It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
emang jelas bedanya cerita yang keren sama ayng abal-abal :v
*tpi gk maksa hars komen ya. liat view yg udh nyampe 100 aka udah seneng bukan kepalang.
**sekian curcolannya
Selamat membaca.
Five – Aneh bag.1
~~~
Sore berlalu dengan cepat. Awan hitam bergelung memenuhi setiap jengkal langit. Gerimis turun membungkus kota saat lampu mulai dinyalakan satu per satu.
Pukul tujuh malam, jadwal makan malam Re bersama sang mama. Saat makan Re banyak melamun, tentu saja memikirkan kejadian tadi siang. Sibuk memikirkan perasaannya.
“Kalaupun dia tidak tahu kita menyukainya. Kalaupun dia tidak tahu kita menghabiskan waktu untuknya. Maka itu tetap cinta. Tidak berkurang se-senti perasaan tersebut.”
“Eh?” Re yang sedang melamun, menoleh menatap mamanya.
“Kamu lagi jatuh cinta, Re? Siapa cowok yang berhasil membuat anak mama yang cakep ini jadi melamun. Makanan spesial buatan mama pun sampe diabaikan.”
“Mama apa-apaan sih.” Re tersipu malu, karena sejak tadi mamanya memperhatikan dia terus.
“Yaudah kalau mama nggak dikasih tau.” Mamanya mengangkat bahu. “Mama mau ke rumah tetangga sebentar, kamu yang cuci piring ya Re.”
Re mengangguk mengiyakan, lalu meyendok makanannya yang semenjak tadi memang belum disentuhnya.
“Siapa cowok itu, Re? Cakep nggak?”
“Mama.”
***
Sudah sejak dulu, tepatnya saat Re kelas 3 SMP mamanya sudah tau bahwa dirinya seorang gay dan dia tidak mempermasalahkan hal itu. Karena banginya, mempunyai anak seperti Re adalah kebanggaan tersendiri.
Re segera membereskan meja makan, membawa piring dan gelas kotor.
Tanpa sengaja siku Re menyenggol gelas yang baru saja dicucinya. Prang! Pecahan gelas berhamburan dilantai. Re segera memunguti pecahan gelas itu, tapi karena kurang berhati-hati jari telunjuknya terkena salah satu pecahan gelas. Darah segar mengalir dari jari telunjuknya.
“Aw! Sial!” Erangnya.
Re segera mengambil kotak P3K yang berada dipokok ruangan. Namun, saat Re akan membersihkan darah dengan kapas.
“Lukanya…” Re terkesikap. Dilihat sekali lagi luka di jari telunjuknya dengan teliti.
“Bagaimana mungkin? Lukanya sembuh sendiri?”
Jari telunjuknya sudah sembuh seperti sedia kala. Benar-benar sembuh. Lukanya menutup sendiri. Berjuta pertanyaan kini memenuhi kepala Re.
‘Apa yang sebenarnya terjadi?’
***
(Bersambung…)
Nah lho! Re kenapa tuh??
Dari sini udah mulai jelaskan kalo cerita ini mengarah kemana? Tapi maaf klo kurang greget, maklum daya khayal penulis jauh dari patrick.
Masih penasaran? Trus pantengin ya, jangan lupa tinggalkan komen atau kritik.
Maaf klo ada typo
Hatur Nuhun:)
*special buat @lulu_75
Selamat membaca
Six – Aneh bag.2
~~~
“Selamat pagi, Re.” Tomi menyambut Re di kelas. Cowok itu sedang duduk sambil memainkan ponsel pintarnya.“Wah, ini rekor baru. Jam segini baru nyampe kelas. Telat lima menit, gerbang bakal ditutup.”
“Pagi, Tom.” Re menjawab pendek, menarik kursi, lalu duduk smabil melepas tas.
“Tidur nyenyak, Re?” Tomi kini meletakkan ponselnya, perhatiannya tertuju pada Re.
Re menghela napas pelan, menatap kosong kedepan.Re tidak bisa tidur semalam, siapa yang bisa tidur nyenyak setelah kamu mengetahui ada yang aneh pada dirimu.
“Lho, Re. Kok malah ngelamun?”Tomi menepuk bahu Re pelan.“Pagi-pagi udah melamun. Itu tidak baik.”
Re menggelang, tersenyum kecut.
“Tadi diperempatan jalan depan ada perbaiakan gardu listrik, jalanan macet. Terpaksa aku memutar jalan.” Re memanang telat karena diperempatan jalan ada perbaikan gardu. Sebenarnya bukan itu alasan dia telat. Tapi dia memilih menyembunyikan fakta sebenarnya.
“Pantas kamu telat, Re.” Tomi menyimpan ponselnya ke dalam tas. Lalu mengeluarkan buku catatan Bahasa Inggris.“Lupakan soal itu. Ada kabar baik, hari ini sekolah hanya sampai jam 11. Nah, berhubung jam 10 nanti ada ulangan Bahasa Inggris. Jadi, ajari aku bentar ya, Re?” Tomi memasang wajah memalasnya. Memohon.“Semua di kelas ini tau kalau kamu yang paling pintar pelajaran bahasa.”
Sejenak Re melupakan kejadian semalam, lalu fokus menjelaskan pelajaran Bahasa Inggris pada Tomi.
***
Pukul 11.05, pulang sekolah.
Re baru saja dari kantin sekolah, menikmati mie ayam kesukaannya.Sendirian.Ia sebenarnya akan mengajak Tomi, tapi cowok itu tiba-tiba pergi tergesa-gesa saat bel pulang berbunyi.
Re kembali melamun.Dibenaknya muncul pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya takut jika dirinya bukan manusia normal karena memiliki sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara logika.
Karena melamun, Re tidak memperhatikan jalan, akhirnya dia terpeleset saatmelewati undukan tanah.
