It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Terlebih dahulu gue mau minta maaf sama antum semua yg komentarnya nggk gue balas satu-satu. Jahat banget gue yes. Semoga masih ada yg ingat cerita gue atau syukur2 masih ada yg menantikan kelanjutan dari After You Go.
Maybe gue mau ngasih pengumuman ke antum semua kalo After You Go udah ada di wattpad, jadi bagi antum yg kesusahan buat masuk bf, udah bisa baca di wattpad dg judul yg sama. Kemudian untuk update di bf InsyaAllah akan gue lanjutin secepatnya, doain aja ya. Jadi mungkin gue akan prioritaskan di Wattpad. But gue ttp update di bf kok dg harapan bf masih ttp hidup dg ttp adanya orang yg ngaksesnya buat baca cerita. Tpi ya mungkin pas opmin gue nggk bermasalah, karena gue biasanya update lwt opmin.
Mungkin itu aj pemberitahuan gue yg nggk penting ini. Gue mohon maaf dg kekurangan gue yg nggk dpt update ky dulu lagi.
Salam...
Aku menutup pintu kamar sambil meletakkan tasku yang kosong itu di sudut ruangan. Senyumku mengembang ketika mengetahui bahwa hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semester, menandakan bahwa liburan akhir tahunku akan segera di mulai. Aku melemparkan sepatu pemberian Reza ke sembarang arah sambil berlalu duduk di ranjang melepas kepenatanku berkutat dengan soal ujian beberapa minggu ini. Betapa puasnya aku ketika soal-soal yang tertulis di lembaran soal ujian dapat aku jawab dengan penuh percaya diri. Tuhan sangat baik padaku, dengan membuka kebohongan Reza lalu memudahkan ujianku.
Aku mengedarkan pandanganku ke penjuru kamar yang tak ubahnya seperti kapal Van der Wijck menjelang karam. Sudah hampir genap satu minggu lebih dua hari dari hari terakhir kali aku membersihkan kamarku. Betapa joroknya aku di setiap penghujung semester. Kamar yang berantakan, buku-buku Psikologi, makalah persentasi yang ditolak serta baju kotor yang berserakan dimana-mana. Aku menatap lantai kamar memastikan bahwa masih adakah tempatku berpijak tanpa menginjak barang-barangku yang berserakan itu.
Mataku tiba-tiba terpaku dengan kotak kado yang tergeletak di bawah meja belajar. Hatiku bergemuruh melihat kado yang aku persiapkan jauh-jauh hari untuk aku berikan kepada Reza, pacarku dulu, di hari kelahirannya. Aku merogoh ponsel yang ada di saku celanaku, memastikan bahwa besok memang hari yang istimewa baginya. Memang, dapat aku pastikan bahwa besok adalah tanggal 21 yang merupakan hari bersejarah bagi dirinya.
Aku melepaskan almamater hijau tua kampusku, lalu melonggarkan ikatan dasi yang terasa mencekik leher. Aku sempat ragu memandang kado tersebut, sebelum aku akhirnya meraih kotak kado bewarna merah muda dengan motif hati menatap benda itu nestapa.
Wajah Reza kembali terbayang di pelupuk mataku. Wajah yang memandangiku tadi pagi di ruang ujian dengan wajah sendu penuh penyesalan.
Sesuai dengan instruksi dari pengawas ujian, aku mendapatkan posisi ujian bersebelahan dengan Reza, bagian belakang kelas sebelah kanan. Dia nampak bersemangat ketika mengetahui bahwa aku akan duduk di sampingnya. Begitupun dengan diriku, lebih tepatnya jantungku yang entah mengapa berdegup kencang ketika aku harus duduk di kursi sebelah kanan Reza.
Tapi senyum Reza pun berganti dengan kemurungan ketika aku lebih memilih mengikuti akal sehatku, menatapnya datar tanpa mengeluarkan sepatah katapun padanya. Aku langsung duduk dikursiku dan mengeluarkan alat tulis tanpa berniat untuk menatap ataupun menyapanya. Aku tetap tidak bergeming hingga ujian selesai dan aku keluar kelas tanpa menoleh ke arahnya sedikitpun. Dari balik jendela, aku bisa melihat mantan pacar terindahku itu nampak sendu, menatap kursi yang aku duduki tadi.
Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku meletakkan kado lalu mengambil benda persegi panjang yang berbunyi kecang di sampingku itu. Sebuah nomor ponsel yang sangat aku kenali terpampang jelas di layar ponselku. Nomor yang dulu sangat aku nantikan panggilannya, membuatku melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil. Aku lalu bangkit dari dudukku, menggigit bibir bawah penuh keraguan, antara mengangkat panggilan Reza atau tidak.
Aku mendesah sambil meletakkan ponselku ke meja belajar dengan kasar. Jantung ini berdetak kencang sekaligus rasa sesak memenuhi dada. Bayangan Reza dan Alvin yang berpegangan tangan terngiang-ngiang di fikiranku. Apakah aku harus mengangkat panggilan seseorang yang telah mengkhianatiku, sedangkan hatiku belum sepenuhnya berpaling darinya. Aku menghembuskan nafas berat sambil meremas rambutku. Dada ini semakin sesak, menatap layar hitam ponselku. Aku harus ingat, bahwa Reza bukan siapa-siapaku lagi. Dia hanya seseorang pengkhianat.
Ponselku kembali berbunyi. Sambil menghela nafas, aku mengangkat panggilan tanpa melihat layar ponsel terlebih dahulu. Terserah apa yang akan dikatakan Reza nanti. Aku harus berani untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi hubungan diantara kami.
"Halo?" jawabku dengan suara yang terdengar serak. "Ada apa kamu menelponku?" tanyaku berusaha sedingin mungkin.
Si penelpon terdiam mendengar pertanyaanku, mungkin Reza kaget dengan pertanyaanku yang terdengar tidak seperti biasanya itu. "Kalau nggak ada hal penting yang dibicarakan, aku akan tutup panggilan ini," lanjutku.
"Oh nggak dek, ini hal penting kok," ujar seseorang di seberang sana. Aku mengernyitkan dahi sambil melihat layar ponselku, memastikan bahwa yang menelponku adalah Reza.
"Halo?" terdengar suara Gaga di seberang sana yang mau tidak mau membuatku merapatkan ponselku ke wajahku kembali. Aku menepuk jidatku menyesali keteledoranku.
"Eh iya kak?"
"Kamu nggak apa-apa kan?"
"Eh nggak kak. Maaf kak, aku kira tadi yang nelpon itu temanku."
"Lah, emang nggak dilihat dulu siapa yang nelpon?"
"Mmm..., nggak kak. Aku lagi mabok micin soalnya," jawabku asal, membuat lawan bicaraku tertawa keras di seberang sana.
"Hahaha, ada-ada aja. Yang terpenting micinnya masih yang berbentuk serbuk kan dek? Soalnya kalau udah cairan, bahaya." Dia terkikik geli. "Bisa masuk rumah sakit kamu nanti dek. Siapa yang jagain ntar," ujarnya lagi.
"Kan ada kakak yang siap jagain aku," jawabku iseng. Aku melempar senyum ke arah meja belajarku yang berantakan. Mungkin aku harus segera membereskannya.
Gaga terdengar terdiam di seberang sana sebelum dia terdengar berdehem. "Kamu ada di kosan dek?"
"Ada kok kak, baru juga nyampai. Ada apa?"
"Gini, kakak mau ngejemput buku yang kamu pinjam kemarin dek. Waktu peminjamannya sudah habis."
Perkataan Gaga membuatku hanya melongo sambil melirik tumpukan buku yang berserak di meja belajar. Aku kembali menepuk jidatku sendiri sambil bergegas melihat tanggal pengembalian yang ada di sampul belakang bagian dalam buku. Aku menggigit bibirku sendiri melihat tanggal pengembalian yang telah berlalu 4 hari.
"Mmm..., maaf ya kak. Aku lupa kalau udah terlambat mengembalikan." Aku merutuki diriku sendiri yang lalai mengingat tanggal pengembalian buku yang aku pinjam dari perpustakaan beberapa minggu yang lalu.
