It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Masih dikit..
Selamat greget @RifRafReis :v
Maap ya, aku telat lagi updatenya hehehe..
Selamat membaca cerita yang masih biasa2 ini...
@JosephanMartin @Aurora_69 @o_komo @okki @denfauzan @3ll0 @Yirly @QudhelMars @Abdulloh_12 @RifRafReis @abyyriza @Chu_Yu7 @StevenBeast @liezfujoshi @RenataF @hananta @Rars_Di @wisnuvernan2 @adammada @yogan28 @Algibran26 @arifinselalusial @Adi_Suseno10 @Apell @Mr27 @ryanadsyah @Firman9988_makassar @Reyzz9 @jose34 @vane @kunnnee @AvoCadoBoy @Satria91
*******
Part 24
Memasuki parkiran rumah sakit jantungku berdetak tak karuan. Ucapan mama di telpon tadi membuat pikiranku tidak tenang. Begitu mobil Tora berhenti, aku segera melepaskan sabuk pengaman. Namun, saat mau membuka pintu, tangan Tora menghentikan pergerakanku.
“Tunggu—“
“Terima kasih tumpangannya,” potongku cepat. Tidak mau berlama-lama di dalam mobil, aku membuka pintu dan bergegas keluar. Terus melangkah meninggalkan area parkiran rumah sakit. Daripada mendengarkan penjelasan yang akan membuatku emosi. Lebih baik aku segera bertemu mama untuk mengetahui keadaan Kak Hendra.
Sedikit berlari aku meninggalkan parkiran, memasuki rumah sakit. Menyusuri tiap lorong rumah sakit aku berusaha menghindari pengunjung yang saat ini entah mengapa cukup ramai hari ini. Aku terus berlari sambil mengusap air mataku. Entah sejak kapan air mata ini keluar lagi, aku tidak tahu.
Mendekati ruangan Kak Hendra, aku melihat mama berjalan bersama dengan dokter yang menangani Kak Hendra. Mereka seperti sedang berbicara serius. Mempercepat langkah, aku menghampiri mama dan dokter tersebut.
“Ma, bagaimana dengan Kak Hendra. Apa yang terjadi?” tanyaku cepat dengan napas terengah-engah.
Mama tersenyum kemudian memelukku, “Kak Hendra sudah sadar,” jawab mama lembut. Aku melepaskan pelukan mama, menatapnya dan mendapati mama mengangguk seakan mengerti maksud dari tatapanku.
Mama mengajakku masuk ke dalam ruangan Kak Hendra. Namun, saat kami masuk, Kak Hendra buru-buru mengusap air matanya. Aku langsung mendekatinya dan memeluk Kak Hendra yang terbaring di atas tempat tidurnya. Lagi, air mataku keluar dengan sendirinya.
“Maafin Andri, Kak. Maafin Andri, karena udah bikin Kakak masuk rumah sakit,” lirrihku di sela-sela tangisanku.
“Kamu gak salah kok. Kakak yang salah karena gak hati-hati saat nyebrang,” jawabnya lemah. Aku melepaskan pelukan dan mamandang wajahnya. Dia tersenyum lemah, menenangkanku. Aku mengusap air mata kemudian mencium pipinya.
“Aku sayang, Kakak.”
“Kakak juga,” balasnya mencubit hidungku yang mungkin sudah memerah karena habis menangis.
Mama menghampiri kami, dan mengelus rambut Kak Hendra dengan penuh kasih sayang. “Kamu jangan menyerah ya, Sayang,” kata mama, memberi semangat kepada Kak Hendra.
“Iya, Ma. Hendra bisa menerimanya kok,” balas Kak Hendra masih dengan suara yang masih lemah. Membuatku mengernyit bingung dengan percakapan mereka.
“Kak Hendra kenapa, Ma?” tanyaku penasaran.
