It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Nggak seharusnya kita melakukan ini, Ki…” katanya pelan.
“Maaf aku nggak sadar tadi…” katanya lagi.
Aku menelan ludah. Ternyata dia tidak menginginkan aku… sebuah penolakan yang menyakitkan.
“Aku masih normal, ki…” katanya lagi. Dia merapikan pakaiannya. Aku masih terdiam seribu bahasa.
Kamu benar, Gie.. aku yang gak normal. Aku Gay…
“Aku mencintai Amelia…. Dan bulan depan kita akan tunangan. Maafkan aku…” Kata Aggie sambil berlalu dari kamarku.
Kupandangi langit-langit kamar. Masih kurasakan hangatnya bibir itu tertinggal di bibirku. Aku kehilangan lagi… Ada rasa hangat di dadaku menjalar kearah mataku. Aku memejamkan mataku dalam-dalam. Kuusap dadaku agar bisa menerima kenyataan. Dia pasti takkan kembali. Aggie-ku telah berlalu dari hidupku…
Rina dan Chika ternyata memperhatikan kegundahan hatiku malam itu. Mereka menghampiri aku. Aku menatap mereka dan mencoba tersenyum.
“Ada apa lagi, Je…. Tanya Rina. Kulihat Chika mengangguk.
“Nggak apa-apa Rin… Chik..”
“Jangan sembunyiin deh… kita bedua tau banget kalo lo lagi ada masalah…”
Aku menarik napas panjang. Akhirnya kuceritakan apa yang terjadi antara aku dengan Aggie. Aku menceritakan semua yang kualami bersamanya. Dan perpisahan yang kemarin. Kulihat Chika menitikkan airmata. Rina berkaca-kaca. Aku tersenyum kearah mereka.
“Ternyata hidup kamu tuh menyedihkan banget….” Kata Rina sambil mengusap matanya dengan tisue.
“Aggie gak seharusnya gitu sama kamu….”
“Nggak Rin… Chik.. Aku yang salah… nggak seharusnya aku harapkan dia lebih dari seorang teman..” Aku menatap Rina dan Chika.
“Kini aku harus belajar ngelupain dia… Rin… Chik… tempat kost kalian masih ada yang kosong?” tanyaku.
“Aku harus pindah secepatnya….”
Besoknya aku pindah ke tempat kostnya Rina dan Chika. Aku meninggalkan tempat kostku yang lama. Meninggalkan kenanganku bersama Aggie. Aku harus menghilangkan nama itu dalam hidupku.
Aku, Chika, dan Rini jalan ke mall siang itu. Dandanan Rini dan Chika yang menarik perhatian membuat aku risih berjalan bersama mereka. Tapi itulah dunia mereka. Mereka berdua memilih tampil apa adanya di depan orang. Sedangkan aku berpenampilan layaknya seorang pria biasa. Siapapun yang melihatku di Heaven’s tidak akan mengenal aku dengan penampilan biasa. Kecuali Pak Rudi yang matanya super tajam itu.
Aku memakai topi hitam, kaos warna putih bergambar imoticon smile di dada, dan celana jean warna biru yang tidak terlalu ketat.
“Je… nih liat, nih kostum bagus banget buat lo… dicoba deh…” teriak Rina sambil menunjukkan sebuah gaun kearahku.
“Stt… gila lo masa gue harus nyoba itu di sini…” kataku berbisik pelan ke Rina.
“Mending gue nyewa aja di Rully… gue gak demen koleksi kostum…”
“Caileeee… sok suci lo… ya udah… kita makan yukk…” Rina menarik tanganku. Chika mengikuti kami.
“Jeje.... “ Tegur seseorang. Itu suara cewek. Yang pasti bukan suara Rina. Aku berbalik.
Amelia!! Dadaku berdegup kencang sekali. Dia menghampiri aku.
“Hai Je… lama gak keliatan.. kenapa kamu gak pernah gabung lagi sama kita-kita…” nya. Aku berusaha tersenyum padanya. Mataku melihat sekitar…. Jangan-jangan dia ada lagi… aku cemas.
“Eh… itu.. aku sibuk sekali belakangan ini, Mel… banyak job nyanyi sana-sini… eh gimana kabar teman-teman lain?” kilahku.
“Mereka baik-baik aja kok. Aggie lagi ke toilet, ntar lagi dia kesini. Nomer HP kamu udah diganti ya?” Mendengar nama itu hatiku semakin tak karuan. Aku harus berlalu dari sini.
“Oh…itu… HP lagi di servvice.. hehe.. ntar mo ganti baru kan sayang…” aku berbohong.
Aku melihat sekeliling. Jangan-jangan Aggie udah datang lagi..
“Eh… aku lagi sama teman-teman. Lagi keburu mau nyari baju buat nyanyi ntar malam. Udah dulu yah… salam buat Aggie dan teman-teman…” kataku dengan sikap gugup.
“Kok keburu sih… tunggu Aggie aja… kita berdua lagi nyari baju buat acara nanti. Kamu tau kan? Aku dan Aggie mo tunangan.. ntar Jeje bisa jadi singer deh di acara nanti…” Amelia melihat kegugupanku.
Aku berusaha tersenyum lagi.
