It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tapi gpp juga sih yg penting up kak :v
Kak Hendra jangan mati yes... Awas kalau mati.
sabar yaw...masih dalam proses nih..
@QudhelMars aku gak suka puffin...udah coba, gak lancar...biarlah opera mini ini...
@Aurora_69 coba aja rora, dijamin manis :v
Hendra masih koma...aku gak tau mau diapain dia bagusnya, mati atau hidup :v
Eh tapi jgn lupa mampir ke ceritaku ya kak @akina_kenji :v
Apa judulnya @QudhelMars ?
Janganlah kalau mati, kasihan...
Lihat nanti ya, gimana keadaannya kak hendra..
Wokeh @QudhelMars
maap ya jika telat lagi updatenya...
semoga kalian masih suka sama cerita ini..
selamat membaca..
@JosephanMartin @Aurora_69 @o_komo @okki @denfauzan @3ll0 @Yirly @QudhelMars @Abdulloh_12 @RifRafReis @abyyriza @Chu_Yu7 @StevenBeast @liezfujoshi @RenataF @hananta @Rars_Di @wisnuvernan2 @adammada @yogan28 @Algibran26 @arifinselalusial @Adi_Suseno10 @Apell @Mr27 @ryanadsyah @Firman9988_makassar @Reyzz9 @jose34 @vane @kunnnee @AvoCadoBoy
*******
Part 23
Sudah empat hari Kak Hendra dipindahkan ke ruang ICU. Namun keadaannya masih sama, tidak ada perkembangan. Hari ini aku mau ke rumah sakit lagi melihat keadaan Kak Hendra. Tora tidak bisa menemaniku kali ini karena harus pergi ke hotel, dia hanya bisa mengantar sampai depan rumah sakit.
Aku berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit, memperhatikan perawat-perawat yang lewat atau pasien-pasien yang sedang duduk-duduk di bangku taman rumah sakit ditemani saudara atau mungkin pasangan mereka. Tak terasa aku sudah sampai di depan ruang rawat Kak Hendra. Aku melihat seseorang tengah duduk pada kursi yang terletak tak jauh dari ruangan Kak Hendra. Begitu kuperhatikan dengan seksama, ternyata Kak Mia pacarnya Kak Hendra. Aku berjalan menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
“Udah lama, kak?” tanyaku pelan. Dia tersentak kaget dengan sapaanku, lalu tersenyum saat menyadari kehadiranku. Aku tahu dia memaksakan senyumnya, seolah-olah dia tidak sedang bersedih, ck.
“Nggak begitu lama kok, Dri,” jawabnya sambil memperbaiki duduknya.
“Trus, Kakak gak masuk?” tanyaku lagi.
“Kakak udah masuk kok. Tapi kakak gak sanggup berlama-lama di dalam,” katanya menjelaskan sembari menghapus sudut matanya yang hampir mengeluarkan air mata. Aku bisa mengerti perasaannya. Melihat keadaan Kak Hendra yang seperti itu, ditambah dengan keterangan dokter beberapa hari yang lalu pasti membuatnya terpukul, sama seperti kami sekeluarga.
Aku memberanikan diri meraih tangan yang berada dipangkuannya. Menggenggamnya, lalu menatapnya dengan tatapan bebrsalah. Ya, ini semua salahku.
“Ini semua karena Andri, Kak,” ujarku pelan, “Kalau saja Andri yang menghampirinya. Kak Hendra gak akan mengalami kecelakaan itu.” Aku menundukan kepala dalam, teringat lagi akan kecelakaan itu. Kak Mia mengambil tanganku dan mengusapnya lembut.
“Kamu gak salah, kok. Semua ini sudah takdirnya Hendra. Yang harus kita lakukan sekarang adalah berdoa agar kakakmu segera sadar dan berkumpul lagi bersama kita.” Aku manatap wajah Kak Mia. Dia tersenyum, senyuman yang hangat. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.
“Hendra sudah cerita ke kakak mengenai masalah kalian. Dia sangat menyesal karena telah menyakitimu. Kakak bisa melihat kalau dia sangat menyayangimu. Kamu maukan memaafkan kesalahannya?”
