It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Jangan lama-lama Rem!" kata Inge memperingatkan aku agar segera menyusun huruf-huruf pada permainan scrabble yang sedang kami mainkan di perpustakaan karena kami beserta hampir separuh murid kelas baru saja selesai ulangan dan memilih bersantai di perpustakaan. Sementara itu sebagian lainnya, termasuk Oppie kini sedang mengerjakan soal ulangan di dalam kelas. Ya! itulah kebiasaan guru sejarah kami: membagi dua seisi kelas saat ulangan dengan niat meminimalkan kemungkinan bekerja sama atau saling mencontek sesama murid.
"Apa? eh.. oh iya.." kataku sambil meletakkan beberapa huruf sehingga membentuk sebuah kata "WHEN". Sebenarnya aku tidak bisa berkonsentrasi bermain scrabble karena sedari tadi aku memandang benci pada Dewi yang sedang membaca majalah Gadis bersama sarah sambil sesekali mengikik.
"Gue juga sebel sama dia kok Rem.." kata Inge pelan seakan mengerti isi pikiranku sedari tadi.
Aku berhati-hati agar tidak terkesan terpancing oleh pernyataan Inge. Namun Inge melanjutkan, "Gue sebel kalo si Dewi deket-deket sama Oppie..."
"Emangnya kenapa?"
Inge hanya mengedikkan kepala, namun perasaanku kuat mengatakan bahwa Inge sebenarnya cemburu pada Dewi.
Selama beberapa hari aku berpikir keras, bagaimana caranya meminta bantuan dari Inge agar Oppie bisa menjauh dari Dewi. Kemudian selama lima hari Dewi absen karena kabarnya dia sedang sakit. Pak Rohiman meminta beberapa perwakilan dari kelas agar menjenguk Dewi di rumahnya. NOvel bersedia mengantar penjenguk dengan Zebra Espass merah keluaran tahun 95 miliknya. Sekarang masalahnya tak semua orang yang menjenguk Dewi berniat tulus menjenguknya, yah mungkin hanya Sonny Pakpahan dan Sarah saja yang memang ikut sebagai perwakilan selain Novel yang memang bertindak sebagai sopir. Tapi aku? aku ikut karena Oppie tiba-tiba mengajukan diri ikut menjenguk. Sedangkan Inge? kukira dia memang tetarik pada Oppie dan ingin selalu mengikuti tindakannya.
Akhirnya kami berenam menjadi perwakilan murid untuk menjenguk Dewi. Hubunganku dengan Oppie yang memang menjadi lebih kaku sejak pembagian rapor itu membuat suasana di dalam kendaraan menjadi sungguh tidak nyaman. Dalam hati sebenarnya aku sudah mulai cemburu kalau Oppie ikut menjenguk Dewi. Segitu seriusnyakah mereka pacaran? padahal kalau dipikir-pikir lagi sebagai pacar tindakan Oppie sangatlah wajar.
"...lupakanlah cerita kelabu... kita susun lagi langkah baru... bagaimana caranya oh kasihku? kuingin slalu dengan kamu.. bagaimana caranya? bagaimana caranya?... haruskah kuteteskan air mata di pipi? haruskah kucurahkan sgala isi di hati? oh haruskah kau kupeluk dan tak kulepas lagi? agar tiada pernah ada kata berpisah...."
Baris lirik lagu lawas yang dinyanyikan kembali dengan format R&B oleh grup vokal R-42 yang mengalun dari speaker radio di dalam mobil masih kuingat sampai sekarang. Kurasa lirik itu sedikit banyak mewakili perasaanku saat itu.
"Siapa yang mau turun beli buah?" tanya Novel tiba-tiba menghentikan semua lamunanku.
"Eh... biar gue aja!" Usulku. Aku berbuat demikian karena benar-benar sudah tak tahan dengan suasana dalam mobil yang menekan. Saat itu rupanya kami sudah tiba di halaman parkir sebuah minimarket.
"Bukannya cewek aja? biasanya cewek paling bisa milih buah," kata Sonny Pakpahan.
