It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Keinginanku untuk kuliah sudah matang. Karena belum saatnya penerimaan mahasiswa baru, aku mengisi kekosonganku dengan menjadi penyanyi café walau dengan bayaran yang tidak seberapa.
Malam itu aku mendapat telpon dari adikku. Dia bilang mama sakit dan mengharapkan aku pulang. Paginya aku harus kembali ke kotaku lagi. Padahal aku berusaha menjauhi kota itu. Dan yang paling mengejutkan aku, ibu ternyata mengidap penyakit ginjal dan diharuskan untuk operasi. Dengan tulus aku memberikan uang tabunganku untuk itu. Setelah dioperasi, seminggu kemudian setelah mama operasi aku pamit lagi kembali dengan tangan hampa. Hancur sudah angan-anganku untuk kuliah…
Suatu sore waktu di café, setelah menyanyikan 5 buah lagu aku turun untuk minum.
“Suara dan performance kamu bagus..” kata seseorang dari belakangku.
“Terima kasih..” kataku setelah kaget sesaat. Aku berbalik. Seorang pria dengan kemeja ketat dan celana jean ketat tersenyum padaku.
“Kamu bisa mendapatkan sesuatu yang lebih layak dari pada tempat ini…”
“Maksud bapak?..”
“Oihh… jangan panggil bapak.” Kata pria itu dengan lenggangan tangan menepuk bahuku.
“Call me Roy…mas Roy…” suaranya lembut.
“ Aku Jeje… ehm, maksud mas Roy tadi?” dahiku berkerut. Dia terkekeh sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Mengambil sesuatu dari kantong kemeja dan memberikan ke tanganku. Kulihat isi kartu itu,
Roy Kelana
Heaven’s Entertainment
Director.
“Oh.. “ aku sedikit kaget.
“You have a cute face… dipoles dikit pasti bisa menjual. Pasti banyak yang suka. Lo mau nggak kerja di tempatku..?”
“Ehmmm…” aku jadi bingung. Maksud dia kerja apa?
“Gajinya lumayan lho… two million!! Hihihi.. ada bonusnya.. tip..ada THR.. lengkap dahh..” tukasnya nyentrik. Gimana ya? Aku berpikir serius. Kalau dengan gaji segitu aku bisa kuliah lagi. Oh god, aku harus terima. Tapi ada sesuatu yang menggangguku.
“Apa pekerjaan itu halal, mas Roy?..” kutanya dengan nada pelan agar dia tidak tersinggung. Tapi dia tersenyum.
“Je,… menghibur orang itu halal. Asal lo tau jaga diri..” Aku jadi tenang. Aku bisa melakukan apa saja selama pekerjaan itu nggak bertentangan dengan nuraniku.
“Kapan aku bisa mulai, mas Roy…” kataku dengan bersemangat.
“Heee… tonight. Sekarang ikut denganku.. I musti ngejelasin semua tentang kerja kamu..”
“Bentar… aku pamitan dulu..” kataku.
Setelah menerima pembayaranku, aku mengikuti mas Roy dengan mobilnya.
“Kamu nanti kerja jam 9 sampai jam 2 pagi. Lo mampu nggak?” tantangnya. Aku nggak peduli. Di kepalaku hanya uang untuk kuliah. Aku mengangguk.
“Bisa…”
“Tapi lo untuk pertama kali lom bisa menyanyi…”
“Lho… trus ngapain aku disana?”
“Lo ngafal gak lagu-lagu Oldies?”
“Iya.. lumayan banyak. Di café banyak yang request lagu-lagu semacam itu…”
“Nah… lo gak perlu ngeluarin suara… cukup lipsink aja..” katanya menjelaskan
“Maksudnya…” aku jadi tambah heran..
“Yah… lo nyanyi tapi cuman ngikutin suara lagunya aja. Bukan suara lo. Lo cuman bisa gaya yang manis banget… dengan ekspresi lo yang kayak tadi.. sendu.. memilukan.. itu yang dicari-cari..”
“nyanyi bo’ongan jadinya…”
“yah… semacam itulah.. tapi semua pengunjung tau kok.. lo gak usah kuatir.. It’s so easy..”
Aku dibawanya ke suatu tempat yang kayak salon. Didalamnya aku melihat banyak sekali koleksi pakaian, Aksesoris, di ruangan lain ada salon perawatan. Seseorang menyongsong kami. Penampilannya mirip Mas Roy.
“Aduh… Roy.. lama gak kelihatan. You makin awet muda aja…” kata lelaki centil itu.
“Ihh… Rully.. ada-ada aja..”
“Ada apa kesini. Tumben..” kata Mas Rully sambil melirik genit kearahku.
“Kenalin.. anak buah baruku, Jeje..” Mas Roy mencolek lenganku. Aku mengulurkan tanganku.
“Jeje…” kataku agak sungkan menjabat tangan Rully.
“Owww… Another Butterfly!!.. what the hell … aku Rully… aduh merdu banget suaranya. Manis lagi wajahnya..” tanganku digenggamnya. Perasaanku jadi nggak enak.
“Rull, tolong dipermak deh nih anak…” aku menatap Mas Roy dengan pandangan aneh.
“Je,… kamu ikutin aja Rully. Kamu harus mengganti penampilan kamu. Untuk sementara saja…Nanti kutunggu disini.. lo musti dandan sebelum ke tempat kerja..” aku terdiam. Di dandan? Dipermak? Emang aku mobil?
Aku dibawa ke ruangan yang penuh pakaian – pakaian indah.
“Ukuran celana kamu berapa?”
“27..” jawabku. Rully mengambil sebuah pakaian yang mirip gaun…tunggu dulu.. aku harus pakai gaun? Apa ini lelucon..? Gila apa.. apa aku harus berpenampilan seperti itu?
“Coba pakaian lo dibuka..” aku diam saja.
“Aduh… cepetin.. waktunya cuman sejam. Masih banyak yang nunggu. Please…..”
Aku dengan berat hati melepaskan kaos yang kupakai. Ikat pinggangku dan celana jean yang kupakai. Aku hanya mamakai CD doang.
“Cepetin mandi sana… habis itu kesini..” kata Rully. Aku pergi kearah kamar mandi yang di tunjukknya. Setelah mandi aku menggunakan handuk mandi yang panjangnya sampai ke lutut. Rully menyuruhku berbaring di tempat tidur yang mirip tempat operasi. Dioleskannya sesuatu pada wajahku. Dingin enak.. aku tau itu masker. Aku pernah mencobanya sekali. Dioleskannya sesuatu di kakiku. Tidak lama kemudian…
“Srekkk… Srekk… “ ditariknya sesuatu yang menempel di kakiku..
“Tahan… ini wax” jelasnya
“Aduh…” aku mengerang. Rambut di kakiku tercabut semuanya. setelah itu ketiakku. Kembali aku mengerang. Setelah mengikuti “siksaan” itu, kuku kaki dan tanganku dipermak lagi. Aku tak bisa protes ketika Rully mengoleskan kuteks ke semua jari-jariku. Oh God,… mau dijadiin apa aku? Bukan seperti ini yang kubayangkan. Tapi aku sudah terlanjur.
