It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dengan serius kami mendengarkan wejangan dari Ibu wakil kepala sekolah mengenai adanya kerusuhan. Ya. Kerusuhan adalah sesuatu yang belum pernah kami dengar sebelumnya. Ada kabar bahwa keadaan Jakarta sedang genting saat terjadi penyerangan kantor salah satu partai politik waktu itu. Walaupun kami di Bogor, Dewan guru mengkhawatirkan imbasnya sampai di sini juga.
"Bimbingan belajar hari ini dibatalkan, Ibu harap kalian segera pulang ke rumah dan Jangan kemana-mana dulu. Ibu tahu kalian akan mengikuti pemilu tahun ini, tolong jangan terlalu menonjolkan bahwa kalian adalah simpatisan partai tertentu. Termasuk kamu Novel! buka dulu kaus dalam hijau kamu sebelum pulang!" ujarnya tegas.
Novel yang memang terkenal sebagai simpatisan partai berwarna hijau itu cuma menunduk. Aku sih tidak begitu mengkhawatirkan masalah Pemilu ini, karena usiaku memang belum 17 tahun. Usiaku memang setahun lebih muda dari rata-rata teman sekelasku waktu itu. Cuma tetap saja masalah kerusuhan ini membuatku agak khawatir.
"Yakin ga usah diantar?" tanyaku lagi pada Rini saat dia hendak naik angkot. Rumah Rini berlawanan arah denganku.
Rini menggeleng. "Ga usah, kamu juga cepet pulang aja, jangan kemana-mana ya?"
"Oke deh.. hati-hati di jalan ya." ujarku
Rini hanya memberi senyuman sekilas sebelum dia naik. Aku kembali ke seberang. Dan... Oppie juga ada di situ sendirian. Tampaknya dia juga sedang menunggu angkot.
Saat aku tiba di seberang, aku mengambil posisi agak jauh darinya. Aku merasa Oppie sedang memerhatikan aku makanya aku menoleh ke arahnya. Hanya basa-basi aku memberikan senyuman kurang tulus padanya. Oppie tidak membalas malahan terus menatapku.
Hingga akhirnya angkot tiba, kami naik berdua. Lagi-lagi kami berdua hanya diam. Tapi dalam angkot pun Oppie masih terus menatap aku hingga akhirnya aku menjadi kesal.
"Kenapa?" tanyaku ketus.
Lama Oppie tidak menjawab, sampai akhirnya dia bertanya, "Gue minta maaf ya? Gue tahu gue punya salah sama lo." badannya dia condongkan ke depan. Kini aku bisa melihat jelas wajah tampannya.
Aku gelagapan ditanya seperti itu. Sampai akhirnya aku menjawab "Eh.. enggak. Emang lo salah apa sama gue?" dengan bingung aku balik bertanya.
"Pasti Rini pernah cerita kan? soal surat cinta yang gue kasih buat dia waktu kelas dua dulu?" ujarnya.
Aku cuma bisa bengong.
"Tapi sumpah!! itu dulu!! sekarang gue udah enggak punya feeling lagi sama dia! Lo gak usah khawatir. Maafin gue ya? gue pengen kita berteman." lanjutnya sambil mengulurkan tangannya.
AKu memang menjabat tangannya, tapi waktu itu aku masih cuma bisa bengong.
Ada berita heboh! begitu yang kudengar saat hendak kembali ke kelas. Barusan aku terlalu lama membaca majalah di perpustakaan hingga berita yang kudengar tentang kerusuhan di Jakarta soal penyerangan kantor partai politik sepanjang perjalanan menuju kelas menjadi simpang siur. Ups! aku terlambat! kulihat Ibu Wakil Kepala Sekolah baru keluar ruang kelasku, kudengar dalam kelas berisik sekali dengan nada-nada kekhawatiran. Lalu aku melihat Novel keluar dengan wajah cemberut dan kutanya.
"Kemana Vel?" tanyaku.
"Aku mau lepas kaus dulu di toilet... huh.. gara-gara kerusuhan..." sungutnya kesal sambil terus berlalu.
Akhirnya aku tahu bimbingan belajar hari ini dibatalkan. Aku pun segera membereskan buku-buku ke dalam tasku.