“Aw! Sial!”Re merasa perih dibagian siku kanannya. Dan ketika dia melihatnya, ada luka gores disana.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanya sesorang yang mendadak sudah berada di belakangnya, nada dan aksen suaranya terasa familiar ditelinganya. Re menoleh dan menemukan sosok Rizki, yang entah sejak kapan sudah jongkok disamping dan membantu Re berdiri.
“Ada yang luka nggak?” Tanya Rizki. Ia melihat siku Re yang berdarah. “Kita ke UKS.”
“Aw… Aw… Sakit.” Re meringis menahan sakit saat Rizki menarik pergelangan tangannya yang sedikit bengkak, mungkin terkilir.
“Tangan kamu terkilir, Re?! Sakit?” Rizki melepas genggamannya, mimiknya cemas.
Re mengangguk, meringis menahan sakit.
Sesampainya di UKS, Re disuruh duduk diranjang. Beberapa menit kemudian Rizki sudah di depan Re dengan kotak P3K.
“Mana yang luka?”Tanpa sadar Rizki sambil kembali menarik pergelangan tngan Re yang terkilir.Namun, Re tidak meringis kesakitan.
Rizki terkejut melihat Re tidak beraksi ketika ia menarik pergelangan tangannya. Bengkaknya juga sudah hilang.
Re mengernyit sambil menatap Rizki.Dia segera memeriksa luka disiku. Luka gores itu sudah tertutup dengan sendirinya.
“Bagaimana mungkin?!” Tanya Rizki setengah berbisik sambil mengusap luka gores itu dengan kapas. Tidak ada bekas kecuali sisa darah.
Re tidak berkomentar. Dia juga bingung, ini yang kedua kalinya ia mengalami kejadian aneh seperti ini.
“Sepertinya nggak ada masalah.Tapi bagaimana bisa?” Bisik Rizki.
Re menarik tangannya dari genggaman Rizki dan turun dari ranjang.
“Ya sudah, kak.Makasih atas bantuannya.”Re langsung pergi, meninggalkan Rizki yang masih berdiri ditempatnya, memandang punggung Re yang menghilang dibalik pintu.
***
(Bersambung...)
~~~
Keesokan harinya Re menghindar untuk bertemu Rizki. Saat di kantin Re tak sengaja melihat Rizki, ia langsung menyingkir dari tempat itu, berusaha agar dia tidak melihatnya.
Tapi nasib baik tidak berpihak pada Re. saat pulang sekolah Rizki sudah berdiri di depan gerbang sekolah. Seperti menunggu seseorang.
“Re!” sahut Rizki, melambaikan tangan pada Re.
Re pura-pura tidak melihat, cuek, berjalan melewati Rizki seperti iatidak ada dia disana.
“Re tunggu!” Rizki mencengkram tangan Re.
Re segera menepisnya.“Maaf, kak.Aku buru-buru.”Re segera berlari meninggalkan Rizki.
Ketika Re kembali melewati perempatan jalan depan sekolahnya, disana masih ada perbaikan gardu listrik.Saat Re sedang sibuk memikirkan kejadian aneh yang terjadi pada dirinya.Salah satu petugas PLN berteriak panik.“AWAS!”
Re reflek menoleh. Belum mengerti apa yang terjadi, terdengar suara meletup dari gardu listrik. Beberapa petugas lain berlari menghindar, berteriak lebih panik. “Awas! Menhgindar!”
Sepersekian detik setelah teriakan itu, salah satu trafo menyusul meledak.Ledakan yang besar sekali hingga merontokkan satu tiang listrik.
Tiang listrik setinggi pohon kelapa itu berderak roboh.Arahnya justru menuju Re yang menatap kejadian dengan wajah bingung.Empat kabel terputus dari tiang, menyambar ke arah Re sebelum tiangnya datang.Mengerikan, seperti ada petir kecil merambat di kabel-kabel itu.
“LARI, RE!” Disana, berjarak sepuluh meter, Kak Ali dan Rizki berseru panik.
Terlamabat.Re hanya bisa lari pontang-panting tiga langkah saat dua kabel siap menghantam.Re terjatuh, menatap pasrah ke arah kabel.
Sebelum kabel itu sampai, Kak Ali justru mengangkat tangannya.Mengarahkan pada kabel.Dua meter, sebelum kabel itu menyentuh Re, tiba-tiba gerakannya terhenti. Dua kabel lain menyusul, bersiap menghantam, dan lagi-lagi kedua kabel itu berhenti bergerak.
Apa yang dilakukan Kak Ali? Empat kabel itu berhenti seketika saat Kak Ali mengangkat tangannya.Dengan jarak sepuluh meter, kabel itu menghantam tembok bersamanaan saat Kak Ali mengibaskan tangannya.Bagaimana bisa?
Tapi masalah jauh dari selesai. Sebuah tiang listrik raksasa berderak kencang.Tidak ada aliran listriknya, tapi itu jauh lebih dari cukup untuk menghancurkan atap dan tembok di sebelahnya.
Re gemetar menatapnya. Tiang listrik itu semakin dekat.
“Lari, Re!” Kak Ali berteriak panik.
Demi menatap tiang besar itu, Rizki berlari menghampiri Re, menyambar lengannya. Dia memasang badannya di depan Re. Memeluk Re yang jatuh terduduk. Berusaha melindungi. Tinggal satu meter lagi tiang listrik itu menghantam. Re refleks memeluk Rizki, matanya terpejam. Bersiap dengan segala kemungkinan.
Satu detik
Lima detik
Sepuluh detik.
Re masih memejamkan matanya. ‘Apa aku sudah mati? Tapi kenapa aku masih merasakan pelukan Kak Rizki? Hembusan nafasnya masih tersa.’
Perlahan Re membuka matanya. Dan dia dikejutkan dengan apa yang dilihatnya sekarang.
***
Tiang listrik itu berhenti, satu meter di depan Re. Sebelum menyentuh tubuhnya dan Rizki.