"Nggak apa-apa kok dek. Kakak tahu kok kamu lagi sibuk mempersiapkan diri buat ujian akhir semester."
"Ya, begitulah kak. Sekali lagi maafkan aku ya kak. Maaf banget. Nanti aku antar ke rumah kakak ya. Sama uang sangsi keterlambatan juga sekaligus."
"Emang kamu tahu rumah kakak?"
"Nanti aku minta tolong sama Doni buat nganterin kak." Aku mulai mengemasi buku-buku tersebut. "Maaf ya kak," pintaku sekali lagi.
Aku merasa tidak enak dengan Gaga, berkat karena keteledoranku, nantinya dia harus menanggung sangsi dari petugas perpustakaan.
"Nggak usah dek, kamu nggak perlu ke rumah kakak. Kakak kebetulan udah di depan kosan kamu kok," ujar Gaga.
Aku terdiam sambil menengok ke luar jendela tidak percaya. Nampak Gaga yang tengah bersandar ke mobil merahnya menatap ke arah kamarku dengan ponsel yang menempel di telinganya.
Aku melirik kamarku yang berantakan. Astaga, aku harus segera berkemas.
---
Aku cengengesan sambil membuka pintu kamar dengan nafas tersengal-sengal. Gaga manatapku keheranan sambil melirik tangan kiriku yang menyembunyikan sesuatu. Sambil mempersilahkan pria Fakultas Ekonomi itu untuk masuk, aku melemparkan celana dalam kotor yang aku sembunyikan itu ke dalam tempat kain kotor yang ada di belakang pintu kamar.
"Silahkan duduk kak," ujarku mempersilahkan Gaga untuk duduk di ranjangku. Tidak lupa tanganku membereskan sepraiku yang masih sedikit berantakan dengan senyum terpaksa yang terukir di wajah.
"Kakak nggak mengganggu kan dek?" tanyanya menelisik.
"Oh nggak kok kak, kakak nggak mengganggu sama sekali kok," jawabku sambil menggaruk tengkuk belakangku. Andaikan aku bisa mengatakan bahwa kedatangannya yang mendadak itu memang mengganggu waktu istirahatku.
"Owh syukurlah," ujarnya menatap penasaran ke arah kain sarung di atas meja belajar yang tergeletak aneh seperti menutupi sesuatu. Aku meneguk ludah berharap semoga Gaga tidak tahu bahwa kain sarung tersebut adalah penutup kado Reza yang tidak sempat aku selamatkan kebawah ranjang.
"Kakak mau dibuatin apa kak?" tanyaku mengalihkan perhatiannya dari kain sarung yang berada di tempat yang kurang wajar. Dia nampak berfikir sejenak sebelum tersenyum kepadaku.
"Nggak usah dek, nggak usah repot-repot." Dia melirik jam tangannya sekilas. "Lagian waktu pelayanan perpustakaan cuma sampai jam empat sore. Apa kamu nggak mau ganti baju dulu?"
Aku melirik baju putihku sekarang. Memang benar apa yang dikatakan oleh Gaga. Aku tidak mungkin memakai pakaian ujian ini ke perpustakaan. Aku malah bisa disangka anak magang oleh pengunjung lain. Aku cengengesan sambil berlalu menuju lemari mengambil kaus bewarna biru laut dengan celana jeans pendek selutut. Aku terdiam ketika mengetahui kalau Gaga masih di dalam kamarku. Aku tidak dapat menampik kalau aku sangat risih mengganti baju di depan orang.
"Kenapa dek?" Gaga menangkap kejanggalan dariku. Pria yang peka. Aku menggigit bibir bawahku sambil menatapnya tidak enakan untuk mengusir Gaga keluar dati kamar. Tanganku yang meremas pakaian yang aku pegang, membuat pria FE itu tersenyum penuh arti.
"Kamu ganti baju dulu gih, kakak mau cari angin dulu." Gaga langsung berdiri sambil bersiul-siul keluar dari ruangan.
