It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hey..jeaung..internet baru jalan lagi ...hehehe penyakit tiap akhir bulan gitu ne'..kaga jalan.
contact me soon ok.
vire_alert itu guru str8 yg tertarik akan perilaku gay dan sekalian ama para penderita "flu burung" juga [flu burung=penyakit yg diakibatkan oleh kegemaran seseorang memegang ato pun berinteraksi dgn "burung"2 disekitarnya]
dia doyan liat cowo ma cowo berciuman..
well I have to admit it...it is hot, it really is.
Dari balik jendela kamar yang tirainya sengaja belum kubuka, jelas terlihat kalau langit di luar sudah terang. Aku melirik jam beker besar bergambar karakter dua b4bi hitam-putih MonoKuro Boo pemberian Iqbal saat ulang tahun aku dua bulan lalu. Rupanya sudah jam tujuh lewat sepuluh menit. Sejak subuh tadi aku malas bangun, untung hari ini hari Minggu, sekitar lima belas menit yang lalu aku mengabaikan seruan pak RT yang mengajak aku membantunya mengecat tiang listrik. Aku masih memikirkan kejadian kemarin bersama Paul. Kekecewaan karena aku tidak bereaksi apapun pada pernyataan cintanya masih jelas terlihat sampai kami berpisah jalan di halte Busway. Tak ada satupun dari kami berdua yang menghubungi duluan, baik menelepon ataupun sekadar mengirim SMS.
Tak lama ponsel bergetar, aku sedikit berharap Iqbal yang menelepon, namun rupanya Windy adikku sudah terinspirasi untuk menelepon pagi-pagi begini.
"Apaan sih? bangunin orang aja.." aku memulai percakapan dengan menggerutu.
"Yey.. si A'a! gimana kemarin nonton barengnya? rame gak filmnya?" tanya adikku di seberang sana.
"Enggak! filmnya drama banget! lain kali kalo bikin acara nonton kayak gitu, filmnya rada box-office-an dikit kek!"
"Haha..! si Julian bakalan bingung tuh bikin reportnya. Eh! tau gak A! si Julian itu punya kelakuan mirip banget sama A'a!"
"Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Iya! mungkin karena zodiaknya sama kali ya? Mmm.. contohnya gini... Menurut A'a Brad Pitt 'tu gimana?"
"Enggak cakep! mukanya kayak mor0n!!" sambarku.
"Nah! si Julian juga mikirnya sama! trus nih ya.. go-ut kemarin liat wallpapernya dia dipasang gambar film The X-File.... film favorit A'a juga tuh!"
"Yang bener?? kemarin go-ut baru download buat wallpaper juga!" Tanyaku tak percaya.
"Hihihi.. iya... ada satu lagi nih. Kantong kain hadiah film hantu manggarai kemarin? dia juga masukkin buat tempat handbody, sisir, dan peralatan 'kecantikan' lain... sama kayak A'a kalo pulang ke sini!"
"Hahaha..." aku tertawa gugup mendengar penjelasan adikku. Jangan-jangan adikku curiga kalau kakaknya tercinta ini gay juga.
"Oya, emang kemaren ngobrol lama sama si Julian?" adikku tiba-tiba bertanya penuh selidik.
"Enggak, cuma nanya biasa aja.. nanyain tiket. Emang kenapa?"
"Hmm.. sebel aja sih... barusan dia SMS ke go-ut bilang gini: 'jeung! salam ya buat kakak jij..'"
"Trus?"
"Ya... gue bentak aja dianya! Kan dah go-ut bilang jangan deketin kakak gue!"
"Hehehe... serem amat?" kataku bercanda.
"Iya lah! sebel aja kalo dia mulai cari-cari mangsa lain.. apalagi kakak gue! Ng.. ya udah ya A! mo jalan-jalan dulu nih! bye!" tutup adikku.
Kuputuskan untuk bangun juga lima menit kemudian. Saat Aku menuangkan air panas dari dispenser pada mug Harry Potter kesayanganku, dari luar terdengar suara orang mengetuk pintu. Aku menyibak gorden sedikit untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Paul sudah ada di teras, kelihatannya dia sedang menjinjing sesuatu di kedua tangannya. Aku mau tidak mau menjadi bertanya dalam hati, mengapa begitu mudahnya orang-orang menemukan alamat rumahku?
"Hei! kok bisa tahu rumah sini?" tanyaku sesaat setelah membukakan pintu.