'Ck... biarin gue aja!" sahutku lalu segera turun sebelum yang lain memprotes.
Saat aku menerima uang dari Novel untuk membeli buah, tiba-tiba Oppie ikut mengajukan diri. "gue juga ikut..."
Aku menoleh agak kesal pada Oppie karena penyebab aku turun dari kendaraan adalah sementara waktu tidak ingin berada di dekatnya.
Tapi aku tidak bisa protes saat menatap wajahnya karena mendadak perasaan bersalah menjalari diriku saat melihat kacamata Oppie yang sudah berganti akibat kesalahanku yang telah merusak kacamata dia sebelumnya.
Kemudian aku masuk ke minimarket berlantai dua itu dan menuju tempat buah-buahan. Kami hanya berbicara seperlunya saja. Aku memilih buah jeruk yang bagus sementara Oppie memilih buah Apel.
"Yang itu jelek." ujar Oppie saat aku memasukkan sebutir jeruk sankis ke dalam kantung plastik. Aku segera memeriksa buah jeruk yang terakhir aku masukkan itu dan setelah menemukan cacat yang dimaksud Oppie, aku mengembalikan buah itu ke tempatnya dan mulai memilih yang lain.
"Yang itu kurang bagus..." Kataku ketika melihat Oppie memasukkan buah apel yang agak kisut di sebelah sisinya. Oppie memeriksa apel yang kutunjuk dan segera menukarnya.
Lalu kami berdua menuju kasir untuk membayar. Ya ampun! kaku sekali keadaan diantara kami berdua! sampai-sampai aku sulit bernafas.
******
Rumah Dewi letaknya cukup jauh. Lokasinya yang dekat pabrik Semen Kujang dan Stasiun Pengendali Satelit Palapa itu harus ditempuh kira-kira selama hampir satu jam dari sekolah. Aku kembali terjebak dalam suasana penuh kecanggungan. Kemudian mobil kami berbelok ke sebuah jalan setapak diantara deretan pohon-pohon karet yang menjulang. Seperti sebuah puri di tengah hutan, rumah Dewi yang tidak bertingkat namun sangat besar itu kemudian terlihat berada tepat di tengah-tengah kebun karet. Haji Abdul Gani, Papanya Dewi, adalah pemilik perkebunan karet ini dan juga beberapa angkutan kota selain entah apa lagi usaha lainnya. Rumah sebesar itu bukanlah tanpa alasan, Dewi adalah anak ke lima dari tujuh bersaudara, jadi Papanya membangun rumah menyesuaikan dengan jumlah anggota keluarganya.
Kami semua menunggu di ruang tamu. Inge sedari tadi kelihatan gelisah. Dia mengawasi sekeliling rumah seakan-akan mencari petunjuk sekecil apapun yang bisa memberitahukannya bagaimana menjelaskan sosok seorang Dewi. Tak lama kemudian Dewi keluar dari kamarnya, Ibunya meninggalkan kami semua di teras. Aku menjabat tangannya dengan senyum yang dipaksakan sambil berbasa-basi menanyakan kabarnya. Dewi yang terlihat pucat tersenyum tulus pada kami sambil menceritakan penyakit yang dideritanya sampai-sampai tidak masuk sekolah.
Suatu hal yang aneh terjadi. Entah karena Ja-im atau apa, keadaan antara Oppie dan Dewi terlihat sangat kaku. Lalu kemudian Dewi kembali ke kamarnya, dia bilang ingin merapikan diri sebentar. Lima menit kemudian Oppie bangkit dan bilang hendak ke kamar kecil. Sampai lima menit kemudian dia belum juga kembali ke ruang tamu. Aku merasakan suatu keganjilan saat sepertinya Sarah sengaja menahan Inge, Sonny, dan Novel agar tetap di ruang tamu dengan mengajak mereka mengobrol. Kemudian aku bangkit dan bilang mau ke kamar kecil juga. Sarah mengawasi aku yang menuju ke dalam sepertinya mencemaskan sesuatu. Lalu aku bertanya pada Ibunya Dewi dimana letak kamar kecilnya. Ibunya Dewi menunjuk ke sebuah arah dan setelah mengucapkan terimakasih aku bergegas ke sana.