Aku menutup pintu sambil menghembuskan nafas lega. Aku mengintipi Gaga yang nampak memandang ke arah jalan raya dari celah pintu yang sengaja sedikit dibuka. Dengan tergesa-gesa aku mengganti pakaianku sambil melirik Gaga sesekali dari celah pintu. Tidak lupa aku sedikit merapikan penampilan dan memasukkan hal-hal yang penting ke dalam ranselku.
Aku berdehem sejenak sambil membuka pintu. Gaga menoleh kearahku. "Udah siap dek?" tanyanya sambil menatapku terkesima. Terlebih senyumannya membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat, membuatku yakin banyak cewek yang tergila-gila dengan senyum mautnya itu. Tatapan Gaga dan senyumannya sukses membuatku jadi salah tingkah.
"U... udah kak." Aku menggigit bibir bawahku menahan gugup, membuang pandangan menghindari kontak mata dengan Gaga. "Sebentar ya kak, aku ambil tas dulu," ujarku sambil masuk ke dalam mengambil ransel dan kantong plastik berisi buku-buku yang terletak di atas meja belajar.
Sial, tanganku menyenggol kado yang aku tutupi dengan kain sarung sehingga jatuh ke lantai, mengeluarkan bunyi gaduh. Gaga yang berada di luar langsung melongokkan kepalanya dari balik pintu memastikan apa yang telah terjadi di dalam kamarku.
"Ada apa dek? Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya.
Aku langsung menyambar kado yang tergeletak di lantai, lalu menyembunyikannya di belakang badanku. Sayang, tanganku kalah cepat dengan mata Gaga yang sempat melihat kado yang aku sembunyikan.
"Nggak apa-apa kok kak," ujarku cengengesan.
Pria itu lalu masuk ke dalam kamarku. Dia berdehem sambil menelisik kado yang aku sembunyikan. "Itu apa dek?" tanyanya penasaran. Aku baru ingat bahwa Gaga dan Reza lahir pada hari yang sama. Sungguh kebetulan yang sangat kebetulan.
"Kado untuk pacarnya ya?"
Aku menggeleng, "Eh nggak kak!" jawabku spontan. Aku menelan ludah melihat wajah Gaga yang terlihat berharap. Aku tidak tega melihat Gaga yang akan kecewa ketika mengetahui bahwa kado yang aku sembunyikan ini bukanlah untuknya. Aku memicingkan mata sejenak, merutuki kecerobohanku sendiri.
"Jadi?"
"Sebenarnya, kado ini untuk kakak," aku mengeluarkan kado yang aku sembunyikan. "Maaf kalau kejutanku gagal" jawabku seadanya. Aku menyerahkan kado untuk Reza itu kepada Gaga. Dia terlihat antusias menerima kado sedangkan aku menatap kado yang dia terima dengan rasa bersalah.
"Wah, makasih ya dek." Gaga menatap kado yang baru dia terima. Aku hanya tersenyum hambar. "Apa isinya ya?" gumamnya lalu mengguncang kado itu antusias.
Aku berusaha menahan tawaku yang tiba-tiba melihat tingkah Gaga mengguncangnya kado dengan keras, seperti anak kecil yang diselimuti rasa penasaran. Menyadari aku memperhatikannya dengan tawa tertahan, Gaga menoleh ke arahku. Diapun ikut tersenyum.
"Ada apa dek? Ada yang lucu sama kakak kah?"
Aku menggeleng, "Nggak kok kak, nggak ada yang lucu kok."
"Kakak kira, kakak yang lucu ini membuatmu tertawa dek," ujarnya menggodaku.
"Eleh," aku mencibirnya, "kakak kepedean. Nggak ada yang lucu dari diri kakak," Aku menatapnya geli. "Lagian aku nggak liatin kakak kok," jawabku bohong.
"Owh gitu," dia mengangguk-angguk menatapku tidak percaya. "Yaudah yuk pergi! Ntar perpustakaannya tutup loh."
