It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hehehehe
sebenarnya udah ada beberapa part, tapi aku harus nge cek ulang typo atau di tambahin atau kesalahan yang lainnya, biar gak kacau dan gak banyak salah tulisannya gitu...paling lamanya cuma beberapa hari karena aku orangnya suka kurang puas dengan hasil editanku, udah di edit, trus di edit lagi...itu aja sih yang bikin lama hehe..
Klo bisa bomm part hehehe
Bom part y ka
minta komentar yang membangun ya, biar aku bisa memperbaiki kekurangan dalam tulisanku, dan buat semangat juga...
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @gaybekasi168 @amostalee @Tsunami @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra
*******
Part 5
“Kakakmu tidak akan melakukan hal itu.”
“Tapi bagaimana jika Kak Inka benar-benar memberitahu Mama dan Papa? Aku...aku takut mereka marah dan mengusirku dari rumah,” lirihku putus asa.
“Hey..lihat aku. Kamu bilang Kak Inka memelukmu dan mengatakan kalau dia menyayangimu bukan? Walaupun sikap dan tatapannya berbeda dari biasanya. Namun itu sudah menunjukan bahwa dia tak akan memberitahu orangtua kalian. Kamu nggak usah takut. Ada aku.!”
“Tapi....”
“Sssttt....semuanya akan baik-baik saja. Mereka tidak akan mengusirmu. Percaya padaku,” katanya menenangkanku.
Saat ini kami berada di sebuah danau. Tora membaca ekspresi wajahku yang tak semangat saat di sekolah tadi, jadi dia membawaku ke sini. Awalnya aku mnegatakan kalau aku baik-baik saja tapi dia tak percaya hingga akhirnya aku memberitahu Tora mengenai kejadian kemarin. Sikap Kak Inka, ketakutan-ketakutanku jika seandainya orangtuaku mengetahui tentang orientasi seks-ku. Aku takut mereka marah dan mengusirku dari rumah karena anak yang selama ini mereka sayangi ternyata seorang homo. Mereka akan kecewa padaku karena telah mencoreng nama baik keluarga. Papa pasti akan malu sama kolega-koleganya, jika mereka tahu tentang anaknya ini. Mama pasti akan jadi bahan gunjingan teman-teman arisannya. Dan Kak Hendra pasti tidak akan mau mengakui aku sebagai adiknya lagi. Dilema. Itulah yang ku rasakan saat ini. Aku tahu Tora akan selalu bersamaku jika keluargaku mengusirku. Namun tetap saja aku akan menjadi anak yang terbuang.
Aku memperhatikan ke sekeliling kami. Ada beberapa pasangan yang juga datang ke danau ini. Mereka terlihat bahagia seakan tak ada masalah yang menimpa mereka. Mereka bisa bergandengan tangan dengan mesra, ada yang berpelukan, bahkan ada yang tiduran diatas hamparan rumput hijau dengan berbantalkan paha pasangannya. Ah, andai saja aku bisa seperti mereka. Tapi itu tidak mungkin. Mereka akan memandang aneh dan jijik kepada kami karena kami berbeda, kami bukan pasangan normal yang mana laki-laki bersama perempuan. Kami sama-sama cowok.
Tora membuka jaketnya hingga memperlihatkan kulit putih pucatnya. Dia merapatkan duduknya ke arahku, meletakkan jaketnya di atas tangan kami yang saling bersentuhan. Di bawah jaket dia menautkan jari-jemari kami. Aku memperhatikan lagi di sekitar kami, pasangan-pasangan yang terlihat mesra. Tora menarik wajahku menghadap ke wajahnya. Menatapku dengan mata teduhnya.
“Jangan memperhatikan mereka. Yang harus kamu perhatikan adalah aku karena pacarmu adalah aku, bukan mereka.” Aku tersenyum mendengar kata-katanya barusan. Aku mengangguk dan mengeratkan genggaman tangan kami.
“Tora?”
“Hmmm.”
“Jika Papa benar-benar mengusirku bagaimana?”
“Aku akan membawamu tinggal bersamaku.”
“Bagaimana dengan Mamamu.?”