“Kakakmu gak bisa jalan akibat kecelakaan itu. Tapi dokter bilang, ada kemungkinan kakakmu bisa jalan lagi kok,” terang mama padaku. Spontan aku kembali memeluk tubuh Kak Hendra. Kali ini lebih erat dari sebelumnya, mencoba memberikan kekuatan padanya.
“Sayang, nanti kakakmu kesakitan jika dipeluk seerat itu,” ingat mama padaku. Langsung saja aku melepaskan pelukan dan meminta maaf pada Kak Hendra karena terlalu erat memeluknya. Rasa bersalahku muncul lagi setelah mendengar ucapan mama tentang kaki Kak Hendra.
“Kakak gak apa-apa kok. Kamu jangan sedih gitu,” hibur Kak Hendra padaku, “Tapi kamu harus janji, gak boleh nolak jika Kakak minta kamu untuk mendorong kursi roda, Kakak,” ujarnya lagi, memaksakan diri tersenyum bahagia.
Aku mengangguk dengan cepat mendengar permintaannya itu. Tanpa Kak Hendra minta pun, aku akan melakukannya. Aku tahu kondisi Kak Hendra masih sangat lemah dan dia berusaha untuk terlihat kuat dengan keadaannya yang seperti sekarang ini. Aku dan mama juga tidak mau terlihat sedih di hadapan Kak Hendra. Kami harus memberikan semangat padanya.
Mama pergi keluar karena mendapat telpon dari papa. Dan sekarang hanya ada aku dan Kak Hendra di ruangan ini. Kami saling meminta maaf atas masalah yang terjadi di antara kami berdua. Aku sangat senang, akhirnya Kak Hendra mau menerima perbedaanku. Dia juga mengatakan kalau dia menyesali sikapnya yang telah membentak dan menghindariku. Kak Hendra juga berjanji tidak akan memberitahu mama dan papa mengenai hubunganku dengan Tora.
Mungkin, sudah tiga puluh menit waktu yang kami habiskan untuk bicara dari hati-kehati mengenai masalah kami selama ini. Mama juga belum balik sampai sekarang. Dan disaat sedang asyik bicara dengan Kak Hendra, Kak Inka masuk ke dalam. Aku terkejut melihatnya menenteng kantung belanjaan yang tadi kutinggalkan di mobil Tora. Sepertinya Kak Inka bertemu dengan Tora di parkiran dan menyerahkan kantung belanjaan itu kepadanya. Tapi, kenapa Tora tidak langsung pulang saja setelah mengantarku? Apakah dia ingin mengantarkanku pulang juga? Ah, lebih baik aku tidak memikirkan Tora dulu. Memikirkannya hanya akan membuatku sakit hati.
Aku memandang Kak Inka yang berjalan mendekat ke arah kami. Dia menyerahkan kantong belanjaan yang dipegangnya padaku, lalu mendekati Kak Hendra dan mencium pipinya.
“Kenapa kamu gak mengajak Tora masuk ke dalam?” tanya Kak Inka menatapku dengan serius.
Aku jadi salah tingkah mendengar pertanyaan Kak Inka, tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin aku menceritakan masalahku dengan Tora di sini.
“I..itu..tadi Tora buru-buru mau ke hotel,” gugupku, menjawab pertanyaan Kak Inka. Aku tahu Kak Inka tidak akan percaya dengan jawabanku, karena terlihat dari tatapannya dan kerutan di keningnya setelah mendengar jawabanku. Tapi disaat seperti ini aku tidak ingin Kak Hendra mengetahui masalahku.
Kak Inka mengangguk-nganggukan kepalanya seolah menerima jawaban dariku. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya ke Kak Hendra, membiarkanku berjalan ke arah sofa yang terletak disudut ruangan. Dalam hati aku bersyukur, Kak Hendra tidak ikutan bertanya.
...
