It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Memang harus ada momen tertentu saat kau menyadari bahwa kau ternyata memiliki best friend. Senin pagi itu saat hendak upacara bendera, aku melihat Oppie sedang serius menulis sesuatu di atas mejanya. Sonny yang tadi menemani dia sudah melewatiku keluar.
"Pie.. cepetan, anak-anak dah pada baris tuh.." aku memanggil dari pintu.
"Iya tunggu bentar.." kata Oppie tanpa melepaskan pandangan dari sesuatu yang ditulisnya.
Aku penasaran dan menghampiri Oppie. "Lo lagi ngapain?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.
Kulihat Oppie sedang menandatangani buku rapor nya. Sepertinya dia sedang berusaha mengikuti bentuk tanda-tangan ayahnya.
Buku Rapor kami memang harus dikembalikan secepatnya, karena 1 bulan lagi kami ujian caturwulan pertama.
"Loh... kok bukan orang tua lo yang tanda tangan?" tanyaku heran.
"Lo ga tau bokap gue... dia jarang ada di rumah. Kerja jadi pegawai negeri tapi hobinya mancing siang-siang. Trus kalo malem begadang main gaplek, mana pernah gue ketemu sama dia pagi-pagi kalo dia belum bangun?" cerita Oppie.
"Kenapa ga minta nyokap lo aja tanda-tangan?" tanyaku lagi.
"Nyokap gue buta huruf." Jawab Oppie singkat.
Jawaban ini membuatku tidak berkata apa-apa lagi.
"Nah... udah selesai. Mirip kan?" tanya Oppie sambil menunjukkan tanda-tangan di rapornya dan tanda-tangan ayahnya di secarik kertas seperti kuitansi.
"Mirip... udah Yuk ke lapangan." Ajakku sambil bangkit dan memakai topi putih abu-abu ku.
Baru sampai pintu aku baru sadar ternyata Oppie tidak mengikutiku malahan mencari-cari sesuatu di tasnya.
"Nyari apa lagi?" tanyaku mulai kurang sabar.
"Kayaknya topi gue ketinggalan deh." Kata Oppie sambil terus mengaduk isi tasnya.
Sekolah kami memang sangat ketat soal peraturan. Tidak cuma rambut yang tidak boleh terlalu panjang, topi pun wajib dikenakan saat upacara. Jika tidak, siap-siap dihukum di tengah lapangan.
"Ya udah biarin aja deh..." sahut Oppie sambil berlari menyusulku meninggalkan tasnya tergeletak di meja.
Upacara berlangsung saat matahari pagi bersinar terik. Oppie yang tidak memakai topi wajahnya memerah kepanasan, dahinya dibasahi titik-titik keringat sementara matanya mengecil menahan silau.
Benar saja. Setelah upacara selesai dan barisan belum dibubarkan, Pak Boy, Wakil Kep-sek bidang siswa langsung menyuruh siswa yang tidak memakai topi untuk maju.
"Saya lihat ketidakdisiplinan makin banyak saja. Yang tidak memakai topi, Maju!" Ujar pak Boy melalui pengeras suara.
Tujuh orang siswa dan dua orang siswi maju dari barisannya masing-masing, termasuk Oppie. kesembilan murid itu berdiri membentuk barisan di depan. Aku melihat Oppie yang wajahnya semakin memerah, kini tertunduk. Wajahnya terlihat sangat kesal.
Sesuatu yang sangat menjengkelkan pun terjadi, setelah entah apa yang dikatakan Pak Boy, dia melepas topi Korpri-nya dan memukulkannya ke kepala murid satu persatu. Bukan itu saja, dia menambahkan tendangan sebagai bonus khusus untuk murid prianya.
Kulihat Oppie semakin menunduk setelah mendapatkan tendangan di kakinya, aku jadi teringat ketika dia bercerita pernah terkena hukuman saat razia rambut dan bersumpah tidak akan pernah terjadi lagi. Dan itu membuatku marah. Telingaku berdenging melihat perlakuan Pak Boy pada Oppie.
Tanpa pikir panjang aku segera maju dan mencopot topiku serta melemparnya ke tengah lapangan, lalu berdiri di samping Oppie.