Wajahku diolesin foundation, bedak, perona pipi, Mataku di jubelin dengan bulu mata palsu. Gatal rasanya. Kelopakku dipakaikan Eye shadow. Bibirku diolesin lipstik. Aku merasakan wajahku jadi berat banget. Bermacam-macam rambut palsu dicobain ke aku. Aku jadi capek.
“Buka handuk itu. Dan pakai pakaian dalam ini..” kata Rully sambil menyerahkan pakaian dalam. Oh, seumuranku… gak pernah aku make pakaian dalam wanita. Pake Bra lagi… gila kali.. aku hampir menangis waktu memakai semua itu. Di dalam bra itu dijejali dengan sponge yang membuatku sesak napas. Dipakaikan aku gaun bermanik-manik warna ungu metalik. Pasti aku jadi kayak ondel-ondel. Rully menyerahkan sepasang sepatu yang tumitnya tinggi.. gila, itu high heels. Aku jadi bertambah tinggi memakai sepatu itu. Aku bahkan hampir gak bisa jalan, jika saja Rully nggak menarikku ke arah cermin yang tingginya dari lantai sampai ke langit-langit ruangan. Aku memandang bayanganku di cermin. Hampir putus napasku melihat bayangan itu di cermin.
Bayangan itu… siapa dia? Apa dia sosok sebenarnya yang ada dalam tubuhku? Apakah bayangan itu yang selama ini membuat aku mencintai pria? Lalu kenapa baru sekarang sosok ini muncul? Setelah aku kehilangan semua yang kusayangi? sosok ini mempunyai rambut hitam yang indah.. lebih indah dari rambut mereka yang merampas kekasihku. Sosok ini mempunyai mata bening dan polos.. hidung mancung dan menarik.. bibir merah merekah begitu menantang.. leher jenjang dan dada yang putuh mulus.. dan bentuk tubuh yang ideal.. lebih dari yang dimiliki mereka yang dicintai kekasihku..
“Ya ampuunn.. Je..!! sudah kuduga. Lo bakalan jadi cantik seperti ini.. lo bakalan jadi Butterfly tercantik di Heaven’s .. gak ada yang bakalan tau kalo lo itu cowok..” kata Mas Roy dengan tiba-tiba dan mengejutkan aku yang masih memandang cermin.
“Sekarang… ikut aku ke Mall..lo harus ngebiasain dengan penampilan seperti ini..”
“Apa..?? nggak deh Mas Roy… jangan bikin aku jadi bahan tontonan dan tertawaan..”
Kataku sambil mundur selangkah kebelakang.
“Tertawaan…. Ya ampun…. Mereka bakalan pada jelous ngeliatin kamu.. nggak percaya? Ayo ikut aku…” kata mas Roy sambil menggandeng tanganku. Aku menunduk melewati beberapa orang yang lalu lalang di depan bangunan tadi. Mereka memandangku. Mas Roy terus menggandengku sampai di mobil.
Aku tidak mau turun dari mobil ketika sampai di Mall. Tapi ditarik tanganku oleh Mas Roy..
Ketika menaiki tangga Mall hampir saja aku lari kembali ke dalam mobil. Orang-orang melihatku. Tapi anehnya, dengan pandangan biasa saja. Mereka ternyata tidak curiga. Aku mulai terbiasa. Mas Roy membawaku ke toko Aksesoris dan membelikan aku Anting, gelang dan kalung. Aku gak mau telingaku ditindik. Makanya hanya kalung dan gelang yang kupakai.
“Cantik sekali mbak dengan kalung itu… “ kata seorang penjaga toko itu. Aku tau itu pujian untuk semua pembeli supaya barangnya jadi laku.
“Mbak sepertinya pernah kulihat deh… aku pernah liat mbak nyanyi..” katanya kemudian. Deg! Ya ampun… dia mengenaliku.
“Mbak pernah nyanyi di TV kan?” Plong… aku mengusap dadaku..
“Dia memang penyanyi… “ Kata Mas Roy menyambung.
“Penyanyi yang baru naik daun..”
“Ya ampun…. Kalo gitu minta foto bareng deh mbak..” kata penjaga toko itu lagi. Aku terpaksa ngeladenin. Setelah itu kami berdua meninggalkan Mall menuju ke tempat kerjaku.
“Lo harus kenalan sama Butterfly yang laen..”
“Butterfly itu..?” aku memandang.
“Sama kayak kamu… penyanyi.. tapi lebih keren dengan panggilan Butterfly..” Aku jadi aneh dengan panggilan Butterfly.
Banyak sekali pengunjung malam itu. Beberapa Butterfly sepertiku sudah mulai menunjukkan kebolehannya. Aku jadi grogi. Entah gimana mulainya..
“Lo orang baru ya… aku Tari..” kata seorang penyanyi yang menghampiri aku.
“Jeje….” Jawabku.
“Kamu cantik banget… pasti pengunjung suka.” Katanya sambil menerawang ke arah tubuhku. Aku memperhatikan para pengunjung dari belakang panggung. Mereka rata-rata pria berumur sekitar 35 tahun lebih. Ada wanitanya tapi sedikit. Mereka minum-minum sambil sesekali melihat kearah penyanyi di panggung yang dengan susah payah mencoba mengambil perhatian pengunjung. Ada sekitar 50 orang yang memadati ruangan yang remang-remang itu. Tempat ini…. Kayak pasar.. membuatku sesak napas dengan bau asap rokok dimana-mana.
“Kalo ada yang minta ditemanin ama lo.. lo iyakan saja. Ntar dapet tip.. ada yang ngasih sampe ratusan ribu lho..”
“Mereka dari kalangan atas lho, Je…” kata Tari yang seakan-akan membaca pikiranku.
“Bahkan ada yang salah satu pengusaha terkaya di Indonesia..” katanya menjelaskan sementara lagu yang dinyanyikan penyanyi tadi sudah selesai. Dia turun dengan tergesa dan muncul di balik panggung.
“Aduh… korset gue putus. Kebanyakan makan tadi. Untung gak keliatan… hampir aja gue malu..” kata penyanyi tadi dengan segera melepaskan pakaian atasannya dengan cuek dan membetulkan korsetnya. Dia kemudian memandangku.
“Lo gantiin gue sebentar yah… please..” dia kelihatan panik. Aku mengangguk. Setelah menyetel lagu di player aku naik ke panggung. Sorotan lampu dengan Watt yang tinggi sontak membuat badanku jadi panas. Sejak naik panggung aku terus menunduk. Keringat dingin mengucur dari ubun-ubun. Sebenarnya kalau tanpa berpakaian seperti ini aku sudah biasa di panggung. Tapi sekarang… mati gaya! Aku mengambil mic dan memegangnya dengan tangan kiriku. Aku tak mendengar suara ribut-ribut tadi. Apa sebagian mereka sudah pulang? Syukurlah… aku mengangkat kepalaku kearah pengunjung. Intro lagu mulai mengalun.. ya Tuhan… mereka semuanya memandang kearahku. Mereka yang tadinya sibuk dengan minuman dan canda tawa mereka kini menatap kearahku.. mengapa? Ada yang aneh? Make-upku luntur? Dadaku kelihatan? Grogi aku… akhirnya aku nyanyi…
…It's been seven hours and fifteen days
Since you took your love away
I go out every night and sleep all day
Since you took your love away
Since you been gone I can do whatever I want
I can see whomever I choose
I can eat my dinner in a fancy restaurant
But nothing ...