“Mama akan senang menerimamu.”
“Tapi nanti pasti aku akan merepotkan kalian.”
“Bodoh...aku tidak suka kata-katamu. Jangan pernah bicara seperti itu lagi.!” aku menatapnya dan menganggukan kepalaku dengan cepat. Aku tahu dia peduli padaku. Aku tahu dia akan selalu ada untukku. Apapun yang terjadi nanti aku harus siap dengan resikonya.
*
Seperti biasa Jakarta selalu macet. Tora menghentikan motornya tepat di sebelah mobil sedan putih. Ku lihat ke depan sepertinya akan lama karena macetnya sangat panjang. Aku berusaha untuk tidak mengeluh karena selain percuma, mengeluh tidak akan mengurangi macet ini. Ku edarkan pandanganku melihat ke samping. Jantungku berdetak sangat kencang, mataku membesar melihat siapa pengemudi yang berada di dalam mobil sebelah kami. Kak Inka. Pelukanku semakin erat di pinggang Tora, aku meremas pakaian sekolahnya kuat-kuat. Sekarang aku benar-benar ingin mengeluhkan macet ini. Berharap kemacetan ini segera berakhir agar kami bisa cepat-cepat pergi dari sini. Aku segera mengalihkan pandanganku saat Kak Inka menoleh ke luar jendela mobilnya.
“Kenapa?” tanya Tora sambil menolehkan kepalanya ke belakang.
“Ada Kak Inka di mobil sebelah,” kataku berbisik kepadanya. “Jangan menoleh kesana,” kataku lagi sebelum Tora menolehkan kepalanya ke mobil yang di kendarai Kak Inka.
Akhirnya kemacetan ini berakhir juga. Tora segera melajukan motornya dengan kencang meninggalkan mobil Kak Inka jauh di belakang. Aku bersyukur karena kami menggunakan helm, jadi aku merasa yakin Kak Inka tidak akan mengenali. Sesampai di rumah aku segera meletakkan tasku di atas meja belajar, mengganti seragamku, kemudian menghempaskan tubuhku ke ranjang. Lebih baik aku tidur sebelum Kak Inka sampai. Saat ini aku belum siap bertatap mata dengan Kak Inka, aku harus menenangkan pikiranku dulu sebelum nanti bertemu dengannya, jadi jika dia bertanya nanti aku sudah siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Walalu aku yakin Kak Inka tak akan mengenaliku, tapi aku masih merasa ketakutan. Entahlah, semenjak kejadian kemaren aku menjadi parno terhadap kakakku sendiri.
Ceklek..
Aku mendengar seseorang membuka pintu kamarku. Aku yakin itu Kak Inka karena rumah sepi saat aku pulang tadi. Aku segera merapatkan bantal guling yang menutupi sebagian wajahku. Aku berusaha bersikap dengan tenang agar Kak Inka yakin kalau aku benar-benar sedang tidur. Saat aku mengintip dari celah bantal, ku lihat Kak Inka memegang tas sekolahku.
Deg..! Apa Kak Inka mengenali tas ku? Jantungku berpacu dengan kencang. Rasa takut kembali menguasaiku, namun aku tetap berusaha tenang dalam kepura-puraan tidurku. Ku rasakan tangan Kak Inka membelai rambutku dengan lembut, belaian yang penuh kasih sayang. Tangan yang selalu membelai rambutku. Tangan yang sering menyuapiku. Tangan yang tak pernah dengan kasar mendarat di wajahku. Hingga saat ini belaian tangan itu masih sama. Lembut.
“Kakak sayang sama kamu Dek,” kata Kak Inka lirih. “Kami semua sayang sama kamu, tapi kenapa......” ku dengar Kak Inka tak meneruskan kata-katanya. Tangannya masih membelai rambutku hingga ku rasakan sebuah cairan mengenai tanganku. Apa Kak Inka menangis? Batinku.