‘Apa ini perbuatan Kak Ali?’ Re menoleh ke arah Kak Ali. Bukan.Disana, Kak Ali juga terdiam seperti manekin. Matanya menatap ngeri ke arah dirinya dan Rizki.
Re melihat sekitar. Pecahan genteng dan tembok. Petugas PLN yang berlari panik. Semuanya berhenti.Bukan, lebih tepatnya waktu yang berhenti.
***
Re tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kak… A-apa y-yang terjadi?” Re menatap wajah Rizki, melepas pelukan.
“Yang penting kamu selamat, Re. Aku khawatir.Jangan tinggalin aku.” Rizki kembali memeluk Re, mengusap kepalanya, lantas terisak.
Re tertegun mendengar isakan Rizki. Tapi dirinya tidak melakukan apapun, membiarkan Rizki memeluk. Re merasa nyaman berada dipelukan Rizki, serasa aman.
Cukup lama mereka berpelukan, sampai akhirnya Rizki melepas pelukannya. Wajahnya memucat dan di dahinya keluar keringat.
“Kak, kamu kenapa?” Tanya Re khawatir.
“kemampuanku sudah sampai batas.” Suara Rizki terdengar parau. “Kita menyingkir dari tempat ini.Jangan sampai terkena pecahan genting atau dinding.”
Re mengangguk paham, ia segera beranjak menjauh. Sementara Rizki menghampiri Kak Ali lalu memegang bahunya erat-erat.
“Re! Rizki!” Seru Kak Ali setelah Rizki melepas genggamannya.
“Kami selamat, Al” Ucap Rizki terengah-engah.
Kak Ali sadar kalau saat ini Rizki sedang menghentikan waktu.
“Kak Ali. Kak Rizki. Sebenarnya apa yang terjadi?”Re menghampiri mereka berdua, meminta penjelasan.
“Nanti aku jelaskan, Re. Riz, kita balik sekarang.”
Rizki mengangguk dan mengulurkan tangan kanannya pada Re. “Pegang tangan aku, Re.” Re segera menerima uluran tangan Rizki sementara Kak Ali memegang bahunya.
Dan detik kemudian, tiang listrik itu menghantam tanah.Genteng dan dinding yang terkena hantaman berjatuhan. Petugas PLN panik berlarian, ada beberapa yang mengerang manahan sakit karena terkena runtuhan dinding. Debu bertebaran dimana-mana.Kejadian itu cepat sekali.
“Kita harus tinggalkan tempat ini. Ada petugas yang melihat Kak Ali mengendalikan kabel.” Suara khas itu terdengar dari belakang mereka.
Re, Rizki dan Kak Ali refleks menoleh. Tomi muncul dari balik debu, menatap serius.
“Ikuti aku! Aku tahu tempat yang aman untuk sembunyi.” Tomi berjalan gesit didepan lalu di ikuti Kak Ali.
“Kamu bisa jalan sendiri, Re?” Rizki bertanya memastikan.
Re mengangguk, segera menyusul Tomi.
***
(Bersambung...)
Maaf klo banyak typo
@RohmanPutra11 makasih banyak udah mampir
@imannuel film apaan itu? aku nggak tahu hehe
@lulu_75 diawal udah dijelasin klo mereka punya 'sesuatu', makasih udah mampir
makasih banyak atas kunjungan dan komentarnya, maaf klo ceritanya gini doang dan banyak typo ._. mau diedit tpi gk tau caranya? ada yg bisa bantu?
Selamat membaca!
~~~
Eight – Destiny
~~~
Tomi menuntun mereka ke ruang kesenian. Dia gesit mendorong pintu, dan segera menutupnya saat mereka sudah didalam.
“Ini hal gila yang pernah aku saksikan.” Tomi membuka tas ransel miliknya, mengeluarkan botol air minum. “Mau minum, Re?”
Re menerima botol air minum itu, menenggak beberapa teguk, lalu menyerahkannya pada Rizki. “Minum kak?”
Diluar keramaian semakin terang. Juga sirine mobil pemadam kebakaran.
“Kalian tahu ini, lebih keren dibanding film-film.” Tomi menatap mereka bergantian, tersenyum lebar.
Re mendecak kesal, apanya yang keren? Tadi kami hampir saja mati terhantam tiang listrik.
“Bagaimana kamu tahu kami ada dibelakang?” Rizki menatap Tomi, bertanya.
“Eh… A-anu.. Aku dua hari terakhir memang menguntit Re.” Tomi menjawab ringan, nyengir lebar, seperti tidak bersalah.
Re melotot, dia segera memiting tubuh Tomi. Kesal. Kak Ali melerai mereka. Tomi mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, masih dengan cengiran lebarnya.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” Re bertanya, dia masih menatap Tomi kesal.
“Aku sudah menghubungi Ayah. Dia akan membawa kita pergi.” Kak Ali menjawab sambil tangannya memasukkan ponsel kedalam saku celana.
“Tapi kita harus mengobati luka ditangan Rizki.” Kak Ali menunjuk luka ditangan Rizki.
Re menoleh kearah yang ditunjuk Kak Ali. Benar, ditangan kanan Rizki terdapat luka yang lumyan. ‘Apa karena tadi dia menolongku’ pikir Re.
“Kak…” Re meraih tangan Rizki yang terluka, dilihatnya dengan seksama, lantas Re mengusap luka itu dengan telapak tangan kananya. Ajaib! Cahaya biru keluar dari telapak tangan Re, merambat, menyelimuti luka ditangan Rizki. Dan perlahan luka itu menutup kembali.
Cahaya biru itu semakin terang, lantas perlahan memudar. Re menghembuskan nafas pelan.
“Hebat.” Mulut Tomi menganga menyaksikan kejadian barusan.
“Bagaimana kamu melakukannya, Re?” Kak Ali meghampiri, memeriksa luka ditangan Rizki. Lukanya sudah menutup, hanya menyisakan bekas darah.
“Entah. Tanganku refleks melakukan itu.”