“Knapa, Mel…” kudengar suara dari belakangku. Suara itu!! Aggie… lemas sudah lututku. Aku benurunkan topiku menutup wajahku lebih kebawah.
“Nih… liat siapa yang gak pernah nongol lagi…” Aggie bergerak berhadapan denganku.
“Kiki… “suara itu memanggilku. Aku tak berani melihat matanya. Aku tersenyum padanya. Aku sendiri tak tau arti senyumanku. Rindu? Benci? Dendam? Apalah…
“hai, Gie… sori gue gak pernah nongol lagi akhir-akhir ini sibuk banget.. ntar kalo sempat nanti aku hadiri kok acara kalian…”
Aku tak tau lagi harus ngomong apa.
“Udah ya…. Gue cabut dulu… tuh teman-teman udah menunggu…” tunjukku. Kulihat Chika dan Rina menatapku dengan wajah kuatir.
“Iya deh… sampai nanti…” kata Amelia.
Aku berjalan menjauh. Bibirku bergerak-gerak tanpa sepatah kata. Tanganku gemetaran. Aku harus menghilang secepatnya… dari sini.
ReveNgelqq.....Kyaaaaaaaa (baGus Banget sih)
gak tahan lage ne... pengen baca kelanjutan na...
jadi deg deg an....
deg-deg'an..
hu......
“Jadi itu Amelia, ceweknya Aggie?? Kenapa lo samperin dia? Biarin aja mereka bedua… apalagi si Aggie tuh… coward!!.. ihhhh… ingin gue gampar dia sampe penyok…” kata Rina. Chika mengangguk..
“Udah… Rin.. Chik.. aku udah melupakan dia kok… aku udah terbiasa. Lagian, kan ada kalian bedua… hidupku gak kesepian lagi…” Aku merangkul mereka berdua.
“Yukk… kita makan…” Ya, aku ingin makan sebanyak-banyaknya hari ini.
Aku menatap cerahnya pagi. Dari depan jendela kamarku, kulihat indah sekali mentari pagi menyinari. Aku menatap kalender di kamarku. 27 januari. Hari ini ulang tahunku. Ah,… tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Dan tahun ini, aku harus melewati bertambahnya usiaku sendirian. Aku menatap wajahku di cermin. Meskipun tidak ada keriput disitu, tapi aku bisa melihat kerasnya kehidupan yang kulalui. Mataku yang dulu sayu… kini lebih berani. Mungkin aku lebih dewasa sekarang. Kini tidak ada lagi airmata yang dulunya sering mengalir. Wajah ini, banyak kali dibelai… bibir ini… banyak kali di kecup… tapi kini… tak ada lagi belaian dan kecupan itu..
Aku menatap ke langit. Tuhan,… perjalanan yang bagaimana lagi yang harus aku lalui? Dimanakah kebahagiaan untukku? Ataukah,… aku tidak layak mendapatkan kebahagiaan itu? Aku tidak meminta untuk lahir dengan keadaanku seperti ini. Tapi aku sudah menerimanya.. aku menerima apa adanya diriku sebagaimana Engkau berikan. Aku merasa tidak menyalahi kodrat… aku menerima kodratku seperti ini. Aku menjalaninya meski dengan caci maki dan ejekan. Jika orang sepertiku ditakdirkan untuk sendiri, setidaknya berikan aku jalan… bagaimana mengatasi semua itu… berikan aku cara… bagaimana membedakan rasa cinta dan kasih, agar aku tidak jatuh cinta lagi…. Karena cintaku terlarang…
Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan di pintu.
“Je, buka pintunya… tolongin gue… chika!!!...”
Aku membuka pintu. Kulihat wajah penuh kekuatiran Rina di depan pintu.
“Ya Ampun… kenapa, Rin… “ aku jadi tidak tenang. Rina menunjuk ke kamar Chika.
“Chika, Je…. Dia… dia…”
“Dia kenapa????” aku berlari kearah kamar Chika. Kubuka pintunya. Terkunci. Ya ampun…
“Chika… buka Chik… kenapa lo?” teriakku kuatir. Kulihat Rina menggigit kepalan tangannya. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang amat sangat.
“Dia nggak nyahut waktu gue panggil. Jendelanya juga ditutup.. gimana, Je…?”
Aku menggedor-gedor pintunya. Tidak ada orang lain di kosan itu. Cuman kami bertiga penghuninya. Akhirnya pintu itu terbuka.
Aku dan Rina segera masuk ke kamar. lampu kamar tidak dinyalakan. Aku mencari saklar untuk menyalakannya.
Kulihat Chika duduk di tempat tidurnya sambil tersenyum. Ditangannya terlihat kue tart bulat bertuliskan “Happy Birthday Jeje”
Aku lemas seketika. Ya Ampun…. Anak-anak ini….
“Happy Birthday to you, Happy Birthday to you, Happy Birthday… Dear Jeje.. Happy Birthday to you…” Nyanyi Rina sambil menyalakan lilin. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Tapi bahagia…
“Ayo lilinnya ditiup ya….”
Aku meniup lilinnya. Diikuti tepuk tangan keduanya.
“Ya, Ampun… Rin… Chik… darimana kalian tau…?” tanyaku heran. Padahal tidak ada seorangpun yang tau Ultahku.
“Dari adik kamu yang nelpon tadi pagi… makanya gue sama Chika cepat-cepat nyiapin… hehehe” kata Rina nakal.
