It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
~~~
“Mampir dulu, kak.” Tawar Re saat sudah sampai didepan rumahnya.
Disaat yang sama sebuah mobil berhenti didepan mereka, seorang wanita paruh baya turun, dia Mamanya Re, masih mengenakan seragam kantornya.
“Selamat sore tante.” Rizki segera menghampiri dan menyalami tangan mama Re.
“Sore juga, Riz. Nganterin Re lagi? Nggak ngerepotin apa?” Tanya Mama.
“Nggak kok, tan. Kebetulan rumahnya juga searah.”
“Mampir dulu, Riz. Pasti kamu belum makan kan? Ayo kita makan bareng.”
Rizki menatap Re, meminta persetujuan. Re hanya mengangkat bahunya.
“Re ini jago masak lho. Kamu harus coba masakannya.” Tanpa menunggu jawaban dari Rizki, Mama langsung menggandeng tangan Rizki, menyeretnya masuk kedalam rumah.
Re begitu bersemangat saat memasak menu kesukaan Rizki. Bicara tentang Rizki, sekarang dia sedang berada diruang tengah, mama mengajaknya mengobrol. Sayup-sayup Re bisa mendengar suara tawa Mamanya saat Rizki menceritakan hal yang lucu.
Kurang dari satu jam masakan Re sudah tersaji dimeja makan. Re segera memanggil Mamanya dan Rizki untuk bersiap menyantap hidangan. Mereka menghabiskan makanan diatas piring dengan bercakap-cakap ringan. Masakan Re memang lezat, terbukti dengan Rizki yang begitu lahap meghabiskan menu dipiringnya. Re sangat senang kakak kelasnya itu menghabiskan masakan buatannya.
Pukul setengah tujuh, Rizki pamit pulang. Mama mengantarnya sampai halaman, bilang hati-hati dijalan. Re segera membereskan piring gelas kotor setelah motor Rizki menghilang ditikungan.
“Ternyata…” Wajah Mama terlihat menahan tawa, menghampiri Re yang sedang mencuci piring.
Re mengernyit menatap mamanya, bengung.
“Dia tampan dan sopan sekali lho, Re. Pantas saja…” mamanya tertawa, menggoda.
“Mama!” Wajah Re sudah bersemu malu.
***
Pukul delapan malam. Handphone Re berdering, ada panggilan masuk, Nama Rizki terpampang dilayar. Dengen jantung berdebar Re segera menjawab panggilan Rizki.
“Hallo, kak.” Sapanya langsung.
“Iya. Hallo, Re.”
“Ada apa ya kak?” Tanya Re.
“Umm.. Nggak ada apa-apa, Re. Aku cuma mau nelpon kamu doang. Hehe..”
“Oh, hehe. Kirain ada apa.”
“Re?!”
“Iya kak.”
“Umm.. masakan kamu enak banget, hehe.”
“Makasih kak. Nanti aku sering masakin buat kakak aja kalau gitu.”
“Beneran?! Duh senengnya.”
Tentu saja Re juga senang memasak untuk Rizki.
“Re?!”
“Iya kak”
“Umm.. B-besok kamu ada acara?”
Besok adalah hari minggu, libur sekolah.
“Nggak ada. Kenapa ya kak?”
“Eh.. M-mau menemani keliling kota?”
Re masih mencerna perkataan Rizki barusan. Memastikan kupingnya tidak bermasalah.
“Tapi kalau kamu sibuk nggak apa-apa kok.” Rizki langsung bersuara setelah lima detik tidak ada jawaban dari Re.
“Emm… M-mau kak.” Jawabnya malu-malu.
“Beneran Re?” Sura Rizki terdengar antusias. “Oke! Besok aku jemput ke rumah ya?”
“Oke kak.”
“Sampai jumpa besok, Re. Selamat malam.”
“Malam juga, kak.”
Klik. Telepon ditutup.
Dari jarak yang saling berjauhan, Re dan Rizki saling bersorak senang. Mereka sudah tidak sabar lagi menunggu esok hari.
***
Esok harinya…
Re bangun lebih awal. Riang menghabiskan sarapannya. Mamanya menatap bingung, tidak biasanya Re bersikap begini saat sedang hari libur.
Jam 09.00
Re sedang duduk didepan rumahnya, menunggu Rizki yang akan menjempunya jam 09.00. tapi sebenarnya dia sudah berada disana sejam yang lalu. Bolak-balik kekamar madi untuk sekedar mencuci muka atau merapihkan anak rambut didahi. Susah memang kalau punya rambut yang tidak berpenderian, meski sudah dipakai gel tapi tetap saja posisinya berubah.
“Re!” suara mama mengagetkan dirinya.
“Eh?! Iya ma, ada apa?”
“Sukses ya?” mamanya tersenyum lebar.
“Sukses?!” tanya Re bingung.
Bunyi klakson motor mengalihkan perhatian Re. rizki sudah datang. Tampak gagah dengan kemeja biru dibalut jaket dan celana jeans.
