It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@riordanisme okeh2
@algibran26 Tarik maang
Wkwkwk daripada dia galon kan...
Aku merebahkan badanku di sofa empuk Rini sambil menatap kedua sahabatku yang mendadak aneh. "Ada apa sih?" tanyaku menatap mereka satu persatu. Rini yang menatapku iba, dan Doni yang melipat tangan di dada, menatap lantai seperti sedang menahan amarah. Suasana rumah Rini sangat tegang semenjak aku masuk ke dalamnya.
"Makan dulu gih martabaknya, gue tadi beli di depan. Katanya enak," jawab Rini mencairkan suasana sambil menyodorkan martabak ke hadapanku. Aku mengangguk, sambil melirik Doni sekilas. Dia bukan Doni yang aku kenal.
"Ada apa sih, kok aneh begini? Katanya ada yang mau bicarain tentang Reza?" tanyaku sambil mencomot martabak pisang keju yang ada di hadapanku. Doni tiba-tiba bereaksi mendengar nama pacarku itu ku sebut, dia seperti hendak bangkit dari posisinya sebelum Rini langsung mencegahnya. Menahan lengan Doni dan menginstruksikan Doni untuk tetap tenang.
Rini menoleh kearahku. Gadis itu nampak tenang, berbanding terbalik dengan Doni. Rini menggeser duduknya, mendekatiku sambil menggenggam kedua tanganku. Dia seperti sedang mengatur kata-kata yang pas untuk disampaikan kepadaku.
"Sampaiin aja Rin!" perintah Doni sambil kembali berlipat tangan menatap kami, lebih tepatnya aku dengan sinis, "biar dia tau siapa bajingan yang dia pacari itu sebenarnya."
Hatiku berdebar mendengar kata-kata Doni yang sarkasme itu. Apalagi dia menyebut pacarku sebagai bajingan. Hal yang baru aku dengar keluar dari mulut Doni. "Ada apa Rin?" tanyaku. Aku genggam tangannya erat, "sampaiin aja," ujarku lagi.
Cewek berambut panjang, yang kali ini dia kuncir itu menggigit bibir bawahnya dengan mata menerawang. Rini mendesah lalu menatapku dengan senyum yang di paksakan.
"Seberapa besar lo mencintai Reza?" tanyanya pasti. Membuat diriku dan semua perasaanku ternohok. Pertanyaan yang spele tapi memiliki arti yang sangat dalam.
Aku terdiam, menutup mataku sejenak sambil menarik nafas. Aku kembali menatap mata hitam Rini, mata yang membuat Alfi, pacarnya, jatuh hati padanya.
"Lebih besar daripada rasa cinta gue pada diri gue sendiri."
Gadis itu tersenyum, "begitupun gue mencintai Alfi," ujarnya sambil menyebut nama pacarnya yang sekarang menjadi ketua HMJ itu.
"Tapi...," dia menggantung perkataannya, "kalau Alfi mengkhianati gue, selingkuh misalnya, apa yang bakalan lo lakuin sebagai sahabat gue?" tanyanya.
"Tentu gue akan marah. Setelah sekian lama dia berpacaran dengan lo, dan dengan mudahnya sekarang dia main belakang di depan lo. Gue pasti akan memberinya pelajaran...," Aku mengepalkan tinjuku, "dan menyuruh lo untuk memutuskannya. Dia nggak pantas buat lo."
Rini melirik Doni sekilas sebelum menatap gue pasti, dia mengelus tanganku lembut. "Begitupun kami disaat lo di posisi itu sekarang," ujarnya dengan nada pelan, sangat pelan.
"Maksudnya!?"
"Si bajingan Reza pacar lo itu udah nyelingkuhin lo," potong Doni tanpa memandangi wajahku. Doni yang sendari tadi berlipat tangan, akhirnya memperbaiki posisi duduknya. Merogoh ponsel dari sakunya sambil meletakkannya di atas meja.
