It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Waduh sorry ya dah bikin kamu senewen.......
Luv U bro.........
Chapter 1 : Lie Hong
Ada satu sifat yang benar-benar ingin aku ubah yang sepertinya sudah menjadi penyakit menahun: kurang cepat menyesuaikan diri di lingkungan baru. Memasuki lingkungan baru seperti misalnya pekerjaan baru merupakan sebuah siksaan buatku. Dua bulan pertama rasanya sulit sekali bergaul dengan orang lain. Tidak pernah menyapa karyawan lain, kalau datang tidak pernah say hello, atau tidak banyak bicara dengan teman-teman baru kecuali kalau mereka yang memulai duluan. Maka itu mereka dengan sangat mudah menyematkan gelar "si sombong" kepadaku. Padahal buat aku, jauh lebih mengerikan dicap SKSD Palapa (Sok Kenal Sok Dekat Padahal Enggak Tahu Apa-apa) dibandingkan dengan disebut sombong. Itulah, biasanya aku membiarkan saja penilaian itu hilang begitu saja seiring waktu. Aku berprinsip kalau untuk berteman, aku mengumpamakan diri sebagai seorang yang memiliki beruntai tali dengan pengait di ujung-ujungnya, kalau mereka sudah nyaman denganku maka aku tak akan segan-segan mengaitkan tali itu sehingga kami benar-benar bersahabat. Aku juga tidak berusaha menyenangkan semua orang di lingkungan kerja. Kalau mereka ada yang suka berteman denganku, mari bersahabat! tapi kalau tidak, hubungan sebatas profesional pun sudah lebih dari cukup.
Itulah sebabnya, kadang aku ragu menanggapi permintaan 'kopi darat' dari anggota forum. Aku benar-benar mengkhwatirkan kesan pertama mereka kalau sifatku yang kurang cepat bisa akrab itu diketahui mereka. Padahal kalau sudah kenal betul, aku bisa menjadi orang yang sangat nyaman bergaul. Seperti minggu ini, aku yang sedang sibuk menyiapkan bahan rapat pertanggungjawaban kuartalan, diajak bertemu oleh A Hong yang kebetulan sedang berada di Jakarta. Pesan Pribadi yang sampai pertama kali, aku jawab dengan ketidakpastian akan bertemu karena kesibukanku. Lagipula, aku yang belum begitu hafal Jakarta agak malas mencari-cari lokasi yang dia tunjuk kecuali kalau aku pernah ke tempat itu sebelumnya atau diantar oleh teman. Belum lagi pikiranku agak tersita oleh masalah Ice yang masih berusaha menghubungiku. Aku benar-benar malas bertemu dengannya, bertemu saja malas apalagi mendengar curhatnya. Kadang kesadisanku muncul dan membuatku berpikir, ente udah menentukan pilihan! bahagia milik kalian berdua, giliran bermasalah, ngajak-ngajak orang lain! huh!
'saya sedang ada acara di grand tropic, grogol. saya ingin kita bisa ketemu... ' begitu kira-kira isi pesan pribadi yang dikirim Lie Hong, lengkap dengan alamat email, akun friendster, juga nomor ponselnya. Agar adil, aku kemudian memberitahukan padanya nomor ponselku dan alamat friendster juga. Tapi aku benar-benar belum bisa menjanjikan dapat meluangkan waktu ditengah-tengah kesibukan kerja.
"Emang mau ketemu siapa Rem?" tanya Lina saat aku bertanya padanya lokasi Mal Ciputra mengingat dia tinggal di daerah Grogol.
"Ada lah... teman chatting...." jawabku.
"Siapa? cowok apa cewek?" selidiknya lagi.
"Duh! kalo enggak mau ngasih tau, mending gue tanya yang lain aja deh..." kataku sambil bersiap pergi dari ruangannya.
"Ih... cuma nanya aja! Mal Ciputra tuh deket Universitas Tarumanegara... tau kan?"
Aku menggeleng.
"Ya ampun Rem! kamu masa enggak tau lokasi-lokasi di Jakarta sih?" tanya Lina tak percaya.
"Eh! denger ya? gue bisa tunjukkin ente lokas-lokasi enak buat hangout di Bogor, makanan enak, tempat cozy, tapi kalau Jakarta gue bener-bener blanky...!" keluhku.
Lina mengikik geli. "Ya udah Rem, naik Taksi aja!" kata Lina lagi.
"Iya... tahu! entar gue naik taksi!" sahutku sambil meninggalkan ruangannya.
'saya kembali ke Pontianak hari Sabtu, saya harap kamu ada waktu untuk ketemu... ' begitu isi SMS dari Lie Hong hari Jumat pagi, lengkap dengan smiley yang tak pernah luput dia cantumkan pada setiap akhir pesan teksnya.
Jumat sore itu aku kembali lembur hingga jam setengah delapan malam. Lalu aku mengirimkan pesan pada Lie Hong kalau mungkin saja aku bisa meluangkan waktu hari itu untuk bertemu. Mungkin sudah jalannya atau apa, jam setengah delapan aku mendapat tumpangan dari Pak Wen Xiong, manajer keuangan di divisi finance yang memang kalau setiap pulang selalu melewati arah Grogol.
"Lu mau ikut Rem?" tanyanya.
"Iya pak, kalau boleh... soalnya saya mau main ke Citraland."
"Ya udah, lu tunggu aja, aku pulang jam setengah delapan.."
Mengetahui kalau aku akan berangkat ke Citraland, rupanya mengundang perhatian Lina dan Veronika, dua cewek di kantor yang selalu berusaha dekat-dekat denganku itu mendadak ingin ikut. Padahal yang aku mau, kalau aku bisa bertemu dengan Lie Hong, mengobrol sebentar lalu pulang ke rumah. Sekarang malah aku berkewajiban mengantar dua jiejie cantik untuk jalan-jalan terlebih dahulu.
Setengah delapan lewat, aku sudah berada dalam mobil Mercedez-Benz pak Wen Xiong menuju arah Grogol. Aku, Lina, dan Veronika duduk di belakang. Dari radio aku mendengar kalau hari itu rupiah sudah menembus level tigabelas ribu rupiah. Lina dan Veronika sibuk mengeluhkan kalau barang-barang elektronik yang akan mereka beli pasti harganya ikut merangkak naik. Sedangkan aku, aku hanya diam sambil menatap jalan.
"Tumben macet..." kata Pak Wen Xiong pada sopirnya.
"Gara-gara Remy tiba-tiba mau ke Citraland sih.. hihi..." kata Lina, sementara Veronika cuma tersenyum.
"Eh! Rem! kalau kamu mau tahu, rumahku masuk ke jalan itu loh!" ujar Lina bersemangat sambil menunjuk sebuah arah di luar.
Aku malas-malasan melihat ke arah yang Lina tunjuk.
"Kenapa gak turun aja Lin? kan udah sampe, biar gue aja yang temenin Remy ke CL (Citraland)..." kata Veronika sadis.