Bisik-bisik keras murid yang kebingungan mulai terdengar di tiap barisan. Oppie menoleh menatapku heran. Aku menoleh dan memberi senyuman sekilas padanya sebelum pandanganku kuarahkan kembali ke depan.
"Apa-apaan kamu? Kamu mau ikut dihukum?!" tanya Pak Boy dengan suara meninggi.
Aku tidak menjawab. Dan beberapa menit kemudian kurasakan sakit di kepalaku saat topi pak boy memukul kepalaku. Dan beberapa detik kemudian giliran kakiku yang terasa sakit karena tendangannya.
Teriakan-teriakan bernada protes mulai terdengar di barisan murid, terutama dari barisan kelas kami yang tidak rela teman sekelas mereka diperlakukan seperti itu. Tanpa dikomando, diawali dari teman-teman sekelas kami, murid-murid satu persatu mengikutiku melepas topi dan melemparnya di tengah lapangan dan berdiri berbaris di depan.
Keadaaan makin kacau dan ramai oleh tepuk tangan dan seruan semangat para murid hingga Pak Boy dan dewan guru tidak bisa berbuat apa-apa. Oppie menoleh padaku dan ditengah suara ramai aku mendengarnya berkata pelan "thanks ya.."
Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Tapi aku tahu. Dan sepertinya Oppie pun tahu. Kalau sejak itu kita menjadi teman baik.
Penasaran bos..
THE FORGOTTEN CAP (HIS SIDE OF STORY)
Aku melihat kolom tanda tangan yang masih kosong pada buku Raporku. Hari ini adalah batas waktu pengembalian buku Rapor ke masing-masing wali kelas. Senin pagi itu jam setengah tujuh sebelum berangkat sekolah, aku ingin meminta tanda tangan ayahku.
Aku ketuk pelan pintu kamar Ayah. Percuma saja mengharap ayah sudah bangun jam segini, pikirku. Pasti dia semalam sama seperti tiap malam lain, bermain gaplek lagi di pos kamling sebelah hingga larut malam. Kubangunkan pun pasti hanya akan membuatnya mengamuk.
Kupandangi ayahku yang sedang tertidur. Ingin sekali aku menunjukkan hasil raporku ini pada Ayah. Lalu kuputuskan untuk berangkat setelah aku mengambil dari lemari pakaian ayah kuitansi iuran sampah yang ditanda-tanganinya.
"Bu.. Sofyan berangkat dulu ya. Assalamualaikum!" Pamitku pada Ibu yang sedang memakan sarapannya di meja makan.
Ibuku hanya mengangguk dan menjawab salamku, terkadang aku sedih melihat kondisi ibu. Sepertinya dia selalu banyak pikiran, mungkin sebagian besar diakibatkan Ayah yang selalu pulang larut malam. Aku tidak mungkin aku minta Ibu menandatangani raporku karena beliau buta huruf.
Sampai di kelas aku berusaha menirukan tanda tangan ayahku yang ternyata cukup sulit.
"Itu tuh termasuk kejahatan, tau gak?" Kata Sonny Pakpahan yang dari tadi memerhatikan. Aku mengacuhkannya.
Kemudian Sonny bangkit dan menyambar topinya dan meninggalkan aku.
"Pie.. cepetan, anak-anak dah pada baris tuh.." Remy memanggil dari pintu.
"Iya tunggu bentar.." kataku tanpa melihatnya.
"Lo lagi ngapain?" tanya Remy yang menghampiri dan duduk disebelahku.
Mengerti apa yang sedang kukerjakan, Remy bertanya heran.
"Loh... kok bukan orang tua lo yang tanda tangan?"
Setelah kuceritakan alasan mengapa aku tidak bisa meminta tanda tangan orang tuaku,
Remy tidak berkata apa-apa lagi.
"Nah... udah selesai. Mirip kan?" tanyaku sambil menunjukkan tanda-tangan yang kubuat pada Remy.
"Mirip... udah Yuk ke lapangan." Remy berkata sambil bangun dari duduknya.
Ketika aku hendak mengambil topi yang ada di dalam tas, aku baru tersadar minggu ini berganti tas sehingga kemungkinan besar topiku tertinggal di tas yang satu lagi.
"Nyari apa lagi?" tanya Remy.
