It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
cakep :oops:
(gaaaaaaaaaaakkkkkkk..........koooooooooaaaaaaatttttttt.....sluurrrpppp...)
Nanti dijawab "woof woof", lanjut "aaauuuuu!!!!" :roll: :P
kayaknya yg meluk....
bukankah begitu bang bet3ng???...
Ihh ... Mentor nakal ah !
Jadi pengen kayak gini nih ...
yang tadinya atut ma guguk...eeeeh jadi berani degh sekarang.
ma kasih yaaa karlo...engkau telah membuatku jadi pemberani...lol
dan ini tentunya berkat didikan dari emaknya tercentong......
tentu saja
__________
Biar … biar saja aku dibilang cengeng, aku tidak perduli, karena bagiku "jujur mengungkapkan kata hati" lebih penting dari "memperdulikan apa kata orang". Aku cuma mau bilang lagu Nuansa Bening benar-benar menggambarkan suasana hatiku purna sua Jiwa. Aku senandungkan lagu itu dalam versi aslinya, versi Keenan Nasution. Kelak Lucky Indonesian Idol menyanyikan lagi lagu itu, tapi aku tak suka, terlalu kenes, kurang gagah seperti lagu aslinya:
ketika kau lewat di hadapanku
biasa saja
waktu perkenalan terjalin sudah
ada yang menarik pancaran diri
terus mengganggu
mendengar cerita sehari-hari
yang wajar tapi tetap mengasyikkan
oh, tiada kejutan pesona diri
pertama kujabat jemari tanganmu
biasa saja
masa perkenalan lewatlah sudah
ada yang menarik bayang-bayangmu
tak mau pergi[/list:u]
Biar … biar saja aku dibilang cengeng, aku tidak perduli, karena bagi yang sedang jatuh cinta, cengeng adalah hak. Apa? ... aku baru saja terselip lidah bilang "jatuh cinta?" Menurut Freud slip of the tounge itu jendela untuk melongok alam bawah sadar. Keinginan-keinginan liar, nafsu nafsu bejad, maupun niat luhur yang kita repress ke alam bawah sadar meloncat begitu saja ke alam sadar melalui selip lidah.
Misalnya seorang rohaniwan punya dosa yang memalukan, dan dosa itu dipenjarakannya di alam bawah sadar. Suatu saat yang disembunyikan itu akan keluar dari alam bawah sadar, telanjang bulat, meluncur begitu saja dari mulut rohaniwan ketika memimpin doa: sang rohaniwan ingin berkata ”marilah kita berdoa” namun yang meluncur dari bibirnya ”marilah kita berdosa”. Apakah "jatuh cinta lagi" begitu menakutkan bagiku sehingga harus kusimpan rapat-rapat dalam peti bawah sadar dan membuatku terkejut ketika tiba-tiba meluncur dari bibirku?
Jatuh cinta? mungkin tidak. Jatuh rindu? jatuh suka?, entahlah. Yang jelas, aku tidak sampai seperti kata anak-anak muda jaman sekarang: head over heels. Pertama, aku memang sedang tidak mabuk asmara dengan Jiwa. Kedua, ini idiom yang aneh. Apa yang salah dengan kepala di atas kaki, bukankah tiap hari posisi tubuh kita memang begitu?
Tetapi harus kuakui bayang-bayang Jiwa memang tak mau pergi. Ketika bayang-bayang itu datang ada rasa sedikit nyeri di dada, tapi nyeri yang tidak menyakitkan. Nyeri yang menyenangkan malah... seperti kerokan.
Nyeri yang menyenangkan ... dua hal yang bertentangan tetapi bersatu tak terpisahkan ... begitu entry definisi paradoks di kamus. Tapi bukankah kebenaran selalu memotong tepat di tengah paradoks. Jika kita ingin hidup sepenuhnya, kita tidak boleh takut mati. Orang yang takut mati bahkan tidak berani naik tangga berjalan ... kalau jatuh bagaimana?.
Paradoks yang lain: jika kita ingin mendapatkan cinta sejati, kita tidak boleh takut kehilangan. Lawan dari cinta itu bukan benci, tetapi takut. Love cast out fear kata sibijak. Kebencian adalah ketakutan yang mengkristal ... ya ... kristal yang dingin tapi tajam kata Goenawan Moehamad. Pengalaman dua kali pacaran, memaksaku mengiyakan paradoks ini.