I said nothing can take away these blues,
'Cause nothing compares ...
Nothing compares to you
Aku mengakhiri bait pertama lagu itu sambil menunduk. Aku bukan Sinead O’Connor. Aku Jeje… aku seorang penghibur… kulihat para pengunjung itu terdiam memandangku. Memandangku dengan sejuta makna.
… It's been so lonely without you here
Like a bird without a song
Nothing can stop these lonely tears from falling
Tell me baby where did I go wrong?
I could put my arms around every boy I see
But they'd only remind me of you
went to the doctor guess what he told me
Guess what he told me?
He said, girl, you better have fun
No matter what you do
But he's a fool ...
'Cause nothing compares ...
Nothing compares to you ...
Aku mengakhiri bait kedua lagu itu. Apakah ini semua yang menjadi akhir perjalanan hidupku? Menjadi penyanyi seperti ini? Menjadi Butterfly? Ini bukan diriku… bukan aku…
All the flowers that you planted, mama
In the back yard
All died when you went away
I know that living with you baby was sometimes hard
But I'm willing to give it another try
'Cause nothing compares ...
Nothing compares to you
Aku mendengar teriakan seru ketika kuakhiri lagu itu. Gemuruh terdengar dengan tepuk tangan memenuhi ruangan itu.
“lagi….” Teriak salah seorang pengunjung. Tapi aku sudah membungkuk memberi salam dan kebelakang panggung. Mas Roy terlihat berlari menemui aku dibelakang.
“Perfect,… perfect banget, Je…. Mereka pingin kamu nyanyi lagi..” katanya. Aku terdiam. Tak bisa protes. Kenapa aku harus ngelakuin ini semua… jadi Butterfly… Demi uang…??
bagus banget...
gua jadi pengen nangiis...
lanjooooooooooooooooooot!!
“Pak Rudy?” Pria itu tersenyum.
“Aku Jeje…”
Dia bergeser kesamping, mempersilahkan aku duduk disampingnya yang duduk di sofa. Dengan canggung, aku duduk disampingnya setelah meletakkan minuman itu di meja. Mataku menatap meja sekitar yang dipenuhi pengunjung. Kebanyakan mereka datang dengan teman-temannya. Sedang kan pria yang disampingku ini sendirian. Aku mengusap-usap lututku menutupi rasa gugup.
“Rokok?...” pak Rudy menyodorkan Marlboro-nya kearahku. Ah, gimana? Kalau kutolak gak enak.. aku mengambil sebatang dan meletakkannya diantara bibirku. Pak Rudy menyodorkan api kepadaku. Aku mendekatkan ujung rokok itu menyalakannya. Terasa asin, pahit dan menyengat kerongkonganku. Aku memang pernah merokok waktu SMA tapi cuman sekali.
“Hebat sekali penampilan kamu…”
“Ehmm… terima kasih..” kataku sambil memandang matanya. Pak Rudy memiliki pandangan yang berwibawa. Wajahnya menunjukkan ketampanan meski usianya sudah mendekati setengah abad. Janggutnya dan kumisnya tercukur rapi. Bibirnya merekah indah. Badannya yang tegap berisi menambah pesonanya. Mujur sekali istrinya yang memiliki dia…
“Kamu masih baru ya….?” Kata pak Rudy membuyarkan lamunanku.
“I-iya pak… baru malam ini” pak Rudy mengenyitkan dahinya.
“Tapi kok… kelihatan udah pengalaman…”
“Aku biasa nyanyi di café dan wedding singer pak…” kataku jujur. Kulihat dia memandang kearah minuman di meja. Aku jadi mengerti, segera kutuang kedalam gelas dan kusodorkan kepadanya. Dia mengambil minuman itu dari tanganku. Dengan sengaja atau tidak sengaja, tangannya menggenggam jariku yang memegang gelas. Aku menarik tanganku dan menuangkan lagi minuman ke gelas satunya. Ya ampun… apa yang kulakukan? Apa aku harus meminumnya? Minum bir aja aku sudah mabok.. apalagi minuman racikan ini.. kucicipi sedikit.. agak manis juga.. akhirnya aku meneguk beberapa kali.
“Tinggal dimana, Je…?” tanya dia lagi.
“Dekat sini kok… aku kos..”
“Mau kuantar sebentar…” Aku tertegun dengan tawarannya.
“Eh… anu pak.. aku pulang di jemput teman.. jadi nanti lain kali aja deh..” jawabku berkilah. Dia memandangku dengan sedikit kecewa.
“Maaf ya, pak….” Kataku sambil menundukkan wajahku.
“Hahahaha… nggak apa-apa. Aku suka orang yang terus terang kayak kamu.. kalau Butterfly yang lain pasti ngebujuk aku minta diantarin…” katanya dengan wajah ceria kembali. Aku jadi tenang.
“Maaf, pak… aku harus nyanyi lagu terakhir.. aku tinggal dulu yah..” kataku sambil membungkuk kearah pak Rudy. Dia menarik tanganku. Ah,… ada apa lagi? Dia meletakkan sesuatu di tanganku. Aku tersadar… itu “tip”… dan itu tip pertamaku.. aku jadi semangat.
“Sampai ketemu besok…” ujarnya. Aku berhenti dari langkahku. Tersenyum kearahnya, lalu melanjutkan langkahku kearah panggung….aku melihat lipatan uang kertas ratusan ribu ditanganku. Banyak amat tipnya…ah, makasih pak Rudy…
Aku menyanyikan “To Love You More” Celine Dion sebagai lagu terakhir, yang diakhiri dengan tepuk tangan yang riuh dari pengunjung Heaven’s.
Aku membersihkan make-up di wajahku. Kusingkirkan semua yang kupakai tadi. Kini terlihat lagi sosokku yang asli di cermin… wajah yang penuh dengan keletihan… aku letih sekali. Setelah menyerahkan semua ‘perlengkapan’ tadi ke mas Roy, aku pamit..
“Besok lo langsung ke Rully yah… dia udah tau apa yang terbaik buat lo…” kata mas Roy.
“Malam ini lo Amazing banget… kamu banyak fans lho..” Aku cuman tersenyum membalas pujian mas Roy.
“Taxi…” aku melambaikan tangan kearah taxi yang parkir dekat Heaven’s. aku langsung tersandar ketika masuk kedalam taxi. Kakiku pegal banget.. aku meringis..
“Kenapa… capek ya?” kata sopir taxi itu melihat wajahku yang meringis. Aku menatap kearah sopir itu. Ya ampun, masih muda….. cakep lagi. Tampangnya kayak model dan lebih cocok jadi model daripada sopir taxi. Kenapa jadi sopir taxi?