Aku menggeleng tidak percaya, ini semua pasti bohong, ini akal-akalan Rini dan Doni untuk mengerjaiku. Aku tahu Reza tidak mungkin melakukan semua itu, aku cinta padanya dan aku tahu ia juga cinta padaku.
"Itu semua benar Za..." ujar Rini lirih. Dia seperti dapat membaca apa yang aku fikirkan sekarang. Gadis itu langsung memelukku dari samping, sambil berbisik membuat bulu romaku berdiri, "Kami tidak mungkin berbohong soal ini."
"Kalau lo nggak percaya juga, coba lo liat galeri ponsel gue," Doni melirik ponselnya, "Lo bisa nemuin foto-foto menjijikan pacar lo itu di sana," ujarnya sarkas.
Aku menatap Doni nyalang. Berani sekali dia mengatakan pacarku menjijikkan. Tapi rasa kejengkelan ku berubah dengan rasa penasaran ketika aku menatap ponsel Doni yang tergeletak di meja tamu Rini. Aku menoleh kearah Rini, yang seperti menyuruhku untuk membukanya. Aku menatap Doni nyalang sambil meraih ponselnya. Aku berjanji akan menghajar Doni kalau semua yang ditudihkannya tidak terbukti.
Aku membuka galeri Doni yang tunafoto tersebut. Hanya beberapa buah foto yang ada di galerinya, termasuk foto mesra dengan mantan pacarnya yang masih dia simpan disaat terakhir aku mengacak-acak galerinya beberapa minggu yang lalu. Berbanding terbalik dengan jumlah videonya yang terakhir berjumlah dua puluh enam buah. Membuatku sering geleng-geleng kepala dengan jalan fikiran Doni yang aneh. Entah video apa yang dia simpan di dalam ponselnya itu.
Aku membuka galeri foto Doni. Berderetlah beberapa buah foto yang membuat jantung ini berdetak lebih kencang. Tiga foto terakhir yang diambil Doni membuat nafasku tertahan. Aku langsung membuka salah satu foto. Menampilkan pacarku Reza, sedang jalan bersisian dengan seorang cowok di tengah keramaian. Mungkin di Grand Plaza. Foto tersebut diambil dari belakang dengan Reza dan cowok itu saling bertatapan.
Aku kembali menggeser layar ponsel Doni. Menampilkan Reza dengan cowok itu berpegangan tangan. Senyum gembira terpatri di wajah Reza, begitupun dengan cowok itu. Mereka seperti dua pasangan sejoli yang sedang di mabuk asmara. Ya seperti pasangan sejoli, membuatku terbakar melihat foto itu, ditambah dengan rasa sakit yang menghujam tepat di jantungku. Telingaku tiba-tiba berdenging dengan kepalaku berdenyut-denyut.
Tiba-tiba moodku menjadi buruk melihat foto-foto Reza dan cowok yang tidak aku kenal itu. Aku megangi keningku yang terasa berdenyut.
"Ini nggak mungkin kan?" bisikku yang membuat Doni meradang. Dia menatapku tajam tidak percaya dengan apa yang telah keluar dari mulutku.
"Lo nggak percaya? Astaga," tanyanya dengan volume suara keras dengan mata terbelalak. "Setelah bukti yang gue kasih ke elo? Silahkan tanya Rini kalau lo nggak percaya. Kami berdua saksinya," Doni menunjuki Rini. Dia sangat beremosi dengan mata berkilat-kilat tajam memandangiku yang nelangsa.
"Ditambah sikapnya yang aneh belakangan ini, meyakinkan kami kalau Reza benar-benar selingkuh," tandasnya dengan volume suara yang lebih pelan.
"Udah Don. Lo jangan membentak-bentak gini dong. Lo kira mudah untuk menerima kenyataan? Seharusnya lo turut menguatkan dan memberikan sahabat lo waktu, bukan menekan kayak gini," sahut Rini.