“Jauh dari sebelumnya Andri sudah memaafkan Kak Hendra. Andri gak pernah marah sama Kak Hendra. Andri maklum dengan sikap Kak Hendra, karena mempunyai adik seperti Andri,” kataku pelan, kembali menatap wajahnya. Dia tersenyum sambil terus mengusap-ngusap punggung tanganku, “Tapi, apa Kakak gak merasa jijik?”
Kak Mia tertawa kecil mendengar pertanyaanku. Aku yang melihatnya mengernyit bingung, karena responnya tersebut. Melihat ekspresiku yang terlalu kentara, Kak Mia menghentikan tawanya.
“Kakak mempunyai beberapa teman yang sama denganmu, di dunia maya dan di dunia nyata,” terangnya. Aku tertegun, juga penasaran mendengar ucapannya.
“Sama teman sendiri, kakak gak jijik. Apalagi sama adik dari pacar kakak sendiri,” katanya sambil mengacak rambutku pelan.
Aku membiarkan dia melakukan itu. Ada rasa senang di dalam hatiku mendengar ucapan Kak Mia. Ternyata tidak semua orang yang memandang jijk kaum minoritas sepertiku. Seketika aku jadi teringat Tora. Mungkin seperti ini kebahagiaan Tora ketika semua keluarganya menerima dirinya.
Setelah berbincang-bincang dengan Kak Mia. Akhirnya dia berpamitan padaku, karena masih ada urusan di kampusnya. Aku masuk ke dalam ruang ICU setelah kepergian Kak Mia. Memperhatikan sosok Kak Hendra yang terbaring di tempatnya. Kepala dan tangan yang dibalut perban, pada bagian wajahnya juga ada yang lecet. Tak terasa air mataku sudah jatuh melihat kondisi Kak Hendra yang masih belum ada perkembangannya itu. Setiap hari aku menjenguknya, setiap hari pula aku menitikkan air mata.
“Gimana kabar Kakak?” tanyaku sambil tersenyum menatap Kak Hendra dan segera menghapus air mataku.
Mendudukan diriku pada sebuah kursi dan menggenggam jemari tangan Kak Hendra yang sedikit pucat.
“Kapan Kakak akan bangun dari tidur Kakak ini?” tanyaku lagi, yang sudah mengelus-ngelus tangannya, “Andri kagen sama Kakak. Mama, Papa, dan Kak Inka, juga kangen sama Kakak. Apa Kakak, gak kangen kami semua?” aku menatap matanya yang terpejam itu, lalu menghembuskan napas pelan.
“Kalau saja Andri yang menghampiri kakak. Kakak gak akan seperti ini. Mungkin saat ini kita sudah bercanda lagi seperti dulu. Maafin Andri ya, Kak? Gara-gara Andri, kakak jadi kayak gini,” sesalku. Air mata yang tadi sudah kuhapus kini keluar lagi tanpa permisi. Kecelakaan yang terjadi di depanku itu selalu terbayang di pikiranku.
“Kakak harus bangun. Kalau tidak, aku gak mau maafin, Kakak.”
Aku terus bicara sendiri di ruangan ini tanpa peduli dengan air mataku yang sudah membasahi pipi, ditemani bunyi suara Electrocardiography yang terletak di samping ranjang Kak Hendra.
Getar ponsel mengagetkanku. Dengan segera aku mengeluarkannya dari dalam saku celana. Tertera nama Tora di sana. Secepat mungkin aku menghapus air mata, serta menghirup dan menghembuskan napas secara perlahan beberapa kali sebelum aku menjawab panggilan telpon dari Tora.
“Halo.”
“Kamu masih di rumah sakit, kan?” tanyanya di seberang sana.
“Iya. Aku akan menunggumu,” jawabku pelan. Aku tahu Tora menelpon karena akan menjemputku. Dia tidak mengizinkanku pulang sendiri. Walaupun aku sudah mengatakan bisa pulang sendiri, dia bersikeras akan menjemputku jika sudah selesai membesuk Kak Hendra. Dan aku harus mendengarkan ucapannya.
Aku masih di sofa tunggu yang terletak di sudut ruangan. Sambil menunggu Tora, aku memilih mendengarkan lagu-lagu berirama lembut agar bisa menenangkan pikiranku. Memejamkan mata, aku menikmati sebuah lagu yang mengalun indah dari suara salah seorang penyanyi favoritku.