“Kalo caranya gini… umurku gak panjang lagi deh… berkurang sepuluh tahun kalo kalian ngagetin terus aku kayak gini…” gurauku.
Pagi itu kami menikmati lezatnya kue tar itu. Aku bahagia banget punya teman-teman seperti mereka. Aku nggak kesepian…
Di Heaven’s, semua orang pada tau kalo aku Ultah hari itu. Puluhan ucapan selamat aku dapatkan. Mulai dari Mas Roy, teman-teman Butterfly, dan para para pengunjung. Aku bahagia sekali, banyak yang peduli padaku…
“Rin… Chik… kalian duluan aja pulang.. Para tamu masih banyak yang ingin menyalamiku. Nggak enak… nanti aku naik taxi..”
“Ok, Je… dahhh…” mereka melambaikan tangan.
Aku meladeni para tamu yang menyalami aku. Aku mendapat tip banyak malam ini. Tapi bukan itu yang kucari. Ucapan tulus dari mereka sudah merupakan hadiah besar bagiku.
Aku menatap jalanan sepi di depan Heaven’s malam itu. Tidak ada kendaraan lagi yang terlihat. Kulihat jam menunjukkan 02.30. tak ada taxi disitu. Mau menumpang mobil pengunjung aku nggak enak. Ah… aku jalan kaki aja..
Seperti biasanya aku menyelipkan earphone di telingaku. Kuputar lagu yang enak didengar. “You Needed Me” menemani langkahku.
…….
I cried a tear: you wiped it dry.
I was confused: you cleared my mind.
I sold my soul: you bought it back for me.
And held me up and gave me dignity,
Somehow you needed me.
You gave me strength to stand alone again,
To face the world out on my own again.
You put me high upon a pedestal,
So high that I could almost see eternity,
You needed me.
You needed me.
……
Kujalani lagi jalanan yang sepi saat ini. Tak ada angin, tak ada kucing berlarian, tak ada tarian pepohonan. Sepi, sunyi… aku berharap ada seseorang lagi yang mengikutiku, menggandeng pundakku, menemani aku pulang…
……
And I can't believe it's you, I can't believe it's true:
I needed you and you were there.
And I'll never leave: Why should I leave? I'd be a fool.
'Cause I've finally found someone who really cares.
……
Aku mengapitkan jaketku lebih rapat lagi. Melihat kelangit yang cerah. Ada bulan disitu.. diselimuti sedikit awan putih. Lucu, awan itu bentuknya seperti kucing, ada yang seperti kuda..
“Hehehe…” aku tertawa sendiri. Biarin,… kan nggak ada yang liat..
Akhirnya aku sampai juga di depan kosan. Kubuka pintu pagar, dan menutupnya. Kemudian aku melihatnya… berhadapan denganku.. Aggie.. menatap mataku dengan tatapan mata beningnya… tersenyum kearahku. Aku membalas senyumnya… Aku menggelengkan kepalaku kepadanya… indah sekali bayangan itu..
“Makasih Tuhan… udah membuat aku melihat bayangannya.. tapi aku udah melupakan dia…” kataku sambil memejamkan mataku agar bayangan itu berlalu. Ketika kubuka mataku, bayangan itu masih ada. Kini dia lebih dekat lagi…
Aggie benar-benar didepanku? Kulihat tangannya bergerak menyentuh tanganku.
Kenapa dia datang lagi kedalam hidupku? Setelah aku dengan sekarat berusaha ngelupain dia? Cobaan apa lagi ini, Tuhan….
wakkakaak
…………..You will always be my butterfly… 4ever in my heart.
…………...Happy birthday Kiki….
…………...so sorry.. didn’t mean to hurt u.
……………Aggie.
Aku memandang kotak kaca itu di meja damping tempat tidur. Kupu-kupu di dalamnya indah sekali. Aku mengambilnya dan kubaca lagi tulisan itu.
Siapa Aggie? Kenapa dia memberikan aku kado ini? Kenapa dia minta maaf padaku? Apa yang telah dia lakukan?
Aku memutar otakku memikirkan nama itu. Kayaknya pernah kukenal nama itu tapi dimana?
“Lo udah bangun lagi, Je…?” kata Rina yang tertidur di tempat tidur yang satunya.
“Tadi dokter bilang, Lo udah boleh pulang.. luka di kepala lo udah sembuh. Ntar malam kita pulang lagi ke kosan…. “
Aku tersenyum padanya. Aku memandang lagi kotak kaca itu. Kulihat Rina memalingkan wajahnya kearah Chika yang masih tertidur di sampingnya.
“Aggie itu baek banget, ya…” kataku padanya.
“Pasti dia salah satu pengunjung setia Heaven’s...”
Rina tersenyum kecut. Dia mendekatiku. Duduk disampingku sambil memeluk pundakku.
“Jangan bo’ongi hatimu lagi, Je…. Lo terima aja kenyataan… ikhlas Je…”
Aku memandang Rina sambil tersenyum.
“Ngomong apa sih lo, Rin… aku gak ngerti..”
“Je… jangan hidup seperti ini lagi, Je…. Kalo lo mau nangis… nangis aja…” kulihat mata Rina berkaca-kaca.