Setelah selesai dengan urusanku, aku kembali ke ruang tamu. Saat melewati sebuah kamar aku mendengar sayup-sayup suara dua orang sedang berbicara. Suara yang satu sangat kukenali, yaitu suara Oppie. Saat aku melewati depan pintu kamar itu aku melihat Oppie dan Dewi sedang duduk di pinggir ranjang. Keduanya menunduk, aku tidak bisa melihat jelas ekspresi wajah mereka berdua. Tapi kemudian Oppie mengusap-usap kepala Dewi lembut. Melihat pemandangan itu aku merasakan suatu perasaan aneh. Perasaan tidak suka dan tidak nyaman. Seperti ada yang mencubit bagian dalam perut dan ulu hatiku. Kemudian aku bergegas kembali ke ruang tamu, tapi aku benar-benar sedang tidak ingin berada di dekat temanku yang lain. Oleh karena itu aku putuskan mencari udara segar di luar.
****
Aku menyusuri jalan setapak ke arah barat dari rumah Dewi. Deretan pohon karet makin merapat dan semakin jauh dari jalan raya. Udara jam setengah tiga sore yang nyaman dan angin berhembus yang menyebarkan aroma lembap perkebunan karet membuat perasaanku lebih segar. Deretan pohon karet itu akhirnya berakhir di sebuah lereng. Aku melihat ada bangku kayu panjang tak jauh dari sebatang pohon karet dan duduk di situ sambil melihat pemandangan sebuah sungai di bawah sana. Aku mencoba menganalisa perasaan yang tadi kurasakan saat aku melihat Oppie dan Dewi. Cemburukah? iri hatikah? mengapa aku tidak menyukai pemandangan itu?
"Enak juga ya di sini?" kata sebuah suara tiba-tiba.
Aku terkejut kemudian menoleh dan mendapati Oppie sudah berdiri di samping bangku panjang itu. Tanpa meminta persetujuanku, dia kemudian duduk di sebelahku dan ikut-ikut memandang ke depan. Aku berusaha bersikap sopan dan menjawab komentarnya, "iya... enggak nyangka udaranya bagus juga di sini..."
Kami berdua kembali terdiam. Lalu Oppie berkata, "udah lama kita enggak belajar bersama lagi Rem... ujian akhir makin dekat loh..."
Aku menggangguk. "Ya udah... nanti kita bikin jadwal rutin aja..." kataku. Kemudian kami kembali terdiam.
Mendadak tangan Oppie menyodorkan sesuatu ke depan mataku. Separuh buah Apel besar. "Mau?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Ambil aja Rem, dari tadi gue liat elu enggak makan suguhan apa-apa di rumah Dewi... nih gue bawain, kita makan separo-separo ya?" pintanya.
Tak kuasa menolak permintaannya, aku menerima separuh buah apel itu dari tangannya.
"Udah dicuci belom?" tanyaku jahat. Oppie tertawa kecil lalu menjawab dengan mulut yang sedang mengunyah apel, "udah! tenang aja."
Aku tersenyum dan mulai memakan separuh buah apel itu. Entah mengapa apel pemberian Oppie terasa sangat manis di mulutku. Kami berdua dalam diam dan senyum menghabiskan apel kami masing-masing, sedikit demi sedikit seolah-olah tidak ingin kehilangan momen ini secepatnya.
****
Hari ini pun seperti itu. Entah kenapa hubungan antara aku dan Remy menjadi canggung setelah caturwulan baru dimulai. Tadi saat aku masuk ke dalam kelas untuk bergantian ujian sejarah dengan separuh isi kelas, (guru sejarahku memang seperti itu, selalu membagi isi kelas saat ujian untuk meminimalisir kerjasama antar murid) aku berpapasan dengan Remy yang sama sekali tidak menegurku. Melihat aku pun tidak! padahal yang seharusnya marah itu aku! aku curiga dialah penyebab rusaknya kacamataku yang lama hingga aku terpaksa menggantinya dengan model yang lebih biasa dan harga yang lebih murah.