"Enak aja! orang gue mau main dulu! elu aja yang turun! kan rumah elu tinggal ganti mikrolet di depan!" sahut Lina tak mau kalah.
Aku hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan dua gadis itu. Sementara Pak Wen Xiong tertawa sambil meledek. "Hebat ya lu Rem, enggak tau jalan, bodyguardnya yang siap nganterin malah dua cewek..."
Au tertawa sementara Lina dan Veronika bersungut-sungut kesal.
Setibanya di Citraland, aku harus mengantarkan mereka jalan-jalan terlebih dahulu. Terpaksa aku membertahu Hong kalau aku harus mengantar mereka berputar-putar dan makan bakso dulu di situ. Setelah puas mengantar mereka dan Mal hampir tutup, aku kemudian berpisah jalan dengan mereka.
"Saya tunggu di lobby ya? dari CL sekitar lima menit kalau jalan ke Grand Tropic... "
Kemudian aku berjalan ke trotoar jalan. Jalan raya masih sangat padat malam itu. Melihat lokasinya yang cukup jauh membuat sifat merajuk aku muncul. Hampir saja aku tergoda naik saat sebuah Bus Mayasari Bakti jurusan Grogol-Cibinong yang lewat di depan mataku. Kalau aku naik ini, hanya sekali jalan sampai tiba di rumah orang tuaku! pikirku saat itu. Buat apa jauh-jauh bertemu dengan Lie Hong? tetaoi kemudian aku mengurungkan niat untuk pulang dan memutuskan untuk meneleponnya.
"Lu mau gua jemput Rem?" tanya Lie Hong ramah.
"Iya..." jawabku.
"Ya udah.. bilang aja.. kalau lu mau gua jemput, gua jemput ke sana... lu tunggu gua ya?"
Akhirnya aku memilih duduk di dekat sebuah pilar tak jauh dari kedai Dunkin Donuts. Lampu-lampu utama mal sudah dipadamkan. Aku menunggu dengan penerangan minimal yang berasal dari lampu-lampu kecil mal dan sinar dari jalan raya. Lima menit berlalu. Akhirnya sesosok jangkung berpakaian batik dan bercelana hitam datang menghampiriku. Dengan nada lembut dia menyapa. "Remy ya? apa kabar?"
Aku yang asyik memainkan ponselku mendongak dan terpesona oleh sosok tampan berkulit putih seperti porselen dengan senyum keramahan yang amat memikat...
"Gua Lie Hong..." katanya sambil mengambil tempat duduk di sebelahku.
Oh.. jadi inikah yang bernama Lie Hong? sang penulis Kisah Serpihan Hidupku yang selalu kuikuti ceritanya? hampir tak bisa berkata-kata aku hanya bisa memandanginya.
******
"Sorry ya? sifat ngerajuk gue kumat..." kataku sambil nyengir saat aku berjalan dengan Lie Hong menuju hotel Grand Tropic.
"Harusnya lu bilang aja Rem, kalau mau di jemput... gua pasti jemput lu..." ujar Lie Hong sambil merangkul pundakku.
Aku nyengir merasa tak enak hati.
Sesampainya di Hotel, Lobby sudah sepi. Hanya ada dua orang masih berbincang di sudut yang gelap. Aku dan Lie Hong mengambil tempat duduk di dekat kolam renang. Masih sangat terang dengan penerangan lampu-lampu besar yang menyorot dari seberang kolam, kami berbincang. Ah... terlalu banyak yang kami bicarakan, terlalu banyak pula obrolan yang bersifat pribadi hingga aku putuskan tidak akan kutuliskan di sini. Tidak terasa kita asyik berbincang hingga jam setengah tiga pagi dan aku benar-benar mengantuk. Aku terkaget saat Lie Hong memukul lenganku. "Nyamuk..." katanya sambil tersenyum. Aku membalas senyumannya dan kembali mengobrol sambil menahan kuap. Lalu aku balas memukul lengannya saat seeokor nyamuk hinggap di lengannya yang putih mulus itu. Kami berdua tertawa kecil.
"Ada ekstra Bed di kamar gua Rem.. kalau mau tidur.. pulang besok pagi aja... atau tetap mau pulang naik taksi?" tawar Lie Hong.
Hmm... membayangkan ranjang empuk dan mandi air hangat sungguh menggoda. Akhirnya aku mengiyakan ajakannya untuk pergi ke kamarnya yang terletak di lantai dua puluh.
"Bawa baju ganti Rem?" tanya Lie Hong saat aku bersiap untuk mandi. Saat itu aku sudah berada di kamar hotelnya.
Aku menggeleng.
"Pake kaus gua aja..." katanya lagi sambil menyerahkan kaus abu-abu yang dia ambil dari lemari pakaian.
Aku mengucapkan terimakasih dan berjalan menuju kamar mandi. Segar sekali rasanya mandi air hangat malam hari. Saking segarnya malah aku tidak bisa tidur. Lie Hong yang selesai mandi pun kini telah berganti pakaian. Dia meminta izin padaku untuk memasang alarm jam lima pagi karena harus segera ke bandara jam delapan.
Kaus yang dipinjamkan Lie Hong terasa hangat di badan, apalagi masih terdapat sisa-sisa aroma segar parfum yang dia pakai masih menempel di serat-serat kainnya. Aku duduk memandang keluar jendela. Langit masih gelap. Beginilah pemandangan jakarta dari lantai dua puluh gedung bertingkat. Sangat indah... tapi aku tidak bisa memejamkan mata. Aku memandang ranjang Lie Hong. Ah, betapa damainya dia tertidur. Di meja tepat di tengah-tengah dua buah ranjang ini, masih tergeletak buku Benny and Mice, sebuah buku karikatur yang baru dia beli di toko buku, katanya, yang sempat dia perlihatkan padaku sebelum tidur.
Aku menghela nafas. Udara pendingin di ruangan ini sangat rendah. Seandainya saja... seandainya saja ranjang sekecil ini ditempati oleh dua orang, pasti akan terasa hangat sekali.. Uh! membayangkannya saja sudah membuatku merasakan kehangatan. Aku diam lagi menatap ranjang yang ditiduri Lie Hong. Enak sekali rasanya, kalau aku menyusup ke dalam selimutnya dan tidur di sebelahnya... pasti terasa hangat.... Kemudian aku terlonjak dan segera turun dari ranjang.
*******
Pertemuanku dengan Lie Hong ditutup oleh sarapan pagi di Hotel. Sebelum turun dia sempat memberikan aku buku karya Fa berjudul Heterophobia. "Gua bingung simpannya Rem, mending buat lu aja di baca... gua udah selesai bacanya.." ujarnya sambil memaksaku menerima buku pemberiannya.
"Jangan lupa ya Rem! kirimin gua buku lu kalau udah terbit."
"Pasti Hong!" ujarku mantap sambil mengangguk.
"Kapan ke Jakarta lagi?" tanyaku.