Aku pulang bareng Kak Inka. Mama tidak ikut bareng kami, karena mama mau menunggu papa yang masih di kantor polisi, mengurus hal-hal yang berhubungan dengan kecelakaan Kak Hendra. Aku berharap semoga pelakunya segera ditahan. Gara-gara dia ngebut membawa mobil, kakakku jadi koma di rumah sakit dan sekarang harus menggunakan kursi roda untuk membantunya berjalan.
Meletakkan kantung belanjaan di lantai kamar, aku merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Memejamkan mata, kembali mengingat kejadian-kejadian yang kualami hari ini. Bertemu dengan salah satu sepupu Tora yang ramah, juga suka bercanda. Aku merasa nyaman berada di antara keluarganya. Mereka begitu terbuka dengan hubungan sesama jenis. Rasanya aku begitu bahagia bisa menjadi pasangan Tora dan berbaur dengan keluarganya. Namun, kebahagiaanku harus digantikan dengan rasa sakit hati.
Aku harus melihat dia berpelukan dengan orang lain dan dia membiarkan orang tersebut mencium lehernya. Dan yang lebih menyakitkan orang itu adalah mantannya, cinta pertamanya. Pikian-pikiran negatif berkeliaran di kepalaku. Bayangan dia akan tertarik lagi kepada mantannya, dan kembali menjalin hubungan seperti yang pernah mereka jalin dulu. Membuat sesuatu yang ada di dalam dadaku terasa sakit. Untuk sejenak, rasa sakit itu hilang karena digantikan kebahagiaan yang lain. Kak Hendra sudah bangun dari komanya, walaupun kami harus menerima kenyataan bahwa Kak Hendra harus menggunakan kursi roda untuk alat bantu berjalan nantinya jika dia sudah boleh keluar dari rumah sakit. Hubungan kami juga sudah membaik.
Masih memejamkan mata, aku mendengar suara pintu di buka dan langkah kaki. Aku yakin itu adalah langkah Kak Inka. Aku tahu dia mau membicarakan sesuatu padaku mengenai hubunganku dengan Tora.
“Kamu mau cerita ke Kakak, atau mau seperti itu terus?” aku membuka mata setelah mendengar pertanyaan Kak Inka. Menemukannya sudah berbaring di sebelahku.
“Andri melihat Tora berpelukan dengan mantannya,” jawabku pelan, memberitahukan masalahku kepada Kak Inka.
“Cowok?” aku mengangguk sebagai jawaban.
“Darimana kamu tahu kalau cowok itu pacarnya?” pertanyaan Kak Inka barusan mengingatkanku pada kejadian di mall tadi saat Tora menyebut nama cowok tersebut.
“Selama ini, Andri memang tidak pernah tahu wajah mantannya. Tapi, Andri tahu namanya dari Tora. Dan saat mereka berpelukan tadi, Tora menyebut nama cowok itu. Andri juga melihat cowok itu menciumi leher Tora,” kataku sambil menahan sesak yang tiba-tiba muncul di dada, “Dua kali. Dua kali cowok itu mencium lehernya, dan dia hanya diam saja tanpa ada penolakan sedikitpun,” sambungku dengan suara yang sudah mulai terdengar bergetar.
Kak Inka memiringkan posisi tidurannya menghadap kepadaku. Membelai rambutku perlahan, lalu kembali bertanya padaku, “Kamu udah dengar penjelasannya?”
Aku menggelengkan kepala setelah mendengar pertanyaan Kak Inka, “Andri gak mau ngomong sama dia.”
“Kok gak mau? Harusnya kamu beri dia kesempatan buat menjelaskan,” nasehat Kak Inka padaku.
“Dia kalo liat Andri deket sama cowok lain aja udah emosi, bahkan sampai mukulin cowok tersebut. Sedangkan dia, malah seenaknya pelukan sama mantannya. Udah gitu, mau aja lagi dicium di tempat umum. Pokoknya Andri gak mau ngomong sama dia!” kesalku menolak saran Kak Inka. Aku sudah terlanjur sakit hati melihat pemandangan di mall tadi.