"Sst! ngelamun apa sih?! tuh soal ujiannya!" kata Sonny Pakpahan sambil meletakkan selembar kertas ujian di atas mejaku.
Kemudian aku menyelesaikan ujian sejarah itu dengan masih memikirkan keadaan pertemanan antara aku dan Remy. Benarkah dia semarah itu karena hasil rapor kemarin? benar-benar tidak sportif! kataku dalam hati.
Sudah lima hari Dewi tidak masuk sekolah. Menurut Sarah, teman sebangkunya, Dewi terkena gejala tifus. Aku sebal dengan Sarah yang memaksaku untuk menjenguk ke rumahnya. Aku benar-benar merasa hubunganku dengan Dewi tidaklah seserius itu. Aku juga sama sekali belum pernah ke rumahnya untuk melaksanakan kewajibanku sebagai pacar. Padahal aku sudah sangat memikirkan untuk memutuskan hubungan dengan Dewi tak peduli bagaimana reaksinya nanti.
Pak Rohiman kemudian menyuruh agar dibentuk perwakilan untuk menjenguk Dewi. Sarah tadi pagi sudah memaksaku, sedikit mengancam malah! agar aku mengajukan diri sebagai perwakilan kelas. Akhirnya aku mengajukan diri pertama diiringi tatapan memaksa Sarah dari bangkunya. Yang membuatku heran, Remy mengajukan diri juga. Aku mulai menduga-duga kalau Remy masih ada rasa pada Dewi dan marah padaku karena aku lah yang jadian dengan Dewi. Inge kurasa ingin selalu dekat dengan Remy, aku curiga dia diam-diam menyukai teman sebangkunya itu makanya dia ikut juga sebagai perwakilan. Aku yang tidak mau tak ada teman, memaksa Sonny Pakpahan agar ikut, selain Sarah yang memang teman baik Dewi, dan juga Novel yang menawarkan diri mengantar kami dengan Zebra Espass merahnya.
Aku tidak menyukai keadaan menekan di dalam kendaraan ini. Sepertinya Remy pun demikian. Sikapnya seolah-olah kami tidak bisa berada dalam satu ruangan yang sama. Dia benar-benar membenci aku, pikirku. Padahal kalau dia tahu aku akan memutuskan hubungan dengan Dewi, harusnya dia tidak semarah itu. Dekati dia lagi saja! rebut kalau perlu! tapi aku benar-benar tidak tahan dengan kondisi canggung antara kami berdua.
"...lupakanlah cerita kelabu... kita susun lagi langkah baru... bagaimana caranya oh kasihku? kuingin slalu dengan kamu.. bagaimana caranya? bagaimana caranya?... haruskah kuteteskan air mata di pipi? haruskah kucurahkan sgala isi di hati? oh haruskah kau kupeluk dan tak kulepas lagi? agar tiada pernah ada kata berpisah...."
Baris lirik lagu lawas yang dinyanyikan kembali dengan format R&B oleh grup vokal R-42 yang mengalun dari speaker radio di dalam mobil sedikit banyak mewakili perasaanku saat itu.
"Siapa yang mau turun beli buah?" tanya Novel tiba-tiba.
"Eh... biar gue aja!" Kata Remy menawarkan diri. Dia sepertinya benar-benar sudah muak berada dalam satu kendaraan denganku.Saat itu rupanya kami sudah tiba di halaman parkir sebuah minimarket.
"Bukannya cewek aja? biasanya cewek paling bisa milih buah," kata Sonny Pakpahan.
'Ck... biarin gue aja!" kata Remy langsung keluar dari mobil.
Didorong oleh perasaan ingin berbicara dengan Remy, aku pun mengajukan diri ikut. Aku melihat Remy menatapku heran saat aku menyusulnya turun. "gue juga ikut..." kataku.
Di dalam minimarket berlantai dua itu keadaan tidak berubah. Aku memilih-milih buah apel dalam diam, sementara Remy menyibukkan diri mengendus-endus buah Jeruk Sankis dan memasukkannya dalam kantung plastik yang dipegangnya.