Sebuah kecupan mendarat di puncak kepalaku sebelum Kak Inka beranjak dari tempat tidurku. Setelah Kak Inka menutup pintu kamarku, aku tak kuasa lagi membendung air mataku. Tangisanku pecah seketika itu juga. “Maafkan Andri Kak..maaf...” hanya kata maaf yang keluar di sela isak tangisku. Aku benar-benar yakin Kak Inka sudah mengetahui semuanya.
**
Suasana meja makan masih seperti biasa. Papa yang membicarakan bisnis dengan Kak Inka sebelum berangkat ke kantor. Kak Hendra juga sibuk menjawab pertanyaan Mama mengenai kuliahnya. Aku segera mengambil posisi di sebelah Kak Hendra dan seperti biasa meminta satu suapan darinya sebelum mengambil sarapanku sendiri.
“Kapan kamu gedenya jika minta di suapi terus sama kakak-kakakmu,” kata Mama sambil geleng-geleng kepala. Papa hanya tersenyum melihat tingkahku.
“Andri kan udah gede Ma,” sungutku.
“Gede apanya, makan aja masih di suapi kayak anak-anak. Apa kamu nggak malu jika nanti pacarmu tahu?” Mama mulai menceramahiku.
“Kamu udah punya pacar Dri? Hebat kamu bisa ngalahin Kakak,” Kak Hendra ikut nimbrung.
“Kakak kan udah punya pacar, jangan pura-pura deh,” ledekku ke Kak Hendra.
“Kata siapa?” katanya sok polos.
“Andri pernah lihat kok Kak Hendra masuk bioskop sama seorang cewek. Dia bergelayut manjaaa banget sa....mmbb,” belum selesai aku bicara Kak Hendra segera membekap mulutku dengan tangannya. Sontak semua yang ada di meja makan tertawa melihat aksi kami.
“Papa tidak melarang kalian pacaran, tapi Papa tidak mau melihat nilai kalian jelek hanya karena pacaran. Terutama kamu Hendra, sebentar lagi kamu akan tamat. Papa nggak mau menerima karyawan yang nilainya pas-pasan,” tegas Papa.
“Siap Boss.!” Kak Hendra segera memberikan hormat kepada Papa. Aku senyum-senyum sendiri melihat Kak Hendra yang masih merona setelah rahasianya aku bongkar. Padahal aku sendiri juga punya rahasia dan takut Kak Inka membongkarnya, ckckck.
Aku merasa Kak Inka memperhatikanku, namun aku pura-pura sibuk dengan sarapanku tidak berani melihat ke arahnya.
**
Ku lihat teman-temanku tertawa lepas di bangku mereka. Aku membalas lambaian tangan mereka begitu aku melangkah masuk ke dalam kelas. Sepertinya ada berita bagus, mereka sibuk menggoda Reno yang wajahnya sudah seperti kepiting rebus. Aku yang tidak mau ketinggalan berita segera saja menjatuhkan pantatku ke tempat dudukku dan ikut bergabung dengan mereka.
“Sepertinya ada berita bagus nih,” kataku menghadap meja Andre dan Reno. Di sebelahku sudah duduk Doni dengan beberapa cemilan di tangannya.
“Yo’i Bro...barusan Reno mendapat jawaban dari Tiara kalo dia menerima cinta Reno,” kata Doni menjawab pertanyaanku.
“Wah selamat ya Ren, gue turut bahagia atas perjuangan lu selama ini. Akhirnya lu dapetin juga tuh cewek,” kataku memberi selamat kepada Reno.
“Hehehe makasih Dri,” kata Reno malu-malu.
“Berarti jam istirahat nanti bakal ada makan-makan nih buat ngerayain kesuksesan lu mendapatkan cewek cantik kayak Tiara,” kataku lagi sambil menaik turunkan kedua alisku.
“Pastinya Yank, si Reno harus mentraktir kita-kita nanti,” kata Andre menimpali. Aku segera menjitak kepalanya yang selalu memanggilku dengan sebutan sayang. Membuat yang lain tertawa, sementara Andre meringis sambil mengusap-ngusap kepalanya.