"Gua enggak tahu pasti Rem..." jawabnya.
"Yah, kalau emang ada kesempatan, kita ketemu lagi ya?" kataku.
Hmm.. pertemuan yang sungguh berkesan. Aku mendapatkan banyak pengetahuan baru saat berbincang dengannya. Wawasannya yang luas dan cerita-cerita menarik yang dia tuturkan serasa menempel di pikiranku untuk selalu diingat. Sayang, aku terlalu pelit untuk membaginya dengan orang lain... maka itu aku memutuskan, biarlah ini menjadi suatu percakapan pribadi yang menyenangkan yang menjadi milikku sendiri (luv u Hong!). Akhirnya dalam Bus, aku bisa tertidur lelap.
Well, sepertinya resolusi pertamaku untuk tahun depan adalah, mencoba bersikap lebih ramah dan bersahabat pada orang lain....
********
Yah... ane sih emang bawaannya gampang senewen jeung.. luv u too... 8) 8)
Duuuh.... yakin nih ente? ane player sejati? 8)
Kangen?? si Bule gak dikangenin noh?? heheh... 8) 8)
Siapa bilang kalau September selalu Ceria dan Desember harus Kelabu? Setidaknya stigma yang muncul dari lagu itu tidak berlaku padaku. Pertama: September lalu saat aku mengira hidupku akan berakhir dengan cepat akibat diagnosa tumor di kepalaku, yang belakangan terbukti tidak benar, membuatku merasa kelam kelabu sepanjang bulan itu. Kedua: Awal Desember aku berkesempatan bertemu seorang pemuda tampan asal Bali yang meluangkan waktunya bertemu denganku saat dia berada di Jakarta.
Awalnya dia mengirim pesan pribadi padaku dan memberitahukan kalau dia sedang berada di Jakarta. Tepatnya dia sedang tinggal di sebuah Hotel di kawasan Jakarta Pusat. Setelah saling bertukar nomor ponsel, aku bilang padanya kalau aku bisa bertemu dengannya saat aku lembur hari Sabtu. Kebetulan aku memang berniat menyelesaikan sebuah presentasi menjelang rapat direksi pada hari senin sehingga aku berniat datang ke kantor sabtu itu dan menyelesaikannya. Hmm... rupanya Eka (sori say, enggak bisa nemuin ide nama lain buat mengganti nama asli ente) selama di Jakarta belum sempat mengunjungi daerah Glodok yang memang tidak terlalu jauh dari kantorku.
"Dari Harmoni naik busway ke arah mana Rem?" tanyanya.
"Ente naik aja ke arah Kota, nanti turun di Halte Glodok."
Jam sembilan pagi, aku baru tiba di daerah Senen. Dengan mengambil rute Busway jurusan Harmoni dan melanjutkan ke arah Kota, aku mencoba menyusul Eka yang rupanya sudah sejam lalu tiba di sana.
"Aku nunggu di LTC aja ya Rem? yang ada Giant nya." ujarnya.
Ketika sampai di Halte Glodok, aku menghubunginya. Rupanya dia tidak lagi berada di LTC melainkan sudah berjalan hingga Plaza Pinangsia dan Harco Glodok. Aku bilang padanya kalau aku akan menunggunya tak jauh dari KFC. Sebenarnya aku malas kopi darat kalau belum pernah melihat wajah orang yang akan kutemui, tapi entah mengapa, aku lebih menggunakan insting daripada logika saat aku memutuskan untuk bertemu dengannya. Lagipula, apa sih yang menakutkan dari seorang pria berumur dua puluh tahun yang dari pesan pribadinya saja sudah terkesan kalau dia adalah seorang pemuda yang santun? Oke! mungkin saja dia berpura-pura ramah dan memalsukan umur, atau dia mungkin seorang kriminal. Tapi sekali lagi... saat itu aku lebih memercayai instingku.
Aku duduk di sebuah pilar tak jauh dari gerai KFC di Glodok Plaza. "Aku pakai baju merah Rem." katanya pada pesan singkat yang dia kirimkan. Saat aku melihat sekeliling, hanya ada satu orang pria berkaus merah, dan aku yakin itu bukan dia, setidaknya kalau dia berusia sekitar empat puluh tahunan dan bukannya dua puluh tahun seperti yang dia bilang. Di depan KFC pun tak ada siapa-siapa, dan di dalamnya tak ada seorang pun yang berkaus merah. Sambil menunggunya aku kemudian menelepon kantor memastikan bahwa beberapa direksi yang akan rapat hari senin nanti sudah datang.
Setelah aku selesai menelepon kantor, sebuah pesan singkat masuk. "Aku udah ada di depan KFC Rem."
Aku langsung menoleh ke arah pintu depan KFC. Dua buah bangku yang tadinya kosong di depan pintu KFC kini salah satunya sudah diduduki oleh seseorang. Sayang, posisinya yang terhalang pilar membuatku hanya bisa melihat kaki orang itu yang terbalut Jeans dan bersepatu kets putih. Dengan langkah perlahan aku menghampiri bangku itu, setelah aku mendekat dan pandanganku tak lagi terhalang pilar, aku melihat seorang pria muda tampan, beralis tegas, dan bermata ramah tersenyum sangat manis padaku sehingga hatiku seperti meleleh. Dia berkaus merah! tak salah lagi... dialah si lelaki bali...
******
"Remy ya? apa kabar?" katanya sambil mengulurkan tangannya.
Terpesona olehnya aku sempat mengabaikan uluran tangannya sesaat, namun kemudian aku menjabat tangannya juga. Hm.. lengannya berbulu... Itu yang kuperhatikan berikutnya selain rambut hitamnya yang berpotongan spike.
"Eka ya? udah lama nunggu?" tanyaku sambil membetulkan letak kacamata mencoba sedikit menghilangkan kegugupan.
"Lumayan, tapi tadi aku sempet cari DVD dulu... lumayan, dapat The Dark Knights..." katanya dengan logat Bali yang tak begitu kental sambil mengeluarkan bungkusan plastik hitam berisi sekitar sepuluh keping DVD dari ransel hitamnya.
"Rupanya kalau beli sepuluh dapat bonus dua ya?" ujarnya riang.
Aku tersenyum.
"Gue juga mau beli DVD di sini, tapi biasanya di Pinangsia situ." kataku.
"Ayok! aku antar." ujarnya bersemangat.
"Enggak makan dulu?" tawarku mengingat bahwa kita berdua sedang berada di depan gerai KFC.
"Emangnya kamu mau makan dulu Rem?"
"Ng.. enggak juga sih, masih jam sepuluh. Kalau gitu kita jalan-jalan aja dulu ya? baru makan."
"Oke!"
Sungguh! berada di samping seorang pemuda tampan dan charming seperti dia membuatku sedikit gugup. Maka itu aku sedapat mungkin bersikap biasa saat sibuk mencari-cari film yang akan aku beli.