“Kalo lo mau teriak… teriak aja…”
Nangis?? Kenapa aku nangis di café itu berjam-jam…
teriak?? Kenapa aku teriak di depan rumah itu??
Kenapa aku menunggu di Halte bis itu??
Kenapa aku nunggu di depan kampus itu??
Aku mencari seseorang… ya, seseorang…
“Aggie… ?“ Tanyaku.
Aku memandang Rina yang di sampingku. Dia mengangguk.
Wajah itu perlahan muncul di benakku. Mata bening itu, hidung mancung itu, bibir indah itu, itu milik Aggie…
Kepalaku mendadak sakit sekali. aku meremas rambutku agar sakit itu berkurang. Rina berusaha melepaskan tanganku. Rasanya ingin kucabut semua rambutku… sakit sekali, Gie…
“Je… udahhh… jangan gitu lagi… lo nakutin gue lagi…” kulihat Chika yang terbangun menghampiri berusaha menenangkan aku. Sakit dikepalaku sedikit berkurang.
“Kenapa kalian nyelamatin aku, Rin… Chik… kan lebih baek kalian ngejauhin aku…”
Kataku. Kurasakan sesak sekali dadaku, seperti mau meledak.
“Hahh… hahh… “ napasku memburu berusaha menahan sesuatu yang berat banget. Aku ingin menangis tapi nggak bisa. Wajah itu selalu ada dimana-mana.
“Maafin kami berdua, karena ngejauhin lo waktu lo butuh dukungan… kami ngenyalahin lo waktu itu.. kami emang bukan teman yang baik, Je…” Rina menangis lagi.
Masih kurasakan sesak dadaku. Aku teringat sesuatu…
“Kami kira lo yang nyuruh Aggie membatalkan pertunangannya..”
Kini aku sudah bisa bernapas. Ya,.. aku ingat sesuatu..
“Aggie,.. “
Kataku sambil memandang kedua temanku.
“Dia akhirnya mengucapkan itu… “
Aku tersenyum kearah Rina dan Chika.
“Kata-kata itu indah sekali…. dan aku nggak akan pernah lupa… seumur hidupku..”
“Dia bilang apa, Je…??” tanya Rina.
“Biarlah kata-kata itu cuman aku yang tau… karena hanya ini yang tertinggal untukku…”
Aku memandang kotak kaca itu lagi..
…………………
Sayapnya indah bagaikan batu permata
bermahkotakan intan berlian
menari, berputar mengitari dinginnya pagi
tanpa mengenal lelah
Bunga pagi itu menyanyi
berharap kupu kupu itu singgah barang sebentar
tapi kupu kupu itu terlalu gembira
tak menjawab harapnya
Perlahan langit menjadi kelabu
Dan perlahan menjadi hitam
kupu kupu itu masih menari
karena hari masih panjang
Di kejauhan terdengar
bunyi petir saling menyambar
kupu kupu menjadi gemetar
sayapnya jadi berat untuk di kibaskan
Hujan turun terlalu lebat
Menghempas kupu kupu itu
kupu kupu malang itu
patah sayapnya
Kupu kupu itu jatuh ke tanah
sekarat dan tenggelam
di tengah kerasnya hujan itu
dan bunyi petir yang menggelegar
Kupu kupu yang jatuh
sangat cantik dan indah
jatuh dari kejamnya langit
yang hitam pekat penuh amarah
END
FALLEN BUTTERFLY
Writer : revengelqq
(I write this story with all my heart, my tears and my life)
DuH...KenApa harus BeraKhir sepErti INi....hIks
HuaaAA....Aggie.....!!!!!
(DuH...aMpe NaNGis Gw BaCanya...)
ThaNks Revengelqq...YaNG udaH memBuat CeRita YaNg beGitu IndaH
AKu sImpaN aHH...GaK mO KULUpakaN...HeHehe...
BraVo....
gak serruuu
ternyata ada bagian yang ilang di cerita ini. so,... i'll try to write bagian yang ilang itu. dalam waktu dekat ini deh (kalo gak sibuk sih). so, sabar dikit yah.... moga aja "Lost Scene" itu bisa secepatnya slesay...
thank's udah baca Fallen Butterfly.
Tapi ini gak aku suka??????
Aku mengapitkan jaketku lebih rapat lagi. Melihat kelangit yang cerah. Ada bulan disitu.. diselimuti sedikit awan putih. Lucu, awan itu bentuknya seperti kucing, ada yang seperti kuda..
“Hehehe…” aku tertawa sendiri. Biarin,… kan nggak ada yang liat..
Akhirnya aku sampai juga di depan kosan. Kubuka pintu pagar, dan menutupnya. Kemudian aku melihatnya… berhadapan denganku.. Aggie.. menatap mataku dengan tatapan mata beningnya… tersenyum kearahku. Aku membalas senyumnya… Aku menggelengkan kepalaku kepadanya… indah sekali bayangan itu..
“Makasih Tuhan… udah membuat aku melihat bayangannya.. tapi aku udah melupakan dia…” kataku sambil memejamkan mataku agar bayangan itu berlalu. Ketika kubuka mataku, bayangan itu masih ada. Kini dia lebih dekat lagi…
Aggie benar-benar didepanku? Kulihat tangannya bergerak menyentuh tanganku.