“Dasar adek keras kepala,” kata Kak Inka sambil mengacak rambutku, “Kakak Cuma bisa doain, semoga masalah kalian cepat selesai. Udah jangan nangis. Ini hanya ujian kecil, kamu harus bisa menghadapinya. Kakak yakin Tora hanya mencintaimu,” sambung Kak Inka mengusap air mataku, kemudian memeluk tubuhku.
Dalam dekapan Kak Inka, aku melepaskan semua rasa sakitku. Kak Inka pun membiarkanku menangis sampai selesai tanpa mengatakan apapun lagi tentang Tora. Yang dilakukannya hanyalah mengusap punggungku dengan penuh kasih sayang dan membisikan kalau semuanya akan baik-baik saja.
**
Aku memandang pantulan wajahku di dalam cermin. Mata yang sedikit sembab karena menangis semalam. Menghembuskan napas sebentar, aku berjalan ke arah kamar mandi. Aku harus segera bersiap-siap agar tidak kesiangan. Aku juga tidak ingin dijemput oleh Tora hari ini. Jadi, aku harus berangkat lebih awal dari biasanya.
Aku menghidupkan air hangat untuk menenangkan pikiran dan menghilangkan stres. Ya, aku merasa stres melihat kejadian kemarin. Kalian pasti merasakan hal yang sama jika melihat orang yang kalian cinta dicium cowok lain. Perasaan sedih, sakit, kecewa, marah, dan entah apalagi rasa yang harus kutulis di sini. Kembali menghembuskan napas, aku mulai menyabuni tubuhku dan memakai sampo kesukaanku.
Selesai mandi dan berpakaian rapi, aku turun ke bawah untuk sarapan. Mama tersenyum ketika melihat kehadiranku, dan menyerahkan sepiring pancake kesukaanku. Aku mencium pipi mama, kemudian duduk di sebelah Kak Inka menyantap pancake saus coklatnya.
Untung saja mataku sudah tidak terlalu sembab lagi, sehingga mama tidak curiga. Hanya terlihat seperti orang yang bangun tidur kesiangan dan buru-buru ke sekolah. Jadi, kelihatan seperti orang mengantuk.
**
Hari ini aku diantar oleh Kak Inka. Dia tahu kalau aku tidak akan mau berangkat bareng Tora karena masalah kemarin, jadi Kak Inka tidak bertanya banyak saat aku ingin berangkat bareng dirinya. Aku juga sudah mengirim pesan kepada Tora untuk tidak menjemputku ke rumah. Mungkin lebih baik aku menjauhuinya dulu.
Aku melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah yang masih sepi. Hanya ada beberapa murid yang datang lebih awal seperti diriku. Salah satunya adalah grup fujo yang suka memperhatikanku saat makan di kantin bareng Tora.
Mereka berjalan ke arahku dengan wajah yang berseri-seri. Jika kuperhatikan, mereka selalu ceria. Kadang aku berpikir, apakah keluarga mereka tahu kalau mereka menyukai kaum pelangi sepertiku dan yang lainnya? Ah, sepertinya aku harus menanyakannya pada mereka.
“Pagi, Kak Andri!” sapa mereka serempak dan bersemangat. Tentu ditambah dengan senyuman yang merekah di wajah mereka.
Aku ikut tersenyum kepada mereka bertiga, “Pagi juga geng fujo cantik,” sapaku memberikan gelar pada mereka. Dan dibalas dengan pekikan yang membuatku terlonjak kaget mendengarnya.
“Aahhh Kak Andri sweet banget deh!” seru mereka serempak lagi. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan mereka.
Aku heran kenapa mereka bisa selalu kompak gitu ngomongnya. Tapi sudahlah, aku tidak mau terlalu memikirkan hal yang tidak penting seperti itu. Lebih baik aku menanyakan tentang apa yang ada dalam pikiranku tadi. Tapi, belum sempat aku bertanya. Lusi, yang kuyakini adalah leader mereka, sudah bertanya terlebih dahulu padaku.