“Terimakasih, Re.” Rizki menatap Re, tersenyum.
“Terimakasih juga karena tadi Kak Rizki udah nyelametin aku dari tiang listrik.” Re tersenyum.
“Hebat! Hebat, nak!” Sosok itu entah datang dari mana, tiba-tiba sudah berdiri didepan keempat remaja itu. Mengenakan seragam khas karyawan kantor.
“Ayah!”
“Om Bastian.”
Seru Kak Ali dan Rizki hampir bersamaan.
***
“Re.. Tomi.. Kenalin ini Ayahku.” Kak Ali memperkenalkan Ayahnya. “Ayah ini Re dan Tomi. Dia junior Ali di sekolah.”
“Om Bas, apa kabar?” Rizki menghampiri Om Bastian lalu mencium tangannya, diikuti Re dan Tomi.
“Kabar baik, Riz.” Om Bastian menepuk pelan punggung Rizki. “Jadi ini junior mu yang punya kemampuan langka itu?” Tunjuk Om Bastian ke arah Re, tersnyum ramah.
“Maaf semuanya. Tapi sepertinya kita harus segera pergi dari tempat ini.” Tomi angkat bicara. “Ada petugas PLN yang melihat Kak Ali mengendalikan kabel dan beberapa orang menuju kemari.”
“Terimakasih infonya, teman.” Tomi baru saja berbicara dengan lebah, bukan hanya satu tapi ada sekitar lima belas ekor lrbah terbang mengelilinginya.
“Ayah bisa bawa kita pergi?” Tanya Kak Ali dengan wajah panik.
Om Bastian mengangguk. “Semuanya berkumpul dekat Om.”
Setelah semua berkumpul, Om bastian memejamkan matanya lalu menjentikkan jarinya. Terdengar bunyi mendenging selama beberapa detik sebelum akhirnya mereka berlima secara tiba-tiba sudah berada disebuah ruangan. Ruang tamu. Ini didalam rumah.
“Wow!” Seru Tomi takjub.
“Kita ada dimana?” Re bertanya.
“Ini rumah Om Bastian.” Rizki menjelaskan.
“Ayo duduk dulu. Al, tolong ambilkan minum.” Om Bastian mempersilahkan, dia duduk di sofa kecil untuk sato orang. Tomi duduk disebelah kanan Om Bastian, sementara Re dan Rizki disebelah kiri Om Bastian.
“Om dengar tadi kalian dapat masalah. Re hampir terhantam tiang listrik. Bisa diceritakan sama Om?”
Re menoleh kearah Rizki, meminta pendapat. Rizki mengangguk setuju. Re menarik nafas perlahan, lalu mulai menceritakan secara detail dari awal.
Re mengakhiri ceritanya tepat setelah Kak Ali datang dengan nampan berisi lima gelas sirup.
“Itu keren, Re. Lebih keren daripada film-film yang pernah aku tonton.” Tomi menatap takjub.
Re hendak melempar Tomi dengan bantal tapi segera dicegah oleh Rizki.
Kak Ali menyikut Tomi yang berada disebelahnya. “Apanya yang keren, Tom? Re tadi hampir mati disengat listrik sekaligus ditimpa tiag raksasa.” Kak Ali menjelaskan tatapan garang Re.
“Eh?! Itu memang keren, kan?” Tomi nyengir menatap Re.
“Bisa om jelaskan semua hal aneh ini? Kenapa Kak Ali bisa menggerakan kabel? Kak Rizki bisa menghentikan waktu? Lalu om yang tiba-tiba membawa kita kesini?” Re bertanya tak sabaran, memilih mengabaikan Tomi.
“Wow.. wow.. satu-satu keleus nanyanya.”
Re membalas ucapan Tomi dengan bantal, kali ini dia melempar bantal tepat mengenai wajah Tomi.
“kamu ini kenapa, Re? Wajahku bisa nggak ganteng lagi.” Tomi malah bercanda, tertawa, membuat re semakin jengkel.
“Dan kamu, Tom. Tadi kamu bilang dua hari ini menguntitku.” Re menatapnya sebal.
“Dari awal kita kenal, aku sudah menguntitmu Re. Aku sudah bilang ‘kamu mirip denganku’.”
“Tadinya aku mau ngajak kamu buat ngebahas ini, Re. Aku, Ali, dan om Bastian, kami punya keanehan sepertimu. Bahkan Tomi, teman kamu juga sama. Kita disini sama Re.”
“Maksud, Kak Rizki?” Re menatap Rizki disebalahnya, masih bingung. “Maksudnya gimana sih kak? Aku nggak ngerti.”
“Kami mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki orang normal lainnya. Kami bisa melakukan sesuatu yang mungkin kelihatan aneh. “ Kak Ali menelan ludah. Jeda sebentar. “Seperti yang kamu lihat tadi. Aku bisa menggerakan kabel tanpa menyentuhnya.”
“Biar aku tunjukan sekali lagi.” Kak Ali menatap gelas yang ada didepannya lekat-lekat, mencoba berkonsentrasi. Dan sedetik kemudian gelas itu terangkat, melayang, kearah Re.
Re terbelalak menatapnya, dia mengucek matanya, tidak percaya.
“ ini disebut Telekinesis, kemampuan menggerakan benda tanpa menyentuhnya. Sekarang kamu nggak usah bingung lagi, Re.”
Re kemudian menatap Rizki. “Kalau kakak?”
“Chronokinesis. Aku bisa mengendalikan waktu sesuka hatiku. Mempercepat, mempeerlambat, bahkan menghentikan waktu bersama orang yang aku pegang.”
“Pantes aja Kak Ali dan Kak Rizki kalau main basket nggak ada yang bisa nandingin. Kak Ali menggunakan Telekinesis agar lemparannya bisa bertambah akurat, dan Kak Rizki sedikit menggunakan Choronokinesis biar gerakannya bertambah lincah.” Tomi menatap kedua kakak kelasnya, yang ditatap malah memegang tengkuknya, malu.