"Emang cari apa sih Rem?" tanya Eka.
"Gossip Girl.. pengen nonton marathon." kataku sambil memeriksa satu-persatu tumpukan serial barat di salah satu sudut sebuah toko penjual DVD bajakan.
Setelah cukup lama mencari, aku mendapatkan DVD yang aku mau dan sepertinya Eka juga membeli beberapa keping lagi.
"James Bond - Quantum of Solace... katanya udah bagus.." katanya sambil nyengir.
Tak terasa kami berputar-putar sudah satu jam lebih. Satu hal lagi yang aku perhatikan, Eka tak pernah melepas handuk kecil yang dia pegang. Saat kutanya alasannya dia menjawab kalau dia gampang berkeringat.
"Di Jakarta gini sih, enggak seberapa Rem! kalau di Bali mataharinya lebih menyengat." katanya.
"Ka? lapar nih, makan dulu yuk?" tawarku.
"Oke Rem, makan di mana kita?"
"Hmm.. kalau fried chicken kayaknya bosen deh." ujarku.
"Gimana kalau kita ke LTC aja Rem? di sana ada foodcourtnya.." usul Eka.
Kemudian kami berdua menyusuri trotoar menuju LTC Glodok. Sempat dihadang oleh Abang-abang penjual DVD porno yang dengan gencar menawarkan sambil menarik-narik tangan kami. Aku agak kesal saat seorang Abang penjual yang wajahnya menyebalkan menarik lengan Eka dan merangkul pinggangnya berusaha membuatnya melihat barang dagangannya itu. Tapi Eka akhirnya bisa meloloskan diri dan kembali berjalan bersamaku.
Sesungguhnya aku belum paham seluk beluk LTC glodok, oleh sebab itu aku dan Eka sempat tersesat bertanya-tanya dimana letak foodcourt berada. "Let's go get lost.. let's go get lost..." aku bersenandung bait lagu milik Red Hot Chilli Pepper. Kalau harus tersesat dengan seorang cowok ganteng, siapa juga yang menolak? pikirku.
Saat menemukan tempatnya, Eka terlihat lega. "Akhirnya ketemu juga! eh Rem, di sini ada Internet gratis loh!" katanya sambil menuju sebuah perangkat komputer.
"Punya friendster? alamat emailnya apa?" tanyaku.
"Sama dengan YM, ditambah at yahoo dot com..." jawab Eka.
Kemudian aku membuka akun friendsternya. Sudah kuduga! dari dulu aku selalu beranggapan bahwa seseorang yang memiliki foto diri lebih dari lima puluh buah di akun jejaring sosialnya adalah termasuk orang-orang yang kategori narsisnya sudah akut. Begitu juga Eka. Pantaslah dia narsis dengan wajah tampan yang dimilikinya.
"Wow.. ente finalis kontes ini?" tanyaku saat melihat beberapa foto yang memajang wajahnya sebagai seorang finalis sebuah kontes pemilihan model.
Eka hanya tersenyum.
"Pantes lah.. ente ganteng sih.." kataku.
"Gue add ya?" tanyaku.
"Silakan Rem.." katanya.
Siang itu kami makan soto sambil bercerita seru seputar kegiatannya.
"Aku sempat ke Bogor loh Rem, kita sekeluarga sembahyang di sana... Aku juga catat tuh jalan apa aja yang kita lewatin sampai ke sana." katanya menceritakan sebuah tempat Sembahyang untuk umat Hindu di sebuah perbukitan di daerah Bogor.
Sayang, waktu yang sangat singkat itu harus berakhir. Aku harus segera ke kantor karena hari sudah siang. Sementara Eka bilang akan kembali keliling Jakarta. Uuh.. tidak rela rasanya kalau harus berpisah dengannya. Oleh karena itu sore hari saat aku pulang dari kantor, aku berpikir akan mengajaknya jalan-jalan di Bogor....
*******
"Mmm.. aku gak janji ya Rem? soalnya besok ada acara Sembahyang sama keluargaku.." jawab Eka dalam pesan singkat yang dikirimkan.
"Ya udah.. tapi kalau jadi, bilang ya? ente bisa naik kereta dari Gambir kalau enggak Juanda." kataku. Kalau sudah menyangkut ibadah, aku tidak bisa lagi memaksa.
Malamnya aku melonjak kegirangan saat Eka memastikan kalau dia telah mendapat izin dari keluarganya untuk pergi ke Bogor.
"Aku sebaiknya naik kereta darimana ya Rem?" tanyanya.
"Mmm.. dari Gambir juga bisa, cuma kalau naik dari Juanda lebih banyak pilihan..." kataku.
Rupanya Eka memilih naik dari Gambir. Aku sudah memberitahukannya agar mengabariku apabila dia telah naik kereta Ekpres agar aku bisa mengira-ngira harus menunggu jam berapa di stasiun Kota.
Sekitar jam sembilan lewat lima belas, Pakuan Ekpres pertama dari Jakarta tiba. Ponselku bergetar saat Eka meneleponku. Aku yang sedang menghabiskan sepotong donat dan minuman es cokelat, melambaikan tangan memanggilnya. Dia kemudian masuk ke gerai Dunkin Donuts dan menjabat tanganku. Pakaiannya tak jauh beda dengan kemarin: kaus, celana jeans, dan sepatu kets, lengkap dengan tas ransel hitamnya. Tapi ada yang berubah dari penampilannya, rambutnya sudah terpangkas lebih pendek.
"Aku kemarin ke Mangga dua Square Rem! potong rambut dulu dan dapat kaus ini.." katanya sambil menunjuk kaus merah tua bertuliskan 'I Sold myself out and it feels good'.
"Hahaha... sesuai dengan jiwa ente kah?" godaku. Eka nyengir.
Kemudian aku mengajaknya keluar dari stasiun dan berjalan ke arah Istana Bogor. Sudah lama sebenarnya aku ingin berfoto-foto dengan rusa yang berkeliaran di halaman istana, yang kalau pagi biasanya mendapatkan makanan dari pengunjung yang memberi mereka makan dari luar pagar.
"Eh, tau enggak Rem? tadi di kereta aku dilihatin sama Om-om.." kata Eka mulai bercerita.
"Ganteng enggak?" tanyaku.
"Ganteng.. mukanya mirip artis yang kembar itu. Fadli sama Fadlan."
"Weeew... kenapa enggak diajak kenalan?"
"Malas aku Rem! dia ngeliatin dari gerbong sebelah. Cuma gara-gara sepi kan akhirnya jadi kelihatan jelas. Lagian kan enggak bakal ketemu lagi..."
"Yeh.. tukeran nomor Hape kek? ntar kan ente bisa oper ke gue biar gue lanjutin.. hehehe.."
"Dasar Remy gatel!" kata Eka sambil tertawa.
Kemudian kami mengambil gambar di sekitar Istana Bogor sebelum melanjutkan ke Kebun Raya.