“Re pergi dulu ya ma.” Pamit Re, wajahnya menunduk, menyembunyikan rona bahagianya.
“Sukses kencan pertamanya.” Seru mamanya yang cukup terdengar ditelinga Re juga Rizki. Membuat keduanya bersemu malu.
***
“Sekarang kita mau kemana?” Rizki melirik Re lewat kaca spionnya.
Jalanan lumayan padat, motor yang dikendarai Rizki gesit menyalip kendaraan didepannya.
“Terserah kakak. Kan guide-nya kakak.” Re tersenyum, balas menatap Rizki.
“Eh, maksudku, mungkin kamu mau liat sesuatu, Re.” Rizki melempar pandangannya kedepan, salah tingkah melihat senyum manis Re.
“Hmm… Apa ya? Bagaimana kalau kita ke tugu khatulistiwa daket jembatan besar itu? Aku belum pernah kesana. Kakak pernah?”
“Oke kita kesana saja.” Rizki menjawab riang, mempercepat laju motornya.
“Ternyata hanya tugu.” Re menghela napas, limabelas menit kemudian.
Rizki tertawa. “Namanya juga tugu, tentu saja hanya tugu.”
Tetapi Re tetap senang. Dia asik membaca catatan yang berserakan ditembok, memutari tonggak tugu, berkeliling seperti turis.
“Mau mendayung kano, Re?” Tawar Rizki.
Tak jau dari tugu terdapat boat house yang menyewakan kano untuk umum.
“Boleh kak.” Jawab Re riang.
Beberapa orang dengan baju pelampung oarange sudah mengayuh kano sewaan. Terlihat pula beberapa anak muda dengan pangkal lengan besar berseraham tim perahu dayung menjunjung perahu besar mereka masuk ke sungai.
Mereka mulai mendayung pelan di air yang tenang melintasi sisi sungai, duduk berhadapan. Beberapa ekor ikan yang tampak dipermukaan segera menjauh dengan mata curiga. Re tertawa melihat tingkah ika-ikan itu.
“Jangan takut, nggak akan digoreng kalian.” Re tertawa.
“Coba ada Tomi, suruh dia bicara dengan ika-ikan itu, mungkin mereka mau mendekat.” Rizki mecipratkan air kearah ikan-ikan tadi.
“Kak”
“Re”
Ucap mereka hampir bersamaan.
“kamu duluan, Re. Ada apa?”
“Eh.. Em, sejak kapan kakak sadar sama keanehan yang kakak punya itu?”
Rizki tersenyum memandang Re. “Saat aku masih berumur duabelas tahun, waktu itu aku selalu membayangkan enaknya hidup jika bisa mengendalikan waktu, bukan kita yang dikendalikan oleh waktu.”
Kano mereka melewati sebuah perahu yang berisi remaja perempuan. Beberapa dari mereka senyum-senyum kearah Re dan Rizki, bahkan ada yang sampai berteriak histeris. Re menatap sebal kearah mereka.
“Suatu hari aku iseng memainkan bola kasti, melempar-lemparkannya ke udara sambil berkata ‘berhenti’. Ajaib, tiba-tiba bolanya berhenti diudara, tepat didepan wajahku. Bukan hanya bolanya tapi semua yang ada disekitar juga ikut berhenti bergerak. Kejadian itu nggak berlangsung lama.”
“Apa orangtua kakak tau hal itu?”
“Iya, Re. semenjak kejadian itu aku jadi bingung. Memang keliatannya mengasikan, tapi lama kelamaan aku juga jadi takut. Aku coba memberanikan diri bercerita ke Papa dan Mama, dan respon mereka sungguh mengejutkan.”
“Apa mereka juga punya kemampuan?”
Rizki mengangguk. “Mama punya kemampuan menghilang, aku hampir pingsan saat mama menunjukan kemampuannya.” Rizki tertawa mengingat kejadian enam tahun lalu itu.
“Biar aku tebak, papa kakak pasti seorang chronokinesis juga kan?”
“Yups, papaku hampir ke tingkat akhir. Dia bahkan bisa melompati waktu untuk pergi ke masa lalu atau masa depan.”
“Apa nggak ngerubah sejarah?”
“Kami para chronokinesis juga punya aturan, Re. sebenarnya tidak semua bisa mencapai tingkat akhir, hanya sebagian orang yang terpilih.”
Kano yang mereka tumpangi hampir sampai ke seberang sungai, dimana disana mereka harus memutar balik ke tempat penyewaan tadi.
***
Jam menunjukan angka 12.30, saatnya makan siang. Rizki mengajak Re makan ditempat spesial, restoran terapung. Kapal besar yang disulap menjadi restoran. Meja-meja tersusun rapi dibawah atap perahu.
Disana mereka disambut oleh seorang pria paruh baya, Rizki langsung memeluk pria itu, terlihat akrab. Sepertinya mereka sudah saling mengenal, batin Re.
“Oh iya om, kenalin ini temen aku. Namanya Reva, tapi panggil Re saja. Re ini om Richard, adik bungsu dari papa.”