"Maaf, gue kebawa emosi," jawabnya sambil menghempaskan badannya ke sofa. Dia nampak frustasi dan uring-uringan menahan gejolak emosinya.
Rini memelukku erat, memberikan aku semangat. Sekelebat kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini muncul di fikiranku. Ponsel Reza yang sering tidak aktif, kelakuan Reza yang aneh, kamarnya yang acak-acakan, kotak bekalku, serta kondom yang telah terpakai di tong sampahnya, berputar-putar di depan mataku.
Air mata yang telah berusaha aku tahan akhirnya tumpah. Aku meletakkan ponsel Doni kembali ke meja dengan tangan bergetar. Rini mengeratkan pelukannya, menegarkan hatiku dengan kenyataan pahit yang aku alami. Semua fakta yang ada, menguatkan semua prasangka yang sering aku buang jauh-jauh dari fikiranku, bahwa Reza, pacarku, telah mengkhianatiku. Orang yang telah aku cintai setulus hati.
Tidak ada kata yang keluar dari mulutku. Air mataku yang terus jatuh bercucuran menatap jauh ke depan. Jantungku seperti diremas kuat, membuat dadaku semakin sesak. Aku cemburu dengan kemesraan mereka, aku marah karena Reza telah tega bermain api di belakangku. Dan aku kecewa karena aku telah gagal menjaga cintanya padaku.
"Lepaskan semuanya, lepaskan saja," ujar Rini membarut-barut punggungku. Aku miris dengan diriku sendiri, dengan kecongkakanku selama ini yang mengatakan bahwa mereka yang diselingkuhi adalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti dengan pasangannya, tanpa menaruh rasa prihatin sedikitpun. Tapi sekarang, aku yang merasa telah mengerti dengan pasanganku, mengalami nasib yang sama dengan mereka yang dulu aku nasehati itu.
Doni yang menatap kami acuh tak acuh, mendekat kearah kami. Dia memperhatikanku, lalu dia memelukku erat, meneguhkan diriku yang berada pada posisi sulit ini.
---
Hujan turun sangat deras siang ini. Aku menatap langit-langit kamarku yang telah aku tempati 1,5 tahun. Fikiranku melayang-layang, memikirkan Reza dengan fakta yang tidak dapat aku tolak. Fakta yang membungkam mulutku untuk membela Reza dengan segala tuduhan yang diarahkan padanya. Hatiku kecut. Ingin rasanya aku mendatangi Reza dan menumpahkan semua perasaanku kepadanya. Tapi aku takut untuk melakukan itu, dan masih aku berharap bahwa apa yang dituduhkan padanya hanya sebuah kesalah pahaman.
Aku memiringkan badanku ke samping sambil meraih ponsel yang ada di depanku. Aku dapat melihat foto mesraku dengan Reza di pantai dengan senyum sumringah, membuat hatiku semakin sakit. Reza berjanji akan terus mencintaiku sampai ajal menjemputnya, walau kami telah menikah dan mempunyai keluarga masing-masing. Dia berjanji tidak ada yang akan berubah nanti. Dan semua janji manisnya, berhasil membuat pipiku basah oleh air mata.
Aku lalu membalik ponselku sambil menghembuskan nafas, mendengar gerutuan ibu kosku di lantai bawah. Beliau terdengar frustasi dengan kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton yang membuat pebisnis itu menjadi Presiden ke-45 negara adikuasa itu. India yang biasanya tidak pernah ketinggalan, berganti dengan siaran berita semenjak kemenangan calon presiden dari partai Republik itu.
Sebuah panggilan dari Doni mengagetkanku yang tengah memikirkan ibu kosku yang ajaib. Aku langsung mengangkat panggilannya yang mendadak itu.
"Lo dimana sekarang?" tanya Doni diseberang sana.