Kenapa dia datang lagi kedalam hidupku? Setelah aku dengan sekarat berusaha ngelupain dia? Cobaan apa lagi ini, Tuhan….
Aku kini sudah berani memandang wajahnya. Aku bisa melihat pantulan cahaya bulan di matanya yang bening. Tapi sayang, aku tak bisa membaca arti gerakan bibirnya yang mencoba mengucapkan sesuatu.
“Aku pasti hadir di acara kamu nanti, Gie… kamu nggak perlu kesini..” Ujarku perlahan menutupi kesunyian.
“Tanggal 14 Pebruari kan? Aku nggak akan lupa…” Untuk kesekian kali aku tersenyum padanya. Senyumku tulus, Gie… senyum seorang sahabat.
“Pulang aja… udah hampir subuh..”
Aku berbalik membelakanginya. Tapi Aggie masih menggenggam tanganku. Aku berbalik lagi menghadapnya. Kurasakan tangan kekar itu merengkuh tubuhku. Memelukku erat sekali sampai aku merasa sulit untuk bernapas. Aku tidak mengerti arti pelukan ini. Yang pasti aku tidak mau lagi terluka. Karena belum sembuh luka yang diberikannya. Aku berusaha melepaskan pelukan itu. Tetapi aku terlalu lemah melepaskan pelukan itu. Perlawananku sia-sia.
“Aku kangen kamu, Ki… kangen sekali..”
Suara itu tidak lagi berarti apa-apa bagiku sekarang ini. Entah kenapa suara itu berhembus lalu menghilang bersama angin yang berhembus di samping telingaku.
“Udah, Gie….? Pulanglah…”
Aku berbisik di telinganya. Kurasakan pelukan itu merenggang. Aku mendorong tubuhnya perlahan. Kemudian aku berbalik masuk ke rumah.
“Kenapa kamu gak pernah sadar, Gie… kamu telah menyakiti aku…. “ bisikku pada angin. Semoga angin membawa pesan itu padanya.
“Nih… buat lo…” kata Rina sambil menyerahkan bingkisan kepadaku. Chika juga.
“Sori, sebenarnya kemarin kita mo kasih ke lo… tapi gak sempat.. sori telat…”
Aku memandang ketulusan di wajah kedua sahabatku. Aku memeluk mereka berdua.
“Semalam lo ketemu Aggie di Heaven’s ya? Kami melihatnya berdiri di depan Heaven’s kayaknya mo nunggu lo… kalian ketemu?”
Aku tersenyum. Kulihat wajah Rina dan Chika penuh tanya.
“ketemu tapi cuman sebentar…”
“Dia ngucapin selamat, ya?”
Aku menggeleng. Wajah mereka kembali penuh tanya. Kulihat Rina mengambil sesuatu.
“Nih lagi buat lo….” Rina menyerahkan bingkisan lagi.
“Kok banyak amat…” kataku sambil mengambil bingkisan itu lagi.
“Gak tau tuh… tadi pagi pas mo keluar udah di pintu.. fans lo kali… hehehe..”
“Gak ada namanya juga…”
Aku masuk ke kamar. membuka bingkisan dari kedua sahabatku. Mereka memberikan aku kaos dan jean. Keren banget. Aku suka warnanya… mereka tau bener warna kesukaanku. Kupandang kado yang satu. Tak ada nama tercantum disitu. Aku merobek kertas kado sekaligus kardus pembungkusnya. Sebuah kotak kaca bentuk persegi yang didalamnya seekor kupu-kupu indah bangett sayapnya berwarna warni. Kupu-kupu itu hinggap di dahan kecil yang ada bunganya berwarna pink. Kupu-kupu itu diam tak bergerak karena sudah dibekukan. Aku membalikkan kotak kaca itu. Dibawahnya ada tulisan.
…………..You will always be my butterfly… 4ever in my heart.
…………...Happy birthday Kiki….
…………...so sorry.. didn’t mean to hurt u.
……………Aggie.
Aggie? jadi dia kesini waktu itu untuk ngasih ini ke aku? Dari mana dia tau… oh dompetku waktu itu.. kamu gak perlu ngasih ini, Gie..
Heaven’s malam itu begitu padat. Mungkin karena malam minggu. Aku, Rina, Chika, Jeni dan butterfly lain begitu kewalahan melayani para pengunjung. Kakiku pegal sekali. Aku ingin duduk.
“Duduk disini aja…” Aku menoleh kearah suara itu. Oh God, pria ini lagi.. pak Sony!
“Makasih…”
Aku duduk agak jauh darinya.
“Minum..??” dia menuangkan minuman kedalam gelas tanpa menunggu persetujuanku dan menyerahkan ke tanganku. Dengan enggan aku mengambilnya.
“Tarif kamu berapa sih..??” tanya pria itu sambil menatapku tajam.
Kursi yang kududuk seakan berguncang mendengar pertanyaan itu. Aku menenangkan diriku sesaat. Memandang tajam kearah lelaki itu.
“Maksud bapak..??” Tanyaku dengan tajam. Padahal aku sudah tau maksud pertanyaannya.
“Alahh… jangan sok alim deh.. sebut saja berapa yang kamu mau….” Kata leleki itu dengan wajah yang menjijikkan.
Ssrrr!!! Basah sudah wajah lelaki itu dengan minuman di tanganku. Aku meletakkan gelas di meja.