"Rumah kamu kan paling gampang dicari! dari alamatnya juga udah jelas." Ujar Paul.
"Tumben, pagi bener?" tanyaku. Kalau orang lain yang lebih sensitif mendengar nada suaraku, pasti dia akan menyadari kalau sebenarnya aku sedang menyindirnya. Namun Paul yang ceria tidak menganggapnya demikian, dengan berseri-seri dia berkata, "Iya dong! nih liat! gue bawa apa?"
"Apa?"
"Ini! pesanan kamu yang kemarin! buat ditempel di plafon kamar kamu." Jelasnya sambil mengangkat bungkusan yang dibawa dengan tangan kanannya. Baru jelas kuperhatikan kalau dalam kantung kertas besar itu berisi potongan-potongan styrofoam berbentuk huruf-huruf.
"DUh.. ngerepotin ente aja nih! gue kan cuma becanda waktu itu..." ujarku tidak enak hati.
"Gapapa Rem! asal kamu mau temenin gue nonton ini di sini." Katanya lagi, kali ini dia mengangkat bungkusan yang lebih kecil yang dijinjing oleh tangan kirinya.
"Apaan tuh? Bokep ya? enggak mau ah!" tolakku.
"Bukan! beta mau nonton Smallville bareng kamu!"
"Ooohh.." ujarku sambil terkikik. Paul rupanya mengajak aku menonton secara marathon DVD serial Smallville karena dia sering terlewat mengikuti episodenya di televisi.
Huruf terakhir namaku akhirnya selesai terpasang di langit-langit kamar. Aku yang duduk sambil memeluk lutut di lantai memandanginya dengan senang. Bagus juga pekerjaan tangan Paul, pikirku.
"Beres juga!" sahut Paul puas. Kemudian dia duduk disebelahku sambil ikut-ikutan memandangi hasil karyanya sendiri.
"Yup! thanks ya!" kataku.
Beberapa saat kami terdiam.
"Mmm.. Rem? sebelum nonton, mau..." Paul berkata sambil tersenyum sementara matanya memberi isyarat menunjuk ranjangku.
Mengerti maksudnya, aku menolak dengan berkata, "enggak ah, Paul! lagi males nih, lagian gue belum mandi.." Kamu boleh menyebut kalau aku terlalu sentimental, namun aku tidak pernah membayangkan bercinta dengan cowok lain di ranjangku selain dengan Iqbal.
Wajah Paul berubah muram, sambil menunduk dia berujar, "Sori ya Rem, beta belum sempat minta maaf... soal... waktu kita di Ambon, beta su angkat kamu punya handphone... padahal yang nelepon waktu itu, pacar kamu kan?"
Aku tidak tahu harus bersikap apa, tentu saja Paul tidak akan percaya kalau aku akan semarah itu sementara aku masih membiarkan diriku sendiri tidur dengannya setelah kejadian di Ambon tersebut.
"Kalau enggak merasa bersalah, enggak perlu minta maaf kok..." sahutku.
"Yah.. emang bener sih Rem, gue emang sedikit punya niat enggak baik buat..." Paul tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi aku tahu maksud perkataan dari nada suaranya yang tidak menyiratkan penyesalan.
"Ente berhasil kok! tapi kayaknya itu udah enggak ngaruh, Iqbal mutusin gue sebagian bukan karena ente. Tapi karena dia lagi kebingungan."
Syukurlah, pembicaraan itu terhenti oleh panggilan masuk di ponselku. Kali ini yang menelepon adalah Mbak Dini, istri Iqbal. Selama hampir lima menit aku berbicara dengannya.
"Ng.. Paul?" panggilku tak lama setelah menutup telepon.
"Kenapa Rem?"
"Kayaknya hari ini batal deh nonton Smallville. Gue diundang makan ke rumahnya Bang Iqbal. Istrinya bikin tumpeng buat ngerayain ulang tahun dia." Kataku.
Kalau hari ini Iqbal berulang tahun, dari tadi pagi juga aku sudah tahu karena alarm catatan pengingat di ponselku berdering sejak jam lima. Catatan pengingat yang sudah berminggu-minggu lalu kusiapkan agar tidak melupakan ulang tahun Iqbal dan mengucapkan selamat padanya. Hanya saja aku tidak menyangka disaat dia berulang tahun, keadaan hubungan kami sedang renggang.