“Kok sendirian aja, Kak? Kak Tora mana?” tanyanya ingin tahu.
“Kak Tora gak bisa menjemput,” bohongku pada mereka. Kulihat mereka mengangguk-nganggguk paham mendengar jawabanku, tapi kemudian mereka bersorak senang.
“Mumpung Kak Tora belum datang. Kak Andri bisa jadi milik kita sekarang,” seru mereka berbarengan lagi. Menggamit tanganku, lalu mereka membawaku ikut bersama mereka ke kantin.
Di kantin hanya ada kami berempat. Lusi menyuruhku duduk dan bertanya, apakah aku mau memesan sesuatu atau nggak. Aku menggelengkan kepala tanda tidak mau memesan apapun. Berikutnya dia menanyakan teman-temannya, Rara dan Cindy. Setelah teman-temannya menyebutkan pesanan mereka kepada Lusi, gadis itupun beranjak pergi untuk memesan makanan.
Selagi menunggu Lusi memesan makanan, Cindy dan Rara mengajukan beberapa pertanyaan padaku.
“Kak, kenapa sampai sekarang gak mau bikin akun instagram?” tanya Cindy yang duduk di sebelahku.
“Gak minat aja,” jawabku singkat.
“Bikin dong, Kak.” Kali ini Rara yang ikut bicara.
“Gak ah. Kakak gak tertarik buat bikin akun di instagram. Lagian Tora pasti gak akan setuju kalo Kakak bikin akun di sana,” balasku mengingat bagaimana posesif dan protektifnya Tora. ah, kenapa aku mengingat dia disaat aku sedang marah begini.
“Yaahh....” ujarnya lesu begitu mendengar jawabanku. Aku hanya terkekeh kecil melihat ekspresinya itu, lalu menoleh kepada Lusi yang datang membawa nampan berisikan makanan.
“Dan kalian. Apa orangtua kalian tahu kalau kalian menyukai kaum pelangi?” tanyaku memandang mereka satu persatu.
“Keluargaku tahu. Mereka gak marah kok,” jawab Lusi yang baru saja duduk sambil mencomot salah satu camilan yang dibelinya. Sementara Rara dan Cindy cengengesan sambil menggelengkan kepala sebagai jawaban. Akan tetapi, teman-teman mereka di sekolah sudah tahu semuanya.
Bel masuk berbunyi, kami segera bangkit dari duduk, dan beranjak dari tempat duduk masing-masing meninggalkan kantin. Berpisah dari para fujo itu, aku terus melangkahkan kaki melewati koridor sekolah. Saat sampai di depan kelas Tora aku melihat sebentar ke dalam kelasnya secara diam-diam, tapi tidak menemukan sosoknya di sana. Hanya ada Doni yang sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Mengedikkan bahu, aku kembali melangkahkan kaki menuju kelasku.
Di dalam kelas Andre mengernyitkan keningnya melihatku yang baru masuk sambil menyandang tas ranselku. Mungkin dia mengira aku kesiangan karena baru datang saat bel masuk sudah berbunyi. Begitu sampai di tempat duduk, aku mendudukan pantatku di kursi dan membuka tas mencari buku pelajaran untuk jam pertama.
“Kok lu baru datang? Telat bangun, atau Tora telat menjemput?” tanyanya seperti dugaanku.
“Gue udah dari tadi kok, tapi nongkrong di kantin dulu bareng tiga fujo,” jawabku memberitahu, “Dan jangan sebut nama orang itu. Saat ini gue lagi gak mau mendengar namanya,” lanjutku mengingatkan Andre untuk tidak menyebut nama Tora di depanku.
“Orang itu? Maksud lu Tora?” aku menatapnya penuh emosi karena menyebut namanya sekali lagi.