“Beneran itu, kak?”
“Iya, Re. Aku dan Rizki menggunakan 5% kemampuan kami, dan itu juga dapat persetujuan dari ayah aku. Kami tidak bisa memamerkan kemampuan kami ini didepan umum.”
“Kemampuan seperti ini benar-benar ada, Re. Ada yang sejak lahir dan ada juga yang dilatih. Kamu pernah liat orang yang membongkokkan sendok? Itu juga termasuk, tapi bedanya kita yang sudah ada sejak lahir tentu lebih ahli dana handal.”
“Kemampuan seperti ini disebabkan oleh faktor keturunan. Tapi kemampuan yang diperoleh tidak selalu sama. Contohnya om dan Ali, kemampuan kami berbeda. Om bisa melakukan Teleportation.” Om bastian ganti menatap Tomi. “Dan kamu, Tom. Om nggak nyangka kamu mempunyai bakat yang cukup unik diantara kami. Zoakinesis.”
Tomi senyum-senyum sambil memegang tengkuknya, malu mendapat pujian.
“Zoakinesis itu apa om?” Tanya Rizki.
“Kemampuan untuk berubah dan berkomunikasi dengan hewan.”
“Kemampuanku belum seberapa kok, om. Aku baru bisa berkomunikasi dengan hewan saja.” Tomi merendah.
“Teruslah berlatih, Tom. Tapi, sepertinya kamu punya bakat lainnya. Bisa om tau apa itu?”
Tomi mengangguk. “Aku bisa merasakan aura orang-orang yang memiliki kemampuan juga.” Tomi menatap Re. “Itulah Re, kenapa dulu aku diam-diam mengirimkan serangga untuk menguntitmu. Kamu mempunyai kemampuan melebihi kami. Kemampuan langka.”
“Kemampuan langka?” Re mengernyitkan dahinya, bingung.
“Itu benar, Re. kamu seoarang Vitakinesis, kamu bisa beregenerasi dan menyembuhkan orang lain. Itulah kenapa kamu bisa menyembuhkan Rizki. Ternyata manusia sepertimu benar-benar ada.” Timpal Kak Ali menatap takjub.
“Regenerasimu tidak ada batasnya, Re. jika kamu terluka sampai separah apapun, kamu akan tetap bisa melakukan regenarasi. Tapi kamu akan tetap merasakan rasa sakit, tapi itu tidak akan lama.” Om bastian menambahkan.
Re merinding saat om Bastian mengucapkan rasa ‘sakit’.
“Om nggak terlalu paham, tapi Vitakinesis itu kemampuan bawaan. Murni. Hanya lahir dari orangtua yang juga memiliki kemampuan Vitakinesis…”
“Tunggu..” Re memotong perkataan om Bastian. “om bilang kemampuan ini diturunkan dari orangtua yang juga seorang Vitakinesis.” Re memikirkan mama dan mendiang papanya.
“Mama kamu juga seorang Vitakinesis, Re.” Tomi menebak apa yang Re pikirkan. “Dan aku rasa mendiang papa mu juga sama-sama seotang Vitakinesis.”
“Seorang Vitakinesis bisa melakukan Regenerasi yang tidak ada batasnya. Dan itu bisa membuat pemiliknya hidup abadi.”
“Tapi kenapa dulu Papa juga ikut meninggal?” Re bertanya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Hmm.. itu..” Om Bastian hendak mengatakan sesuatu, tapi diurungkannya. Ini bukan saatnya anak ini tahu kejadain sebenarnya yang menimpa Papanya, pikir om Bastian.
“Papa..” Re terisak. Sungguh, Re sangat merindukan Papanya. Bayangan kecelakaan enam tahun lalu yang merenggut nyawa sang Papa. Mengingat hal itu membuat Re bersedih.
Semua yang ada diruang ini hening. Mereka mengerti apa yang dirasakan Re. Rizki memeluk Re, mengusap lembut kepalanya.
“Sudah, Re. nggak usah nagis lagi.”
Re yang sudah lebih tenang pun melepaskan pelukannya dari Rizki. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya, berharap perasaannya menjadi jauh lebih baik.
“Tapi ingat selalu pesan om, Re.” Om Bastian menatap Re serius. “Kamu memiliki kemampuan yang langka. Itu adalah takdir kamu menjadi seoarang Vitakinesis. Dan takdir kami sekarang adalah menjaga dan melindungi kamu.”
“Sekarang udah sore. Om harus antar kalian semua pulang.”
Om Bastian menganantar Re, Tomi dan Rizki pulang kerumah mereka masing-masing. Menggunakan mobil, om bastian hanay bisa melakukan kemampuannya pada tempat-tempat yang pernah ia kunjungi atau membayangkannya dengan batuan foto.
***
(Bersambung..) or The End??
Hallo semuanya, maaf klo updatenya lamaa banget. Lagi sibuk sama sekolah, akhir Juni nanti mau Ujian Kenaikan Kelas, doain ya.
Cerita ini bisa saja bersambung atau malah the end.
Kenapa??
Entah aku jga gk tau hehe.. Sebenarnya cerita ini udah aku tulis sampe chapter 10, tapi entah kenapa ngeliat cerita ini yang sepi, bawaannya jadi malas buat ngelanjutin nulisnya.. maaf ya semuanya, thanks yg udah ngikutin cerita dari awal sampe chapter 8 ini. thanks yg udah ngasih komentarnya, seneng rasanya ada segelintir orang yg mau baca cerita abal-abal ini. dan maksih banyak atas 270+ views
**mungkin klo ada waktu buat nulis bakal dilanjutin, tpi gk janji, ya.
Salam..
Fahmi Akhdan
Agak ragu buat ngelanjutin cerita ini, tapi rasanya aku punya tanggung jawab buat nyelesain cerita ini ampe tamat. Meski nggak ada yang baca, haha...
Yang masih penasaran sama petualangan Reven dan kawan-kawan. Monggo disimak, maaf kalau banyak typo.