Aku mengangguk sambil memperbaiki posisi ranselku dan meraih kantong plastik berisi buku-buku. Setelah memastikan semuanya aman terkendali, aku mengikuti langkah Gaga yang telah mendahuluiku. Tidak ada sepatah katapun keluar dari bibir kami hingga kami tiba di perpustakaan. Hanya senyum yang tetap terus terukir di bibir Gaga, dia terlihat bahagia yang menandakan hormon-hormon kebahagiaannya tengah bekerja saat ini.
Akupun tersenyum melihat Gaga yang terlihat bahagia. Walau jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku merutuki apa yang telah aku lakukan padanya. Aku sangat jahat dengan memberikannya kado yang akan aku berikan kepada orang lain padanga. Aku tidak dapat membayangkan betapa kecewanya Gaga mengetahui bahwa kado itu sebenarnya bukan untuknya.
Petugas perpustakaan itu masih segenit dahulu ketika kami, atau lebih tepatnya Gaga, meminjam buku padanya. Entah kenapa, aku tidak menyukainya sejak pertama kali aku melihatnya.
Dia mengedip manja Gaga saat Gaga hendak mengembalikan buku kami yang telat itu. Terlebih ketika dia menyebutkan sangsi yang harus diterima Gaga, dengan suaranya yang dihejan-hejan, - tak ubahnya seperti orang yang sedang menahan buang air besar- membuatku kesal. Ingin rasanya aku memukul wajahnya yang sok cantik itu. Gaga memang ganteng, aku akui itu, wajahnya yang tampan bak model memang akan membuat ratusan wanita akan luluh di hadapannya. Tapi kelakuan petugas perpustakaan yang diluar batas itu tidak dapat aku terima hingga membuatku kesal sendiri.
"Kamu kenapa dek?" tanya Gaga membuatku mengalihkan pandangan padanya.
"Eh iya kak?"
"Apa yang kamu lihat sih?" Gaga melihat ke arah pandanganku sebelumnya. Perempuan petugas perpustakaan kegatelan itu kembali mengedip manja ketika mengetahui Gaga melihat ke arahnya. Aku menyerngit jijik melihat perempuan itu.
"Kamu cemburu?" tanya Gaga tanpa mengalihkan pandangannya pada wanita genit itu. Aku langsung menatapnya penuh keterkejutan. Dia balik menatapku dengan senyum nakal dengan alis yang terangkat sebelah. "Iya kan?"
Aku menggeleng sambil tertawa masam, "Heh kakak kepedean. Ngapain juga aku cemburu."
"Yakin nih?"
"Yakin aku," jawabku sambil berusaha menantang mata hitamnya yang sangat indah.
Gaga terdiam sejenak menatap balik mataku sebelum akhirnya terkekeh geli lalu mencubit pipiku dengan gemas. Aku lalu mengaduh kesakitan smbil mengelus pipiku yang menjadi korban cubitan Gaga. Aku mendengus, meninggalkannya keluar dari gedung perpustakaan bertingkat empat tersebut. Gaga mengikutiku dari belakang dengan senyum mengembang.
"Dek," panggilnya yang tidak aku hiraukan. "Segitu aja ngambek," ujarnya lagi.
Aku menghentikan langkahku lalu berbalik menatapnya pura-pura sebal. "Sakit tahu kak," tukasku sambil mengelus-elus pipi.
"Maaf deh dek. Soalnya kakak gemas sih lihat kamu."
"Gemas sih gemas kak, tapi sakit tau. Ntar segede bakpao gimana?" Aku menunjuki pipiku yang sama sekali tidak memerah itu. Aku suka saja melihat ekspresi Gaga yang merasa bersalah saat ini.
Gaga memegang kedua bahuku sambil menatapku lekat-lekat. "Yaudah, biar nggak segede bakpao, sini kakak obati," ujarnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku mendorong wajahnya dengan keras -ketika bibir merahnya beberapa sentimeter lagi menyentuh pipiku- sehingga dia terdorong kebelakang.
"Kakak apaan sih," aku bersungut-sungut sambil menoleh ke sekeliling. Syukurlah tidak ada orang yang ada melihat kejadian tadi. "Kakak mesum!"
"Kakak bukan mesum dek," belanya sambil tertawa geli. "Kakak cuma mau ngobatin kamu biar pipi kamu nggak segede bakpao."