“Ups, sorry,” ujarnya sambil mengatupkan mulutnya rapat-rapat, “Kalian lagi ada masalah?” tanyanya lagi.
“Gue benci dia. Di depan gue dia berpelukan dengan mantannya, dan cowok itu menciumi lehernya,” jawabku dengan mata yang mulai terasa berkaca-kaca. Namun, sedapat mungkin aku tahan agar air mataku tidak keluar saat ini, karena dadaku terasa sesak lagi ketika memberitahu Andre masalah yang kualami. Kurasakan tangan Ande menepuk-nepuk pundakku sambil mengatakan semuanya akan baik-baik saja seperti yang diucapkan Kak Inka semalam. Ya, semuanya akan baik-baik saja, tapi aku tidak tahu kapan.
....
Jam istirahat sudah masuk. Semua murid di kelasku berhamburan keluar dengan penuh semangat. Mereka sangat bahagia begitu mendengar bel istirahat berbunyi, seperti orang-orang yang baru keluar dari tahanan. Jika saja aku sedang tidak bersedih hari ini, mungkin aku juga akan bersikap sama seperti teman-teman sekelasku itu. Dan sekarang aku memilih tetap berada di dalam kelas. Tidak berniat pergi ke kantin walaupun Andre sudah berusaha membujukku.
Lelah membujukku untuk keluar, akhirnya Andre pergi meninggalkanku sendirian di sini. Namun, tidak lama dia kembali ke kelas membawa beberapa makanan untukku bersama teman-temanku yang lain, kecuali Tora. Aku tidak melihatnya mendatangiku ke sini. Tapi, apa peduliku.
“Tora gak masuk hari ini. Dia izin, karena ada urusan penting di hotelnya.” Doni memulai pembicaraan ketika sudah duduk di bangku depanku. Memberitahukan ketidakhadiran Tora di kelasnya hari ini.
“Gue gak peduli,” jawabku sambil berdecak kesal.
“Andre sudah memberitahu kami. Apa itu benar?” tanyanya lagi menatapku serius. Aku menggangguk sebagai jawaban. Reno dan Resti saling berpandangan seakan tak percaya dengan jawabanku.
“Lu gak minta penjelasan sama dia? Siapa tahu lu hanya salah paham.” Kali ini Resti memberikan pendapat.
“Salah paham apanya! Gue lihat sendiri mereka berpelukan dan cowok itu mencium lehernya. Tidak hanya satu kali, tapi dua kali!” aku menaikan nada suaraku yang tiba-tiba emosi saat memberitahu mereka. Dengan kasar aku menghembuskan napas untuk menenangkan diri, tapi percuma.
Reno yang duduk di bangku sebelahku mengusap-ngusap punggungku seakan menyuruhku untuk tenang. Sementara yang lain memilih diam. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka, hingga Resti kembali buka suara menyuruhku makan.
“Sebaiknya lu makan dulu, nih.” Resti menyodorkan sebuah kantong kresek padaku, berisikan dua buah roti dan satu botol air mineral ukuran sedang di dalamnya. Aku menggelengkan kepala menolaknya. Tapi dia malah mengancamku.
“Atau, lu mau gue nelpon Tora, supaya lu mau makan?” aku kembali berdecak dan menatap kesal kepada Resti. Dia malah mengaktifkan ponselnya dan memandangku dengan tatapan yang menyebalkan.
Aku mengambil roti tersebut dan memakannya dengan pelan, “Apa mungkin ini pertanda hubungan kami akan berakhir?” kataku tiba-tiba disela-sela kunyahanku. Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah jitakan dari arah sampingku.
“Jahat amat sih lu. Sakit tauk,” kesalku kepada Reno yang tak ada rasa bersalah sedikitpun setelah menjitak kepalaku.
“Siapa suruh lu jadi orang bego saat ini. Ada masalah bukannya diselesaiin baik-baik. Ini malah mikirin putus,” omelnya padaku, seperti cewek yang lagi PMS.
