It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Juli 1996 (ketika berat badanku belum bertambah 10 Kilo...)
Tiga uang logam seratusan berjatuhan kembali saat aku meletakkan gagang telepon umum
tak jauh dari ruang Tata Usaha sekolahku. Baru saja aku menelepon rumah memberitahukan
Ibuku bahwa ada biaya tambahan yang belum aku bayarkan saat mendaftar ulang kenaikan
kelas 3 SMU kemarin. Kumasukkan uang-uang logam itu kembali ke sakuku yang berlambang
OSIS. Kemudian aku berjalan menuju kelas dimana akan kuhabiskan tahun terakhirku di
SMU.
Kelas 3 IPA 1. Tulisan kecil berwarna putih itu jelas terukir di papan tergantung di
atas pintu masuk kelas. Betapa berat perjuanganku masuk kelas ini saat kelas Dua
kemarin. Les tambahan tiap hari tiada henti khusus untuk siswa peringkat 1 s.d. 5 dari
masing-masing kelas, diberikan sebagai bekal untuk masuk kelas favorit tersebut. Semua
kulakukan untuk mendapat Bimbingan Belajar Gratis dari sekolah untuk menghadapi ujian
kelulusan.
Perbandingan siswa terhadap siswi 3 IPA 1, sangat jauh. Jumlah murid laki-laki hanya
bisa membentuk satu tim kesebelasan. Jumlah ganjil tersebut juga membuat 3 orang
diantara kami duduk dengan murid perempuan. Termasuk aku yang duduk dengan Inge, teman
sekelasku saat kelas dua kemarin. Saat kelas sudah ramai dengan seluruh murid yang
ada, aku sudah tidak canggung lagi dengan mereka, walau berasal dari kelas dua yang
berbeda semua sudah kukenal saat kami sama-sama mengikuti les tambahan. Kecuali....
anak cowok itu.
"Sst..." bisikku pada Inge. Aku menunjuk ke arah cowok itu dengan ibu jariku dengan
wajah bertanya.
"Apa?" tanya inge. Lalu kepalanya menoleh ke arah yang kutunjuk, deretan meja paling
belakang, tiga meja dibelakang kami.
Sejenak Inge memerhatikan cowok itu.
"Siapa? Sonny Pakpahan?" tanya Inge sambil menoleh kembali ke arahku.
"Bukan... sebelahnya... anak baru?" tanyaku lagi.
Inge menoleh kembali. Kali ini tanpa menoleh ke arahku dia menjawab "Enggak tahu..
enggak kenal."
"Gue pikir sodara lo, mirip..." lanjut Inge lagi.
Sialan nih anak... gue di mirip-miripin sama orang laen yang gak gue kenal. Aku
menggerutu kesal dalam hati. Sayang.. hari ini belum ada absen jadi aku belum bisa
mengecek nama cowok itu.
Istirahat hari itu saat aku mengobrol dengan teman-teman yang lain, sesekali aku
mencuri-curi memerhatikan anak cowok itu. Apa iya mirip? tanyaku dalam hati. Putihnya
sih sama, Tapi... idungnya mancungan gue... Eh.. kalo ketawa ada kempot di pipinya!
Tingginya? hm... kayaknya tinggian dia sedikit... sedikit!! aku meyakinkan diriku
sendiri. Tapi... dia lebih kurus... Ah! pasti karena dia lebih tinggi sedikit...
pikirku lagi tak mau kalah.
"Woi...! lagi ngelamun apaan sih?"
Tiba-tiba Rini cewek-ku yang kini di 3 IPS 2 menepuk pundakku kemudian duduk di bangku
kosong sebelahku. Aku sampai tidak sadar telah ditinggal sendirian oleh teman-teman
yang tadinya ngobrol bareng denganku.
"Say.. kamu kenal cowok itu?" tanyaku sambil menunjuk dengan wajahku.
Rini melihat ke arah yang aku tunjuk. "Kenal.. itu kan si Oppie temen sekelasku di
2-7"
"Oppie?" tanyaku heran.
"Namanya sih Sofyan Akhirudin, tapi sering dipanggil Oppie ama temen-temen. Anaknya
pendiem banget... enggak terlalu menonjol, aku aja enggak bergitu akrab ama dia."
Lanjut Rini
"Trus..?" tanyaku penasaran.
"Dia gantiin aku... Dia yang biasanya 10 besar aja enggak pernah, pas kenaikan kemarin
tiba-tiba dapat rangking 6." Rini menjelaskan lagi.
