membuka pintu mobil, berjalan cepat ke tempat mereka. Tanpa basa-basi aku mendorong tubuh pemuda itu agar menjauh dari Andri. Nampak dia kaget atas tindakan yang tiba-tiba, begitu pun dengan murid-murid yang ada di sana, tapi aku tak peduli.
“Sudah kubilang, jangan pernah dekati dia lagi,” peringatku menatapnya emosi.
“Tora, kamu apa-apaan main dorong orang seenaknya,” kata Andri kesal. Tapi aku tak peduli.
“Ikut aku!” aku menarik tangannya ke mobil. Terus menarik tangannya walaupun dia memberontak.
Murid-murid yang masih ada di sekolah memandangi kami berdua. Sekali lagi, aku tak peduli. Menyuruhnya masuk ke mobil dan memasangkan sabuk pengaman. Kemudian aku mengitari depan mobil menuju kursi kemudi dan meninggalkan area sekolah.
Aku menghentikan mobil tepat di depan rumah Andri. Dia cepat-cepat melepas sabuk pengamannya. Beruntung aku mengunci pintu mobil saat mau berangkat tadi.
“Buka pintunya,” katanya datar. Aku hanya diam menanggapi ucapannya.
“Tora, buka pintunya. Aku mau keluar!” Andri meninggikan suaranya agar aku membukakan pintu untuknya.
“Kenapa kamu masih bertemu dengannya?” tanyaku pelan.
“Apa kamu bilang? Aku menemuinya? Lalu yang kemaren itu apa? Huh?” marahnya mengingat kejadian kemarin.
“Maafkan aku...kemaren itu kamu salah—“
“Kamu selalu marah setiap kali ada cowok yang ingin dekat denganku. Kamu selalu melarangku berteman dengan cowok-cowok yang kamu yakini menyukaiku. Aku terima,” ujarnya memotong ucapanku, “Aku menerima laranganmu karena ingin menjaga perasaanmu. Tapi, yang kulihat kemaren apa? Kamu hanya diam saat pria itu memeluk dan menciumi lehermu. Tanpa peduli apakah aku akan melihat perbuatan kalian atau tidak. Dan sekarang kamu mau mengakatan kalau aku salah paham. Iya?” air matanya berjatuhan saat mengeluarkan uneg-unegnya. Aku hanya diam, membiarkan dia mengeluarkan kemarahannya padaku.
“Apa karena dia cinta pertamamu. Jadi kamu membiarkan dia memelukmu? Atau karena dia pernah memberikan dirinya seutuhnya, makanya kamu membiarkan dia menciummu?”
“Bukan karena itu. Kamu salah menilai,” ujarku lembut, “Aku sudah melepaskan pelukannya, tapi dia kembali mendekatkan diri dan memelukku erat,” lanjutku memberi penjelasan, agar Andri mengerti.
Kulihat air matanya masih terus mengalir, dan tangannya tanpa henti juga menghapus air mata yang keluar tersebut. Aku mengulurkan tangan bermaksud menghapus air matanya, tapi segera dia menepis tanganku. Sakit dan kecewa. Itu yang kurasakan saat mendapatkan penolakan darinya.
Andri menundukan wajahnya sambil masih menghapus air matanya. Aku pun hanya memandangnya dengan tatapan sedih. Tidak lama dia mengangkat kepalanya dan mengucapkan kata-kata yang menusuk hatiku dan tidak ingin kudengar.
“Apakah aku harus mengalah untuknya?” air matanya kembali menetes setelah mengatakan kalimat barusan.
“Apa kamu bilang?” tanyaku menatapnya tak percaya. Andri tidak menjawab pertanyaanku, malah kembali menundukan wajahnya.
“Katakan kalau kamu hanya bercanda, Andri?”
Dia menjawab pertanyaanku dengan isakan kecil yang keluar dari mulutnya. Aku tahu dia mengucapkan kata-kata itu tidak sepenuh hatinya. Dia hanya sedang marah saat ini. Aku harus mempertahankan hubungan kami.
Aku merapatkan posisi duduk, lalu membawa tubuhnya ke dalam dekapanku. Mencoba memberikan ketengangan dan kenyamanan pada Andri. Menciumi puncak kepalanya dengan lembut serta mengeratkan pelukan. Menyampaikan lewat pelukan ini bahwa aku sangat mencintainya dan hanya menginginkan dia.
“Tapi dia ingin kembali padamu,” lirihnya dalam pelukanku. Darimana Andri tahu jika Dipta ingin kembali padaku. Perasaannya begitu peka.
Aku tidak mambalas ucapannya. Hanya mengeratkan pelukanku dan mencium puncak kepalanya sekali lagi.
“Jadi... lebih baik kita—“
“Nggak!” seruku cepat sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Melepaskan pelukan dan memandang matanya lekat-lekat. Aku tak menyangka Andri masih saja memiliki pemikiran bodoh itu.