“Gue kan cuma bilang ‘pertanda’. Gak bilang mau putus,” belaku pada diri sendiri.
“Itu sama aja bego!” kembali aku mendapatkan sebuah jitakan dari Reno.
“Doniii,” rengekku pada Doni sambil mengusap-ngusap kepalaku yang sakit. Berharap dia mau membelaku, tapi dia bersikap seperti orang yang tak mengenal diriku, ck.
Mengalihkan pandangan kepada Andre dan Resti untuk mendapatkan pembelaan. Ternyata mereka melakukan hal yang sama seperti Doni. Akhirnya menggembungkan pipi dan menggigit roti yang ada di tanganku dengan kesal.
**
Pulang sekolah aku berjalan beriringan dengan Andre dan Resti. Doni dan Reno belum kelihatan. Mungkin kelas Doni lambat lagi keluarnya, dan Reno lagi menunggu pacarnya untuk pulang bareng. Jadi kami memilih untuk jalan duluan.
Andre memisahkan diri saat sampai di area parkir. Sedangkan Resti dan aku terus berjalan sampai pintu gerbang. Dia akan menunggu Andre di depan gerbang, sekalian menemaniku yang akan naik angkutan umum.
Aku melihat seseorang yang kukenal sedang berdiri tepat di samping pintu gerbang sekolah. Segera saja aku menarik tangan Resti untuk menghampiri orang tersebut. Dia tersenyum ramah saat aku dan Resti sampai di hadapannya. Membalas senyumannya yang selalu terlihat menawan, aku mengulurkan tangan dan menanyakan kabarnya.
“Apa kabar, Rev? Udah lama ya gak ketemu,” sapaku sambil menjabat tangannya.
“Aku baik, Dri. Kamu sendiri gimana?” tanyanya balik.
“Aku juga baik,” jawabku sambil tersenyum, “Kamu mau menjemput Doni?” tanyaku lagi, ingin tahu kedatangannya ke sekolah kami.
“Iya. Kami ada janji mau pergi bareng ke rumah teman lama,” ujarnya menjawab pertanyaanku, “Oh ya, aku minta maaf ya atas kejadian di parkiran dulu. Aku gak tahu kalau kamu sudah punya pacar. Aku gak sempat minta maaf setelahnya, karena takut memperburuk keadaan,” lanjutnya mengingat kejadian yang pernah terjadi antara kami dulu.
“Seharusnya aku dan Tora yang minta maaf padamu. Gara-gara aku, Tora jadi salah paham dan memukulmu. Maafkan kami ya?” sesalku. Revan mengangguk dan tersenyum sebagai tanda dia menerima permintaan maafku. Aku ikut membalas senyumannya dengan senang hati.
“Oh ya, kamu masih ingat Resti, kan?” tanyaku mengingatkannya tentang Resti.
“Masih dong. Kan dia yang memberitahuku tentang hubunganmu dengan Tora waktu itu,” jawabnya ramah, lalu menyalami tangan Resti.
Baru saja Revan melepaskan jabatannya dari tangan Resti. Mendadak seseorang mendorongnya dengan kasar. Untung saja Revan tidak sampai jatuh ke tanah, hanya menabrak beberapa murid yang berada di belakangnya.
Aku menolehkan kepala kepada orang yang telah mendorong Revan barusan. Mataku membulat terkejut karena orang itu adalah Tora yang saat ini ingin kuhindari. Aku juga heran kenapa dia bisa ada di sekolah saat ini. Dengan tubuh berbalut setelan jas slim fit, sepertinya dia baru saja dari hotel.
“Sudah kubilang, jangan pernah dekati dia lagi,” ujarnya dingin kepada Revan. Tatapan matanya sangat tajam dan menusuk.
“Tora, kamu apa-apaan main dorong orang seenaknya,” kesalku padanya yang berbuat kasar kepada Revan.