Kantin sudah mulai ramai oleh anak-anak yang mau mengisi perutnya, termasuk kami. Kami duduk di kursi panjang yang terletak di sudut kantin. Tora sudah mulai mau bergabung bersama teman-temanku, mereka juga tidak keberatan setiap kali aku mengajak Tora ikut bergabung bareng kami, walaupun Tora masih saja tak berbicara banyak dengan mereka namun mereka tak pernah mempermasalahkannya. Yah, Tora hanya menjawab satu atau dua kata saja, itupun jika mereka bertanya, jika tidak dia lebih memilih diam sambil sesekali menggenggam tanganku di bawah meja. Sampai sekarang mereka masih belum tahu mengenai hubunganku dengan Tora.
Aku masih belum siap menerima ledekan dari mereka, seperti yang sekarang mereka lakukan terhadap Reno. Apalagi aku pernah mengatakan kalau Tora cowok yang aneh, bisa-bisa ledekan yang ku dapat lebih parah lagi dari Reno. Mereka membuat Reno tak berkutik di depan Tiara, gadis yang baru saja menjadi pacarnya itu tampak tertawa mendengar celotehan Andre yang memberitahukan bagaimana Reno yang diam-diam mencuri pandang kepada Tiara selama ini, menceritakan bagaimana Reno galau setengah mati saat melihat Tiara di bonceng oleh cowok lain. Saat itu Reno benar-benar putus asa melihat kejadian itu, hingga Resti mencari tahu kebenarannya. Dan entah bagaimana caranya Resti mendapatkan informasi tentang cowok yang membonceng Tiara waktu itu, yang pasti Reno menjadi bahagia setelah Resti memberitahukannya kalau cowok itu adalah sepupu Tiara. Sejak saat itu kami terus mendukung Reno untuk lebih berani mengungkapkan perasaannya. Sekarang mereka sudah jadian dan terlihat rona-rona bahagia di wajah keduanya.
“Si Reno udah punya cewek nih, tinggal satu orang yang masih betah menjomblo.” Doni membuka perkacakapan.
Kami sudah duduk di bangku masing-masing menunggu jam istirahat berakhir 10 menit lagi. Doni yang duduknya agak jauh dari kami, sekarang memilih duduk di bangku yang terletak di samping meja Reno untuk bicara dengan kami yang duduknya memang sudah berdeketan.
“Nah lu benar Bro. Si manis belum ada pasangannya,” Andre membenarkan ucapan Doni.
“So, kapan lu mau pacaran lagi Dri?” tanya Doni kepadaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. “Atau lu mau kita cariin lagi?” tanyanya lagi. Mereka menatapku dengan intens.
“Apaan sih lu pake cariin gue segala,” kataku sedikit kikuk menjawab pertanyaan Doni.
“Kami kan pengen liat lu bahagia Dri. Kalo lu udah punya pacar kan kita bisa nge-date bareng juga,” kali ini Reno ikut menimpali.
‘Gue udah bahagia guys dan orang yang membuat gue bahagia sekarang ada di samping gue’, kataku dalam hati tanpa berani mengatakannya pada mereka.
“Mang harus nge-date bareng ya?” kataku mengerutkat keningku.
“Biar seru Yank,” kata Andre. Aku menjitak lagi kepalanya. Sementara Tora wajahnya sudah berubah mendengar kata sayang dari Andre barusan, hehehe gemes banget lihatnya.
“Gimana kalo lu PDKT aja sama Kak Wisnu yang Sekretaris OSIS itu, Dia kan suka sama lu Dri. Kemaren aja dia titip salam buat lu. Kentara banget loh dia sukanya sama lu. Gue yakin lu pasti beruntung dapetin dia, secara dia cakep, body bagus, tajir lagi,” Doni bicara panjang lebar tentang Kak Wisnu yang katanya suka sama aku.
Ku lirik wajah Tora sudah memerah mendengar celotehan teman-temanku ini. Terlihat dia sedang menahan emosinya. Semoga saja dia tidak melepaskan emosinya.
“Udah lu, lu pada gak usah mikirin gue dan gak usah pake comblang-comblangin segala. Gue masih bisa cari sendiri,” kataku cepat sebelum Tora benar-benar marah di sini.
“Atau lu pacaran aja sama Tora noh, kalian kan sering bareng sekarang. Lu juga homo kan Tor?”