Menghembuskan napas berat, kemudian aku kembali menghidupkan mesin mobil dan memutar arah, meninggalkan komplek perumahan Andri. Melajukan mobil dengan kecepatan yang lebih dari biasanya.
Aku menghiraukan Andri yang bertanya-tanya ‘kita mau kemana?’, serta menyuruhku berhenti.
...
Aku keluar dari dalam mobil dan berjalan ke pintu sebelah kiri. Membuka pintu, lalu menggendong tubuhnya di pundakku. Mengabaikan rontaannya, aku mulai melangkahkan kaki menuju pintu rumah.
Mbak Nur membukakan pintu setelah beberapa kali aku menekan bel rumah. Dia menatap heran saat menemukan diriku menggendong Andri yang meronta-ronta serta berteriak protes di pundakku.
“Tolong tutupin pintu mobilnya, Mbak. Dan bawakan tas saya yang masih tertinggal di sana,” ujarku sebelum Mbak Nur bertanya apa yang terjadi di antara kami.
Sampai di ruang tengah aku menemukan mama yang masih mengenakan celemek sama herannya seperti Mbak Nur. Menyapa mama sebentar, aku terus melangkahkan kaki menaiki anak tangga hingga ke lantai atas.
“Tora. Kenapa kamu bawa Andri seperti itu, Sayang?” seru mama di belakangku.
“Tante.. tolongin Andri, Tante,” pintanya kepada mama dengan tangan memukul-mukul punggungku.
“Tora akan menyelesaikan masalah kami, Ma.” Aku membuka pintu kamar dengan tangan kananku yang bebas. Untung mama tidak ikut naik ke lantai atas. Jadi aku bisa lebih leluasa menyelesaikan masalah kami.
Setelah mengunci pintu kmar. Aku menghempaskan tubuh Andri ke atas tempat tidur. Dia bangkit duduk kemudian menatapku dengan napas yang tak teratur.
“Ngapain kamu bawa aku ke sini, Tora?” protesnya hendak bangkit berdiri. Tapi dengan cepat aku mendorong dia hingga kembali terbaring dengan aku berada di atas tubuhnya.
Aku melumat bibirnya secara paksa. Menghisap bibir atas dan bawahnya bergantian. Namun, Andri berhasil melepaskan ciumanku.
“Tora, apa yang... mmpphh.”
Aku kembali membekap mulutnya dengan bibirku. Melumat bibirnya lagi dengan paksa sambil mencengkram tangannya kuat agar dia behenti memberontak.
“Katakan, kamu tidak akan menyerah dengan hubungan kita,” pintaku setelah melepaskan ciumuan kami untuk mengambil napas sejenak.
“Tapi... mmpphh.”
Aku kembali membungkam mulutnya. Kali ini lebih lembut. Menghisap bibirnya secara bergantian, serta menggigit kecil bibirnya agar memberikan lidahku akses untuk masuk ke dalam mulutnya.
Andri membuka sedikit mulut. Akupun langsung memasukan lidahku mencari pasangannya di dalam sana. Cukup lama dia tak membalas ciumanku, tapi itu tidak membuatku berhenti begitu saja. Aku tetap melanjutkan kulumanku pada lidah dan bibirnya. Tangannya juga sudah kulepaskan. Aku sedikit tersenyum di antara ciuman kami, karena Andri tidak memberontak lagi walaupun tangannya sudah bebas.
Aku menghentikan ciumanku. Menatap matanya sendu. Mengecup singkat bibirnya, kemudian memandangnya lagi.
“Aku tidak pernah berpikiran untuk kembali kepada Dipta lagi,” bisikku lembut. Kembali mengecup bibirnya setelah berkata demikian, “Walaupun dia dia adalah cinta pertamaku” bisikku lagi. Menatapnya, dan kembali mengecup bibirnya.
“Orang yang kucintai saat ini adalah kamu... orang yang ingin kumiliki adalah kamu... selamanya... jadi, jangan pernah mengucapkan kata-kata bodoh seperti tadi. Megerti!?” tegasku.
Kali ini aku memandangnya lebih lama. Kulihat matanya berkaca-kaca, dan air mata itu kembali keluar dari sudut matanya. Aku mendekatkan wajah. Mencium kedua matanya, sambil menyapu air yang terasa asin itu dengan lidahku.
“Selangkah lagi kita akan mengikat hubungan ini dengan ikatan yang sah. Jadi, kamu gak boleh menyerah.”
“M..maksudmu?”
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya mendekatkan kembali wajahku, dan melumat bibirnya dengan lembut. Kali ini Andri membalas ciumanku, membuatku semakin memperdalam ciuman kami. Tanganku juga mulai menyentuh titik-titik sensitif di tubuh Andri. Hingga suara desahan tertahan keluar dari mulutnya.
************
Aku mengucapkan terima kasih atas like dan komen dari teman2 yang menyukai cerita ini...semoga kalian suka terus ya. Jangan lupa like dan komennya
06/03/17
Tq dah mention