"Obatin apanya? Mana ada orang ngobatin yang kayak gitu."
Gaga tersenyum geli, "Mau kakak tiup kok, biar kamu nggak kesakitan lagi, trus nggak segede bakpao."
Aku membuang muka sambil melipat tangan pura-pura tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Gaga. Nyatanya aku berusaha menahan tawaku saat ini. Aku rasa, aku memang berbakat di bidang bermain peran.
"Maaf deh dek, kakak minta maaf," dia berusaha menatap mataku, begitpun aku yang berusaha menolehkan pandangan darinya. "Sebagai gantinya, kita makan yuk! Pasti kamu lapar?"
Mendengar makan gratis, siapa sih anak kos yang tidak tergoda. Aku melirik Gaga sejenak sebelum kembali membuang muka. Gaga tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menemukan titik kelemahanku. "Kita makan di JMB aja ya," ujarnya.
JMB sendiri adalah kependekan dari Jalan Mangga Barat yang merupakan salah satu pusat kuliner di kotaku. Di jalan tersebut berjejer gerai makanan yang dapat memanjakan Sumatera Tengah setiap insan yang ada di sana. Karena kebanyakan gerai disana adalah gerai makanan berat dengan harga miring, maka anak muda hitz kekinian kotaku yang sering nongkrong disana sering mempelesatkannya menjadi Jalan Makan Besar.
Aku meneguk air liurku. Seusai ujian aku memang langsung pulang diantar Doni tanpa makan siang terlebih dahulu. Rini mendadak diajak Alfi untuk menemui orang tuanya. Begitupun Doni yang juga ada janji dengan Widia makan siang bersama. Tinggallah aku sendiri tanpa ada orang yang akan mengajakku makan siang bersama, sangat ironis sekali. Sehingga Gaga datang sebagai penyelamat perutku, mengajakku untuk makan bersama saat ini, disaat perutku meminta untuk diisi segera.
"Yuk dek!" Gaga lalu meraih pergelangan tanganku tanpa menunggu jawaban dariku terlebih dahulu. Dari wajahku saja sudah sangat kentara, wajah manusia yang belum makan semenjak siang. Aku mengikutinya begitu saja menuju mobil di parkiran. Demi makan gratis, marah yang aku buat-buat tadi dilupakan begitu saja.
Setelah sampai di JMB dan memarkirkan kendaraan, aku dan Gaga memasuki salah satu gerai di deretan pusat kuliner yang ramai pengunjung ini. Ponselku sempat berdering sebelum akhirnya mendadak mati sebelum aku sempat merogoh kantong celanaku. Aku urung untuk mencek ponselku, dan lebih memilih untuk melihat-lihat menu yang terpampang di dinding gerai tersebut.
"Kamu mau makan apa dek?" tanya Gaga di sampingku, membuatku refleks menoleh kepadanya. Keningku hampir saja beradu dengan bibirnya sebelum aku menggeser posisiku menjauh darinya beberapa sentimeter.
Aku bisa merasakan jantungku berdetak kencang karena insiden kecil tadi. Hampir saja terjadi ciuman romantis antara dua orang remaja akhir di tengah keramaian gerai kuliner. Aku tidak mengerti kenapa wajahku terasa panas saat ini. Aku merunduk menahan malu, sambil melirik Gaga yang tidak dapat menyembunyikan kegugupannya, melemparkan pandangan ke arah penjual makanan.
"Maaf," bisiknya tanpa mau memandang wajahku. Aku tersenyum sambil menggenggam tanggannya, "santai aja kok kak. Nggak sengaja juga," aku melirik ke arah meja pemesanan makanan. "Kakak mau makan apa? Biar aku pesan."
"Terserah kamu deh dek. Kakak nurut aja," jawabnya datar. Gaga terlihat lucu, dia masih saja gugup dengan insiden tadi. Mungkin dia sangat syok karena secara tidak sengaja hampir mencium kening seorang cowok di depan umum.
"Okedeh, kakak duduk dulu ya, aku mesan makanan dulu," aku menunjuk salah satu meja kosong yang terletak di sudut ruangan, di bawah pemancar WiFi tentunya. Mataku memang jeli untuk posisi-posisi yang strategis tersebut.