“Kamu pasti heran… kenapa aku jadi sopir taxi..” katanya seakan menebak isi hatiku. Dia melirik kearahku yang menatapnya. Oh, god… lirikannya.. senyum di bibirnya. Wajahnya mulus. Rambutnya yang terpotong pendek begitu rapih. Wajahku jadi memerah.. untung malam hari… jadi wajahku gak keliatan merahnya..
“Buat nambah ongkos kuliah.. eh.. kamu juga pasti kuliah, kan?” tanya dia.
“Belum… baru mau masuk tahun ini..” jawabku pelan. Mataku jadi berat. Ngantuk.
“Aku Aggie, kamu?” katanya memperkenalkan diri.
“Jeje…” kataku lemas banget.. mataku kupejamkan..
Kudengar lagu dari tape terdengar mengalun indah. Lagunya erick clapton“Wonderful tonight”… Aku terbangun dan… astaga!! Sudah sampai di depan kosan. Aku bangkit dari sandaranku. Ya ampun, aku tersandar di bahunya.. tertidur di bahu Aggie, si sopir taxi.. hilang sudah semua rasa kantuk.. berganti rasa malu yang tiada taranya..
“Eh.. udah sampai ya?” tanyaku bingung. Kulihat dia tersenyum.
“Udah setengah jam yang lalu.. nggak enak ngebangunin kamu.. pasti capek sekali” katanya dengan penuh perhatian.
“Eh.. aduh… gimana yah… makasih deh..” aku menyerahkan uang lima puluh ribu kepadanya. Langsung aku lari ke dalam. Tapi kok ada sesuatu yang kurang ya.. jaketku… jaketku tertinggal di taxi. Aku berbalik tapi kulihat Aggie berjalan kearahku memegang jaketku.. ya ampun…. Apa lagi yang harus aku bilang… Aku menepuk dahiku beberapa kali menyesali ketololanku..
“Nih…” Aggie menyerahkan jaket itu sambil tersenyum. Aku nggak berani melihat wajah itu berlama-lama.
“Terima kasih..” ucapku pelan. Akhirnya kulihat juga wajah itu. Oh, god…. Jangan sampai aku jatuh cinta lagi….. karena cinta itu menyakitkan…
Keringat dingin mengucur deras dari pelipisku. Aku mengusapnya dengan tissue. Pria itu terus menatapku dengan pandangan menusuk. Aku sudah meletakkan minuman itu dimeja. Aku tersenyum padanya. Dia hanya memandangku. Akhirnya kutuang minuman untuknya dan menyodorkan kepadanya. Tiba- tiba tanganku dipegangnya. Hampir saja jatuh minuman itu dari genggamanku.
“Silahkan pak…..” aku tersenyum.. sebuah senyum yang dipaksakan.
“Hmm.. “ dia cuman menggumam. Melepaskan pegangannya dan mengambil gelas minuman itu. Memandangku lagi.
“Nanti aku nyanyiin lagu untuk bapak sebentar.. mau kan? “ tanyaku memecah perhatiannya. Dia tersenyum. Ah,… akhirnya aku bisa mencairkan suasana..
“Hmmm.. bagus” dia meneguk minumannya sampai gelasnya kosong. Aku menawarkan untuk menuang kembali gelas itu. Syukur-syukur kalo dia pusing kalo banyak minum. Biar cepat aku beranjak dari sini.
“Panggil aku Sony…” katanya sambil merapat kearahku. Aku menggeserkan tubuhku menjauh.
“Iya pak Sony.. bapak sering kesini ya?” tanyaku berbasa-basi.
“Iya.. sebenarnya seminggu sekali. Tapi sejak kedatanganmu kemarin, aku pingin setiap hari kesini.. dan aku pingin kamu temani setiap hari…” katanya tegas. Oh, God… cobaan apa lagi ini?
“Ohh… eh… i-iya pak… aku senang sekali..” aku menggigit bibirku yang terlanjur mengucapkan kata-kata ajakan itu.
“Pulang dari sini kamu ikut aku…” aku melotot. Gila banget nih orang… kalau saja aku bukan Butterfly disini, sudah kutonjok mukanya… dikiranya aku nggak berani apa… pake cara paksaan..
“Maaf pak… aku ada teman yang menungguku pulang didepan..” dia menatap mataku dengan pandangan tajam.. menyelidik.
“Baiklah… akan aku tunggu didepan.. jika tidak ada temanmu yang datang. Aku yang akan mengantarmu..” katanya dengan wajah bengis. Dia tiba-tiba meletakkan tangannya di pahaku. Tanganku gemetaran menahan amarah. Aku meremas pegangan sofa melampiaskan kemarahanku. Tangan itu mengelus pahaku… salahku sendiri memilih pakaian dengan belahan sampai ke paha.. padahal tujuanku agar aku lebih leluasa berjalan..
“Giliranku nyanyi lagu terakhir pak…” kataku permisi padanya. Aku menarik tangannya menjauh dari pahaku. Dia memegang tanganku, sambil meletakkan sesuatu. Aku tau itu tip. Aku menerimanya padahal aku nggak butuh tip dari pria gila ini…
….No I don’t wanna lose you…
But I don’t wanna use you
Just to have somebody by my side….
Aku menyanyi lagu Patty smith “Sometimes Love Just Ain’t Enaugh” sebagai lagu terakhir. Pikiranku melayang.. gimana yah aku pulang sebentar? Jika pria itu tahu kalau aku berbohong.. aku bisa celaka.. Tuhan… bantu aku… mataku jadi mengabur.. aku mau menangis..
….And there’s a danger in love with somebody to much
And it sad when you know that’s your heart they can’t touch..
There’s the reason why people don’t stay where they are…
Baby sometimes love just ain’t enaugh…
Aku membungkuk sambil mengusap airmataku. Kudengar tepuk tangan meriah. Kulihat ada pengunjung yang menitikkan airmata juga.. mereka nggak tau kenapa aku menangis… yang pasti bukan karena lagu itu…
Aku berlari dengan tergesa-gesa ke belakang panggung. Aku harus pergi sebelum pria itu keluar dari Heaven’s.
“Nice… Je.. nice song. Aku sampe nangis liat lo nangis… “ Tari memelukku. Aku balas memeluknya sesaat. Kemudian menjauh..
“Aku duluan ya, Tar….” Kataku sambil melambaikan tanganku.
“Iya… kamu tabah ya.. emang banyak cobaan buat kita yang beginian…” jawabnya sambil melambaikan tangan juga. Aku menengok ke kiri dan ke kanan… ah.. nggak ada pak Sony.. aku cepat melangkah.. tapi seseorang menangkap tanganku dari belakang.. oh, Tuhan.. hampir pingsan aku..
“Temanmu belum datang kan..?” suara itu terdengar mengerikan ditelingaku. Bulu kudukku berdiri seakan-akan melihat hantu ketika kulihat pria itu merapatkan tubuhnya kearah kebelakangku. Kurasakan sesuatu menekan pantatku.. benda itu membesar.. tangan kasar itu mulai memegang pinggangku. Menjalar kearah perutku… memelukku dari belakang.. mataku jadi berkunang-kunang. Dan… mujizat itu datang… kulihat taxi yang kematin merapat. Aku hafal nomor taxi itu. Itu taxi Aggie…
“Gie… Agie…” kataku serak.. aku melambaikan tanganku kearahnya.. Tuhan… please.. biarkan Aggie melihatku.. Taxi itu berhenti di depanku. Pria itu melepaskan pelukannya.