Aku membuka mata saat merasakan usapan lembut pada pipiku. Mengerjapkan mata, aku mendapati Tora sudah duduk di sebelahku menampilkan senyuman menawannya.
“Kamu sudah datang?” tanyaku sambil menguap dan mengucek mataku perlahan. Rupanya aku ketiduran.
“Maaf jika kamu menunggu lama,” ujarnya, dengan tangan kembali mengelus pipiku.
“Nggak apa-apa. Pekerjaanmu sudah selesai?” aku melirik jam di ponselku. Tora pulang lebih cepat hari ini.
“Belum,” jawabnya singkat. Keningku mengernyit mendengar jawabanya, “Aku bisa mengerjakannya di rumah,” ujarnya menjawab kebingunganku.
Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju ranjang Kak Hendra. Setelah berpamitan aku berjalan beriringan bersama Tora keluar dari ruangan tersebut.
..
Tora menghentikan mobilnya di depan rumahku. Aku melepas sabuk pengaman kemudian mengambil tas sekolahku di kursi belakang. Mencium pipinya sekilas dan berpamitan denganya. Namun saat hendak membuka pintu, Tora menahan tanganku. Aku menoleh menatapnya dengan tanda tanya. Tora meremas jemari tanganku pelan kemudian memandangku.
“Sebentar lagi kita akan ujian. Kamu harus rajin belajar dan banyak istirahat,” katanya menasehati. Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
Aku tahu, Tora mmengetahui kalau aku kurang istirahat semenjak kecelakaan yang menimpa Kak Hendra itu. Di sekolahpun aku kurang bersemangat, bahkan untuk makanpun aku tidak bersemangat. Jika Tora tidak memandangku dengan dingin, mungkin aku tidak akan memakan makananku. Seperti yang terjadi di kantin saat jam istirrahat tadi. Tora sudah memesan nasi goreng kesukaanku. Tapi aku tidak menyentuhnya sama sekali. Dia sudah menyuruhku untuk menyantapnya walau hanya separuh seperti beberapa hari sebelumnya. Namun aku tetap keras kepala tidak menyentuh nasi goreng tersebut, sampai kurasakan aura di sampingku berubah menyeramkan. Tora menatapku dengan dingin dan tajam. Bahkan teman-temanku tidak mau menolongku. Dan dengan terpaksa aku menyantap makananku hingga tinggal separuh. Tora membelai kepalaku karena aku sudah memakan nasi gorengku, kemudian dia menghabiskan nasi gorengku yang masih tinggal separuh.
“Aku akan istiahat dan belajar dengan baik,” kataku sebelum akhirnya benar-benar turun dari mobil, “Kamu hati-hati ya?” Tora mengangguk. Menutup pintu mobil, aku menatap kepergiannya yang perlahan menjauh dari rumahku.
**
Hari ini aku mengenakan hoodie hijau yang pernah dibelikan Tora. Karena hari ini terasa dingin walau di luar sana hanya gerimis kecil, jadi kuputuskan untuk memakainya. Aku mematut diriku di depan cermin, tersenyum manis memandang pantulan diriku di dalam cermin tersebut. Aku jadi teringat saat Tora tiba-tiba memberikannya padaku, seakan dia tahu kalau aku sangat menginginkan hoodie ini. Tapi tunggu dulu. Aku pernah menanyakan padanya dari mana dia tahu aku sangat menginginkan hoodie ini, dan dia tak menjawab pertanyaanku. Apakah aku harus menanyakannya nanti? Tapi hal itu sudah lama berlalu. Ck, aku jadi bimbang. Menggelengkan kepala aku segera meninggalkan kamarku. Lebih baik tidak usah kutanyakan lagi padanya, walaupun aku penasaran.
Aku berjalan menuju meja makan. Di sana sudah menunggu Kak Inka dan mama. Sepertinya papa sudah berangkat duluan. Oh ya, aku tidak tinggal di rumah Andre lagi. Karena semenjak Kak Hendra masuk rumah sakit, mama menyuruhku pulang. Tapi aku tidak diantar oleh Kak Inka lagi, tapi Tora yang akan menjemputku.
“Ma, nanti Mama mau ke rumah sakit?” tanyaku sambil menyantap sarapanku.