"Kayaknya topi gue ketinggalan deh." Kataku sambil terus berusahan mencari dalam tas.
Bayangan bakal dihukum di tengah lapangan langsung terbayang dipikiranku. Sekolahku memang sangat ketat dengan peraturan.
"Ya udah biarin aja deh..." sahutku sambil berlari menyusul Remy. Apapun yang terjadi aku sudah pasrah.
Upacara kulalui dengan kepanasan.Yang kutakutkan terjadi. Mungkin karena merasa sudah melihat terlalu banyak murid yang tidak memakai topi hari ini membuat Pak Boy perlu memanggil mereka maju ke tengah lapangan.
Aku pun berjalan ke luar barisan menuju tengah lapangan bersama beberapa murid lain.
Saat berbaris di depan aku sudah tidak lagi mendengar omelan Pak Boy. Aku kembali teringat saat aku kena razia hampir setahun lalu. Ku lihat sekilas ke arah Remy, aku merasa dia kembali melihatku seperti mahluk hina sama seperti dia melihatku tahun lalu.
Aku hanya bisa diam menerima pukulan topi Pak Boy di kepalaku dan juga tendangan di kakiku.
Aku cuma bisa menunduk sampai kulihat Remy maju dari barisannya, melempar topinya ke tengah lapangan dan berdiri di sampingku. Aku terperangah heran dan menatap Remy, namun Remy hanya tersenyum sebentar.
"Apa-apaan kamu? Kamu mau ikut dihukum?!" Kata Pak Boy. Lalu Pak Boy kembali mengomel selama beberapa menit terutama pada Remy, hingga akhirnya Remy pun terkena pukulan dan tendangan pak Boy.
Rupanya kejadian itu membuat marah murid-murid lain terutama teman-teman sekelas kami.
Akhirnya satu persatu murid maju ke depan setelah terlebih dahulu melepas topinya dan melemparnya ke tengah lapangan. Tepuk tangan dan seruan murid-murid menambah kekacauan hingga para guru pun seperti kebingungan entah mau berbuat apa.
Di tengah suara hiruk pikuk itu aku berkata pada Remy, "Thanks ya.."
Remy hanya membalas dengan senyuman.
Kami berdua kembali ke kelas setelah dipanggil dan diberi nasihat oleh Pak Ayi di ruang BP. Pak Rohiman selama itu mendampingi dan membela kami hingga akhirnya kami hanya dinasehati untuk tidak melakukan hal seperti itu lagi, dan kami pun tidak dihukum.
Saat menuju kelas aku bertanya kepada Remy. "Lo kenapa ngelakuin kayak gitu?"
"Reflek..." jawabnya.
Aku pun tertawa, sampai kelas kami mendapati beberapa murid perempuan yang ikut aksi tadi sedang menangis. Aku melihat Warih sedang menenangkan Inge yang wajahnya sembab dan bersimbah air mata.
"Udah gak usah nangis Nge..." kata Remy.
"Kalo lo khawatir kita bakal dihukum dan orang tua lo bakal di kasih tahu, tenang aja.. Enggak bakal kok!" tambah Remy.
"Beneran?" tanya Inge tidak percaya.
"Swear!!" kataku sambil membentuk tanda V dengan jariku.
Kami semua tertawa. Sakit pada tulang kering di kakiku juga menjadi tidak terasa lagi.
Karena sekolah kami tidak punya fasilitas kolam renang sendiri, maka setiap kali ada praktek renang kami memakai kolam renang umum. Lokasi kolam itu cukup jauh dari sekolah. Letaknya di komplek markas TNI. Untuk mencapainya harus menggunakan minibus bekas tentara yang supirnya pun kebanyakan para veteran.
Hari ini kami praktek renang perama kalinya di kelas tiga. Karena menunggu minibus penuh, siang itu terpaksa aku, Oppie dan Novel, menunggu di dalamnya selama 10 menit. Hampir pukul dua, udara sedang panas-panasnya, aku duduk di dekat jendela oleh karena itu sebelah tanganku terpanggang sinar matahari. Novel tertidur (dia bisa tertidur dengan mudah di mana saja) sementara Oppie sedang melamun entah memikirkan apa.