"Sebetulnya dulu aku pernah ke Kebun Raya Rem... cuma waktu itu sama teman-teman sekolah.. udah lama." kata Eka.
"Ohya?"
Eka mengangguk."Cuma waktu itu enggak tahu deh, ada Rumah Anggrek kayak di cerita kamu apa enggak."
Apa yang terjadi kalau dua orang manusia narsis yang dilengkapi kamera berada di tempat wisata? pasti tak akan jauh dari berfoto-foto. Setelah puas mengambil gambar di pintu gerbang, kami melanjutkan perjalanan di dalam kebun raya. Kegiatan kami tak jauh dari berfoto-foto. Uuh.. seandainya aku berada di tempat yang lebih privat, tentu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berusaha lebih dekat dengan cowok ganteng ini.
"Ke kuburan Belanda yuk? gue dari dulu belum kesampaian foto-foto di sana." usulku.
"Di sebelah mana Rem?" tanya Eka.
"Kayaknya enggak jauh dari sini deh, tuh! arahnya."
Sempat kesulitan menemukan lokasi kuburan belanda itu, akhirnya kami sampai juga setelah bertanya pada seseorang. Letaknya jauh di dalam kerimbunan pohon dan semak dan bukan di jalan utama. Siang hari saja suasananya sudah cukup menyeramkan, apalagi malam? pikirku. Area pekuburan itu kurang terawat. Batu-batu nisannya yang bertuliskan nama-nama berbau belanda sudah terlihat sangat tua dan beberapa ada yang berlumut dengan cat yang mengelupas di sana-sini sehingga menambahkan kesan angker.
"Siapa juga yang mau duduk di sana?" ujarku sambil menunjuk meja dan dua buah bangku semen panjang tak jauh dari komplek pemakaman. Posisinya tepat menghadap makam seolah siapapun yang duduk disitu akan sangat jelas disuguhi pemandangan makam dan batu nisannya.
"Kalau malam, mereka ketemuan dan pacaran di situ kali Rem?" ujar Eka sambil terkikik.
Kemudian kami terdiam. Saat itu aku berpikir betapa sia-sia kalau momen seperti ini terlewatkan. Di tempat sepi, terlindung oleh semak rimbun dan pepohonan rapat. Peduli setan dengan mitos dilarang melakukan sesuatu yang melanggar norma di tempat angker! yang aku tahu saat aku menatap wajah tampan Eka... aku merasa harus menciumnya saat itu juga...
*******
Setelah 'puas' dengan area Makam Belanda, kami memutuskan untuk pergi ke Rumah Anggrek. Sayang, setibanya di sana bunga-bunga anggrek yang ada sedang tidak mekar dengan banyak dan sempurna. Berada di tempat ini membuatku teringat lagi saat Iqbal memutuskan hubungan denganku di sini. Terutama saat aku ke lantai atas rumah anggrek.
"Ssst.. lihat Rem! tuh ada dua cowok bule!" kata Eka sambil menunjuk ke bawah. Di bawah, rupanya ada dua pria kaukasia berusia sekitar empat puluhan sedang asyik mengambil gambar bunga-bunga anggrek dengan kamera yang mereka bawa.
"Wah! pas bener tuh! gue yang pake kaus cokelat ya? hihihi.." kataku. Lalu kami berdua tertawa.
"Ka?" aku memanggilnya setelah kami berdua puas berdebat kosong dan tertawa-tawa memutuskan siapa harus tidur dengan bule yang mana sampai kedua pria asing itu keluar dari rumah anggrek tanpa menyadari telah menjadi bahan gunjingan kami berdua.
"Iya Rem?"
"Makasih ya?" kataku.
"Makasih kenapa?"
"Makasih udah enggak nanya-nanya soal Iqbal... dari kemarin malah! ente orang pertama yang mau kenal sama gue tanpa penasaran Iqbal itu bagaimana..."
"Yah.. aku juga enggak mau nanya-nanya kok Rem, kalo emang kamu enggak mau cerita ya aku juga enggak maksa..." ujar Eka sambil tersenyum.
Sebenarnya aku memang jengah saat berkenalan dengan seseorang dari forum yang sudah membaca ceritaku, berusaha kenal, lalu ujung-ujungnya selalu menanyakan Iqbal. Memang tidak ada yang salah. Hanya saja, kadang aku tidak berminat untuk bercerita tentangnya. Bukankah mereka bisa tahu bagaimana Iqbal dari ceritaku? Sehingga muncul prasangka, kalau semua yang ingin mengenal Remy, sesungguhnya niat utama mereka adalah mencari tahu bagaimana Iqbal sebenarnya. Hal itulah yang membuatku kadang sedikit sensitif dan posesif sehingga merubahku menjadi orang yang bisa sangat menyebalkan.
"Eh.. ente gak khawatir?" tanyaku.
"Khawatir kenapa Rem?"
"Kalau gue bukan Remy yang asli, dan ternyata psikopat atau seorang kriminal?"
Eka tertawa.
"Yeee.. benaran! tadi ente enggak rasa-rasa nitipin ransel sama Nokia N-95 ente ke gue... gimana kalau gue kabur? atau gue bunuh ente di kebon raya tadi trus barang-barang ente ane ambil?"
Eka tertawa makin keras.
"Enggak lah.. gue percaya kamu tuh Remy kok! kecuali kalau Remy tuh emang benaran cewek berjilbab dan berkursi roda seperti yang kamu tulis di cerita..."
Kami berdua kemudian kembali tertawa.
*******
Perjalanan kami lanjutkan ke Botani Square Mall. Kami makan siang di situ lalu melanjutkan kembali perjalanan ke Mal ekalokasari. Di foodcourt tak jauh dari studio 21 cineplex, kami memesan minuman dan lanjut berbincang mengenai kegiatannya, kuliahnya, dan keluarganya.
"Di sini banyak juga ya?" tanyanya.
"Apanya yang banyak?" ujarku tak mengerti.
"PLU! tuh! di belakang aku ada, sendirian.. di sebelah situ, ada juga sama temannya. Tadi barusan pas jalan, ada cowok lihatin aku... " katanya sambil tersenyum.
"Masa sih? kok gue enggak bisa ngerasain yah?"
"Hehehe.. tandanya Rem, kalau mereka merhatiin kita lebih dari lima detik, kemungkinan besar dia PLU juga." ujarnya riang.
"Ooh.. abis ente cute banget sih... jadinya diliatin deh, dan gue jadi males jelalatan..." kataku sambil tersenyum.
"Dasar Remy gombal!" kata Eka.
Fuuh.. hari yang indah bersama si lelaki bali harus berakhir di tangan jadwal kereta ekspres terakhir yang memaksa kami berdua harus segera meninggalkan mal menuju stasiun Bogor.
Sambil menunggu kereta, Eka sekali lagi berkata padaku. "Rem... kalau ke Bali jangan lupa hubungin aku ya? nanti gantian aku yang ajak kamu jalan-jalan."
"Beres!" kataku.