“Sekali lagi bapak ngehina saya…… bapak akan ngelihat gimana seorang Butterfly menjadi seekor Lebah yang beracun..!!” Ancamku.
Aku masih melihat wajah lelaki sialan itu memandangku dengan bengis sampai aku berbalik menuju balakang panggung. Aku tak peduli pandangan para pengunjung yang memperhatikan kami tadi, termasuk Mas Roy. Mas Roy mengikutiku dari belakang.
“Je… kenapa tadi?” Tanya Mas Roy.
Aku duduk sambil menahan amarahku. Mas roy memperhatikan aku. Rina dan Chika datang menghampiriku dengan pandangan bingung.
“Keterlaluan sekali laki-laki itu…. Dia pikir dia bisa membeliku dengan uangnya..”
Aku memandang Mas Roy.
“Kalo Mas Roy gak senang sama perlakuanku tadi… aku berhenti sekarang..”
Mas Roy duduk di sebelahku. Dia menggenggam tanganku.
“Je… gue ngerti perasaan you.. tapi you musti ngehadapi semua itu dengan kepala dingin. Jangan cepat emosi… lagian, keliatan you have any problem.. talk to me.. maybe I can give you some advise..”
Aku kini sudah lebih tenang. Tapi pikiranku masih terbeban dengan masalah-masalah dalam hidupku.
“Take some rest.. pulanglah agak cepat malam ini. Biar besok bisa segar kembali… soal Pak Sony nanti gue yang handle.. ok?”
Aku mengangguk kearah Mas Roy. Dia membelai rambutku dan berlalu ke arah pengunjung.
“Rin… Chik… gue duluan ya…” kataku dengan lemas.
“Iya… lo istirahat aja… ntar kita nyusul… dahhh…”
Rina dan Chika melambaikan tangannya.
Aku berjalan kearah jalan raya di depan Heaven’s. Aku masih menggunakan kostum dan riasan. Aku jadi malas ganti baju tadi.
Sebuah sedan hitam melaju berhenti di depanku dengan tiba-tiba. Aku mundur kebelakang. Aku langsung mencurigai ada sesuatu yang akan terjadi. Terlihat tiga orang lelaki berbadan besar dan tegap keluar dari mobil itu. Aku membuka sepatu yang kupakai, mengangkat gaunku keatas.
“Silahkan ikut kami….” Kata seorang lelaki yang duluan mendekat. Tak mungkin lagi aku lari kedalam Heaven’s sekarang. Sedangkan keadaan disini begitu sepi. Aku tau mereka orang-orang suruhan Pak Sony.
“Enak aja lo nyuruh-nyuruh…. Lo kira gue tuh penjilat kayak kalian??..”
Lelaki itu mendekat dengan cepat dan menangkap pergelangan tanganku.
Plak!!!! Ayunan sepatuku telak mengenai tangannya yang hendak memegangku. Kulihat dia meringis. Dia mendekat lagi, kini dengan temannya yang lain. Dua orang… kalo cuman seorang pasti aku bisa ngelawan.
Aku mengayunkan sepatuku kearah lelaki yang satunya. Dengan cepat, tanpa sempat menghindar lelaki yang satu menangkap tubuhku dari belakang. Dia memegangku kuat sekali. tanganku tidak bisa kugerakkan. Dan kini lelaki yang kupukul tadi sudah berdiri di depanku. Wajahnya bengis sekali.
“Kalian mau apa, hah…?” teriakku.
Plakk!! Terasa perih bibirku kurasakan. Aku merasakan dengan lidahku ada rasa aneh dibibirku. Kurasa itu darah. Bibirku berdarah.
Chuuuiihhh…. Aku meludahkan darah itu ke wajah orang yang memukulku tadi. Dia menyekanya dengan tangannya. Dengan wajah yang bertambah garang lelaki itu mengayunkan tinjunya. Kali ini kurasakan sesuatu menghantam perutku. Aku seperti di tabrak oleh berpuluh kilo besi. Napasku sesak sekali. susah sekali bernapas. Mataku berkunang-kunang. Sekali lagi dia memukulku pasti aku pingsan.
Bukk!! Buukk!!! Buk!!!! Aku tak merasakan lagi pukulan itu. Atau… pukulan itu bukan untukku?... aku membuka mataku lebar-lebar.. kini sudah mulai terlihat jelas.
“Lepaskan dia….”
Aku seakan bermimpi. Aku mengenal suara itu…. Aku dilepas lelaki itu. Kini kakiku lemas sekali. sakit sekali perutku dan bibirku terasa bengkak.
Bukkk!! Bak!!! Terdengar lagi pukulan itu. Dan kudengar suara mobil itu menjauh. Aku masih tak bisa bergerak.
Kurasakan sebuah pelukan hangat melingkupi tubuhku. Yah.. aku membutuhkan sebuah pelukan saat ini. Aku balas memeluknya.
“Kenapa sampai gini, Ki….” Sesuatu menyentuh dahiku. Aku jadi ingat suara ini… aku jadi ingat pelukan ini… karena aku pernah merasakannya.
Aku menengadah melihat wajahnya. Wajah yang sama seperti dulu. Wajah yang sangat kurindukan. Wajah yang sebentar lagi menjadi milik Amelia.