“Ikut aku!” perintahnya tak menghiraukan ucapanku. Dia menarik tanganku menjauh, menuju mobilnya. Mengabaikan tatapan ingin tahu dari murid-murid yang masih berada di lingkungan sekolah. Tidak peduli dengan pemberontakanku yang berusaha ingin lepas dari genggaman tangannya. Dia membuka pintu mobil dan menyuruhku masuk ke dalam sekaligus memasangkan sabuk pengaman.
...
Kami sampai di depan rumahku yang nampak sepi. Melepaskan sabuk pengaman aku membuka pintu mobil. Tetapi malah dikunci. Pandangan mata kami bertemu ketika aku menoleh kepadanya untuk memintanya membukakan pintu. Segera saja kualihkan pandangan ke arah lain, tidak ingin menatap mata teduh itu.
“Buka pintunya,” ucapku datar. Diam. Dia tidak menanggapi ucapanku.
“Tora, buka pintunya. Aku mau keluar!” aku meninggikan volume suaraku agar dia mau membuka pintu mobilnya. Namun, dia malah mengucapkan kata-kata yang memancing emosiku.
“Kenapa kamu masih bertemu dengannya?”
“Apa kamu bilang? Aku menemuinya? Lalu yang kemaren itu apa? Huh?” tanyaku emosi.
“Maafkan aku...kemaren itu kamu salah—“
“Kamu selalu marah setiap kali ada cowok yang ingin dekat denganku. Kamu selalu melarangku berteman dengan cowok-cowok yang kamu yakini menyukaiku. Aku terima,” ujarku memotong ucapannya, “Aku menerima laranganmu karena ingin menjaga perasaanmu. Tapi, yang kulihat kemaren apa? Kamu hanya diam saat pria itu memeluk dan menciumi lehermu. Tanpa peduli apakah aku akan melihat perbuatan kalian atau tidak. Dan sekarang kamu mau mengakatan kalau aku salah paham. Iya?” Aku menghapus air mataku yang sudah mulai keluar dengan kasar.
“Apa karena dia cinta pertamamu. Jadi kamu membiarkan dia memelukmu? Atau karena dia pernah memberikan dirinya seutuhnya, makanya kamu membiarkan dia menciummu?” dadaku terasa sesak dan sakit saat melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu padanya.
“Bukan karena itu. Kamu salah menilai,” ujarnya lembut, “Aku sudah melepaskan pelukannya, tapi dia kembali mendekatkan diri dan memelukku erat,” jelasnya membela diri. Dia mengulurkan tangan mencoba menghapus air mataku, tapi segera kutepis dari wajahku. Nampak kekecewaan dari raut wajahnya atas penolakanku.
Aku hanya diam dan menundukan wajah setelah menepis tangannya. Mengatur napas perlahan sambil menghapus air mata, aku membuka suara lagi setelah beberapa detik terdiam.
“Apakah aku harus mengalah untuknya?” lirihku. Setetes cairan bening kembali jatuh mengenai tanganku yang meremas ujung seragamku. Wajah bahagia pemuda itu waktu memeluk Tora terlintas begitu saja otakku.
*******
Aku mengucapkan terima kasih atas like dan komen dari teman2 yang menyukai cerita ini...semoga kalian suka terus ya, walaupun ceritanya sederhana
Itu mantan Tora iyuh banget deh, udah jelas namanya mantan tapi masih d goda juga. Jablay banget ky nggk ada cowok lain aja. Itu juga Tora, lo posesif sma Andri tapi pas lo dekat sama mantan lo, lo ky nggk mrsa bersalah gitu. Lo juga Ndri, dengar dulu deh alasan Tora apa, kan lo pusing sendiri.
@Aurora_69 iya tuh si tora mah...
andri kan masih marah gara2 adegan cium itu...makanya gak mau dengerin...
@Satria91 udah dimention kan?
Nanti dimention lagi...