Selamat Menbaca!
~~~
Semalam Re tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bahkan ia hampir tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian kemarin. Gardu trafo yang meledak. Kemampuan ‘aneh’ yang dimiliki Tomi, Rizki, Kak Ali dan Om Bastian. Tentang kedua orangtunya. Juga takdirnya sebagai seorang Vitakinesis.
Tapi untuk sekarang, lebih baik ia mengesampingkan masalah itu sementara. Ia harus bersikap wajar dengan orang-orang disekitarnya.
Setelah berpakaian rapih dengan seragam sekolahnya, Re segera menuju ruang makan dengan kepala tertunduk lesu.
“Pagi, Re. sini sayang, sarapan dulu.” Mama Re yang sedang menyendok nasi goreng diatas wajan.
Re melihat Mamanya tersenyum padanya. Mamanya selalu tampak bahagia, Re tidak pernah melihat mamanya bersedih kecuali saat kematian Papanya.
“Pagi juga, Ma.” Jawab Re. Ketika ia akan duduk dimeja makan, terdengar bel pintu berbunyi.
“Biar Re yang bukain pintu. Mama tunggu disini aja.” Re berlari kecil ke pinu depan dan ia terkejut melihat siapa yang membunyikan bel rumahnya.
“Kak Rizki.”
“Pagi Re. kamu sudah sarapan? Berangkat sekolah bareng ya.” Ucap Rizki dengan wajah tersenyum.
“Siapa yang datang, Re?” Mamanya menghampiri. “Eh?” Mamanya menatap Rizki, sedikit bingung.
“Ini Kak Rizki, Ma. Kakak kelas, Re. Kak ini Mamaku.” Re menjelaskan, memperkenalkan Kak Rizki pada Mamanya.
“Pagi tante. Maaf sudah mengganggu. Rizki menghampiri Mama Re, mencium tangannya.
“Pagi juga, Riz. Mau jemput Re?” Mama Re menatap Rizki sambil tersenyum.
“Tapi aku belum sarapan, Ma.”
“Masih pagi ini. Kamu sudah sarapan, Riz?” Tanya Mama Re.
“Rizki menggelang, tersenyum malu-malu. “Belum tante.”
“Yaudah, sarapan bereng kami.” Mama Re menggandeng tangan Rizki menuju meja makan dan mempersilahkan untuk duduk.
“Nasi goreng atau roti, Riz?” Tanya Mama Re sambil menuangkan segelas susu putih.
“Nasi goreang aja tante. Maaf kalau aku jadi negrepotin tante.”
“Nggak apa-apa, Riz. Justru tante senang. Sudah lama kami hanya sarapan berdua, pagi ini sarapan bertiga. Seperti dulu lagi. Sebelum Papa Re meninggal.” Mama Re tersenyum getir.
Rizki tertegun mendengar Mama Re. dia meresa bersalah, terlebih lagi ketika ia melihat Re mulai terisak.
“Kok malah jadi nangis gitu, sayang?” Mamanya menghampiri tempat duduk Re. “Kamu kenapa?”
Re cepat-cepat menghapus air mata dipipinya. Ia tidak ingin memendam segala hal yang selama ini disembunyikannya. Ini adalah saatnya re memberi tahu tentang apa yang terjadi.
“Ma, aku pengen kasih tau sesuatu sama mama.”
Mama Re memegang kedua tangannya erat, “Cerita sama Mama, Re. kalau ada masalah jangan dipendam sendiri, kan masih ada mama.”
Re menarik napasnya lalu menoleh pad Rizki kemudian kembali menatap mamanya. “Tolong mama jangan kaget.” Re melepas genggamannya, kemudian mengambil piring kosong didepannya lau beranjak menjauh . Dengan gerakan cepat Re menghantamkan piring itu ke keningnya.
PRAK!!! Piring itu pecah berkeping-keping membuat kening Re bercucurah darah segar.
“Re!” Rizki berteriak histeris.
Dalam sekejap luka dikeningnya mulai menghilang, menguap, menyisakanjejak darah yang mengalir.
Mama Re mengusap darah diwakah Re dengan tisu dan tersenyum pahit. Matanya berkaca-kaca, lalu kemudian ia mulai terisak, membuat Re ikut menitikan air matanya.
“Maaf, ma.” Re memeluk erat mamanya.
“Mama udah tau segalanya tentang kamu, Re. seharusnya mama yang minta maaf karena nggak cerita dari awal. Pasti kamu kebingungan karenanya.” Mama Re mengulum senyum sambil mengusap pipi Re.
“Sepertinya sekarang udah saatnya mama kasih tau tentang papa kamu.” Ujar mama Re.
Mata Re membulat, tentang papanya.
“Tapi bisa ceritain ke mama kapan kamu menyadari kemampuan kamu?”
Re menatap Rizki yang dari tadi berdiri tanpa bicara sepatah katapun. Lalu dia menceritakan semuanya, diawali dengan kejadian gelas pecah, gardu trafo yang meledak, Rizki yang menyelamatkannya, hingga penjelasan dari om Bastian.
Re mengakhiri ceritanya.
“Bisa mama ceritain semua yang mama tau?” Re menatap mamanya, memohon.
Mama Re tersenyum mengangguk. “semua yang dijelasin Om Bastian itu benar, Re.Mama juga kenal dia. Kamu, mama, dan papa kita adalah seorang Vitakinesis. Tapi kekuatan papamu jauh melebihi kekuatan kita berdua.”
Re mengangguk. Mungkin papanya mengembangkan kemampuannya dengan maksimal, mengingat kekuatan vitakinesis tidak ada batasnya.
“Papamu meninggal bukan karena kecelakaan. Tapi sebenarnya dia …” Ucapan mamanya berhenti.
“Papa kenapa, Ma?” Tanya Re tak sabar.