Sepanjang perjalanan dari sekolah menuju jalan raya, aku berjalan dengan Sonny. Beberapa meter di depanku, Remy dan Rini berjalan bergandengan tangan. Entah kenapa aku tidak bisa melepaskan pandanganku pada mereka berdua.
"Hoi... lagi liatin siapa sih lo?" tanya Sonny sambil memukul pundakku.
"Liatin Jalan!" sahutku kesal.
Sampai di jalan raya, aku terus memerhatikan Remy di seberang sedang melepas Rini yang hendak naik angkot, sampai-sampai aku tidak sadar Sonny memanggilku dari jendela angkot.
"Pie.. lo mau naek ga? sopirnya nungguin nih!" teriak Sonny.
"Enggak! lo duluan aja!" jawabku. Akhirnya angkot itu melaju.
Kulihat Remy menyeberang kembali kemari. Lagi-lagi... sepertinya dia sengaja memilih berdiri berjauhan dariku. Seakan-akan aku berpenyakit menular. Kelihatan sekali basa-basinya saat menoleh dan memberi senyum padaku. Aku benar-benar kesal!
Dalam angkot pun begitu. Kami tetap diam. Tapi aku bertekad untuk membuka percakapan hari ini. Ya! Alasan...! aku harus punya alasan...! Sekalipun harus bohong! Apa saja! dan akhirnya yang terlintas di pikiranku pun terucapkan.
"Gue minta maaf ya? Gue tahu gue punya salah sama lo." badanku kucondongkan ke depan. Remy terlihat bingung.
"Eh.. enggak. Emang lo salah apa sama gue?" dengan bingung Remy balik bertanya.
"Pasti Rini pernah cerita kan? soal surat cinta yang gue kasih buat dia waktu kelas dua dulu?" ujarku.
Remy bengong.
"Tapi sumpah!! itu dulu!! sekarang gue udah enggak punya feeling lagi sama dia! Lo gak usah khawatir. Maafin gue ya? gue pengen kita berteman." aku mengulurkan tanganku.
Akhirnya Remy menerima jabat tanganku, meskipun sepertinya dia tidak begitu yakin harus berbuat apa.
Kalo bisa marathon, non stop ceritanya LOL
Sejak kejadian di angkot itu, memang hubungan kami agak mencair, Tentu saja aku tidak mengungkit soal surat cinta itu kepada Rini. Namun tetap saja rasa iriku belum berkurang malahan semakin menjadi-jadi. Terlebih lagi dia mengungguliku di pelajaran Matematika.
"Ajak aja dia satu kelompok ama kita..." usul Inge.
"Kenapa sih? lo suka ya ama dia?" protesku.
"Ih.. lO tuh yang ngiri sama dia!" Balas Inge.
Aku tidak menjawab, lalu aku melipat kertas hasil ulangan matematikaku yang baru saja dibagikan. Delapan koma dua lima... sedangkan Oppie, dia mendapat nilai sembilan koma empat puluh. Sudah beberapa kali ulangan ini nilaiku selalu dibawah dia.
"Rem, gue boleh ikut kelompok lo ga? gue agak lemah nih di Biologi, gue harap lo bisa bantu gue belajar." Tiba-tiba Oppie datang dan menghampiri meja kami.
"Eh.. boleh.. boleh... sekalian kita bisa tanya-tanya Matematika sama lo.." ujar Inge bersemangat, tidak memedulikan aku yang mendelik sewot padanya.
"Wah.. trims ya.." ujar Oppie berseri-seri.
Huh! Lemah di Biologi... berarti gue lemah di Matematika, jadi lo lebih hebat dari gue? Pikirku kesal.
"Pie... sabtu nanti kita ada pertemuan di rumah gue ya, sama Novel dan Nur juga, kita mau bahas soal-soal ujian taun kemarin, sekalian nginep dirumah gue." kata Inge.
"Oke... gue siap. thanks ya.." jawab Oppie "Eh tapi... gue ga tahu rumah lo Nge.." tambahnya lagi.
"Lo bareng aja ama Remy, janjian di perempatan ya?" usul Inge.
"Oh... iya deh, thanks ya Rem.." Oppie berkata sambil kembali ke mejanya.