"Gue di kosan," jawabku. "Lo dimana sih? Lo diluar ya?" tanyaku lagi. Suara hujan terdengar jelas di telingaku, menandakan bahwa Doni sedang berada diluar ruangan.
"Iya, gue di depan kosan Reza sekarang." jawab Doni, dia berdecak kesal, "satpam kampret ini juga ngelarang-larang lagi."
Jantungku berdetak lebih cepat mendengar jawaban Doni. "Ngapain lo disana?"
"Ada yang mau gue tunjukin ke lo. Rini udah otw ke kosan lo. Udah cepetan kesini." Dan Doni mematikan panggilanya sepihak. Perasaanku mendadak tidak enak.
Dengan bermodalkan jas hujan, aku dan Rini menerobos derasnya hujan menuju kosan Reza. Nampak tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti secepatnya, Rini lalu mendesakku untuk langsung ke kosan Reza dengan motornya. Tidak lupa aku berhenti di warung nasi Padang untuk menyogok Mas Agus si satpam kekar nanti. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya teriakan Rini menyuruhku untuk memelankan laju motor di bawah guyuran hujan, yang membuatku semakin tidak sabar untuk segera sampai di kosan Reza. Tidak lama, kami sampai di kos-kosan elit Reza dengan kondisi yang sangat-sangat memprihatinkan.
"Lama banget sih?" tanya Doni sesampainya kami berdua di depannya. Dia bersandar di pagar sambil menyilangkan tangan di dada menahan dingin. "Gue risih diliat sama tuh satpam," ujarnya.
"Palingan lo disangka mau maling kali," celetuk Rini turun dari motor.
Akupun turun dari motor lalu mendekati pos satpam yang tidak jauh dari posisi kami berada. Mas Agus lalu melongokkan kepalanya dari dalam pos sambil memperhatikanku dari ujung kepala sampai kaki.
"Mas, saya tolong dibukakan pagar mas," pintaku kepada Mas Agus sambil menyodorkan nasi Padang kearahnya. Aku malas berbasa-basi sekarang.
Satpam itu tersenyum sambil menerima nasi Padang itu dari dalam posnya. "Terimakasih dek dengan bawaannya. Tapi saya tidak dapat membuka pagar sekarang, karena Reza tidak mau di ganggu," ujarnya dengan muka menyesal yang di buat-buat. Aku tahu, saat ini dia pasti sangat senang karena mendapatkan rezeki nomplok lagi dariku.
"Tapi mas, saya bersama teman saya," sambil menunjuk Doni dan Rini, "datang ke sini hendak buat tugas Mas," kilahku. Aku melirik kearah nasi Padang yang dipegang Mas Agus yang nampak acuh tidak acuh.
"Tapi ini permintaan Reza sendiri dek. Dia tidak mau diganggu. Kalau adek mau kesini buat tugas, saya sarankan adek datang bersama Reza," jawabnya lugas. Sial, nampaknya sogokan nasi Padangnya tidak mempan lagi buat mas Agus. Dia butuh dosis yang lebih tinggi rupanya.
"Baiklah mas, saya akan nelpon Reza," gertakku sambil merogoh sakuku. Mas Agus tersenyum seraya nempersilahkanku menelpon Reza. Aku menelpon pacarku itu sambil melirik Mas Agus yang tak gentar dengan ancamanku. Sial, hanya ada jawaban dari wanita operator itu lagi. Aku berdecak sambil meninggalkan Mas Agus yang masih teguh dengan pendiriannya.
"Gimana?" tanya Doni ketika aku mendekati mereka yang telah kedinginan.
Aku menggeleng pasrah, "katanya Reza nggak mau di ganggu," aku melirik pintu kamar Reza, "udah aku telpon juga nggak diangkat."
"Sogok aja." Kini Rini yang bersuara, sehingga kami berdua menoleh kearahnya.
"Boleh juga tuh," ujar Roni menimpali.