Re tersenyum hangat menerima uluran dari pria yang tenyata adalah omnya Rizki.
“Hallo, Re!” Bisik sebuah suara yang terdengar ditelinga Re. Suara om Richard, padahal dia sama sekali tidak membuka mulutnya. Tapi suaranya begitu jelas.
Re celingak-celinguk. Tiba-tiba bulu kuduknya menjadi merinding.
“Kenapa Re? Kok kaya ketakutakan gitu, hehe.”
Suara itu lagi, dan om richrad tidak terlihat membuka mulutnya.
“Udah om jangan bikin Re ketakutan gitu.” Rizki menatap om Richard. “Re om ku ini bisa melakukan telepati. Kalau lagi kumat, dia emang suka jahil.”
“Hehe.. Maaf, Re. Om nggak ragu pake kekuatan om, kerena om yakin kamu juga punya kemampuan unik ini.”
“Oh jadi tadi itu ulah om. Aku udah merinding gitu.” Re tertawa, mengerti.
“nah om, kalau Re dia itu seorang vitakinesis.”
“Wah! Suatu kebanggan ketemu sama kamu Re. Om kira vitakinesis itu hanya kemampuan mitos saja.” Om Richard menatap takjub.
“Tapi kemampuanku belum seberapa om.” Jawab Re malu-malu.
“engg, kita ngobrolnya sambil duduk aja ya om dimeja yang aku pesen kemarin.” Potong Rizki.
Om Richard menuntun Re dan Rizki ke salah meja dekat dengan jendela yang menghadap keluar, pemandangan sungai dan segala aktivitasnya terlihat, juga suasa kota. Cukup stategis.
Hujan gerimis, petugas restoran terapung membagikan menu makanan. Rizki yang memilih, Re hanya menurut saja. Meja-meja lain sibuk dengan percakapan, diselingi suara sendok dan garpu. Harum aroma masakan terasa nikmat.
Re dan om richard cepat akrab. Mereka terlibat obrolan seru, membahas hobi mereka yang sama. Kadang Rizki nyeletuk bicara, membuat suasa menjadi tambah hangat.
“Om tinggal kalian dulu ya. Jangan sungkan-sungkan kalau mau nambah, buat kamu gratis hari ini.” Ucap Om Richard.
“Beneran, om?” Seru Rizki antusias.
“Kalau kamu tetap harus bayar. Haha..”
“Om tinggal dulu, nggak mau ganggu pasangan yang lagi kasmaran.” Telepati om Richard pada Rizki dan Re.
“Nah Riz, kamu masih ingat tips dari om kemarin. Tips sukses kencan pertama?! Om pergi dulu.” Om richard tersenyum lebar, mengkerlingkan matanya. Membuat Rizki jadi salah tingkah. Sedangkan Re hanya tertunduk malu.
“Om Richard orangnya asik.” Ucap Re setelah mereka terdiam cukup lama.
“Ya, tapi kadang menyebalkan.” Desis Rizki.
Pesanan diantar sepuluh menit kemudian.
“Ini menakjubkan kak.” Re mengerjap-ngerjap, mengunyah makanan sambil menatap tepi sungai. Tetes air hujan membuat suasana terlihat takzim.
Rizki tersenyum, mengangguk. Padahal dia sudah terbiasa dengan pemandangan diatas kapal ini. Setidaknya ditambah bersama Re, itu lebih dari cukup untuk bilang menakjubkan.
Om Richard yang melihat mereka dari jauh tersenyum. Ah, anak muda.
***
Langit sudah terlihat merah, saat Rizki mengantar Re pulang.
“Makasih, kak.” Ucap Re sambil menyerahkan helm. Rizki membalas sengan senyuman.
“Mau mampir dulu?”
“Makasih, Re. lain kali saja.” Tolak rizki halus sambil menstrater motornya.
“hati-hati, kak.”
“Re!” Panggil Rizki saat Re akan membuka pintu pagar.
“Iya, kak?!”
“Hmmm… makasih buat hari ini. Aku seneng sepanjang hari ini.”
“Aku juga seneng, kak.” Balas Re.
“Aku pergi dulu, Re. sampai jumpa besok.”
Re melambaikan tangannya. Menatap punggung Rizki yang menghilang dibalik tikungan. Setelah itu dia segera masuk kedalam rumah dengan hati berbunga-bunga.
Tanpa Re sadari, dari jauh ada seseorang yang tengah memperhatikannya. Orang itu dari pagi sudah menguntitnya. Ditangannya memegang sebuah kamera dengan foto-foto Re.
“Tidak salah lagi, tuan. Dia adalah orangnya.” Ucapnya pada seseorang melalui telepon.
“…”
“Baik, tuan. Saya akan terus mengawasinya.”
Klik. Telepon ditutup.
Orang itu masih menatap rumah Re. lalu ditangannya mengeluarkan api.
***
Makasih udah mau baca..
Salam,
Fahmi Akhdan