Inge kembali ku pelototi namun dia cuma senyum-senyum saja.
Aku tidak bisa menolak janji bertemu dengan Oppie, sabtu sorenya dari rumah masing-masing kami berangkat. Sengaja kami tidak berangkat langsung dari sekolah, karena tidak enak pergi dengan masih berseragam dan belum mandi.
Saat turun dari angkot, kulihat Oppie menunggu di halte dengan tas ransel nya. Dia memakai polo-shirt biru langit dan jeans model regular fit sehingga kakinya yang jenjang terlihat sempurna. Dia tersenyum saat melihatku dan aku pun tersenyum membalas.
"Dari sini naik Bus ke arah sana kan?" tanya Oppie.
"Iya. Nanti setelah turun kita sambung naik ojek." jawabku
Tak lama Bus yang akan kami tumpangi datang. Kami berdua naik, dan sepanjang perjalanan kami berdiskusi mengenai ujian.
Setelah turun dari bus, kami menuju pangkalan ojek. Sialnya saat itu ojek hanya ada satu, dan motornya pun tidak terlalu bagus. Setelah menunggu beberapa saat, kami memutuskan untuk naik ojek berdua.
"Yakin bisa?" tanyaku sambil melihat kondisi motor yang akan kami naiki.
"Kayaknya bisa, gue duduk di tengah, lo pake ransel gue duduk dibelakang, kan tas lo model slempang." Kata Oppie.
"Ya udah... coba aja..." kataku masih ragu.
Oppie menyerahkan ranselnya dan segera kupakai di punggungku. Kemudian Oppie naik duluan dan tanpa ragu-ragu memeluk pinggang si tukang ojek.
"Naek Rem!" ujarnya sambil menoleh ke arahku.
Oppie beringsut maju menyisakan ruang untukku duduk di jok motor. Akhirnya aku naik juga. Entah kenapa aku sangat sungkan untuk memeluk pinggang Oppie, namun ketika motor mulai jalan, tak ada pilihan selain memeluk pinggang Oppie daripada harus terjatuh.
"Blok O-1 no. 10 bang!" ujarku.
Rumah Inge lumayan jauh, aku bingung mengapa jantungku berdebar saat itu. Apakah karena aku memeluk pinggang ramping Oppie? atau karena parfum yang dia gunakan? hampir saja aku terhanyut untuk mencondongkan badanku dan merapatkan pelukan kalau saja kami
belum sampai di rumah Inge.
"Remy, di sini ya?" Oppie bertanya membuyarkan lamunanku.
"Apa? oh eh.. iya di sini." jawabku sambil buru-buru turun. Aku langsung menuju pintu rumah Inge sementara Oppie membayar si tukang ojek. Aku yakin wajahku yang panas ini bersemu merah.
"Bagus.. Pertahankan terus nilai kamu ya?" Ujar Pak Rohiman sambil menyerahkan lembaran hasil ulangan matematika dengan nilai sembilan koma empat puluh.
"Iya pak.." jawabku.
Saat aku melewati meja Remy menuju mejaku, kulihat wajahnya masam dengan kening berkerut memerhatikan kertas ulangannya sendiri.
Aku selalu merasa lebih baik menghadapi soal-soal penuh hitungan angka dari pada harus menghafal susunan taksonomi hewan dan tumbuhan dalam pelajaran Biologi. Oleh karena itu aku membutuhkan bantuan dalam mata pelajaran itu. Bantuan itu bisa kudapat dengan
masuk kelompok belajar bentukan Remy.
Aku hendak menuju meja Remy untuk meminta bergabung dalam kelompoknya, hanya saja aku harus menunggu beberapa saat ketika kulihat Inge dan Remy sedang berdebat entah tentang apa.
"Rem, gue boleh ikut kelompok lo ga? gue agak lemah nih di Biologi, gue harap lo bisa bantu gue belajar." Aku menyela perdebatan mereka.
"Eh.. boleh.. boleh... sekalian kita bisa tanya-tanya Matematika sama lo.." ujar Inge.
"Wah.. trims ya.." Kataku.
Remy tidak berkata apapun.