Aku kaget mendengar kata-kata dan pertanyaan Andre barusan, jantungku berdetak kencang. Gugup. Ku perhatikan Tora, dia tidak kaget sedikitpun. Bahkan saat semua mata tertuju padanya meminta jawaban atas pertanyaan Andre tadi, dia bersikap seperti biasa tanpa ekspresi sedikitpun. Tenang. Aku tidak mengerti kenapa dia bisa setenang itu sementara aku yang duduk di bangku sebelahnya sudah gugup setengah mati.
“Iya, aku homo,” jawab Tora menatap Andre tajam.
Doni dan Reno memandang Tora tak percaya, mulut mereka berdua menganga, mata mereka tak berkedip. Seperti orang yang baru pertama kali mendengar pengakuan seorang homo. Padahal mereka sudah tidak asing lagi dengan yang namanya homo. Contohnya aku dan Kak Wisnu, mereka sudah lama tahu mengenai orientasi seks kami, tapi entah kenapa mereka bersikap seperti itu saat mengetahui kalau Tora juga seorang homo. Sementara Andre si pemilik pertanyaan senyam-senyum nggak jelas mendengar jawaban Tora barusan, ckck.
Jam istirahat sudah berakhir. Kami segera duduk dengan tertib saat Guru B. Indonesia kami, Bu Endah memasuki kelas. Aku bersyukur bel tanda masuk berbunyi hingga membuat percakapan kami berhenti. Aku lega. Namun aku yakin cepat atau lambat mereka akan mengetahui hubuganku dengan Tora. Jika saat itu tiba aku akan berterus-terang pada mereka.
*
[Kakak ada di depan sekolah kamu] bunyi sms dari Kak Inka.
Aku segera memberitahu Tora kalau aku tidak bisa pulang bareng dia karena Kak Inka menjemputku. Sampai di parkiran aku pamitan ke Tora dan segera menuju mobil kakakku. Setelah masuk kedalam mobil aku menoleh lagi ke arah Tora yang sudah berada di atas motornya. Ku lihat dia tersenyum. Senyum yang menenangkan.
“Kita cari makan dulu ya?” aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Kak Inka.
Aku mengikuti Kak Inka memasuki Mall FX Sudirman. Ternyata Kak Inka membawaku ke restoran Jepang Ichiban Sushie. Kami di sambut pelayan restoran yang sangat ramah. Di sini tempatnya juga nyaman. Tapi tempat favoritku dan teman-teman adalah Sushi Bar hehehe. Aku memesan Chicken katsu curry donburi dan Ice Lemonate, sementara Kak Inka memesan Salmon teriyaki bento set, minumannya sama denganku.
Saat menunggu pelayan datang membawa pesanan kami Kak Inka memandangku lekat. Aku tidak berani menatap matanya, mencoba mengalihkan pandanganku ke arah lain. Terlihat sepasang kekasih di sudut ruangan sedang memadu kasih saling suap-suapan. Haduuhh kenapa aku malah melihat penampakan seperti itu di saat seperti ini, ck.
“Kamu lagi liatin apa Dri?” tanya Kak Inka ikut mengarahkan pandangannya ke sudut ruangan. “Mereka mesra banget ya? Tak peduli dengan orang-orang di sekitar yang memperhatikan mereka,” lanjutnya.
“Iya,” kataku yang di tambah dengan sedikit senyum.
“Kamu kalau makan bersama pacarmu kayak itu juga nggak?” aku jadi salah tingkah mendengar pertanyaan kakakku ini. Apa Kak Inka sedang memancingku.
“Apaan sih Kak, ka...kami biasa aja kok pacarannya,” jawabku sedikit gugup. Aku yakin pasti wajahku sudah memerah sekarang.
Kak Inka tersenyum dengan tenang. “Kapan-kapan kenalin Kakak ya sama pacarmu?”
“I..iya.” aku menundukan wajahku pura-pura memainkan HP.