Aku melihat daftar makanan yang tertera di meja pemesanan. Lidahku tergoda dengan menu Krabby Patty yang mengingatkanku dengan sebuah film kartun luar negeri. Aku jadi terkekeh mengingat memori masa kecilku yang selalu diomeli Ibu pagi-pagi, karena terlena menonton kartun tersebut. Aku lalu memesan dua porsi jumbo roti lapis tersebut lalu duduk di salah satu kursi tunggu. Aku menoleh ke arah Gaga yang nampak memperhatikanku dari meja 69. Mata kami bersirobok, membuatnya melemparkan pandangan karena ketahuan tengah memperhatikanku. Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Mungkin pria itu sangat kelaparan saat ini, atau mungkin masih keingat dengan kejadian tadi.
"Pesanan Tuan Gaga," teriak pelayan sambil meneteng napan berisi dua buah roti lapis, minuman dan struk tagihan pembayaran.
"Oh ya." Aku berdiri sambil menerima pesanan. "Terima kasih," ucapku kepada gadis berkulit kuning langsat dengan rambut sebahu yang aku taksir seumuran denganku. Gadis yang cantik. Dia nampak tersipu malu sebelum berbalik melanjutkan pekerjaannya.
Aku meneteng napan berisi pesanan "Tuan Gaga" dan meletakkannya ke meja 69 yang khusus untuk dua kursi tersebut. "Nampaknya cewek tadi suka sama kamu deh dek," ujar Gaga sambil mengambil minuman lalu menyesapnya.
"Iya kak?" tanyaku sambil menoleh ke arah gadis pelayan yang tengah mempersiapkan pesanan di meja pemesanan. "Perasaan kakak kali," jawabku cuek sambil meraih roti lapis ukuran besar yang sangat menggoda seleraku untuk mencicipinya.
"Owh kirain kamu bakalan girang dilirik cewek cantik?" tanyanya menelisik. Kunyahanku terhenti mendengar pertanyaannya yang seperti menyindirku secara halus. Aku berharap bahwa Gaga tidak mengetahui bahwa aku ini berbeda dibanding manusia kebanyakan. Aku menelan makanan sambil menatap matanya dalam-dalam. Dia juga begitu, balik menantap matakku dalam-dalam seakan ingin mengetahui isi hatiku saat ini.
"Dia bukan tipeku," jawabku dengan senyum mengembang. Aku kembali menggigit roti lapisku dan Gaga mengangguk-angguk sambil melirik ke arah gadis pelayan tadi.
"Kakak nggak makan?" tanyaku sambil menyodorkan roti lapis yang belum disentuhnya sama sekali. Dia tersenyum sambil menerima roti lapis berukuran jumbo yang aku sodorkan. Setelah mengucapkan terima kasih, Gaga menggigit roti lapisnya sambil memperhatikanku yang sangat bernafsu menghabiskan roti lapisku.
"Ada apa ya kak? Ada yang aneh?" tanyaku setelah beberapa menit mata Gaga tidak lepas dari wajahku. Aku jadi salah tingkah karena diperhatikan seperti ini, membuatku berspekulasi aneh-aneh tentang Gaga.
"Owh nggak kok dek, kamu makannya lahap sekali sampai nggak tau mulut kamu belepotan."
"Oh ya?" Aku meletakkan roti lapisku ke napan, lalu hendak mengambil beberapa lembar tisu sebelum telunjuk Gaga menyapu bibirku. Aku tertegun menatap pria FE yang tersenyum gemas melihatku itu membersihkan bibirku yang belepotan saus dengan telunjuknya. Kemudian Gaga membawa telunjuknya yang penuh saus itu ke mulutnya, sukses membuat wajahku memanas. Gaga mengingatkanku dengan Reza yang pernah melakukan hal yang sama beberapa bulan sebelum kami jadian.
"Udah," Gaga menatapku dengan senyum puas. Aku hanya dapat merunduk menyesap minuman yang tinggal setengah. Penyejuk udara yang tidak jauh dari meja kami tidak dapat menyejukkan tubuhku yang mendadak memanas ini. "Terima kasih kak," ucapku dengan tenggorokan tercekat.