Re semakin penasaran dengan penyebab kematian papanya. Karena selama ini yang ia tahu papanya meninggal karena kecelakaan. Saat itu dirinya baru masuk SMP. Walaupun ia sendiri tidak tahu bagaimana kejadiannya, karena saatitu dia sedang bersekolah.
Mama re mencoba bersikap tenang. “Munhkin kamu tidak ingat ini Re, karena ingatan pahit itu sudah dihapus. Saat itu, kita sedang berlibur dipantai. Tiba-tiba ada beberapa orang datang entah dari mana, mereka menyerang kita. Mereka mengincar kekuatan kita.”
“Kenapa mereka mengincar kita ma?”
“Om bastian pasti udah kasih tau kan, seorang vitakinesis bisa abadi pada titik usia tertentu. Itulah sebabnya mereka ingin kekuatan kita.”
“Papa kamu sebenarnya sudah berumur seratus empat puluh lima tahun jika ia masih hidup sampai saat ini. Dan umur mama seratus empat puluh tahun.”
Pernyataan mamanya membuat Re syok. Jadi selama ini kedua orangtunya sudah hidup sangat lama. Dan ia baru tahu hal ini sekarang.
“Tapi kamu lahir enam belas tahun lalu. Umur kamu masih normal. Walaupun kami berusia ratusan tahun, kami masih tetap sama dengan kebanyakan manusia normal lainnya.”
“Lalu apa yang terjadi sama papa, ma?”
“Saat itu keadaan terdesak. Tapi kita berhasil kabur berkat bantuan dari Om Bastian dan teman-temannya. Walaupun kita selamat, tapi kamu terluka sangat parah Re. salah satu dari mereka berhasil melukai titik kelemahan kamu.”
“Walaupun bisa beregenerasi tapi seorang vitakinesis juga mempunyai titik kelemahan dimana dibagian tubuh tertentu dia tidak bisa menyembuhkan lukanya. Posisisnya berbeda-beda setiap pemilik, dan titik kelemahan kamu ada disini, Re.” Mama menunjuk bagian kiri ginjal Re.
“Papa mencintai kamu lebih dari apapun didunia ini. Dia tak tega melihat kamu yang sedang sekarat. Papa mengerahkan semua kemampuannya untuk menyelamatkan kamu. Tapi konsekuensi yang harus diterima, papa kehilangan nyawanya…”
Re tersentak. Jadi, selama ini papanya meninggal karena untuk menyelamatkan hidupnya. Dan bukan karena kecelakaan seperti yang ia tahu selama ini.
“Tapi tante bukankah seorang vitakinesis bisa menyembuhkan orang lain, meski lukanya sangat parah? Kenapa Om malah meninggal?” Tanya Rizki.
“Memang benar, Riz.” Mama re mengangguk. “Tapi ada satu benda yang menjadi kelemahan kami, benda itu bisa menahan kekuatan kami untuk beregenerasi. Itu adalah kristal merah…”
“Kristal merah?!” Ucap Re dan Rizki berbarengan,
“Iya, kristal merah. Benda itu adalah kelemahan kami dan orang yang melukai Re itu dia menggunakan kristal merah sebagai senjatanya.”
“Tapi kenapa aku nggak inget sama sekali kejadian itu, Ma?” Re bertanya bingung.
“karena setelah itu kamu koma selama tiga tahun, dan ketika kamu sadar mama meminta bantuan Julia, isteri om Bastian. Dia mempunyai kemampuan memanipulasi ingatan. Mama memintanya untuk menghapus ingatan kamu saat itu dan menggantinya dengan ingatan buatan.”
“Kenapa mama ngelakuin itu?”
“Karena mama ingin kamu melupakan kejadian itu Re dan tumbuh dengan bahagia. Itu juga adalah pesan dari papa sebelum meninggal.”
Re kembali memeluk mamanya erat. Re menangis dipelukan mamanya. Ia sangat memnyayai mamanya lebih dari apapun didunia ini.
“Re sayang mama!” jerit re desela tangisannya.
“Mama juga sayang kamu, Re!” Balas mamanya sambil mengecup kening anak lelaki satu-satunya yang menjadi harta paling berharga didunia ini.
“Sepertinya kita kehilangan waktu 20 menit untuk membahas ini. Kamu harus segera berangkat Re.” Mama melepas pelukannya. “Nggak sempet sarapan. Mama siapin bekal buat kamu dan Rizki.”
“Emm.. Kita masih bisa sarapan kok tante.” Ucap Rizki. “Kalian perhatikan jam didinding.”
Re dan Mamanya menatap jam didinding sesuai dengan perintah Rizki. Lalu detik berikutnya jarum jamnya berhenti berdetak. Semuanya berhenti termasuk kebisingan diluar sana.
“Chronokinesis.” Ucap mama Re takjub.
Re sadar kalau saat ini Kak Rizki sedang menghentikam waktu. Namun kenapa dia dan mamanya masih bisa bergerak.
“Eh, bukannya kakak bisa melakukan hal ini bersama orang yang kakak sentuh?” tanya Re
“Ini berkat kamu Re. setelah kamu menyembuhkan lukaku kemarin, entak kenapa kakak seperti merasakan kekuatan kakak meningkat.”
Re menatap mamanya, meminta penjelasan.
“Mungkin kamu mentransfer kekuatan kamu ke Rizki, Re. Itu juga salah satu kemampuan kamu. Yaudah, mending kita sarapan dulu.” Mama menggandeng tangan Re dan Rizki menuju meja makan.
***
“Makasih, Kak.”
Rizki mengangguk, lalu mematikan mesin motornya. “Pulang nanti kakak anterin lagi, mau kan?”
Tentu saja saja Re mau, tapi dia menyembunyikan wajah antusiasnya.
“Em.. Asal nggak ngerepotin kakak aja.”
“Aku nggak masalah kalau direpotin kamu.”
“Eh?” Re menatap bingung.
“Haha.. jangan terlalu dipikrkan. Sana masuk kelas.” Tawa Rizki sambil mengacak lembut rambut Re.