Kaca depan taxi itu terbuka.
“Aggie… aku udah nunggu lama lho…” kataku sambil membuka pintu depan taxi. Aggie yang belum sempat ngomong jadi kaget.
“Yuk… jalan… dah pak Sony… ini Aggie boyfriend gue…” kataku sambil melambaikan tangan kearah pak Sony. Taxi mulai jalan. Aku bersandar lega.. Terima kasih Tuhan… Airmataku tak bisa kutahan. Aku terisak disamping Aggie yang memandangku aneh.
“Terima kasih Gie…” Kataku serak.
“Kamu kenal aku ya? Kenapa tadi? Pria itu jahat ama kamu?” tanya Aggie bertubi-tubi. Aku belum bisa berkata-kata. Airmataku terus mengalir. Aggie menyodorkan tissue kearahku. Aku mengusap wajahku. Oh, aku lupa… aku belum membarsihkan riasanku. Aku belum mengganti pakaianku. Gara-gara pria itu.. Aggie menghentikan taxi di dekat warung. Dia turun membeli sesuatu. Disodorkan aku segelas air mineral. Aku memandangnya.
“Makasih gie…” aku meminum semua tanpa tersisa dengan tiga kali tegukan.
“Nambah…?” tanya dia lagi.
“Nggak… makasih…”
“Sekarang… kamu mau cerita kan?”
“Aku kerja di Heaven’s.. kamu tau kan?” Aggie mengangguk. Memandangku dengan seribu tanya.
“Butterfly..?”
“Hmmm…” aku mengangguk.
“Pria itu memaksaku ikut dengannya.. aku nggak mau. Aku bilang temanku mau jemput aku. Untung kamu datang, Gie…”
“Kamu kenal aku…?” tanya dia lagi. Oh my… kemarin kan aku nggak berpakaian seperti ini..
“Kenal kemarin… maaf yah ngerepotin kamu..” jawabku singkat.
Aggie kulihat memikirkan sesuatu. Dia menarik tanganku.
“Kemarin kita kenalan dimana?” tanya dia penasaran.
“Kamu ngantar aku sampai di kosan aku.. aku tertidur di mobil ini..” jelasku menjelaskan. Yang benar aku tertidur di bahumu, Gie.. batinku.
Aggie memandangku dengan cermat. Aku suka matanya yang bening itu memandangku.
“Ya ampun…. Jeje…” dia tersenyum. Senyum itu manis sekali… membuat aku melupakan kejadian mengerikan tadi. Aku ingin memeluknya.
“Kamu cantik sekali dengan dandanan kayak gini…” dia mengusap pipiku. Ah…
“Ah… kamu ada-ada aja, Gie…” merah sudah pipiku yang sempat pucat tadi.
“Beneran Je… aku suka ngeliatin kamu begini.. tanpa dandanan juga kamu cakep…” ya ampun… kepalaku menyentuh atap mobil ketika kurasakan tubuhku terangkat… aku melayang…
“Udah ah… antarin aku pulang.. aku capek.. udah jam 3 tuh..”
“Yah… padahal aku masih mau ngobrol ama kamu…”
“Nanti aja…”
Dia memegang tanganku ketika aku menyerahkan uang limapuluh ribu ke tangannya.
“Nggak usah… jawabnya” aku jadi bingung.
“Nggak ah… kamu kan nyari uang… lagian aku banyak tip malam ini… makanya kamu terima aja.. atau aku gak akan naik taxi kamu lagi…” ancamku. Aku berjalan terseok karena capek. Dan kejadian tadi menguras semua tenagaku.
“Aku antar kedalam ya, Je…” kurasakan lengan kekar itu menyentuh pinggangku. Aku diam saja. Berjalan menuju kamarku. Membukanya. Aggie membimbingku kearah tempat tidur. Aku duduk disitu. Dia memandang sekeliling.. aku jadi bingung harus ngomong apa.
“Makasih ya.. Gie..” kulihat dia tersenyum.
“Ah…. Nyaman sekali kamar kamu, Je…” dia merebahkan tubuhnya. Ya ampun cowok cakep itu tidur di kasurku.
“Pasti kamar kamu lebih besar…” kataku merendah. Kupandangi tubuh pria disampingku. Dia memeluk bantal guling. Oh,.. kenapa bantal itu yang kamu peluk…
“Kamu tinggal sama siapa?” tanyaku.
“Istriku…” Deg.. mau copot jantungku.
“hahahaha… sendirian kok..” jelasnya lagi. Jantungku normal kembali.
“Ortu kamu?”
“Mereka punya kehidupan sendiri… aku juga dong..” tangannya menyentuh gaun yang kupakai. Ya ampun… aku mau ganti baju. Tapi nggak didepan dia. Aku mencopot wig.. membuka bulu mata palsu. Mengambil make-up remover yang kubeli tadi siang. Membersihkan wajahku. Kulihat dia memperhatikan aku. Aku cuek saja. Aku membuka retleting gaunku yang letaknya di belakang, tapi nggak bisa.
“Sini…” Aggie duduk. Aku mundur kearahnya. Dia membuka rets itu. Tapi kenapa perlahan sekali? Aku menutup mataku merasakan retleting itu perlahan turun dari punggung bagian atas ke bawah.. menyentuh kulitku.. kurasakan lagi gaunku perlahan terbuka dari arah belakang kedepan… turun kebawah.. aku tersadar.
“Sana… jangan liat kearah sini..” kataku padanya.
“Kok kamu malu sih… “ katanya menggoda. Kulihat dia berbalik lagi memeluk guling sambil tiduran. Dengan cepat aku membuka bra dan cd menggantinya dengan pakaianku. Celana jean ketat dan kaos warna hitam.
“Wei… ntar kamu nggak dapat setoran lho… kerja sana..” aku menyentuh tubuhnya. Ya ampun… dia tertidur. Kasihan dia.. aku memandang tubuh lelaki itu. Aku ingin sekali memeluknya. Hm… nggak deh. Aku nggak mau merusak hubunganku dengannya. Aku tidur di bawah saja. Aku Mengalas tikar dan merebahkan tubuhku. Capek sekali…. Aku lalu tertidur.. aku bermimpi buruk sekali.. aku melihat pak Sony mengejar aku yang memakai high heels. Aku nggak bisa lari.. dia menangkapku. Memelukku erat sekali. Aku terengah-engah dan terbangun.. lho... kenapa aku tidur di tempat tidur? Kan tadi aku tidur di tikar.. aku merasakan punggungku menyentuh seseorang. Ya ampun.. aku kok tidur di sampingnya? Dia memindahkan aku? Kan tempat tidurku sempit… kulihat wajahnya yang tertidur lelap… tampan sekali.. wajah polos tanpa beban itu.. bersih putih dan hidung yang sedikit mancung… dan bibirnya yang indah itu. Kenapa sih aku? Aggie berbalik menyamping. Kaki dan tangan kirinya terangkat. Ya ampun… dia memelukku.. nyaman sekali.. aku terdiam. Aku nggak mau bergerak agar pelukannya tak terlepas. Aku menutup mataku lagi.. kali ini kurasakan kedamaian… rasa damai seseorang yang kesepian… seorang Butterfly!