Aku baru sadar. Rini yang harusnya masuk kelas 3 IPA 1 juga bersamaku, mengundurkan
diri dan memilih masuk jurusan IPS. Oleh sebab itulah jatah yang kosong dari kelasnya
digantikan oleh Oppie.
"Eh.. tapi potongan rambutnya beda ya? tumben. dulu modelnya itu-itu aja.. belah
tengah. baru sadar kalo si Oppie keren juga... jadi mirip ama kamu say." Kata Rini
lagi.
Mendengar ucapannya aku mendelik kurang senang pada Rini.
"Duuuh... cemburu ya? masih gantengan kamu kok say! yuk, ah! ke kantin. Aku lagi
pengen Mie ayam." Rini berkata sambil bangkit dari duduknya dan tangannya menarik
tanganku hingga aku ikut beranjak. Tapi mataku masih memerhatikan Oppie yang kini
sedang tertawa-tawa dengan Sonny Pakpahan. Entah apa yang mereka bicarakan.
Juli 1996
Aku menunggu dengan gelisah. Sementara di depanku pak Rohiman guru matematika yang
juga akan menjadi wali kelas 3 IPA 1 dengan serius memerhatikan berkas-berkas yang dia
pegang. Dibalik kacamatanya, matanya menyipit dan dahinya berkerut. Dengan menghela
nafas pak Rohiman akhirnya selesai.
"Sofyan..." katanya.
Aku menahan nafas.
"Kamu tahu kan, yang berniat masuk kelas 3 IPA 1 dan mengganti posisi Rini yang masuk
IPS bukan cuma kamu saja?" tanya pak Rohiman.
"Iya pak.." jawabku.
"Cuma saya menimbang prestasi kamu yang melonjak drastis dari peringkat 12 menjadi 6
di tahun ajaran." kata pak Rohiman.
"Bapak rasa kamu layak mendapat kesempatan untuk masuk 3 IPA 1. Manfaatkan peluang
mendapat bimbingan belajar gratis ini supaya prestasi kamu lebih meningkat lagi ya?"
Ujar pak Rohiman sambil tersenyum.
"Terima kasih pak! Terima kasih..." jawabku.
Aku kemudian menjabat tangan pak Rohiman.
"Jangan sampai kamu terkena razia rambut panjang lagi ya?" kata Pak Rohiman
memperingatkan.
"Baik pak... tidak akan..." jawabku lagi. Kemudian aku berpamitan dan keluar ruangan.
Sebenarnya memang menyenangkan dapat bimbingan belajar menghadapi ujian dengan gratis.
Tapi alasanku sebenarnya masuk 3 IPA 1 adalah karena anak itu. Anak yang bernama Remy.
Lihat.. dia sekarang sedang berdiri di depan pintu kelas 3 IPA 1 dengan tampang sombongnya
seolah memang dia sudah selayaknya masuk kelas itu. Aku masih ingat enam bulan lalu di
kelas dua saat aku dan beberapa teman lain dihukum di lapangan karena ada razia rambut
panjang, dia dengan sinisnya melihat sekilas seakan-akan kami ini mahluk paling hina.
Bahkan dia tidak menoleh sedikitpun waktu dia mendatangi Rini pacarnya itu di kelas
kami. Aku benci anak itu! Tidak akan kubiarkan dia melaju dengan mulus di kelas.
Untuk melancarkan rencana, aku harus duduk tidak jauh dari Remy. Saat kulihat dia duduk bersama Inge teman sekelasnya di kelas dua, aku memilih duduk di deretan yang sama.
"Son.. Sonny.. Gue duduk di sini ya?" pintaku.
Sonny Pakpahan yang sedang mengantuk mengangkat wajahnya yang tadi tertelungkup di
meja.
"Apaan? duduk di sini...? si Novel pengen juga duduk di sini..." Jawab Sonny.
"Yah.. lu tolak aja deh... Biar Novel duduk ama si Warih tuh..." Pintaku.
"Ya udah.. lo pindahin aja tas si Novel gih." Ujar Sonny sambil kembali menelungkupkan wajahnya.
Memang akhirnya aku duduk di sebelah Sonny. Tepat tiga meja di depanku adalah si Remy.
Seperti biasa dia bersikap cuek kepada orang lain... menoleh saja tidak kepada yang tidak dia kenal.
IStirahat hari itu aku mengobrol dengan Sonny membicarakan aku yang pernah kena razia.
"Kalo gak salah rambut lo yang belah tengah itu di cukur sama pak Rohiman kan? tapi
enggak balance..." kata Sonny sambil tertawa.