Akhirnya Minibus itu jalan setelah dipenuhi penumpang, Kami sampai di area kolam renang 15 menit kemudian dan buru-buru menuju sebuah gazebo untuk berganti pakaian.Anak-anak dari kelas 3 IPA yang lain sudah banyak yang datang lebih dulu disusul beberapa anak yang datang setelah kami bertiga.
Aku dan beberapa murid lain melepas pakaian di Gazebo itu. Dan anehnya mataku tidak bisa kutahan untuk mencuri pandang ke arah Oppie yang sedang melepas t-shirt nya.
Karena selama ini dia selalu memakai baju yang agak kebesaran, aku baru tahu tubuh Oppie tidak sekurus yang kukira. Tidak terlalu kekar juga, namun aku bisa melihat tonjolan otot-ototnya. Mungkin hasil dari rutin main sepak bola setiap hari minggu.
Aku buru-buru mengalihkan pandanganku sebelum Oppie tersadar. Konsentrasiku benar-benar terganggu hari itu dengan pemandangan tubuh Oppie, hingga akhirnya praktek renang selesai.
Aku dan Oppie naik dan menuju gazebo untuk mengambil tas kami masing-masing dan berjalan ke ruang bilas sekaligus ruang ganti. Aku membilas sisa-sisa air kolam berkaporit yang masih menempel di badanku pada salah satu shower, sementara Oppie menggunakan shower disebelahku dan sedang berkeramas. Setelah kami selesai membilas, kami hendak memakai bilik ganti baju yang bentuknya berjejer. Sayang, bilik ganti kosong yang tersisa cuma satu.
"Ya udah barengan aja." Usul Oppie.
Aku menatapnya heran, namun akhirnya kuikuti juga dia.
Didalam bilik ganti yang cukup sempit itu, kami bersiap mengganti celana renang dan celana dalam yang basah. Oppie mencari-cari sesuatu dalam tasnya dan dia mengambil handuk yang cukup lebar dan memakaikannya di pinggang.
"Gini caranya, lo pake anduk lo juga, trus kita balik badan dan ganti." kata Oppie.
Rasa kecewa sempat terlintas dikepalaku yang entah mengapa sangat ingin melihat Oppie melepas celananya tanpa terhalang handuk sialan itu. Ups! aku mikir apa sih?? runtukku dalam hati.
"Ya udah.. Jangan ngintip ya.." ujarku mencoba bercanda.
"Siapa yang mau ngintip elo?" kata Oppie.
Dalam diam kami melepas pakaian basah kami. Aku membelakangi Oppie dan memakai handuk juga. Ruangan yang sempit membuat punggungku kadang-kadang bergesekkan dengan punggung Oppie dan menimbulkan sensasi yang tidak aku mengerti.
Setelah kami selesai melepas pakaian basah kami secara hampir bersamaan, aku dan Oppie memasukkannya di kantung plastik masing-masing. Tiba-tiba Aku tertegun. Aku menatap Oppie yang bertelanjang dada dengan hanya dililit handuk dan aku tahu persis dia tidak mengenakan apa-apa dibalik handuknya itu. Bukannya marah Oppie malah balik menatapku.
Saat kurasakan ruangan sempit itu mulai memanas seperti wajahku, aku buru-buru membalik badan dan mengenakan seluruh pakaianku. Oppie pun begitu, dia buru-buru memakai kaus dan pakaiannya yang lain. Dengan asal-asalan aku menjejalkan handuk dan kantung plastik kedalam tasku dan tanpa bicara apa-apa aku cepat-cepat keluar dari bilik itu.
Oppie menyusul keluar tak lama kemudian masih menenteng kantung plastik berisi celana basahnya.
Saat kami keluar kami berpapasan dengan Novel dan beberapa murid lain.
"Hah?? ngapain lo berdua di dalem? Maen anggar??" tanya Novel keras-keras lalu dia tertawa diiringi tawa murid-murid lain.
Tawa Novel terhenti saat Oppie melempar kantung plastik yang dipegangnya tepat mengenai wajahnya.
i'm your new fans!!!!!
hehehhehehe..........
lanjut dong!!
sumpah bgus bgt!! apalagi based on true story...
aq jadi pengikut setia room ini deh.... :P
Versi Oppie blom selesai di Edit nih...
Cerita di sana ada di warung ane yang "How to get..."
Thanks for reading....