"Pie... sabtu nanti kita ada pertemuan di rumah gue ya, sama Novel dan Nur juga, kita mau bahas soal-soal ujian taun kemarin, sekalian nginep dirumah gue." kata Inge.
"Oke... gue siap. thanks ya.." jawabku "Eh tapi... gue ga tahu rumah lo Nge.."
"Lo bareng aja ama Remy, janjian di perempatan ya?" usul Inge.
"Oh... iya deh, thanks ya Rem.." Aku tidak menunggu persetujuan Remy.
Pulang sekolah, aku mandi dan berganti pakaian. Kemudian aku menunggu di tempat yang dijanjikan. Remy datang setelah 10 menit aku menunggu, dia terlihat segar mengenakan sweater coklat-susu dengan lengan yang digulung hingga siku dan celana jeans. Tak lama kami naik bus dan dalam bus kami berdua membicarakan seputar ujian dan pelajaran.
"Jogja?" tanyaku.
Remy mengangguk-angguk.
"Bimbingan UMPTN di sana lebih efektif?" tanyaku kurang yakin.
"Iya... plus kita bisa ngerasain satu bulan mandiri tinggal di kos-kosan deket UGM." Lanjut Remy lagi.
"Enak banget kali ya, kalo kita bisa jadi temen sekamar..." Ujarku tanpa sadar.
Remy menatapku heran.
"Eh... udah sampe belom sih?" kataku mengalihkan perhatian.
Saat kita turun, ternyata hanya ada satu motor ojek saja. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk naik berdua.
Gagasan untuk naik motor berdua dan harus memeluk Remy entah mengapa membuatku agak khawatir. Itu sebabnya aku mengusulkan untuk duduk di tengah dan memberikan tasku pada Remy.
"Naek Rem!" kataku setelah aku sendiri naik terlebih dahulu.
Remy ragu-ragu, namun dia tetap naik dan duduk di belakangku. Hentakan motor saat mulai berjalan membuat Remy reflek memeluk pinggangku.
"Blok O-1 no. 10 bang!" kata Remy.
Sepanjang perjalanan dengan motor itu jantungku berdetak cepat. Aku sangat berharap Remy tidak menyadari hal itu mengingat dia dengan eratnya memeluk pinggangku.
"Mas di sini kan?" tanya si tukang ojek.
"Remy, di sini ya?" Aku meneruskan pertanyaan tukang ojek pada Remy.
"Apa? oh eh.. iya di sini." Kata Remy. Kemudia dia buru-buru turun.
"Berapa?" tanyaku pada tukang ojek.
Aku membayar tukang ojek itu sambil kulihat Remy menuju pintu rumah Inge. Aku langsung bertanya-tanya, apakah tadi dia menyadari jantungku yang berdetak cepat? duh.. apa yang dia pikirkan tentang aku ya?
Pembahasan soal ujian berakhir lewat jam 10 malam. Di lantai berkarpet Novel masih berkutat dengan kunci jawaban mencoba menghitung skor dia sendiri. Nur sudah tertidur di pojokan dengan bantal sofa. Inge dan Oppie masih berkutat dengan soal matematika yang belum bisa mereka kerjakan. AKu sendiri sedang memegang catatan kimia tanpa membacanya, malahan sesekali aku memerhatikan ke arah Oppie dan Inge. Huh.. akrab banget sih... keliatan banget niat lo Nge! ujarku dalam hati.
Inge dan Oppie lalu mulai mengikik menertawakan sesuatu sambil bicara berbisik-bisik.
"Bosen nih! udah enggak masuk!" kataku tiba-tiba sambil melempar buku catatan yang kupegang.
Inge dan Oppie terdiam.
"Gimana kalo kita nonton LD aja?" (Laser disc.. in case you don't know what LD means) Usul Inge.
"Film apa?" tanyaku.
"Film nya Van-damme yang baru! nonton yuk sebelum gue balikin ke rental besok?"
Inge tidak menunggu jawaban dia sibuk mengorek-ngorek tumpukan di bawah TV. Ketika dia menemukan yang dia cari, dia mulai memutar kepingan LD itu dan menyuruh Novel memadamkan lampu.