Paul menghela nafas kecewa. Tapi kemudian dia menoleh dan bertanya dengan semangat, "Beta ikut kamu ya?"
----
Tidak mungkin kalau aku mengajak Paul ke rumah Iqbal! Itulah sebabnya, walau kelihatan tidak rela, Paul bersedia kuantar hingga stasiun dengan motorku. Paul tidak langsung masuk ke dalam stasiun, melalui kaca spion, aku bisa melihatnya berdiri mengawasi motorku yang menjauh.
----
Pantas saja Mbak Dini mengundang aku untuk makan siang di rumah Iqbal. Rupanya mertua Iqbal tidak ada di rumah. Makan siang keluarga ini hanya diikuti oleh kami berempat. Si Kecil Kayla pun kelihatan senang menikmati potongan cake ulangtahun di hadapannya. Di meja makan itu Aku memilih duduk di samping Kayla, sedang Iqbal duduk tepat di hadapanku.
"Maaf ya Rem, mendadak. Tadinya Mbak udah nyuruh Papanya Kayla buat antar makanan ini ke rumah kamu, soalnya Mbak enggak enak mau ngundang kamu kemari... takut ganggu acara cowok bujangan!" Kata Mbak Dini sambil memotong tumpeng dan meletakkannya ke piring. Iqbal sudah lebih dulu mendapat bagian teratas tumpeng itu dan sedang memakannya bersama potongan daging ayam dan sayuran.
"Haha.. enggak kok Mbak. Kebetulan aku enggak kemana-mana minggu ini.. cuma emang tadi aku ke stasiun dulu... ngantar TEMAN..." Dua kata terakhir kuucapkan sambil melirik Iqbal karena ingin tahu reaksinya.
Iqbal melirik ke arahku tajam, dan kemudian melanjutkan makan. Mbak Dini menyerahkan piring berisi nasi tumpeng lengkap dengan lauknya padaku dan aku menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
"Tapi tadi pagi Kakek-Neneknya Kayla mendadak harus pergi ke Jakarta Rem! Harusnya kita makan siang keluarga ramai-ramai, malahan sepi. Makanya tadi Bang Iqbal nyuruh Mbak nelepon kamu..." Kata Mbak Dini. Gantian aku yang melirik Iqbal sementara dia dengan tenang masih asyik menyantap makanannya.
"Oh iya, nih! kado buat yang ulang tahun," kataku sambil menyerahkan bungkusan plastik berisi sekarton panjang rokok yang tidak sempat aku bungkus dengan kertas kado karena baru saja kubeli di minimarket.
Mbak Dini tertawa melihat pemberianku. "Wah, jadinya Mbak enggak perlu beli rokok buat Papanya Kayla selama seminggu ke depan dong?"
Sambil tersenyum masam Iqbal menerima bungkusan itu dan berkata, "Makasih ya Rem.."
Makan siang sudah selesai. Saat Mbak Dini sedang sibuk membereskan peralatan makan, aku menawarkan diri untuk mengajak Kayla jalan-jalan. "Waduuh.. makasih ya Rem! Mbak jadi punya waktu beres-beres." Kata Mbak DIni.
Setelah meletakkan Kayla di atas sepeda roda tiga Barbie-nya, aku meraih dorongan sepeda itu dan mendorongnya ke jalan. Kayla bertepuk-tepuk senang saat sepeda roda tiga miliknya mulai bergerak ke depan. Sesekali dia sibuk menekan tombol-tombol berwarna merah muda yang berderet pada kemudinya sehingga terdengar alunan musik lucu anak-anak. Untunglah, saat menjelang sore itu udara sudah tidak terlalu panas, bahkan angin berhembus lumayan kencang.
Baru dua rumah kulewati bersama Kayla, kusadari Iqbal mengikuti kami. Aku menoleh dan melihat Iqbal berjalan dibelakang sambil menyalakan sebatang rokok. Akhirnya dia berhasil merendengi kami.
"Kemarin-kemarin... naik kereta di gerbong mana?" tanyaku.
Iqbal menggeleng sambil menghembuskan asap rokoknya. "Enggak naik kereta... beberapa hari kemarin gue ke Bogor nemuin klien." Katanya.
Aku tidak bereaksi. Kami meneruskan jalan-jalan, Kayla di atas sepedanya sudah mulai tenang, dia asyik memerhatikan segala sesuatu yang dilewatinya mulai dari binatang sampai kendaraan.