“Iya sayang. Pukul sepuluh nanti mama ke sana,” jawab mama sambil menyiapkan kotak bekal untukku. Kuperhatikan mama tidak terlihat sedih lagi. Aku senang melihat mama yang sudah bisa tersenyum lagi, jadi aku juga harus berhenti bersedih. Aku juga harus semangat dan yakin Kak Hendra akan segera sadar.
Tin..tiinn..!
Aku yang mendengar suara klakson dari luar, buru-buru menyelesaikan sarapanku. Mencium pipi mama dan Kak Inka.
“Andri berangkat dulu, Ma, Kak.”
“Ini bekalnya dibawa, sayang. Kamu harus banyak makan ya.” Mama memberiku kotak bekal yang tadi dipersiapkannya. Setelah menerimanya, aku meninggalkan mereka.
Aku berjalan beriringan dengan Tora menggunakan payung yang tersedia di dalam mobilnya. Kami berjalan diiringi oleh beberapa pasang mata yang menatap kami dengan pandangan penuh arti. Bahkan ada yang beberapa siswi yang berbisik tentang kami dibelakang, yang bisikannya masih bisa kudengar.
“Sayang banget ya, Kak Tora lebih menyukai cowok.”
“Iya. Tapi kasian Kak Andri loh. Setiap ada teman cowok yang deket atau ngomong ama dia. kak Tora akan marah.”
“Aneh ya. Masa cuma ngobrol doang gak boleh. Aku mah gak mau dikekang kayak gitu.”
“Lihat aja ekspresinya kaku gitu. Tatapannya tajam banget. Kalo kayak gitu terus, Kak Andri bisa kehilangan teman.”
“Kok Kak Andri mau aja ya dikekang gitu?”
“Tapi hubungan mereka langgeng-langgeng aja ampe sekarang.”
“Ah, palingan setelah lulus mereka pisah. Mana ada hubungan homo itu bertahan sampai lama. Apalagi di Indonesia ini.”
Aku hanya menghembuskan napas pelan mendengar komentar-komentar mereka tentang hubunganku dengan Tora. Tanpa menoleh kebelakang, aku terus berjalan dengan sedikit menambah kecepatan jalanku. Tak ingin lagi mendengar komentar mereka. Sampai di depan kelasku, kami berhenti. Tora memandangku sangat lama membuatku jadi salah tingkah setiap kali dia memandangku seperti itu.
“A..ada apa?” tanyaku dengan kikuk. Tora hanya menggeleng pelan.
“Masuklah,” ujarnya dengan pandangan yang tak lepas menatapku. Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu meninggalkannya masuk ke dalam kelas.
Saat hampir mendekati tempat dudukku, seseorang yang duduk membelakangi pintu masuk berbalik menghadapku, rupanya Resti yang lagi asyik ngobrol dengan Andre. Resti menatapku dengan kening sedikit berkerut. Aku jadi ikutan mengernyitkan keningku.
“Ini hoodie yang dulu lu pengen, kan?” tanyanya dengan serius. Aku mengangguk senang menjawab pertanyaannya.
“Akhirnya dibeliin juga sama Tora ya,” katanya, yang sukses membuatku kembali mengernyitkan kening. Kenapa Resti bisa tahu kalau hoodie ini dibelikan oleh Tora. Padahal aku baru kali ini memakainya ke sekolah.
“Kok lu tahu sih?” tanyaku menatapnya curiga.
“Ya tahulah. Kan gue yang ngasih tahu ke dia. Gue bilang, kalau saat dia cemburu sama Revan itu, sebenarnya lu lagi sedih karena nggak bisa dapetin hoodie yang lu pengen. Setelah dengar cerita gue, dia nanya ciri-ciri hoodie itu sekaligus nama tokonya. Jadi gue sebutin deh.” Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Rresti. Ternyata Tora tahu dari Resti.
“Tapi gimana cara Tora mendapatkannya hari itu juga. Aku yakin Resti memberitahu Tora setelah dia membantuku menyelesaikan masalah kami. Dan pada hari itu kami selalu bersama. Jadi gimana cara Tora menapatkannya?” tanyaku dalam hati memikirkan dari mana Tora mendapatkan hoodie yang kupakai ini, tanpa meninggalkanku saat itu.
“Lu kenapa, Dri?” tanya Resti menggoyang tanganku.