Kami makan dengan diam. Sesekali Kak Inka membicarakan pacarnya Kak Rio dan bulan depan Kak Rio mau membawa kedua orangtuanya, untuk membahas rencana pertunangan mereka. Terlihat wajah kakakku begitu bahagia saat menceritakan tentang kelanjutan hubungannya dengan kekasihnya itu. Aku turut bahagia mendengarnya karena sebentar lagi mereka akan bertunangan dan tentu akan berlanjut ke jenjang pernikahan mengingat mereka sudah cukup lama dekat. Padahal menurutku, lebih baik mereka langsung menikah saja tanpa harus bertunangan dulu. Tapi itu sudah keinginan mereka dan aku tidak mungkin ikut campur.
“Dek....kenapa kamu bisa suka sama cowok?” pertanyaan Kak Inka mengagetkanku. Tubuhku kaku memandang Kakak perempuanku ini. Kami sekarang sudah berada di parkiran, di dalam mobil Kak Inka.
“Ma...maksud Kakak?” sumpah aku benar-benar kelihatan gugup sekarang. Lebih tepatnya takut. Takut Kak Inka marah.
“Kakak sudah tahu semuanya kok. Waktu itu Kakak nggak sengaja melihat kalian ciuman di depan rumah, dan dua orang di atas motor yang berdiri di samping mobil Kakak kemaren itu kalian kan?”
Skak mat. Aku sudah menduga kakakku ini mengetahuinya dan kecurigaanku benar, Kak Inka melihatnnya. Dan tentu saja dia juga mengenaliku, walaupun wajahku di tutupi helm, tentu dia mengenali tas ranselku atau sepatuku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Hanya bisa mengangguk pelan dan menundukan wajahku. Ku genggam tanganku dengan erat tanpa berani menoleh ke Kak Inka yang sekarang duduk di belakang kemudi yang belum di jalankannya. Ku rasakan sebuah belaian lembut di kepalaku. Tangannya mengusap kepalaku beberapa kali membuat cairan bening yang dari tadi ku tahan jatuh seketika.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita ke Kakak?”
“Maafin Andri Kak...maafin Andri...ma..maaf Kak.”
Aku tidak bisa lagi menahan tangisku, aku terisak sambil terus meminta maaf berkali-kali tanpa berani menatap wajahnya. Bahkan saat Kak Inka memelukku.
Kak Inka mengusap sisa-sisa air mata di pipiku, menenangkanku meski hanya lewat senyuman. Aku menceritakan awal mula aku mengetahui tentang perbedaanku ke Kak Inka dan tentang ketakutanku. Dia mendengarkan dengan baik sambil sesekali mengusap air mataku yang masih saja jatuh, padahal aku sudah tidak terisak-isak lagi. Aku juga memohon ke Kak Inka supaya tidak memberitahu Mama dan Papa dengan alasan aku belum siap. Aku senang kakakku ini tidak marah setelah mengetahui pebedaanku.
“Udah, kamu jangan nangis lagi. Kakak nggak akan memberitahu Mama dan Papa. Tapi jika kamu sudah siap nanti, kamu harus memberitahu mereka.”
“Iya Kak. Tapi beneran Kakak nggak marah kalo aku berbeda?” tanyaku penasaran. Dia tersenyum dan mengacak rambutku.
“Kakak tidak marah, tapi rasa kecewa itu tentu ada. Adik yang Kakak sayangi ternyata lebih memilih menyukai cowok daripada cewek. Kakak tahu kamu pasti merasa takut, tapi sekarang kamu nggak usah takut. Dan kamu harus bilang ke Kakak kalau ada apa-apa. Kakak tidak mau kamu merasa sendiri karena perbedaanmu itu.” Aku mengangguk mantap mendengar kata-kata Kak Inka. Aku merasa beruntung memiliki Kakak seperti dirinya.
“Makasih ya Kak, Andri sayang Kakak.” Aku memeluknya dengan erat.
“Sama-sama sayang.” Kak Inka membalas pelukanku.
Kak Inka mulai menjalankan mobilnya dengan tenang. Akupun merasa tenang sekarang karena kakakku mau menerimaku. Semoga orangtuaku dan Kakak laki-lakiku juga mau menerima keadaanku kelak.