“Nggak apa-apa, Gie… makasih…” aku melepaskan pelukanku. Tapi tangan kokoh itu masih memelukku erat.
Dia mengusap bibirku dengan saputangannya. Ssshhhhh.. perih kurasakan.
“Tahan dikit.. aku bersihkan darahnya…” Suara itu begitu nyaman.
“Kuantar pulang…. Yukk…” Aku diangkatnya. Terasa sakit perutku ketika melangkah.
Aku membuka kamar kost sambil digandeng Aggie. Aku duduk di tempat tidur. Aggie duduk disampingku.
Aku mengambil alkohol dan kapas di laci. Aggie mengambilnya dan memegang wajahku menghadapnya. Aku melihat bening matanya.
“Ahhh…. Sa..kit..” aku mengerang ketika bibirku disentuh kapas dan alkohol di tangannya. Dia menghentikan sebentar. Ditiupnya bibirku pelahan. Nyaman rasanya. Dia melanjutkan sambil sebentar-sebentar meniup bibirku.
“Buka baju kamu….” Katanya. Aku memandangnya aneh. Aku enggan membukanya. Karena aku hanya menggunakan gaun itu.
“Udah sini…..” dia mencari pembuka gaunku. Akhirnya dia meurunkan retsleting di bagian belakang. Akau menurunkan sampai kebagian pinggang. Dia menarikku hingga aku berbaring. Aku memejamkan mataku. Dia memegang perutku.
“Awww…uuhhh… “ aku mengerang kesakitan ketika dia menekan perutku. Aku melihat ada sebentuk bulatan memanjang berwarna merah kebiru-biruan disitu.
Dia memandangku. Wajahnya menyiratkan kekuatiran. Aku mencoba bangkit sambil menahan rasa sakit.
“Jangan kuatir… ntar juga sembuh kok….” Kataku sambil membuka rambut palsu yang kupakai. Kulihat dia masih memandangku.
“Apa kamu mau selamanya hidup kamu begini, Je….”
Aku tersenyum padanya. Sakit kurasakan bibirku kala tersenyum. Tapi kupaksakan.
“Kamu mau minum, Gie…. Kubuatkan teh…” dia terdiam. Aku berdiri namun ditahannya untuk duduk. Aku menatap kotak kaca pemberiannya.
“Makasih atas hadiahnya, Gie…. Bagus banget…”
“Kiki!!!!.......” katanya tajam. Aku jadi terdiam karena kaget. Ditariknya badanku menghadapnya.
“Apa kamu mau hidup kamu gini selamanya…. Gimana kalo orang-orang itu datang lagi mencari kamu…?”
“Yang penting… aku masih hidup, Gie…. “ aku menunduk menghindari pandangannya.
“Kalaupun dipukuli… nggak apa-apa asalkan masih bisa hidup… aku pasti bertahan…”
Aku nggak mau menangis, Gie…. Nggak akan menangis lagi. Bagaimanapun sakitnya yang kurasakan saat ini.
“Kiki…” kini suara itu menjadi pelan.
“Aku nggak bisa ngelindungi kamu selamanya…..”
Aku tersenyum padanya.
“Makasih, Gie…. Kamu gak perlu gitu. aku janji… aku akan menjadi kuat. Jangan kuatir…”
Aku menggenggam tangannya.
“Pulanglah, Gie… nanti kamu sakit. Kan acara kalian kan tinggal seminggu lagi… sana…”
Aku menatap punggung itu menjauh. Aku akan menjadi kuat, gie… asalkan bersamamu… tapi tanpa kamu…. Aku rapuh..
-nyambung lagi nanti -
nyentuh banget de....
hiks....hiks....
ada yang jual tissu gak si......
T.T
If I should stay
I would only be in your way
So I'll go, but I know
I'll think of you every step of the way…………….
……….
“And I…. will always love you….” Tergetar bibirku menyanyikan lagu ini. Terlihat para pengunjung melihat kearahku. Sayang sekali bibirku sudah tidak bengkak lagi kayak kemarin. Aku menutupi bekasnya dengan lipstik tebal. Kini kuresapi lagu ‘Whitney Houston – I will always love you’ yang begitu indah.. mengalun bagaikan mengiringi kehancuran hatiku..
…………
Bitter sweet memories
That is all I'm taking with me
So goodbye, please don't cry
We both know I'm not what you need
……….
“And I… will always love you…. I will always love you…”
ya,… aku akan selalu mencintai kamu… meskipun aku bukan yang kau pilih… meskipun kau tidak membutuhkan aku…Gie..
……..
I hope life treats you kind
And I hope you have all you dreamed of
And I wish you joy and happiness
But above all this I wish you love
…….
Disela-sela mataku yang berair aku melihat bayangannya lagi diantara pengunjung. Memandangku dengan mata beningnya… menusuk ke jantungku. Membuatku mati rasa. Aku tak ingin kamu pergi dari sana… teruslah menatapku dengan pandangan itu..
“And I… will always love you…..” aku mengakhiri lagu itu dengan diiringi tepuk tangan yang riuh. Aku membungkuk memberi salam. Namun kulihat bayangannya lagi… kenapa bayangan kamu selalu ada dimana-mana? Kini dia mendekatiku ke panggung. Aggie… dia bukan bayangan… kenapa dia kesini lagi?