“Ah, nggak,” jawabku singkat, tidak mau memberitahunya apa yang sedang kupikirkan.
Aku membuka tas dan mengambil ponsel, melanjutkan permainan yang semalam kumainkan. Ini adalah salah satu hobiku sekarang. Karena setelah berhenti bekerja, aku jadi merasa ada yang kurang. Nggak tahu mau ngapain sesudah belajar atau mengerjakan PR. Jadi aku men-download sebuah game.
..
Aku mengunyah makananku sambil menatap kotak bekal yang ada di hadapanku. Masih memikirkan apakah aku harus bertanya kepada Tora atau tidak. Kalau aku bertanya, aku takut dia tidak akan suka. Tapi jika tidak bertanya, aku sangat penasaran. Sekarang pandanganku beralih kepada Tora dan aku terkejut karena dia memperhatikanku. Aku tidak tahu sudah berapa lama dia memperhatikanku, karena dari tadi aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Dengan salah tingkah aku tersenyum padanya yang aku yakin pasti terlihat aneh.
Tora meletakkan sendok yang dipegangnya, kemudian memandangku lagi.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya serius.
“Hmm...aku..aku mau tanya sesuatu,” jawabku gugup. Menundukan kepala menghindar dari tatapannya.
“Tanya apa?”
“Tadi.. Resti cerita mengenai hoodie yang kupakai ini. Aku.. aku penasaran bagaimana caramu membelinya? Padahal waktu itu kamu... kamu selalu bersamaku.” Aku mengangkat kepala menatap wajahnya. Menggigit bibir bawahku, takut dia tidak suka dengan pertanyaanku. Aku menunggu jawaban dari Tora dengan jantung yang berdetak tak karuan. Tapi yang aku dapatkan adalah sebuah senyuman. Senyuman yang meluluhkan hatiku.
“Nanti kamu akan tahu. Sekarang lanjutkan makanmu,” ujarnya seperti perintah. Aku menurut dan menyantap isi bekal yang kami makan berdua.
Kami memasuki sebubah distro, dan aku ingat betul dengan distro ini. Distro yang selalu kupandangi setiap kali lewat di depannya. Bukan distronya yang kupandangi, tapi sebuah hoodie yang terpajang pada patung manekin dibalik kaca distro ini. Dan sekarang kami berada di dalamnya, bertemu dengan sang pemilik. Seorang pemuda dengan badan yang proporsional, bermata coklat terang, dan dengan wajahnya yang tampan membuatnya tampak seperti sosok yang sempurna.
“Jadi dia orang yang membuat salah seorang karyawanku harus meninggalkan toko, sepupu?” tanyanya sambil menatapku penuh minat.
“Iya,” jawa Tora singkat.
“Dan kau baru membawanya kehadapanku sekarang, huh?” dia meninju bahu Tora pelan, dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Membuatku terpaku akan sikapnya itu. Dan aku tidak mengerti mereka membahas apa.
“Salahmu sendiri yang selalu sibuk pergi keluar negeri. Dan jangan coba-coba menggodanya,” balas Tora dingin. Pemuda yang berpostor lebih tinggi dari Tora ini tertawa keras mendengar ucapan Tora.
“Kau tidak pernah berubah sepupu,” katanya setelah berhenti tertawa, “Halo manis. Kenalkan namaku Leonid Kyle. Kamu bisa memanggilku, Leon. Aku sepupunya si Mr. Vampir ini. Dan siapa namamu?” sepupu Tora yang bernama Leon ini mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambut uluran tangannya dan menyebutkan namaku.
“Namaku Andri Pratama, Kak.” Aku tersenyum ramah padanya, “Kakak bisa panggil Andri saja,” lanjutku.
“Nah, kebetulan pria ini membawamu ke sini. Sebaiknya kamu gunakan kesempatan ini dengan baik. Kamu bisa memilih apapun yang kamu mau di sini. Biarkan pria ini yang membayarnya nanti,” ucap Kak Leon bersemangat sambil menepuk-nepuk pundak Tora. aku hanya tersenyum kikuk bercampur bingung saat dia menarik tanganku dan menjauh dari Tora. Memilihkan beberapa pakaian yang cocok untukku. Lalu dia juga memerintahkan salah seorang karyawannya untuk mengeluarkan produk terbaru mereka.