Aku sangat menyukai cerbungmu yg sedih, namun menarik... Kasihan sekali... Moga2 aja tokohnya mendapat kasih sayang Aggie....
namun kelihatannya kamu terlalu banyak mengisi kenaifan dalam karakter utamanya. baru ketemu dengan Roy tapi dia langsung percaya utk menerima tawaran kerja itu, padahal Roy blm menjelaskan apa2 soal pekerjaan itu. Jeje merasa kecewa dengan keputusannya bekerja di tempat itu, tapi seolah-olah dia tak bisa berbuat apa-apa untuk berhenti dari pekerjaan itu. padahal juga tak ada kontrak apa-apa, hanya ditawari dan mau. kalau kemudian tidak cocok kenapa tidak berhenti? ini absurd. terlalu naif. keinginan utk kuliah juga terasa sangat mengada-ada utk jadi alasan Jeje menempuh pekerjaan itu, karena terus terang aku nggak merasakan motivasinya cukup kuat utk kuliah. manurutku kamu memang nggak menggambarkan motivasi itu secara kuat, jadi seperti terasa mengada-ada soal alasan kuliah itu. dari situ aku menilai kamu memang cenderung terlalu ingin to the point dalam bercerita, jadi soul-nya terasa ngambang meskipun sebenarnya kamu cukup pandai membuat dialog yang enak.
kalau secara teknis, cara penulisan kamu masih kurang rapi. coba dibuat dengan paragraf yang jelas jadi lebih nyaman untuk dibaca.
but after all, nice story. go on...
no offence,
saya fikir semua punya karakter yang terwujud dalam karya sastra mereka,
demikian halnya dengan "qq".
dan jikalaulah semua wajar dan biasa-biasa saja, hemat saya itu bukan hal yang menarik.
soalan paragraf, perlu dikaji kembali mengenai tujuan, bentuk dan fungsi paragraf, saya fikir bentuk struktur karya qq bukan hal yang salah.
begitu pula dengan karya solitude, hal itu menggambarkan karakter sastra sesorang (dan saya suka dengan karya solitude)
so buat qq n solitude maju terus yahhh..... karya kalian luar biasa.
offence? i think i should not... hehe... and we shall not.
pada dasarnya aku sudah menangkap apa yang ingin diceritakan oleh qq dalam cerpennya, dan aku menilai memang ide ceritanya bagus. so i said it is a nice story. qq jelas memiliki wawasan atau mungkin malah pengalaman yang baik sampai dia mampu menceritakan kehidupan seorang 'butterfly'. i respect for that.
yang aku kritik dalam soal teknis adalah cara menulisnya yang kurang rapi. pembuatan paragraf dan susunan baris yang rapi, saya kira tidak akan mengurangi kebagusan cerita tapi justru akan mempernyaman cerita untuk dibaca. mungkin pembaca yang lain sudah merasa nyaman, tapi tentu akan lebih naik kualitasnya kalo secara teknis ditulis dengan lebih standart.
soal karakter, yaahh.. mungkin memang karakter seperti itulah yang ingin diangkat oleh qq. hanya saja saya masih merasa proses emosinya terlalu cepat dan karakter utamanya tak dapat bertindak lebih strong. ya mungkin ending dari cerita ini bisa merubah persepsi saya itu. saya hanya berpendapat saja.
so, just go on dude... peace.
Jl. Mandala Utama No.23
Aku membaca dengan cermat KTP Aggie yang ada di dompetnya. Kulihat juga ada beberapa foto Close Up Aggie dan foto seorang cewek cantik. Pasti dia ceweknya. Ada rasa kecewa dalam hatiku. Aku berusaha menutupi rasa kecewaku dengan mengingat peristiwa semalam saat Aggie tidur di sampingku. Ah.. dia Straight.. nyatanya nggak macam-macam denganku semalam. Dia pasti cuman ingin berteman denganku. Tapi kenapa aku? Yang hanya seorang Butterfly… bukan orang lain?
“Nih.. dompet kamu ketinggalan. Untung gak kena tilang.. SIM kamu di dompet ini kan..” aku menyerahkan dompet itu ke Aggie saat dia mengantarku pulang. Dia mengambilnya dengan diam. Aneh.. ada apa dengannya? Kenapa dia diam saja dari depan Heaven’s tadi?
“Kenapa, Gie? Kok kamu aneh malam ini…” tanyaku sambil menatapnya.
“Nggak kenapa-kenapa, Je.. aku cuman sedikit sakit kepala..” wajahnya kelihatan pucat.
“Ya ampun, Gie… kenapa masih bawa Taxi kalo lagi sakit?” Aku meraba dahinya. Panas sekali.
“Kamu mampir di kosan aku ya.. ntar aku nyiapin obat..” aku jadi kuatir. Aku memeluk pinggangnya memasuki kamar kost. Aku meletakkan dia di tempat tidur. Mengambil air hangat di dispenser dan mengambil obat yang selalu kusediakan di laci meja. Kulihat Aggie menutup matanya. Kasihan dia… aku mengangkat kepalanya sedikit dan meletakkan obat ke mulutnya. Dia meminumnya. Kuraba pakaiannya sudah basah keringatan. Aku mengambil kaos lembut milikku dan membuka kemeja yang dipakainya. Memakaikan kaos itu setelah mengelap seluruh tubuhnya.
“Makasih, Je…” katanya pelan.
“Kamu memang teman yang baik…” katanya lagi. Teman? Yah… oh ya..teman yang baik…
Aku mengompres kepalanya dengan handuk kecil. Memberikannya air minum setiap dia terbangun.
“Aku nggak mau…” katanya. Aku yang sudah mau tertidur jadi terbangun. Nggak mau apa? Oh,… dia mengigau.
“Aku nggak mau mama dan papa ngatur aku… aku udah dewasa.. aku bisa hidup dengan jalanku sendiri..” gumamnya lagi. Aku mengganti kompresan di kepalanya.
“Gie…” aku berbisik ditelinganya. Mencoba membangunkan dia.
“Aku nggak mau… tunangan sama dia.. papa aja yang tunangan ama dia.. aku nggak mau ngurus perusahan papa..” dia mulai terisak.
“Gie… bangun.. kamu mimpi yah?” Aku membangunkan dia lagi. Aggie membuka matanya. Memandangku. Aku tersenyum padanya. Memberikan dia minum. Kuraba lagi pakaiannya basah. Aku membuka kaos yang dipakainya dan menggantinya dengan yang baru.
“Je.. “ dia memanggilku sambil memandangku. Aku mengusap kepalanya.
“Kenapa, Gie..??” dia menggenggam tanganku. Tapi dia diam saja. Ada sesuatu yang dipendamnya. Aku yakin itu, entah apa… aku tak tau..
“Kamu tidur lagi yah…” aku membelai rambutnya. Aggie memejamkan matanya. Aku membaringkan tubuhku disampingnya. Kututup mataku sambil melihat kearah ventilasi kamar. indah sekali cahaya matahari pagi.. mengiringi aku yang mulai tertidur..