Lima belas menit kemudian kereta pakuan tiba. Aku menemani Eka sampai ke dalam gerbong. Sebelum berpamitan aku berbincang dengannya sebentar.
"Makasih ya Rem, udah nemanin aku." kata Eka.
"Sama-sama Ka! makasih juga buat hari yang menyenangkan..."
Lalu aku menjabat tangannya, Berat rasanya berpisah dengan Eka... lalu sebelum pamit aku menyempatkan diri mengelus lengannya yang berbulu karena gemas. "Tangan ente.. ngegemesin..." kataku sambil beranjak keluar dari gerbong. Kulihat Eka hanya nyengir melihat tingkahku.
Saat aku berada di bus, aku mengirimkan pesan singkat padanya... "I'm gonna miss u my friend... lelaki_bali ku...." Lalu aku menutup ponselku dan menikmati sisa perjalanan menuju rumah.
******
Resolusi #2: Mencoba lebih terbuka dan mengandalkan insting...
Ada keuntungan seandainya kita sebagai Gay tidak bersikap melambai ataupun pecicilan di tempat kerja. Aku juga termasuk bukan sissy walau tidak juga disebut terlalu macho. Hanya berusaha menjaga sikap! itu saja. Itulah, karena tidak ada yang menyadari kalau aku Gay, maka dengan mudahnya aku dianggap bercanda apabila aku mulai bertingkah seperti gay ABG. Kebiasaan bercandaku di kantor kalau aku sudah kumat, adalah memanggil semua karyawan, terutama yang usianya di atas tiga puluh lima tahun dengan sebutan Oom. Jadi mereka akan tertawa apabila aku sudah bertingkah seperti brondong kegatelan dan flirting dengan mereka. Ucapan-ucapan kalimat seperti: 'Oom... makan siang di mana oom? traktir dong??' atau 'Oom.. jemput aku di kampus ya Oom? sekalian beliin pulsa!' bahkan kalimat yang agak menjurus, 'Oom.. pulang kerja check-in yuk Oom?" sudah dianggap bagian dari candaku yang super-duper jahil.
Nah, kesempatan 'dianggap bercanda' ini tentu saja tidak aku sia-siakan. Terutama untuk coba-coba menjebak seorang asisten manajer di divisi teknik. Namanya Pak Arya. Usianya empat puluh tahun, menikah dan sudah memiliki tiga orang anak. Wajahnya? lumayan tampan mirip Donny Damara versi berkacamata dan pastinya tergolong 4G(Gadun Ganteng Gimanaaaaa Gitu!) juga.
Biasanya aku mulai flirting dengannya via YM. Selalu menyisipkan emotikon kiss dan love struck serta berkali-kali bilang padanya kalau aku benar-benar tertarik. Tentu saja, dia selalu menganggap aku bercanda dan hanya menanggapiku dengan tawa. Buatku juga tak ada ruginya! kalau memang dia tidak tertarik, aku dengan mudah berkata padanya kalau selama ini aku cuma bercanda. Tapi kalau dia lemah iman? nah.. itulah saatnya aku bertindak lebih jauh.
Suatu sore di hari jumat yang mendung, tiba-tiba Pak Arya menyapaku lewat chat.
"Rem...."
"Iya Oom?" balasku lengkap dengan emotikon kiss.
"Punyaku kok gatel yah?" tulisnya.
"xixixi.. kok bisa sih oom?"
"Enaknya diapain yah.....?"
"Ya digaruk dong oom!" balasku.
"Kamu mau garukin gak Rem....?"
O-ow.. rupanya dia sudah mulai menjurus. Namun aku belum yakin dia serius atau bercanda. Memang pancingan ini sangat-sangat tidak bermutu karena mungkin dia tidak terbiasa flirting dengan cowok (haha! pure straight rupanya! tapi lebih asik begini daripada yang ahli, karena kalau dia lihai berarti sudah terbiasa dan banyak korbannya), tapi tetap saja mulai membuatku horny.
"Ummm.. mau..." jawabku.
"Ya udah... kita ke toilet di deket ruanganku aja... kamu kocokin aku, nanti gantian deh..."
"Yah.. di toilet? ogah ah! takut ketahuan..."
"Gapapa lah say... cepetan nih... barangku udah ngaceng..."
"Enggak ah... ada Oom Cecep..." tolakku masih mengetes seberapa seriusnya dia. Oom Cecep yang kumaksud adalah atasan langsung Pak Arya.
"Aman kok say... Oom Cecep lagi ke dokter... cepetan say, udah gak tahan... asal gak suara, aman aja kok..."
Waduh! rupanya Pak Arya sudah benar-benar horny nih.
"Kan gak asik Oom..."
"Disini banyak pengharum ruangan kok... kamu ke sini aja dulu, nanti kita sama-sama ke kamar mandi...."
"Mmm... pengen sih Oom.. aku juga dah ngaceng nih... tapi aku lebih suka ngemut loh oom.."
"Aku juga suka banget kalo diemut... apalagi kalau sampai keluar... crut..crut..."
Ya ampun!! sumpah! aku ingin tertawa walau tetap saja dibuat horny. Aku yakin kalau Pak Arya belum pernah sekalipun diservis oral oleh istrinya atau orang lain justru gara-gara aku membaca kalimatnya itu.
"Kalau aku sih Oom... sukanya nelen oom.. sekalian biar enggak berantakan n gak ada jejak.. hihihi..." pancingku lagi.
"Aduh Rem... cepetan say... Oom dah gak tahan nih..."
"Hihihi.. kenapa sih Oom? enggak dikasih ya sama istrinya... ah! Oom Arya ngejailin nih! jangan-jangan ngejebak lagi?"
"Beneran say... kamu jangan kebanyakan mikir doong..."
"Ya udah... aku ke sana ya, bawa gelas ambil air.. nanti susul aja di kamar mandi..."
Dengan susah payah menyembunyikan penisku sendiri yang sudah menegang dan tercetak di celana kerja, aku buru-buru mengambil gelas dan menuju ke lantai tempat Pak Arya bekerja. Dia ada di situ sedang berkerja sendiri. Benar katanya, tak ada seorangpun di situ. Lalu tanpa menoleh aku kemudian mengucurkan air dari dispenser ke dalam gelas.
Setelah selesai menuangkan air, aku segera berjalan menuju kamar mandi. Sebelum masuk aku letakkan dulu gelas yang aku bawa pada sebuah rak dokumen tak jauh dari pintu kamar mandi. Sengaja aku keraskan suaranya saat aku menutup pintu. Dengan berdebar dan berharap kalau ini bukan jebakan, aku menunggu di dalam kamar mandi.