"Yang itu jelek." kataku saat melihat Remy memasukkan sebutir jeruk sankis yang ada cacatnya ke dalam kantung plastik. Remy segera memeriksa buah jeruk yang terakhir dia masukkan itu dan setelah menemukan cacat yang aku maksud, dia mengembalikan buah itu ke tempatnya dan mulai memilih yang lain.
"Yang itu kurang bagus..." Kata Remy ketika melihatku memasukkan sebutir apel. Aku memeriksa apel yang Remy tunjuk dan segera menukarnya ketika kudapati kisut di salah satu bagiannya.
Lalu kami berdua menuju kasir untuk membayar. Ya ampun! Rasanya ingin cepat-cepat keluar dari minimarket ini dengan segala kecanggungan antara kami.
******
Dibutuhkan waktu hampir sejam untuk sampai ke rumah Dewi. Rumah besar itu terletak di tengah-tengah kebun karet milik ayahnya. Kami tadi berbelok di sebuah jalan setapak dari pinggir jalan. Cahaya matahari jam setengah dua siang merambat masuk melalui celah-celah daun dan batang pepohonan karet yang menjulang. Dewi berasal dari keluarga besar, oleh karena itu ayahnya yang juga pemilik beberapa angkutan umum membangun rumah yang cukup besar pula untuk dapat menampung seluruh anggota keluarganya. Kini hanya tinggal beberapa orang saja anak oangtua Dewi yang masih tinggal di rumah ini karena anak sulung mereka telah menikah sedangkan dua kakak Dewi sedang kuliah di luar kota. Saat kami tiba kami semua disambut oleh ibunda Dewi yang menyilakan kami masuk dan menunggu di ruang tamu sebelum dia memanggil Dewi ke dalam.
Aku sangat gelisah karena tadi sebelum berangkat, Sarah berpesan padaku untuk mencari waktu agar aku bisa mengobrol berdua dengan Dewi. SUngguh aku benar-benar membenci Sarah! aku juga membenci diriku yang mau saja diatur sedemikian rupa olehnya dalam hubungan 'percintaan' kami. Sepertinya Dewi pun sudah diberitahu Sarah soal 'meminta waktu berdua saja' itu sebabnya kami berdua agak canggung saat Dewi muncul dan menemani kami semua mengobrol di ruang tamu. Seperti sebuah kode, Dewi bilang ingin merapikan diri di kamar sebentar. Aku menangkap kode itu dan lima menit kemudian aku permisi ke toilet. Sekilas aku melihat Remy, sepertinya dia tidak peduli.
Setelah aku keluar dari toilet, aku mencari-cari kamar Dewi. Rupanya dia masih ada di dalam kamarnya, duduk di pinggir ranjang. Aku mengetuk pelan pintu kamarnya yang setengah terbuka. Dewi menoleh dan sambil tersenyum dia menyuruh aku masuk. Aku kemudian duduk di sebelah Dewi.
"Udah baikkan?" tanyaku mengkhawatirkan wajahnya yang masih terlihat pucat.
"Kamu bertanya sebagai apa?" tanya Dewi.
"Sebagai... apa? gue enggak ngerti Wi..."
"Iya... sebagai apa kamu khawatirin aku? sebagai teman atau...."
Aku menghela nafas. Ingin rasanya bilang kalau aku cuma mengkhawatirkannya hanya sebagai sahabat. Aku benar-benar ingin mengakhiri hubunganku dengan Dewi namun melihat keadaanya aku sedikit tidak tega.
"Kayaknya udah enggak bisa ketolong lagi ya? mau bagaimanapun aku memaksa, kalau kamu memang enggak punya perasaan apa-apa sama aku... sepertinya berteman jauh lebih baik..." Kata Dewi lagi. Suaranya makin melemah.
Aku tidak menyangka Dewi akan berkata seperti itu. Tapi aku tidak mengucapkan apa-apa kemudian mengusap-usap lembut kepalanya.