Aku membuka mataku, karena naluriku mengatakan ada yang aneh. Ah,… Aggie gimana? Aku memandang kesamping. Kulihat Aggie tersenyum memandangku. melihat senyum itu, aku jadi tenang.. dia pasti sudah mendingan.
“Kenapa melihatku kayak gitu…. Wajahku aneh ya?” tanyaku.
“Nggak.. aku cuman suka ngeliat kamu tidur..” jawabnya simpel.
“Itu aja? Ya udah aku bangun…” Aku berdiri. Ditahannya lenganku hingga aku jatuh tertidur lagi. Lengannya diletakkan diatas dadaku hingga aku nggak bisa bangun.
“Ya ampun… minggir aku mau nyiapin minuman..” kataku sedikit memohon. Dia tak bergeming. Tubuhku ditariknya mendekat dengan tangannya. Mau ngapain dia? Oh my..
“Entah kenapa… aku ngerasa nyaman kalo dekat kamu, Je..” aku jadi gugup.
“Aku juga sih… tapi minggir dulu mas… ntar kita ngomong lagi…” jawabku menutupi rasa gugup. Deg… deg… deg…
“Nggak… aku masih mau dekat ama kamu… “ Katanya lagi. Aku menatapnya aneh. Wajah kami dekat banget… oh, God.. aku ingin mencium bibir itu..
“Kamu nggak mengigau kan?...” kataku sambil meraba dahinya. Nggak panas lagi. Lalu kenapa dia jadi aneh?
“Kalau saja kamu perempuan, Je… aku pasti ngambil kamu jadi milikku..” dia mengusap pipiku. Oh God,… warna warni sudah pandanganku …Aku menghitung banyaknya cicak di dinding… satu.. dua… tiga.. empat.. apa yang diharapkannya? Andai aku perempuan? Alangkah kejamnya perkataan itu… seolah menyadarkan aku pada takdirku… aku bukan perempuan.. lalu kamu mau jadikan aku apa?
Malam itu aku sudah putuskan untuk tidak menunggu Aggie datang. Aku naik ojek menuju tempat kost. Begitu juga hari berikutnya. Berikutnya juga. Sampai seminggu aku tidak bertemu Aggie lagi. Ada rasa hampa dalam hatiku tapi tekadku lebih kuat untuk menjauhi dia. Lebih baik begitu, agar tidak ada rasa untuk memilikinya.. dengan demikian, jadi adil untukku dan untuknya… aku punya takdirku sendiri.. dan dia punya takdirnya yang harus dijalaninya. Aku nggak mau membelokkan takdirnya.. ah.. takdir memang kejam..
Sore itu sebelum ketempat Mas Rully, aku ke Mall membeli make-up remover yang sudah habis semalam juga pingin makan kentang goreng. Sambil makan Kentang goreng di Food Center aku membaca majalah. Kulihat banyak juga pengunjung yang makan. Aku memperhatikan sekelilingku. Beda sekali dengan di Heaven’s. Aku jadi tenang disini. Kulihat ada canda tawa keluarga di meja depanku. Ayah, Ibu dan dua orang anak remaja yang satunya cowok dan satunya cewek. Aku jadi tenang melihat kebahagiaan mereka. Memiliki kebahagiaan seperti mereka? Itu Cuma mimpi… Tapi, aku mendadak kaget. Ayah mereka, aku kenal… dia sering di Heaven’s. malah hampir tiap malam kutemani. Itu Pak Rudy… kenapa dia begitu? Dia punya keluarga yang bahagia… apa lagi yang dia cari di Heaven’s? aku memandangnya lama. Dia yang menghadap kearahku melihatku juga. Aku menunduk. Ah… pasti dia tidak mengenalku dengan penampilan seperti ini. Kulihat dia berdiri. Menghampiriku.
Aku menghadap ke samping kearah kaca. Oh god,…. Jangan biarkan dia kesini… Aku pergi saja..
“Maaf, boleh duduk disini….” Terlambat.. aku belum sempat berdiri.
“Ya… boleh.” Jawabku cuek sambil minum orange juice dari gelas dengan sedotan.
“Kamu.. kayaknya aku kenal..” kata Pak Rudy yang duduk didepanku. aku pura-pura tak mendengarnya. Sibuk dengan kentang gorengku.
“Oh… mungkin aku pernah kerja sekantor dengan bapak.. soalnya aku pernah jadi Cleaning Service di beberapa perusahaan..” aku membual.
“Oh ya…? Perusahan apa?” tanya dia menyelidik.
“Aku lupa… pokoknya banyak deh…” kataku cuek sambil makan kentang goreng. Aku menyodorkan kearahnya.
“Mau….?”
“Tidak… terima kasih..” katanya sopan.
“Itu keluarga bapak ya? Bahagia banget…” tanyaku santai.
“Anak-anakku ada 3 yang satunya kuliah di USA. Udah 2 tahun..” katanya. kenapa dia malah ceritakan keluarganya padaku?
“Ohhh…. Gitu” aku memandangnya. Dia mengeluarkan sesuatu. Kartu nama. Aku mengambilnya
Rudy Cahyono
PT. Sinar Utama
Direktur
Hehhh… bukankah ini salah satu perusahan terbesar di Indonesia? Ternyata Pak Rudy..
“Aku permisi dulu.. kalau perlu bantuanku, silahkan hubungi saya…” katanya sambil berdiri. Kenapa dia begitu terhadapku? Kenapa dia ngasih Kartu namanya? Ah… aneh-aneh saja pengusaha-pengusaha sekarang…
Agar tidak ngerasa aneh, aku hanya menggunakan kostum warna putih polos panjang hingga ke lutut. Ada manik-manik kecil di ujung-ujungnya dan di bagian dada. Tanpa lengan sehingga terlihat kedua lengan bagian atasku yang putih. Ada belahan besar dibagian dada. Aku menggunakan syal dari bahan woll warna putih juga untuk menutupi bagian yang terbuka itu. Kupakai Sepatu yang tidak terlalu tinggi warna putih. Aku nggak perlu memakai stoking karena gerah dan memang kulitku putih dan memang selaras dengan kostum.
Ketika keluar dari ‘Miracle’ (nama tempat rully) aku bermaksud singgah di ATM yang kira-kira 50 meter dari tempat itu. Aku mendengar klakson mobil berkali kali dari arah jalan. Ah, pasti sopir iseng.. aku sudah biasa dengan itu. Kulihat sebuah taxi mengikutiku dari samping. Aku menoleh sebentar. Kaca mobil terbuka. Aggie…. Itu Aggie! Aku berusaha menutupi rasa gugup yang tiba-tiba menyergapku.
“Hai Gie…” aku melambaikan tanganku kearahnya sambil tersenyum.. senyuman pahit. Aku menunjuk mesin ATM didepanku. Kulihat dia menghentikan mobil. Berlari kearahku. Aku jalan terus..
“Sebentar, Je…” dia menjajari langkahku. Memegang lenganku.
“Ya?? Ada apa, Gie..?” aku bertanya pura-pura blo’on. Dia menatapku. Aku nggak bisa memandang matanya. Membuka dompetku dan mengeluarkan kartu ATM.