Ponsel Gaga berdering, membuatnya merogoh kantong celananya. Aku mohon izin untuk ke toilet menormalkan detak jantungku yang berdetak tidak karuan. Efek hormon adrenalinku bekerja baik disini. Cukup lama aku berada di toilet sehingga ketika aku kembali ke meja, Gaga telah menghabiskan roti lapisnya.
"Maaf ya kak agak sedikit lama, tadi toiletnya ramai."
Gaga menoleh ke arah aku keluar tadi, "owh nggak apa-apa kok dek," ujarnya sambil menyodorkan roti lapisku yang tinggal setengah. "Gih habiskan! Siap ini kakak mau mengajakmu ke suatu tempat."
"Kemana kak?" tanyaku penasaran.
Gaga tersenyum, "lihat aja nanti," jawabnya. Aku mengangguk saja mengiyakan keinginannya tersebut. Toh, sekarang aku sudah bebas dari perkuliahan.
Setelah aku menghabiskan makanan dan Gaga membayar makanan kami tentunya, kamipun meninggalkan JMB ketika jam tanganku menunjukan tiga puluh menit lagi menjelang jam 6 sore. Aku hanya diam sambil merebahkan kepalaku kesandaran kursi mobil Gaga. Sandaran kursi Gaga sangat nyaman, membuatku menutup mata sekedar menikmati kenyamanan yang aku rasakan. Tidak lama, sehingga aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.
---
"Dek, kita hampir sampai," terdengar suara pria yang membangunkanku. Aku mengucek mata sambil menatap si empunya suara. Rupanya Gaga yang menatapku geli. "Kita udah hampir sampai dek," ulangnya lagi. Aku baru tersadar bahwa aku ketiduran semenjak perempatan jalan Veteran tadi.
"Oh ya kak," ujarku sambil melap ujung bibirku dengan punggung tangan. Nampaknya aku tertidur sangat pulas. Gaga sampai tertawa sambil menyerahkan beberapa lembar tisu kepadaku.
Aku hanya tersipu malu menatap Gaga yang kembali menjalankan mobilnya. "Maaf ya kakak ngebangunin kamu sebelum sampai," Gaga membelokkan stir mobilnya ke arah kanan, "takutnya kamu pas ketemu dia masih dalam keadaan setengah bangun lagi," ujarnya.
Aku menyerngit, dia siapa yang Gaga maksudkan itu. Aku melihat ke luar, aku merasa tidak asing dengan jalan ini. Oh ya, Salon Titit -yang aku yakin kepunyaan orang yang bernama Titit (?)- dengan cat bewarna-warni di dekat Mushalla. Aku menoleh ke arah Gaga yang terlihat senang. "Kita kemana kak? Kita mau ketemu siapa kak?" tanyaku. Perasaanku menjadi tidak nyaman. Ada yang tidak beres.
"Ada deh dek, liat aja nanti," jawab Gaga dengan senyum yang terlihat licik di mataku. Gaga lalu membelokkan mobilnya hingga berhenti di depan sebuah kos-kosan bertingkat dengan pagar tinggi menjulang. Jantungku seperti berhenti berdetak dengan nafas tertahan.
"Kita udah sampai dek," ujarnya sambil melepaskan sabuk pengaman. Tidak lupa membunyikan klakson kearah pos penjaga kosan bertingkat yang sering aku kunjungi dulu.
Seseorang lalu keluar dari pos penjaga dengan senyum sumringahnya. Pria itu, Mas Agus dengan tubuh kekar sempurna dengan keringat membasahi sekujur tubuhnya membukakan gerbang untuk mobil Gaga.
--- tbc
R~
@cowokkumal @happyday Mungkin untuk sementara waktu belum dapat dilanjutkan karena keterbatasan waktu luang dan ada beberapa sebab yang membuat aku agak sedikit ngehank sekarang. Terima kasih udah menunggu.
@Obipopobo Selamat Membaca dek.
@lulu_75