"Udah gue sogok pakai nasi Padang yang kita beli tadi. Biasanya sih mempan, tapi ntah kenapa kali ini nggak mempan," jawabku sambil menggaruk-garuk rambutku, kebingungan.
"Mungkin dia minta nambah kali," ujar Rini menatap kearah pos satpam itu. "Kalian tunggu di sini dulu, biar gue yang tangani tuh manusia," tandas Rini sambil membuka jas hujan, lalu berjalan kearah pos satpam.
"Rini seksi ya," gumam Doni tanpa sadar. Aku langsung menoyor kepalanya sambil menggeleng-gelengkan kepala berlipat tangan menatapnya nista. "Hey, wajar dong cowok normal liat cewek setengah basah gitu," belanya lagi.
"Lo nyuruh gue kesini ngapain?"
Doni mendesah sambil melirik kearah motor Reza yang terparkir di garasi. "Gue nggak mau emosi gue meledak lagi, okay. Cukup kemarin gue lepas kontrol. Intinya, tadi gue liat Reza menjemput cowok yang di foto kemarin ke fakultas gue. Gue buntutin deh kemana saja mereka pergi, sampai akhirnya mereka kesini. Gue telpon Rini buat menjemput lo, dan gue telpon lo sesudahnya," tuturnya ringkas.
"Gue harap apa yang gue dan Rini khawatirkan kemarin itu salah. Semua itu hanya kesalahan fahaman saja. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya untuk membuktikan kalau mereka memang tidak ada apa-apanya."
Aku merundukkan wajahku, berdoa semoga apa yang dikhawatirkan kedua sahabatku dan diriku sendiri tidak terjadi. "Udah nggak usah sedih gitu." Doni membarut-barut punggungku.
Terdengar teriakan Rini memanggil kami dari arah pos satpam. Aku dan Doni saling pandang sebelum bergegas ke arah sumber suara. Nampak Rini yang merayu Mas Agus, bergelayut manja memohon-mohon meminta agar aku diperbolehkan masuk olehnya. Melihatnya saja aku jadi mual, dengan muka Mas Agus yang memerah. Dia nampak bimbang, sebelum akhirnya memperbolehkanku masuk. Sedangkan Doni tetap tinggal di pos menjaga Rini kalau Mas Agus tiba-tiba kalap. Aku akui, wanita dapat membuat akal sehat straight menjadi macet.
Dengan bergegas, aku menuju kamar Reza di lantai dua. Sore itu kos-kosan nampak sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Hanya dari kamar pacarku Reza, yang berbeda dari yang lainnya. Aku tetap terus mendekat, terdengar bunyi-bunyi tidak jelas dari dalam. Aku menajamkan pendengaranku sambil memutar tuas pintu perlahan. Dikunci rupanya.
Aku menoleh ke arah pos satpam. Doni memandangiku berpangku tangan, sedangkan Rini sibuk menyuapi Mas Agus ogah-ogahan. Aku mengambil kunci serap Reza yang ada di tempat biasa. Jantungku berdetak lebih kencang melihat sepatu berwarna biru yang tidak aku kenali, bertengger di rak sepatu Reza. Punggungku tiba-tiba mendingin dan tanganku berpeluh, bergetar membuka kunci kamar Reza.
Perahan namun pasti aku membuka pintu kamar kos Reza. Dengan perlahan pula aku nenyelinap masuk sambil membelakangi ruangan kamar Reza. Aku menutup pintu dan berbalik menghadap ruangan kamar Reza.
"Reza?!" gumamku tidak percaya.
---tbc
R~
@lulu_75 @adrian69 @digo_heartfire @rama212 @o_komo @RakaRaditya90 @boyszki @QudhelMars @akina_kenji @Secreters @Algibran26 @rama_andikaa @DafiAditya @viji3_be5t @riordanisme @happyday
Selamat membaca...
Kok jadi kesal sendiri yaa --"