"Iya.. gue dijemur sampe gosong. Gara-gara dicukur asal gitu, terpaksa gue pangkas
abis." Ujarku. Kemudian kami sama-sama tertawa.
"Sekarang gue ga mau ke barber shop lagi... Gue potong rambut ke salon." Tambahku
sambil memegang-megang rambutku hasil potongan salah satu salon franchise.
Saat mengobrol itu aku melihat Remy didatangi Rini pacarnya. Mereka memang pasangan yang bikin iri satu sekolah. Anak itu hanya mau bergaul dan ngobrol dengan orang-orang tertentu saja di sekolah.
"Lu jadi cowok salon dong sekarang? hahaha..." Canda Sonny. Mendengar tawa Sonny yang keras Remy melirik ke arah kami. Aku pun dengan tidak tulus ikut-ikut tertawa keras dengan Sonny.
Keesokan harinya saat aku menuju sekolah dengan naik angkot, di tengah perjalanan Oppie naik angkot yang sama denganku. Ego ku yang tinggi melarangku menyapa lebih dulu teman-teman di sekolah. Ya! biasanya akulah yang selalu disapa terlebih dahulu. Bukan Menyapa duluan! Tapi sialan nih anak. Dia cuek saja duduk di Angkot. Gimana sih?
sungutku dalam hati. Dia enggak tahu apa gue temen sekelas dia? Kami pun tetap diam sampai tiba di mulut gang sekolah dan berpisah jalan saat aku memilih naik ojek sedang Oppie memilih jalan kaki.
Saat jam pelajaran Agama Islam. Inge, cewek batak beragama Protestan itu berencana ke perpustakaan. Sedangkan Sonny Pakpahan, teman sebangku Oppie yang bahkan sebelum guru agamaku muncul, sudah menghilang duluan entah kemana.
"Yang Non-muslim, boleh istirahat duluan..." anjur pak Ali guru agamaku.
Inge bangkit sambil membawa catatan matematikanya. "Eh, gue ke perpus dulu ya..?"
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Kulihat Inge dan beberapa temanku yang non-muslim lainnya keluar ruangan.
Lima menit kemudian saat aku mencatat sebagian yang diterangkan oleh Pak Ali, tiba-tiba terdengar suara berat di sebelahku.
"Gue duduk sini ya?"
Aku menoleh, si Oppie sudah duduk disebelahku dan meletakkan catatannya di meja. Aku menjawab dengan anggukan. Setengah jam kemudian kami sibuk mencatat. Herannya saat itu aku merasakan perasaan aneh. Kenapa aku merasa tidak nyaman duduk dekat Oppie, hingga sulit berkonsentrasi? tanyaku dalam hati. Aku melirik ke arah Oppie. Dia sangat serius mencatat apa yang ada di papan tulis sampai-sampai dahinya berkerut dan matanya menyipit.
Aku tersenyum geli melihat tampangnya waktu itu. Anak aneh begini dibilang mirip ama gue... pikirku.
Hari-hari berikutnya aku tidak pernah satu angkot lagi dengan Oppie. Menegur pun tidak pernah.
Sampai saat pelajaran Agama Islam berlangsung kembali.
"Entar susul gue di kantin ya?" tanya Inge sebelum dia keluar ruangan.
"Iya.. iya.. sana!" ujarku setengah mengusir.
"Kenapa sih lo? tumben ngusir segala.." sungutnya sambil berjalan.
Hari itu entah kenapa aku berharap Oppie duduk lagi disebelahku. 10 Menit berlalu. Pak Ali mulai mencatat di Papan Tulis. Aku heran, mengapa aku gelisah menunggu Oppie yang tidak pindah juga ke sampingku?
Saat terdengar pelan suara bangku bergeser di belakang, aku menahan diriku untuk tidak menoleh. Namun betapa kecewanya aku ketika ternyata Oppie melewati mejaku terus ke depan dan duduk di deretan paling depan di samping Nurhayati.
Aku cuma bisa bertanya-tanya, Kok sekarang aku jadi sebal sama dia ya?
Dengan isyarat tangan aku menghentikan angkutan kota. Saat aku naik ternyata Remy sudah ada di angkot. Kesempatan! pikirku. Aku harus mencoba menjadi temannya kalau ingin mengganggu kehidupannya. Aku benar-benar ingin mempraktekkan pepatah "menggunting dalam lipatan.." Tapi anak sombong ini benar-benar enggan menyapa duluan.
AKu juga malas sekali untuk memulai percakapan. Jadinya pagi itu dalam angkot kami lalui berdua dalam diam.