Re langsung menuju kelasnya, X-1, yang sekarang berada dilantai dua. Wajahnya memanas.
“Sejak kapan, Re?” Tomi bertanya saat Re baru saja duduk dikursinya.
Re mengernyitkan keningnya. Menatap bingung kearah Tomi. Maksudnya?
“Sejak kapan kamu dan Rizki pacaran?!” bisiknya, lalu ngenyir lebar, mengkerlingkan sebelah matanya.
Re terkejut mendengar pertanyaan Tomi barusan. Jika Tomi menyimpulkan hal itu, berarti dia sudah tau kalau re adalah seorang penyuka sesama jenis.
“Nggak usah takut, Re. kamu itu teman aku dan aku akan selalu mendukung kamu.” Tomi menepuk bahu Re pelan.
“Nah, kembali ke pertanyaan tadi.”
“Kami nggak pacaran, Tom.” Re menjawab jujur. Ya, sekarang kita tidak pacaran, tapi mungkin suatu hari nanti. Batin Re setengah beroa.
“Kalau nggak pacaran, kenapa wajahmu merona begitu, Re?” Tomi tertawa, asik menggoda Re.
Tak lama bel masuk berbunyi, disusul dengan Bu Hartati—guru kimia, yang sudah masuk kedalam kelas.
***
Hingga bel pulang berbunyi, Tomi masih asik menggoda Re. Membuat re jadi salah tingkah saat bertemu dengan Rizki di kantin.
Lapangan sekolah dipenuhi anak-anak yang baru saja keluar dari kelas. Juga lorong kelas dan anak tangga. Suara mereka bagaikan dengung lebah mengisi langut-langit.
“Hei, Re! Tunggu sebentar!” Tomi meneriaki Re. kerumunan anak yang hendak mnuruni tangga membuatnya terhambat.
Re menoleh sekilas, tidak tertarik melihat Tomi mengejarnya, tetap berjalan santai.
Tomi berhasil berlari mengejarnya, menutup jalan didepan. Napasnya menderu.
“Ada apa, Tom?” tanya Re santai.
“kamu marah, Re?”
“Buat apa aku marah. Kaya yang kurang kerjaan aja.”
“Beneran kamu nggak marah.” Tomi meyelidik.
“Ya ampun, Tom. Semenyebalkan apapun kamu, aku ini bukan orang yang pendendam.”
“Hehe.. Thanks ya.” Cengir Tomi. “Kantin yuk? Aku traktir.”
“Eh.. aku.. aku…” Re mencoba mencari alasan. Bukan apa-apa. Tadi dia sudah berjanji untuk pulang bersama Rizki.
“Kak Rizki belum kelaur dari kelasnya.” Tomi mencolek pinggang Re, mengkerlingkan matanya.
“Tomi!” Desis Re sebal.
“Haha.. Maaf, Re. udah yuk kantin aja sambil nunggu.” Tomi menyeret tangan Re secara paksa menuju kantin.
Tomi memesan semangkok soto ayam—untuknya, dan semangkuk mie ayam—untuk Re, juga dua gelas jus alpukat. Re senang-senang saja ditraktir Tomi.
“Kamu udah cerita ke mama kamu Re?” Tanya Tomi sambil mengambil sambal.
Re tidak menaggapi perkataan Tomi, lebih tepatnya tidak mendengarkan. Sibuk menatap layar handphonenya.
“Kenapa, Tom?” Re mengantongi handphonenya. Lalu mengaduk mie ayam dihadapannya.
“Boleh aku pinjam hpmu Re?” Tanya Tomi sambil ber-hah kepedasan, mungkin karena dia menambahkan sambalnya cukup banyak.
Re menyerahkan handphonenya, lalu sibuk menghabiskan mie ayam.
“Hallo.” Tomi sedang menelepon seseorang.
“…”
“Ini aku Tomi.”
“…”
“Ini pake nomer Re.”
Re masih berkonsentrasi menghabiskan mie ayamnya, memilih mengabaikan Tomi.
“…”
“Kami ada dikantin sekolah.”
“…”
“Oke. Aku tutup ya. Bye kak Rizki.”
Re menatap Tomi, barusan dia menelepon siapa? Kak Rizki?
“nah Re. nggak usah cemas lagi. Kak Rizki ada di lab.biolagi. sebentar lagi keluar.” Tomi menyerahkan handphone Re. “Udah aku save nomor kak Rizki.”
“Tomi!” Re mendesis sebal.
“Sama-sama, Re.”
***
Tak lama setelah Re dan Tomi menghabiskan makananya. Rizki datang bersama kak Ali. Dia duduk disebalah Re sementara Kak Ali disebelah Tomi.
“Maaf lama, Re. tadi aku bantuin orang itu di lab.” Tunjuk Rizki ke kak Ali.
Yang disebut malah terkekeh.
“Nggsk apa-apa kok, kak.”
“sekarang baik-baik aja. Tadi cemas menatap hp. Haha…” Tomi tertawa, menggoda Re.
Re mendesis sebal, menatap Tomi, ‘Awas kau, Tom.’
“Sama saja dengan Rizki. Tadi dia juga cemas ingin cepat-cepat keluar dari lab.” Kak Ali menggoda.
Rizki melempar kak Ali dengan sedotan. Menatap sebal.
“sepertinya disini ada aura orang yang jatuh cinta. Tapi masih malu-malu.” Lanjut kak Ali menggoda Rizki dan Re.
“Kita pulang saja, udah sore.” Rizki berdiri.
“Kamu mau pulang bareng aku, Re?” Tanya Tomi.
Kak Ali menepuk bahu Tomi, “kamu ini bagaimana Tom?! Tentu saja Re akan pulang dengan Rizki.”
“kalian semua menyebalkan.” Rizki mendesis sebal, lalu menggandeng tangan Re meningalkan kantin diiringi godaan dari Tomi dan Kak Ali.
***