Tak sampai satu menit, seseorang mengetuk pintu kamar mandi. Aku membuka pintu kamar mandi dan Melihat Pak Arya dengan gugup memandangku, mungkin dia juga ragu kalau aku serius dan tidak menyangka akan benar-benar datang ke kamar mandi. Lalu aku menarik lengan Pak Arya dan mengajaknya masuk ke Kamar Mandi. Kami berdua berdiri berhadapan, aku bisa melihat jelas wajah Pak Arya yang memerah karena horny bercampur dengan gugup dan salah tingkah. Saat aku mencoba mencium bibirnya, Pak Arya mengelak dengan memalingkan muka. Hmm.. cuma straight asli yang menolak berciuman dengan cowok. Tapi aku tidak keberatan. Kemudian aku berjongkok dan mulai membuka ikat pinggang dan pengait celana kerjanya. Aku melihat wajahnya mulai berkeringat. Berkali-kali tampak Pak Arya menelan ludah dan tubuhnya sedikit gemetar. Badannya sedikit berjengit saat aku menurunkan celana dalamnya sehingga penisnya yang sudah dalam keadaan ereksi maksimal itu menyembul bebas. Besar, tapi bukan ukuran king-size, artinya aku bisa melahap semuanya hingga ke pangkal. Saat aku mulai mengocok penisnya, aku menatap mata Pak Arya sambil tersenyum. Dia buru-buru mengalihkan pandangannya.. Oke! jadi mau ente di servis aja nih? lalu dengan sekali gerakan aku mulai melahap penisnya.
*******
Tak perlu waktu lama menyelesaikan permainan itu, rupanya Pak Arya sudah benar-benar horny hingga hanya membutuhkan waktu tak lebih dari lima menit untuk 'keluar'. Enggak bersuara apa? bagaimana dia bisa menahan suara erangan kalau sehorny itu saat aku berikan servis oral? huh! kalau sudah enak, suka lupa kewaspadaan lingkungan rupanya. Sesuai janjinya, walau agak ragu dan terpaksa (benar-benar pertama kalinya dia dengan cowok rupanya!) dia mulai mengocok penisku sebagai balas jasa. Tak apalah.. lumayan juga rasanya menikmati telapak tangan kasar seorang cowok straight melakukan sesuatu pada penisku.. hehehe...
Rupanya hal ini dianggap sebagai rutinitas oleh Pak Arya. Apalagi saat hari Jum'at dimana hampir seluruh karyawan biasanya pulang agak lambat dan bisa sampai jam tujuh malam atau lebih. Dan aku pun sebenarnya tidak keberatan asal saja tidak ketahuan oleh siapapun. Namun lama-lama kesal juga saat Pak Arya minta di servis di kamar mandi. Modal dikit kek! check-in dihotel kek! atau di mobil Nissan Gran Livina nya!
Di Jumat ketiga sebelum libur panjang, aku mulai komplain dengannya.
"Oom.. bosen Oom di kamar mandi... sekali-kali check in dong?" pintaku. Tentu saja dia tidak akan mau melakukannya di Mobil. Bagi pria berkeluarga, mobil adalah rumah ke dua bagi keluarganya, tentu saja dia tidak akan mau terus menerus dibayangi bahwa di tempat yang sama saat keluarganya duduk, di tempat itu pula dia berselingkuh dan melakukan sesuatu dengan orang lain.
"Yah Rem, takut kebablasan... nanti kalau aku pulang malem banget istri aku curiga.."
Huh! dasar egois! tapi biasalah.. straight!
"Gimana kalau ke tempat kamu aja? kamu nge-kos kan?"
"Enak aja! aku tuh udah punya rumah sendiri Oom!"
Ya! buat apa aku ngekos? bukankan itu malah suatu kemunduran?
"Duh... gimana dong Rem?" tulisnya di chat. Inilah tanda-tanda orang ketagihan dengan suatu sensasi yang tidak dia dapatkan di rumah.. merepotkan!
"Ya enggak gimana-gimana! pokoknya aku malas ah Oom kalo cuma di toilet aja! kalau emang selingkuh, ya kita selingkuh aja Oom!" pungkasku walaupun pada kalimat terakhir itu aku tidak bermaksud serius karena cuma basa-basi saja agar dia tidak meminta jatah kembali. Yah.. walaupun aku kehilangan kesempatan untuk berbuat lebih dari sekadar blowjob dengannya, aku sudah tak peduli.
Pak Arya tidak menjawab. Herannya, kami benar-benar bisa menjaga sikap di depan rekan-rekan kerja lainnya, seolah tidak terjadi apa-apa. Hal yang bagus malah! itu artinya kita berdua profesional dan tahu sama tahu. Akhirnya omongan itu teredam dengan euforia liburan akhir tahun di kantor kami.
Tapi aku sudah bosan sebenarnya terlalu banyak flirting! soalnya aku sendiri merasa orang yang benar-benar aku suka (terutama someone yang ada jauh di sana.... luv u hunny!) menganggap semua ucapanku hanya sebagai ucapan gombal... hm.. maka itu mulai sekarang, aku tidak akan memulai percakapan di YM dengan siapapun walau mungkin berakibat aku akan kembali dicap sombong... I guess this is my third resolutions : kurangi flirting!! coz I don't wanna be a slut anymore....
*******
Sepertinya seluruh karyawan di kantor sudah tidak sabar menunggu dimulainya libur panjang di akhir tahun ini. Aku sendiri sudah mulai merasakan hawa malas bekerja sejak tiga hari sebelum Hari Natal tiba. Beberapa rencana sudah muncul di kepala bagaimana caranya menghabiskan liburan panjang yang kalau dihitung-hitung mencapai sebelas hari itu. Mama sudah memintaku agar mengantarnya ke kampung halamannya di Majalengka, namun aku sendiri masih ragu ke sana, sebab biasanya liburan panjang seperti ini nenekku malah tidak berada di rumahnya melainkan berkeliling dari rumah cucu satu ke rumah cucunya yang lain.
"Yah telepon dulu lah... pastiin emak (panggilanku ke nenek) ada di rumah." kataku saat Mama kembali memintaku mengantarnya ke Majalengka.
Aku juga sebenarnya merasa tidak enak. Sudah lebih dari satu tahun aku belum pernah pergi ke sana lagi. Bahkan saat kakekku meninggal tahun lalu, aku belum pernah berziarah ke makamnya.
******
Liburan Hari Natal telah tiba. Aku yang sejak awal bulan November tidak lagi ada kontak dengan Iqbal tiba-tiba mendapat SMS darinya untuk yang pertama kali.
"Ass.. liburan ke mana Rem?" tanyanya singkat. Suasana hatiku langsung berubah kesal. Bukan karena SMS dari Iqbal, tapi aku memang agak meradang kalau membaca pesan yang dikirimkan kepadaku diawali oleh kata 'Ass' dari siapapun. Memang maksudnya Assalamualaikum, tapi bukankah lebih indah bila kata tersebut disingkat menjadi lebih bermakna seperti 'Aslm' atau apalah dibandingkan kata sebelumnya.
"Mungkin ke majalengka... BTW, tolong jangan pake Ass lagi deh kalau sms, biasanya juga gak pernah..." balasku kemudian.