Sambil memilih pakaian, Kak Leon menceritakan bagaimana Tora mengirim pesan padanya. Memintanya mengirimkan sebuah hoodie berwarna hijau ke taman yang dulu kami kunjungi. Kak Leon menyuruh salah satu karyawannya mengantarkan dan meletakkan hoodie tersebut ke dalam mobil Tora yang pintu belakangnya sengaja tidak dia kunci. Aku benar-benar heran dengan pacarku itu. Dia membiarkan pintu mobilnya tidak terkunci tanpa memikirkan ada orang lain yang akan mencuri isi di dalam mobilnya.
Pemuda yang berusia 21 tahun ini juga menceritakan sedikit tentang dirinya. Usia 19 tahun dia sudah menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas yang ada di London. Dengan tubuh proporsional ini, serta wajah yang mendukung dia pernah menjadi model di sana. Tapi begitu kuliahnya selesai dia langsung pindah ke Indonesia, meninggalkan oangtuanya di sana. Membuka sebuah distro di sini. Sebenarnya dia juga memiliki sebuah cafe di London, tapi dia menyuruh adik perempuannya yang mengelola, sementara dia menikmati hidupnya di sini dan jalan-jalan ke luar negeri. Dia juga memberitahukan kalau Tora memiliki sifat yang berbeda di antara keluarganya yang lain. Juga menceritakan bagaimana Tora sangat mencintai keluarganya dan orang yang disayanginya. Dan Tora dari kecil sudah mendapat julukan si Mr. Vampir dari saudara-saudaranya. Ternyata tidak hanya aku saja yang menjulukinya si Mr. Vampir.
...
Kami menghabiskan waktu kira-kira satu jam di distro milik Kak Leon. Dan sekarang tanganku memegang tiga buah tas belanjaan. Aku sangat jarang belanja sebanyak ini, karena mama membatasi keuanganku. Bukan karena orangtuaku pelit, tapi karena mereka tidak ingin aku hidup boros. Aku harus memberikan alasan yang tepat jika meminta sesuatu atau meminta uang pada mereka. Tidak seperti teman-temanku yang selalu memiliki uang jajan yang banyak dan mendapatkan apapun yang mereka inginkan dari orangtua mereka tanpa harus memberikan sebuah alasan untuk mendapatkannya. Tapi hal itu tidak membuatku iri, karena apa yang diberikan orangtuaku sudah lebih dari cukup buatku.
Sekarang kami akan ke rumah sakit menjenguk Kak Hendra. Aku berharap dia segera bangun dari tidurnya dan berkumpul bersama kami lagi. Dan tentu aku juga berharap dia mau menerima hubunganku dengan Tora. Tapi sesuatu di dalam tubuhku tidak bisa di tahan lagi dan aku harus mengeluarkannya segera.
“Tora. Aku mau ke toilet dulu, kamu gak apa-apa kan, nunggu sebentar di mobil?” tanyaku memastikan apakah dia mau menunggu atau tidak.
“Aku ikut,” jawabnya, lalu berjalan mendahuluiku menuju toilet.
Kami berjalan melewati beberapa pengunjung yang ada di mall ini. Melihat beberapa pasangan muda-mudi yang bergandengan tangan dengan pasangan mereka. Aku jadi iri karena tidak bisa seperti mereka, walaupun terdakang Tora suka memperlakukan aku dengan mesra di depan umum. Tapi itu tidak bisa kami lakukan setiap saat seperti mereka.
Aku menyerahkan barang bawaanku kepada Tora, kemudian masuk ke dalam toilet. Tapi sebelum masuk aku sudah mendapatkan peringatan.
“Jangan keluarkan di urinoir. Aku tidak ingin orang lain melihat punyamu,” katanya memperingatkan. Aku mengangguk, lalu meninggalkannya di depan pintu toilet.
Selesai dengan hajatku dan mencuci tangan, aku buru-buru keluar dari dalam toilet. Takut Tora kelamaan menunggu. Tapi, baru saja aku sampai di depan pintu toilet, sebuah pemandangan yang membuat hatiku sakit terpampang jelas di hadapanku. Tora berpelukan dengan seseorang. Dan dapat kulihat dengan jelas pemuda yang berpelukan dengan Tora itu menicum leher Tora, karena wajahnya yang menghadap ke arahku dan Tora yang membelakangiku.