Saat film dimulai terjadi keributan kecil. Kami sibuk berebutan bantal sofa dan mencari posisi wuenak. Nur yang tidak mau dibangunkan untuk menonton, tidak mau membagi bantal sofa-nya. Begitupun aku, Inge dan Novel yang telah merebut dan menguasai bantal masing-masing, hingga tinggal Oppie yang tidak kebagian bantal.
"Nge.. lo ambil bantal lo sendiri aja gih di kamar..." pinta Oppie.
"Gak mau." ujar Inge sambil memeluk bantalnya lebih erat.
Aku cuma tersenyum.
Oppie yang kebingungan celingak-celinguk mencari posisi wuenak dia sendiri.
"Ya udah.. gue jadiin bantal salah satu dari lo semua!" ujarnya lagi sambil tiba-tiba tiduran dan meletakkan kepalanya di pahaku.
"Apaan sih! berat tau!" protesku sambil berusaha mendorong kepala Oppie.
Tapi Oppie tidak mau bergerak malahan dengan galak berkata "Gak usah protes! lo kan udah punya bantal."
Akhirnya aku biarkan Oppie menggunakan pahaku sebagai bantalnya. Lagi-lagi perasaan ini datang. Kenapa kubiarkan terus dia tiduran di pahaku? padahal dengan mudahnya aku bisa menarik kakiku dan membiarkan kepala Oppie jatuh. Sampai-sampai saat film hampir selesai, aku merasa kakiku sangat pegal.
Saat akhirnya film selesai, Novel sudah mendengkur. Inge yang kelihatan sangat mengantuk cuma terbangun sebentar untuk mematikan LD player dan TV, lalu meneruskan tidurnya.
"Pie.. pindah dong.." bisikku sambil menggoyang-goyangkan kakiku.
Namun Oppie malahan membalik kepalanya hingga dalam keremangan cahaya aku dapat melihat wajah tampannya yang sedang tertidur. Aku tidak tega membangunkannya, akibatnya sekarang aku jadi sulit tidur.
Inge cuma mengangguk-angguk entah mengerti atau tidak saat kujelaskan penyelesaian soal limit dalam pelajaran matematika. Sesekali dia mengetuk-ngetukan pensil ke dahinya.
"Ngerti?" tanyaku.
Inge tidak menjawab.
"Kalau belum, gue ulang lagi ya?" tanyaku lagi
Inge menatapku dengan mata memohon hingga aku tertawa.
"Kalau belum ngerti enggak usah dipaksain..." ujarku. Inge dan Aku sama-sama tertawa.
"Bosen nih! udah enggak masuk!" tiba-tiba Remy berkata sambil melempar buku catatan yang dia pegang.
Aku dan Inge terdiam.
"Gimana kalo kita nonton LD aja?" (Laser disc.. in case you don't know what LD means) Usul Inge.
"Film apa?" tanya Remy.
"Film nya Van-damme yang baru! nonton yuk sebelum gue balikin ke rental besok?"
Inge lalu memasang film itu.
"Vel.. matiin lampunya Vel... tombolnya deket kamu tuh." Suruh Inge.
Bantal-bantal sofa yang tadinya dibiarkan menumpuk, kini menjadi rebutan. Aku terlambat merebut salah satu bantal itu.
"Nge.. lo ambil bantal lo sendiri aja gih di kamar..." pintaku.
"Gak mau." ujar Inge sambil memeluk bantalnya lebih erat.
"Ya udah.. gue jadiin bantal salah satu dari lo semua!" kataku langsung menjadikan paha Remy sebagai bantal.
"Apaan sih! berat!" Remy memprotes sambil berusaha mendorong kepalaku.
"Gak usah protes! lo kan udah punya bantal." kataku
Selama film diputar, aku merasa nyaman tiduran seperti ini. Yang kusadari hanya 15 menit pertama saja. Selanjutnya aku tertidur pulas.
Jam 3 pagi aku terbangun. Aku baru tersadar masih tertidur di paha Remy. Dia tertidur pulas sekali, Kenapa dia tidak menggeser saja kepalaku? aku yakin kakinya pasti pegal kujadikan bantal semalaman.
Kemudian aku beringsut mendekati Novel yang sebagian besar bantalnya menganggur, dan melanjutkan tidurku.
Lanjut ya...
Lanjut ya...