Beberapa menit sebelum Guru Agama Islam muncul mengisi jam pelajaran, Sonny terburu-buru keluar. Dia memang tidak ikut pelajaran ini karena dia seorang non-muslim.
"Lo jangan cari gue di kantin ya? gue kayaknya mau ngabur dulu sampe istirahat abis." Ujar Sonny lalu secepat kilat keluar ruangan tanpa menunggu reaksiku.
Saat Pak Guru menyuruh semua yang tidak mengikuti pelajaran ini untuk beristirahat lebih dulu, kulihat Inge meninggalkan bangkunya hingga Remy duduk sendiri.
Ah.. pelajaran mencatat ini benar-benar membuatku tersiksa. Aku tahu mataku sepertinya mulai bermasalah. Semua terlihat buram di Papan tulis. Aku melihat bangku Inge yang kosong, aku akan mencoba duduk di situ siapa tahu Remy mulai berbicara denganku.
Kemudian aku beranjak dan pindah ke sebelah Remy.
"Gue duduk sini ya?" tanyaku. Namun Remy cuma mengangguk.
Astaga! bahkan sudah pindah pun aku masih belum bisa melihat jelas tulisan yang ada di depan. Selama pelajaran aku benar-benar kesulitan mencatat padahal mataku sudah kupicingkan sedemikian rupa. Sesekali aku melirik Remy. Kelihatan sekali dia tidak nyaman duduk denganku.Apa aku terlalu cepat? pikirku waktu itu. Kalau dia tidak suka
denganku, dia pasti tidak akan pernah mau berteman denganku kalau aku terus-menerus mencoba mendekatinya.
Keesokan harinya sengaja aku berangkat lebih pagi menghindari seangkot dengan Remy. Kami seperti bukan teman satu kelas. Tidak pernah satu kalimat obrolan pun terlontar diantara kami berdua.
Sampai akhirnya pelajaran Agama berikutnya, aku melihat Inge cemberut sebelum dia keluar. Sepertinya Remy marah pada Inge hingga mengusirnya, tapi aku tidak tahu pasti.
Aku tahu kalau aku memaksa berteman dengan Remy, dia pasti terus menghindar. Karena mataku juga tidak bisa berkompromi akhirnya aku putuskan pindah duduk paling depan dengan Nurhayati.
Di tengah pelajaran aku melirik sekilas ke arah Remy. Dia tampaknya lega sekali tidak duduk denganku. Semoga keputusanku tepat...
Hatur nuhun pisan mbah... ane jadi semangat...[/size]
Dua hari kemudian saat aku baru datang, ada kerumunan di meja Oppie. Sonny Pakpahan dengan semangat mengoceh sesuatu, sementara disebelahnya, Oppie.... dia memakai kacamata!
"Model baru kan?" tanya Inong.
"Iya tuh yang sering di majalah ama di TV..." tambah Evi.
Aku berjalan perlahan menuju kerumunan itu. Aku tidak mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Perhatianku tertuju pada kacamata berbingkai agak tebal, berbentuk oval dan berwarna coklat gelap yang dikenakan Oppie. Kacamata yang sering dipakai artis di TV!
Sialan, kenapa saat itu Oppie yang tersenyum-senyum malu terlihat begitu keren!
"Kanan minus satu setengah, kiri satu koma tujuh lima... Gue ga perlu pindah-pindah lagi ke depan kalo mau nyatet..." ujarnya berseri-seri.
Aku kemudian meletakkan tas dan duduk di bangkuku. Tiba-tiba rasa iri menjalar bercampur rasa kecewa dengan kemungkinan Oppie tidak akan pernah duduk disampingku lagi.
Malam harinya aku memaksa Ayah menemaniku memeriksakan mata di optik terdekat. Ayah terheran-heran mendengarku yang tiba-tiba mengeluh pusing dan gangguan penglihatan.
Setelah menjalani pemeriksaan mata,
"Masih normal..." ujar pemeriksa di optik.
"Yakin pak?" tanyaku, "yang kanan ini buram loh..."
"Masih normal. Apa mau diperiksa lagi?" tanya si pemeriksa mulai kurang sabar.
Aku menyerah saat melihat Ayah juga terlihat kesal sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Hilang sudah harapanku menyaingi Oppie memakai kacamata. Pikirku kalau aku memakai kacamata bohongan alias cuma buat gaya-gayaan pasti akan ditertawakan teman satu kelas.
Dua hari kedepan pembicaraan masih seputar kacamata baru Oppie, hingga membuat aku makin kesal saja.
"Bagus loh.. gue juga mau ah, beli yang kayak gitu.. tapi untuk mata normal ada ga ya?" Inge dengan semangat terus mengoceh.