“Dipta.”
Deg!
Jantungku berdetak tak karuan saat Tora menyebut nama itu. Jadi pemuda yang memeluknya itu adalah mantannya, Dipta. Tora melepaskan pelukan mereka. Namun pemuda itu kembali memeluknya sambil tersenyum. Aku menatap nanar ke arah mereka. Mataku mulai berkaca-kaca karena pemuda itu kembali mencium leher Tora, tanpa peduli dengan keberadaanku. Seolah dunia milik mereka berdua.
Tora melepaskan pelukannya begitu mendengar bunyi ponsel yang berasal dari dalam saku celanaku. Mengeluarkan ponsel aku melihat nama kontak yang menelpon. Ternyata dari mama. Menghembuskan napas perlahan, akupun menjawab panggilan mama.
“Andri...”
“Iya, Ma?” Aku mengabaikan Tora yang menyebut namaku.
“Andri, kamu ke rumah sakit sekarang ya, sayang.” Aku mengernyit heran mendengar suara mama yang serak di seberang sana dan juga terdengar terburu-buru menyuruhku ke rumah sakit.
“Ada apa, Ma? Mama kenapa suaranya serak gitu. Mama habis nangis? Apa terjadi sesuatu dengan Kak Hendra?” Aku memberondong mama dengan banyak pertanyaan. Pikiran-pikiran negatif sudah merasuki otakku. Takut terjadi sesuatu dengan Kak Hendra.
“Udah, kamu cepetan ke sini! Kak Hendra udah nggak....”
Aku langsung memutuskan panggilan. Mendengar suara mama yang seperti itu dan menyuruhku segera ke rumah sakit membuatku tidak tenang. Dengan langkah besar aku meninggalkan Tora bersama pemuda itu yang kusadari masih berdiri di samping Tora. Tak kupedulikan Tora yang memanggilku di belakang. Aku terus melangkah keluar dari mall ini. Yang kuinginkan sekarang adalah ke rumah sakit secepatnya.
Aku menghapus airmata yang sudah keluar dari tadi dengan kasar. Mencari taksi untuk ke rumah sakit. Tapi Tora sudah berada di dekatku dan menahan lenganku saat ingin menyetop sebuah taksi.
“Kamu mau ke mana?” dia menatapku dengan sendu, yang kubalas dengan tatapan tajam dan marah. Bayangan mereka berpelukan dan pemuda tadi yang menciumnya kembali hadir dalam pikiranku.
“Lepaskan!” Aku menghentakan tanganku agar terlepas dari genggamannya, tapi sia-sia.
“Tidak. Aku yang akan mangantarkanmu,” tegasnya. Lalu menarik tanganku mengikuti langkahnya ke tempat mobilnya dipakirkan. Aku berusaha berontak tapi tidak bisa.
Sampai di dekat mobilnya, Tora membuka pintu dan menyuruhku masuk. Setelah menutup pintu yang dibukanya tadi, dia berjalan memutari bagian depan mobil menuju pintu kemudi. Dia mendekat kemudian memasangkan sabuk pengamanku. Sedangkan aku memilih memandang keluar jendela, mengabaikan dirinya yang kutahu sedang memandangku saat memasangkan sabuk pengaman.
“Kamu mau ke rumah sakit?” aku tidak menjawab pertanyaannya. Masih terus memandang keluar jendela sambil sesekali menyeka airmataku yang kembali jatuh. Bayangan kejadian tadi dan keadaan Kak Hendra yang tidak kuketahui membuat dadaku menjadi terasa sesak dan sakit. Harusnya aku mendengarkan ucapan mama sampai selesai sebelum memutuskan panggilan tadi.
Aku masih terus memandang keluar jendela hingga kurasakan mobil mulai berjalan dengan perlahan meninggalkan parkiran menuju rumah sakit. Mungkin.
*******
jangan lupa like dan komennya ya ^^
Itu juga knp mantannya Tora meluk2 sma nyium si Tora ky perek. Ato jngn2 emang perek yes? Gue bom atom jga tuh orang.
Lanjut kk @akina_kenji
@Aurora_69 aamiin semoga saja....
Dia kan kangen, rora...makanya meluk :v
@Firman9988_makassar hehehe maapin ye...lanjutannya lagi otw...sip..