Apakah ini artinya hubunganku dengan Dewi sudah berakhir? aku sendiri belum bisa menyimpulkan. Mungkin aku tidak tega melihat kondisi Dewi yang masih sakit atau memang karena aku yang lemah, sehingga tidak memiliki keberanian untuk menegaskan bahwa aku tidak ingin lagi melanjutkan hubungan dengan Dewi.
"Nih.. ambil satu Pie... Tolong belah dua ya? kita makan berdua." kata Dewi menjulurkan sebutir apel besar padaku. Aku tersenyum dan menerimanya. Lalu aku ke dapur menuju wastafel untuk mencuci buah apel itu dan menuju ke ruang tamu karena tahu ada pisau di meja yang digunakan untuk memotong-motong puding suguhan dari Ibunda Dewi.
******
Saat aku membelah buah apel menjadi dua bagian di ruang tamu, aku mendapati bahwa Remy tidak ada di situ. Aku bertanya pada Novel, "Remy ke mana Vel?"
"Tadi barusan abis dari toilet, mau jalan-jalan keliling katanya..."
Entah mengapa aku merasa hilangnya Remy ada hubungannya dengan aku yang mengobrol dengan Dewi di kamarnya. Aku mendadak merasa berkewajiban untuk menjelaskan pada Remy apa yang sesungguhnya terjadi tadi. Menjelaskan? buat apa? memang si Remy cemburu? tapi cemburu pada siapa? aku tidak bisa berhenti berpikir. Keadaanku saat itu tanpa memedulikan temanku yang lain, sambil membawa buah apel yang sudah terbelah dua itu aku bergegas mencari Remy di luar.
Sedikit bingung, aku menoleh ke kanan dan kiri jalan setapak menduga-duga ke arah mana Remy pergi. Lalu aku memutuskan untuk mengambil arah ke jalan setapak, karena aku merasa Remy tak akan pergi ke arah jalan raya. Sambil menyusuri jalan setapak perkebunan karet milik ayah Dewi, aku mencari-cari sosok remy. Angin yang berhembus meniupkan aroma lembap dan basah yang berasal dari pepohonan karet itu. Sampai akhirnya aku melihat Remy sedang duduk di sebuah bangku panjang, sambil melihat ke arah lereng curam yang dibawahnya terdapat sebuah sungai. Tanpa menimbulkan suara aku menghampirinya.
"Enak juga ya di sini?" kataku mencoba mengejutkannya.
"iya... enggak nyangka udaranya bagus juga di sini..." kata Remy setelah menoleh dan melihatku berdiri tak jauh darinya.
Kami berdua kembali terdiam. Lalu aku berinisiatif memulai percakapan, "udah lama kita enggak belajar bersama lagi Rem... ujian akhir makin dekat loh..."
Dia menggangguk. "Ya udah... nanti kita bikin jadwal rutin aja..." katanya. Kemudian kami kembali terdiam.
Aku yang baru sadar tengah memegang sebutir apel yang telah terbelah dua, dengan reflek menyodorkan separuh pada Remy."Mau?" tanyaku
Remy menggeleng. "Ambil aja Rem, dari tadi gue liat elu enggak makan suguhan apa-apa di rumah Dewi... nih gue bawain, kita makan separo-separo ya?" Aku menawarkan lagi sedikit memaksa.
Masih kelihatan ragu, Remy akhirnya menerima apel pemberianku."Udah dicuci belom?" tanyanya tak berperasaan. Aku hanya tertawa lalu menjawab dengan mulut yang sedang mengunyah apel, "udah! tenang aja."
Remy tersenyum dan mulai memakan separuh buah apel itu. Entah mengapa apel yang seharusnya aku makan bersama Dewi itu membuatku merasa kalau Remy lah yang berhak memakannya. Sambil memandangi sungai yang ada di bawah sana, sedikit demi sedikit aku mengunyah apel itu mencoba berlama-lama agar saat seperti ini tidak lekas berakhir.
****
nice job bro
wah, kalo ada brondong kampung yg ok, jangan diabisin sendiri.. bagi2 ya.. at least ceritanya.. huhuhu
bang, yg Oppie ini belum selese kan ceritanya?
penasaran euy..
btw, salam kenal semua