Aku tidak menjawab, namun dengan kesal meneruskan membaca catatan Biologiku yang isinya tak ada satu pun yang menempel di otak. Aku lalu menoleh ke arah Oppie yang juga sedang membaca. Ah.. memang dia jadi kelihatan lebih keren pake kacamata itu.
Kedai donat sekaligus ayam goreng itu merupakan favorit anak-anak untuk hang-out saat pulang sekolah. Aku dan Rini saat itu sedang menikmati hidangan ditemani minuman dingin di botol.
"Say.. mikirin apa sih?" tanya Rini.
"Eh... enggak kok. enggak mikirin apa-apa. kenapa?" tanyaku gelagapan.
"Ayam kamu tuh... biasanya hobby makan dua potong, diabisin cuma 15 menit. sekarang satu aja belum abis." tunjuk Rini.
"Iya.. aku... lagi kurang enak makan." jawabku.
"Lagi ada masalah di rumah ya?" tanya Rini hati-hati.
"Enggak," jawabku cepat.
"Trus kenapa dong?" tanya Rini lagi. "Udah enggak sayang lagi ya sama aku?" rengeknya lagi.
Anehnya aku hanya diam.
"Tuh kan bener....." Rini tambah merengek.
Aku akhirnya tersadar, "Apaan sih kamu? enggak.. kok, aku masih sayang.. cuma sekarang emang aku lagi banyak pikiran. Soal ujian, kuliah, bimbel... sorry ya Say..." bujuk aku.
"Kita pulang aja yuk..." ajakku sambil berdiri.
Rini tidak menjawab namun dia bangkit mengikutiku. Wajahnya masih diliputi kesedihan.
Namun entah mengapa aku merasa tak ada lagi yang bisa kuperbuat.
Pagi hari sebelum berangkat sekolah aku sedang memerhatikan kacamata minus yang baru kuambil dari optik semalam. Setelah kucoba pakai dan bercermin, aku menyandangkan tasku dan terus berangkat. Mulai hari ini aku memakai kacamata, aku tidak akan lagi kesulitan membaca semua yang ada di papan tulis.
Sampai di kelas, Kudengar Inong menjerit seakan-akan baru melihat sesuatu yang menyenangkan. "Aih.. aih.. Oppie!! Kacamata lo bagus banget...!"
Sonny yang sedang mengobrol dengan Evi, teman sebangku Inong, mereka berdua ikut menoleh. Aku menghampiri tempat dudukku sambil tersenyum-senyum. Mereka bertiga menanyaiku dari harga kacamata sampai berapa minus mataku.
"Model baru kan?" tanya Inong.
"Iya tuh yang sering di majalah ama di TV..." tambah Evi.
"Lo emang minus berapa sih?" tanya Sonny.
"Kanan minus satu setengah, kiri satu koma tujuh lima... Gue ga perlu pindah-pindah lagi ke depan kalo mau nyatet..." ujarku.
Tapi kemudian mataku tertumbuk pada Remy. Aku tidak sadar kapan dia datang. Aku melihat dia menatapku dengan aneh. Bukan kebencian, bukan juga ketidaksukaan. Tatapan yang sama sekali aku tidak mengerti.
Tiga hari kemudian aku dan Remy masih belum membuka komunikasi. Entah kenapa aku selalu terbayang tatapan Remy waktu itu. Apakah dia benar-benar benci padaku? kenapa aku sangat tidak ingin kalau dia benci padaku?
"Eh... lo lagi ga nafsu makan?" Pertanyaan Sonny membuyarkan lamunanku.
Siang itu kami sedang di kantin sedang makan siang sambil menunggu waktu bimbingan belajar dimulai.
"Ah enggak." jawabku. Tapi aku langsung mengerti melihat mangkuk mie ayam di depanku yang bahkan belum habis setengahnya.
"Mikirin apa sih lo?" tanya Sonny tidak serius, karena dia sedang menghabiskan kuah mie baksonya.
"Enggak.. gak mikirin apa-apaan." jawabku pelan. Tapi terus terang cuma Remy yang ada dipikiranku saat itu.
. .
Wow! keren bgt story kamu. Ada dua sudut pandang. Kerenz, sekerenz orangnya
. .
keep up the good work remy.
i really like it.
hopefully everything will be in good and happy ending
linguini.remy
Hmm.. sebenarnya ada sih foto kita berdua pas ikutan SAN-LAT...
Cuma ane bingung mau masukkin fotonya... scanner di kantor lagi rusak...