"Belok sini Rem..." ajak Iqbal. Aku menurutinya membelokkan sepeda Kayla. Jalan yang kami lalui dinaungi pepohonan rindang dan pinggirannya dihiasi batu-batu kali besar dan tanaman pagar berbunga merah cerah. Iqbal kemudian berhenti di salah satu pohon rindang dan memetik setangkai bunga berwarna merah itu dan diserahkannya pada Kayla. Anak kecil itu dengan riang memain-mainkan bunga tersebut.
Iqbal lalu duduk di sebuah batu yang paling besar dan melanjutkan menghisap rokoknya. Aku berdiri tak jauh dari Kayla dan dalam diam aku memerhatikan anak itu.
"Mungkin lu udah enggak inget. Waktu kita pertama kali ngobrol, sebelum lu bilang kalo lu enggak begitu tertarik sama cewek... ada perkataan lu yang masih gue inget sampe sekarang." Kata Iqbal.
Aku menoleh padanya tak mengerti.
"Iya! bahkan waktu gue sempet ngehindarin lu beberapa hari sebelum banjir di Jakarta itu... kata-kata itu yang bikin gue berani nyapa lu lagi... sampai akhirnya kita jadian."
"Kata-kata yang mana?" tanyaku masih tak mengerti.
Iqbal tertawa kecil. "Masih inget gak waktu lu cerita kalau lu pengen banget ke Italia? elu bilang bakalan seru kalau kita bisa bolak-balik antara dua negara hanya dengan satu lompatan? Sesaat elu di Italia, begitu lompat elu sudah sampai di Vatikan yang beda negara. Italia... Vatikan... Italia... Vatikan..."
Aku baru teringat dan langsung tertawa, "iya... gue inget! childish ya?"
Iqbal menggeleng. "Tau enggak Rem? sejak SD kalau gue lewat jalan Tol ke Jakarta, gue selalu iri sama orang-orang yang tinggal di dekat-dekat gapura penanda batas antara Bogor Jakarta. Gue ngebayangin betapa enaknya bisa main bolak-balik antara Jakarta-Bogor hanya dengan melewati gapura itu. Jadi waktu lu cerita soal Italia-Vatikan itu, gue langsung terkejut! Wow.. ternyata bukan cuma gue yang nganggap permainan kayak gitu menarik!" Jelasnya panjang lebar.
Entah mengapa Aku menjadi terharu mendengar cerita Iqbal. Tiba-tiba Iqbal bangun dari duduknya.
"Nah! sekarang kita juga bisa main kayak gitu disini..." Katanya sambil tertawa.
"Hah?"
Iqbal berjalan menuju sebuah prasasti penanda batas wilayah di pinggir jalan yang bertuliskan 'BATAS KABUPATEN BOGOR' tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Kalau gue berjalan ngelewatin batas ini, gue udah ada di DEPOK, sementara lu masih ada di BOGOR..." katanya.
Aku berdiri diam memerhatikan Iqbal berjalan menjauh, dan akhirnya dia berhenti dan berdiri menghadapku, sementara Prasasti penanda batas wilayah itu berada ditengah-tengah kami berdua. Kulihat Iqbal mengeluarkan ponselnya dan menekan-nekan tombolnya sambil tersenyum. Tak lama ponselku bergetar dan aku mengangkatnya.
"Halo Rem? lu dimana?" terdengar suara Iqbal.
Mengerti dengan permainan ini aku menjawab, "Gue masih di Bogor... ente dimana?"
"Ng... gue kayaknya udah sampe Depok nih... Hahahahaha..." Jawabnya sambil tertawa. Akupun ikut tertawa geli.
"Gimana? gue tahu ente lagi di Depok... tapi besok kita berangkat kerja sama-sama naik kereta kan?" tanyaku.
"Oke deh Rem! tapi gue harus balik dulu nih dari Depok ke Bogor..."
"Jauh enggak?" tanyaku sambil bercanda.
"Enggak kok... tinggal lompat aja! Hahahaha..."
Kami berdua tertawa dengan kelakuan kami sendiri yang kekanak-kanakan sementara Kayla memandangi kami heran.
so sweet
hehe,, ketinggalan gw...
lagnsung gw kebut bacanya 8) 8) 8)
makin cinta nih ma topik ini...
AKHIRNYA KANG REMY SAMA IQBAL BAIKAN LAGI
JGN BERANTEM LAGI YACH
Hatur nuhun kang remy
remy...u're d best!!!