Dia memegang tanganku ketika turun dari panggung. Aku menyeretnya ke belakang panggung. Rina, Chika, dan Butterfly lain melihat kearah kami. Aku mengajaknya ke pojok lagi.
Aku duduk menghadapnya. Memandangnya dengan mata penuh tanya. Tapi tak ada penjelasan yang keluar dari mulutnya. Dia terus memandangku… aku jadi bingung. Aku meneguk air mineral dan kusodorkan kearahnya. Dia meminumnya beberapa tegukan. Aku berdiri menjauh darinya menuju kearah Rina, Chika dan teman-teman lain.
“Je,… kenapa lo ngajak dia kesini? Dia kan udah mau tu….”
“Sttt… pelan-pelan..” kataku.
“Aku juga nggak tau… aku gak nyuruh dia kesini kok…”
“Lo gak boleh gitu, Je… kan acaranya udah minggu ini? Biarin dia aja… nggak usah ngeladenin dia…”
Aku memandang Rina.
“Emang lo pikir… gue yang nyuruh dia, apa?” aku kesal.
“Ngaku aja, Je… lo masih sayang kan ama dia….. tapi lo bakalan sakit hati lagi. Lo musti ngelupain dia…”
Kini aku benar-benar kesal dengan mereka. Aku mendekati Aggie lagi. Aku memandangnya. Dia memandangku. Aku menarik tangannya keluar dari Heaven’s lewat pintu samping.
“Kita pergi dari sini…. Aku mau ngomong ama kamu…..” kataku.
Tanpa bicara dia mengambil motornya dan mendekatiku. Aku memakai helm yang disodorkannya dan duduk di boncengan.
Angin dingin menerpa kulitku yang terbuka sampai pangkal lengan. Juga betisku dan sebagian pahaku. Dia membawaku ke tepi pantai dekat café. Ramai sekali disitu. Banyak pasangan memadu kasih disana. Aku mengajaknya ke tempat yang agak sunyi. Aku duduk di pasir pantai itu. Lewat cahaya lampu jalan yang menerangi, aku bisa melihat wajahnya yang menyiratkan sesuatu.
“Skarang, ngomong…..” kataku.
Dia masih terdiam. Memandang kearah pantai.
“Kalo kamu nggak mau ngomong…. Aku pulang saja….” Kataku sambil berdiri.
Aggie menarik tanganku hingga aku terduduk lagi. Dia merengkuh pundakku dan menariknya bersandar di dadanya. Ahh,.. aku tak bisa mengelak. Dia membelai rambutku.
“Aku udah memikirkan semalaman….” Suara itu akhirnya terdengar juga.
“Aku mau menjagamu, Ki…. Selamanya…” jantungku terhenti. maksudnya?
Aku melepaskan pelukannya dan memandangnya. Aku mengerti maksud ucapan itu.
“Apa kamu udah gila, Gie…?” kataku bergetar.
“Kita pulang aja…..” aku mau berdiri tapi di pegangnya kedua lenganku.
“Lihat aku, Ki….. lihat mataku…” suaranya terdengar bergetar.
Aku melihat matanya. Sorot mata itu tajam bening dan… serius.
“Apa maumu, Gie….. “ Aku menunduk.
“Aku udah sekuat tenaga…. Sepenuh jiwa dan raga… coba ngelupain kamu… dan aku udah mulai ngelupain kamu… kenapa kamu datang lagi dalam hidupku…? Kenapa?..” aku berusaha menahan air hangat itu dari mataku.
“Aku butuh kamu, Ki…. Aku nggak tau kenapa…. Kenapa aku membutuhkanmu lebih dari Amelia… katakan padaku, Ki… kenapa??” katanya lagi sambil menguncang-guncang tubuhku.
Tubuhku bergetar mendengar kata-kata itu.
“Kenapa kamu nanya aku…. Gie… aku juga membutuhkan jawaban sama seperti kamu…” Ada sesuatu mengalir dari ujung mataku.
“Tapi…” aku menatap mata beningnya.
“Kita harus berusaha untuk melupakan ini semua, Gie….. ini gak benar… jalan hidupmu bukan denganku… Kita harus belajar untuk saling melupakan…”
Aku melepaskan pegangan tangannya.
“Nggak akan bisa, Ki…. Aku nggak akan bisa ngelupain kamu….” Suaranya tambah bergetar. Kulihat mata beningnya berair. Oh Tuhan,… aku membuatnya menangis.. lelaki tabah itu menangis. Aku memeluknya.
“Cobalah untuk memikirkan Amelia…. Kamu pasti melupakan aku… karena Amelia itu cinta sejatimu..” bisikku di telinganya.
“Aku udah coba, Ki… nggak bisa…. Jangan paksa aku…”
Plakkk!!! Tak ku sadar tanganku mendarat di pipinya. Aku mengepalkan tanganku. Dia terdiam memandangku.
“Berhentilah jadi kayak anak kecil, Gie… kamu udah dewasa. Kamu bisa milih mana yang benar dan mana yang salah…. Dan aku adalah pilihan yang salah..”
Aku mengusap pipinya yang memerah karena tamparanku. Aku mencium perlahan pipi itu. Maafkan aku, Gie… aku telah membohongi hatiku sendiri.. demi kebahagiaan kamu…
-sambung lagi nanti-