"Berapa lama?"
"Gak tau juga, dua-tiga hari mungkin."
"Tahun baru?"
Pesan teks terakhir itu tidak kubalas dengan pesan teks lagi melainkan aku langsung meneleponnya.
"Tahun baru kayaknya di rumah aja.." kataku langsung saat Iqbal mengangkat teleponnya.
"Enggak ada acara?" tanyanya lagi. Inilah pertama kali aku kembali mendengar suaranya setelah hampir dua bulan tidak bertemu.
Aku terdiam dan berpikir. Memang aku tidak pernah menganggap istimewa malam pergantian tahun, kalau bisa dihitung, hanya beberapa kali saja aku ada acara selama berkali-kali melewati malam tahun baru. Seperti misalnya saat aku masih bekerja di kantor lama, saat semua masih jomblo dan aku berusia dua puluh dua tahun, semua memutuskan membuat acara barbeque di mess kantor. Lalu tahun entah kapan giliran dirumah orangtuaku mengadakan acara barbeque. Selebihnya? bahkan aku tidak ikut menghitung mundur dan sudah tidur sejak jam sepuluh atau sebelas malam, kecuali mungkin saat aku SD dulu, ketika sebuah stasiun TV swasta pertama di Indonesia rajin menayangkan kartun Donal Bebek setiap malam pergantian tahun.
"Enggak tahu... mungkin pak RT adain acara di rumah..." jawabku pelan. Hmm.. padahal rasanya saat itu ingin sekali bilang kalau aku kangen padanya dan bukannya kalimat itu.
"Gitu ya?"
Aku tidak menanggapi pernyataan Iqbal yang terakhir. Kami terdiam beberapa saat lamanya.
"Ada lagi yang mau diomongin?" tanyaku dingin, walau dalam hati aku ingin bicara dengannya lebih lama.
"Enggak ada..."
"Ya udah... gue tutup ya?"
"Rem...?" panggil Iqbal tepat sebelum aku hendak menutup flip ponselku.
"Yah?"
"Elu benci banget sama gue ya?" tanyanya pelan.
Benci? enggak! gue tuh kangen sama ente! rasanya ingin sekali teriak seperti itu. tapi akhirnya aku meneguk ludah dan berkata, "terserah apa yang ente rasain aja deh..." ujarku lalu memutuskan sambungan.
*****
Akhirnya memang aku membatalkan kepergianku ke Majalengka. Alasan pertama, aku yang berencana memotong rambutku ternyata diberikan potongan yang benar-benar salah sehingga potongan rambutku benar-benar sebuah malapetaka. Alasan kedua, nenekku ternyata sedang berada di rumah sepupuku di daerah Subang, dan baru berencana kembali menjelang tahun baru. Praktis liburan kali ini aku tidak kemana-mana. Paling hanya main ke mall atau ke rumah sepupu.
"A! malam tahun baru kemana?" tanya Windy adikku. Saat itu aku sedang berada di rumah orangtua sambil membaca majalah Cosmopolitan Men terbaru.
"Enggak ada acara..." jawabku sambil menggeleng tanpa melepaskan pandangan ke majalah.
"Nih, sebenernya go-ut ada undangan party grand opening skydining di plangi(Plaza Semanggi), tapi go-ut mau jalan-jalan ke Bogor sama Vino.." katanya sambil menyodorkan selembar kertas ke depan wajahku. Vino adalah pacar adikku.
"Ajak temen siapa kek... ntar go-ut yang konfirmasi."
Aku menatap kertas itu malas-malasan. Mau ajak siapa? lagipula bukannya Jakarta akan sangat-sangat macet menjelang malam pergantian tahun? Belum lagi, motorku yang sudah kuhibahkan pada adikku itu kondisinya masih mengkhawatirkan sejak rusak beberapa bulan lalu. Mungkin jarak dekat tidak masalah, tapi sepertinya motor itu tidak bisa dibawa jauh sampai ke Jakarta dari Bogor. Uh Malas sekali kalau seandainya berkendaraan malah membuatku terjebak di tengah kemacetan. Honda Jazz Papa sudah disewakan kepada saudaraku yang menggunakannya untuk mudik ke daerah Indramayu sampai tahun baru nanti.
"Hmm... ajak siapa ya? lagian khawatir ujan.." kataku tak yakin.
"Ya udah! kalo gitu ikut kita aja! temen si Vino bawa mobil tuh buat jalan-jalan di Bogor."
"Yaaaah... lebih males lagi! berarti go-ut doang dong yang sendirian bin jomblo?! ogah ah!" tolakku.
"Yeeey... siapa bilang? temen si Vino tuh dua-duanya juga jomblo!"
"Oh.. ya udah.. gimana nanti aja deh..." ujarku.
Adikku kemudian berlalu tanpa berkata apa-apa sambil mengangkat bahu. Kemudian ponselku bergetar(akhir-akhir ini kegemaranku adalah mengaktifkan mode getar pada ponsel) rupanya SMS dari Pak RT.
"Rem! malam taun baru di sini ya? kita bakar jagung sama bakar ayam!"
Aku membalasnya dengan pesan yang tidak memberi kepastian bahwa aku bisa menghadirinya. "Iya Boz, mudah-mudahan bisa deh..." jawabku.
Lima belas menit kemudian giliran Iqbal menelepon. Segera aku mencari tempat sepi untuk menjawab panggilannya.
"Halo?"
"Rem... malam tahun baru nanti kemana?" tanyanya.
"Ck..! nanya itu melulu! emang penting banget ya, malam tahun baru tuh?" tanyaku tak sabar.
"Enggak.. kalau enggak ada acara ikutan di RT gue aja, ada barbeque.. lagian Kayla udah kangen tuh pengen ketemu elu..." ujarnya riang.
"Kayla apa bapaknya nih yang kangen?"
"Hm... dua-duanya sih..." jawabnya.
Aku merasa senyumku mengembang mendengar jawabannya, kemudian aku berhasil menguasai diri lagi dan kembali berpura-pura jutek.
"Malam tahun baru yah? hmm.. kalau enggak ke plaza semanggi, paling ikut adik ke Bogor... biasa... di Tugu Kujang kan biasanya rame tuh!"
"Ya udah! tahun baruan di Tugu Kujang aja! ntar kita ketemu di sana Rem... baru baliknya elu ikutan bakar-bakar sama gue di rumah..."
"Yeee.. ente pe-de banget! bisa aja gue enggak mau kemana-mana trus malah tidur... lagian gue enggak pake motor.. masih ngadat!"
"Kalau gue sih tetep mau main ke Tugu, Rem! Kayla belum pernah gue ajak ke sana..."
"Ajak aja bang! mudah-mudahan sih enggak ujan..." kataku kemudian lalu menyudahi pembicaraan.
Tawaran yang menggoda. Tapi rasanya aku belum siap bertemu dengan Iqbal dan keluarganya. Setidaknya sampai malam tahun baru nanti...
*******