Aku suka paradoks. Ada tegangan dalam paradoks, ada yang misterius dalam paradoks, ada enigma dalam paradoks. Ya ...Jiwa adalah enigmaku. Dari cerita-cerita masa lalunya, aku langsung menangkap bawa masa kecilnya tidak bahagia, suram malah. Namun aku sama sekali tidak melihat jejak suram itu diwajahnya, tidak ada dendam di nada suaranya. Dia menceritakan masa lalunya seperti pakar biologi National Geographic menarasikan semut. Tidak ada emosi yang melonjak-lonjak, namun tidak juga datar. Bahkan ada sebersit optimisme di setiap akhir ceritanya ... seolah dia mau berkata: bagian terburuk dari hidupku sudah lewat, aku tak takut lagi. Memang, imunisasi selalu disertai demam yang menyakitkan. Namun setelahnya kita tidak takut terserang virus lagi.
Walau dia tak tahu apa-apa soal politik, budaya, apalagi kebijakan ekonomi, disiplin ilmu yang kugeluti, tapi dari candanya aku bisa merasakan benih kecerdasan ... lucu, cerdas dan ada elemen kejutan dalam candanya, kejutan yang meledakkan gelak. Tidak ada kosakata Indonesia untuk karakter ini ... dalam bahasa Inggris ... witty.
Kelak sifat Jiwa yang satu ini menjadi modal penting bagi keawetan hubungan kami. Membuat hari-hari kami selalu segar dengan saling sulang ejekan. Masih banyak yang ingin kuceritakan, namun aku mesti berhenti di sini sebelum, puja-puji ini membosankan dan bikin besar kepala Jiwa jika dia membacanya.
Aku kangen Jiwa. Untuk pertamakali setelah bertahun tahun aku kangen dengan ONSku. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku kangen dengan ONSku. Apakah aku sudah lelah mencari ONS? Apakah aku cuma mau bergeser dari pola makan di restoran ke pola rantangan? Apakah aku jatuh suka? Naluriku mengatakan kali ini lebih dari jatuh suka ... gawat.
Aku yang biasanya tidak mau berpikir panjang mulai was-was. Bagaimana jika rasa ini kuikuti terus? Akankah aku hanyut ke ranah yang belum pernah aku jelajahi, Ranah yang berbeda dari dua cintaku yang kandas? Apa reaksi Nalar?, Akankah Nalar merasa terancam? Beribu apa dan bagaimana berputar putar seperti perpetuum mobile di kepalaku, membuat aku susah tidur, aku butuh melantonin.
Ah ... sudah lama kapsul-kapsul ini tak pernah kusentuh.Tersimpan rapi, tergeletak di ujung lemari es, terlindung dari panas dan sinar yang dapat merusak susunan kimianya. Kapsul yang dulu tiap hari kuminum supaya aku bisa tidur ketika aku stress di Canberra. Aku bersyukur pada Tuhan dan berterimakasih pada penemu melantonin. Paling tidak ramuan ajaib ini bisa meringankan insomniaku sampai kutemukan cara bertemu Jiwa.
Cara bertemu Jiwa? ya ... memang konyol, aku tidak tahu alamat kostannya. Untuk apa? Toh waktu itu niatku cuma untuk ONS. Dia tidak punya penyeranta, peralatan elektronik yang murah dan populer waktu itu, apalagi ponsel. Kubongkar lagi gudang ingatanku, kuselusuri kembali obrolan di ranjangku usai saresmi beberapa hari yang lalu.
Hasil selancar balik ke neuron-neuron otakku berhenti di ujung salah satu neuron memori ... eureka ... di situ tercatat kalimat ini: Aku biasa ngumpul sama temen-temenku di Karaoke Pasar Raya. Kesana aku harus pergi, kalau aku tidak mau pipi hatiku terus menerus ditampar rindu. Tapi aku belum mau menyanyikan bait-bait berikutnya Nuansa Bening.
semakin engkau jauh
semakin terasa dekat
akan tumbuh kembangkan
kasih yang kau tanam
di dalam hatiku
menatap nuansa-nuansa bening
jelasnya doa bercita[/list:u]
Terlalu bombastis, dan aku belum mau menjurus ke sana. Setelah babak belur dengan Nalar, aku belum siap jatuh cinta lagi. Aku masih ingin bebas. Aku cuma ingin bertemu Jiwa titik.
__________
Kisah:
Kisah Hati - Taman Tong Bocor
Kisah Hati - Pink Triangle: Suropati-Banteng-PC
Kisah Hati - Not so good old days
Kisah Hati - Tragedi Tissue Basah
Kisah Rasa - Pesta Kecoak
Kisah Nalar - Anak Pub
Kisah Nalar - Orang-orang Sehati
Kisah Nalar - LDR
Kisah Nalar - Pulang
Kisah Jiwa - Sua
Kisah Jiwa - Rindu
[/list:u]