“Kenapa kamu menghindar dariku, Je…?” tanya dia dengan pandangan yang tajam. Aku bingung harus jawab apa.
“Oh.. eh.. nggak kok.. siapa bilang? Itu cuman perasanmu saja. Aku cuman sibuk. Sebentar lagi kan ada ujian masuk perguruan tinggi.. jadi aku belajar..” jawabku bo’ong.
“Jangan bohong…” katanya tegas. Aku menatap matanya. Dia malah menunduk.
“Kenapa sih, kamu… “ jawabku dengan nada tegas juga.
“Aku cuman ngerasa kesepian selama ini…nggak ada teman kayak kamu lagi..” katanya sedikit pelan. Itu lagi… teman.. whatever..
“Oh… kesian..makanya, cari cewek sana.. biar nggak kesepian..” dia menatapku tajam. Aku nggak peduli.
“Oh, ya.. kamu kan udah punya cewek tuh. Di dompet kamu.. cantik kok.. siapa namanya?..” kedengaran aneh perkataanku. Kenapa ada unsur ‘jelous’ disitu? Aku masuk ke ATM mengambil uang seperlunya. Ketika aku keluar, Aggie sudah tidak ada disitu. Aku jadi merasa bersalah.. apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tidak bisa menerima kenyataan? Aku ngerasa nggak fair terhadapnya..
Suasana Heaven’s malam itu ramai sekali. Beginilah yang terjadi setiap malam minggu. Ada yang datang dengan pasangannya ada juga yang datang sendirian. Kebanyakan dari mereka dengan memakai pakaian lengkap berdasi. Pasti dari kantor langsung kesini… kasihan anak istri mereka..
“Kok bengong…?” Tari mengagetkanku. Selama aku di Heaven’s cuman tari saja yang dekat sama aku. Dia teman yang baik.. perhatian dan ‘warm’ gitu.. kita selalu curhat. Masalah dia banyak sekali.. mulai dari rumah tempat tinggalnya yang kena gusur, boyfriend-nya yang suka mukulin dia, sampai masalah kakinya yang sakit gara-gara asam urat yang tinggi.
“Nggak kok… aku lagi nunggu giliran nyanyi. Kamu udah kan?...”
“Kenapa muka lo jadi kusut kayak gitu? Cheer up, dong!! Semangat… biar semua masalah kita hilang…” katanya dengan gaya ‘Pahlawan Bertopeng’ sedang baeraksi.
“Hahahaha….” Aku nggak bisa menahan tawa. Begitulah Tari, dia suka menghiburku jika aku sedang sedih. Tari menarik tanganku menari.. tarian itu begitu sexy..liukan tubuhnya yang gemulai membuatku berpikir betapa berbakatnya dia. Aku mulai mengikuti gerakannya. Ternyata menari itu asyik. Aku tanpa sadar mulai keasyikan menari bersamanya. Setengah jam aku berlatih padanya.
“Lo berbakat, Je… lo bisa nandingin gue.. dalam setengah jam.” pujinya.
“Gila lo… emangnya aku sexy dancer, apa..?”
“Eh.. jangan ngomong gitu yah… gue dulu sexy dancer.. tapi udah pensiun gara-gara Asam urat sialan ini…” tari meringis mengusap-usap lututnya yang nyeri. Aku memeluknya. Dia menyandarkan kepalanya ke dadaku. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam ruangan. Aku dan Tari terkejut. Tari memegang lenganku erat-erat. Jeni turun dari panggung dengan tergesa-gesa. Lagunya masih mengalun.
“Oh my God…. Oh, God…” teriak Jeni. Jeni kelihatan pucat. Aku dan Tari menyambutnya.
“Ada apa Jen..?”
“Kacau… kacau didepan..” Jeni tergagap.
“Kenapa? Kacau kenapa?” Tanya Tari panik.
“Mereka berkelahi…”
“Ya ampun…” seruku
Aku kedepan kearah panggung. Kulihat Mas Roy berlarian kasana-kemari meredam suasana.
“Security.. aduh… tenang.. tenang.. jangan berkelahi disini dong.. ntar Heaven’s ditutup lagi.. aduhh!! Oh my God!! Gimana nih…??” teriak Mas Roy. Kulihat babarapa pengunjung masih adu jotos. Meja-meja terlempar kesana-kemari. Para Butterfly sudah berkumpul semua di belakang panggung. Mereka ketakutan, bahkan ada yang menangis histeris. Kulihat Tari menenangkan mereka. Aduh, gimana yah… aku berpikir keras. Apa aku nyanyi saja yah? Biar suasana bisa teralihkan.. tapi apa bisa? Eh, Tari… aku menarik tangan Tari…
“Gue nyanyi… lo dance ya? Kita harus menenangkan mereka…” bisikku padanya. Tari memandangku protes.
“jangan bercanda, Je..” katanya sambil memandangku. Dia melihat keseriusan di wajahku. Tari mengikuti aku.
Aku menyetel lagu… aduh… lagu apa ya?
“Yang nge-bit gitu, Je...” usul Tari.
“Yang ini nih…” Tari menunjuk lagunya Whitney H. ‘I wanna dance with somebody’
“Ya, bolehlah… aku hafal lagu itu”
“Yuk…” aku menarik tangan Tari kepanggung. Kulihat pertengkaran masih terjadi. Riuh sekali. Aku sudah menyetel volume lagunya lebih kuat dari biasanya. Terdengar intro lagu yang keras menyengat telinga. Semua dalam ruangan itu terhentak, tak terkecuali yang berkelahi. Tari sudah memulai aksinya yang sexy banget itu. Aku mengikuti sedikit aksi Tari. Lampu pengunjung sudah remang kembali, membuat aksi kami lebih jelas di panggung. Kurasakan lengang, kecuali suara lagu yang memacu jantung disertai ‘Sexy dance’-nya Tari.
……
Clocks strikes upon the hour
And the sun begins to fade
Still enough time to figure out
How to chase my blues away
I've done alright up 'til now
It's the light of day that shows me how
And when the night falls loneliness calls
…..
Aku mulai mengikuti alunan suara Whitney yang melengking tinggi. Tak peduli lagi kostumku yang ketat banget.. tak peduli high heels yang kupakai… Aku sudah menyatu dengan lagu itu.. mungkin inilah yang disebut ‘invincible singer’ dimana sang penyanyi tak peduli lagi dengan keadaan sekitar.. yang ada hanyalah suara musik.. dan suaranya sendiri. Aku terkaget ketika aku merasa belahan kostumku sebelah kiri dan kanan paha semakin melebar… ya ampun.. robek!!
Aku menatap kearah pengunjung yang kini tak melakukan apa-apa. Mereka terdiam memaku. Mas Roy menatap kami dengan pandangan penuh arti.. karena kulihat tangannya diletakkan di dagu. Aku turun menarik tangan seorang pengunjung naik ke panggung. Tari mulai beraksi, dengan gerakan Sexy dia seakan-akan merayu pengunjung itu.
…..
Oh! Wanna dance with somebody
I wanna feel the heat with somebody
Yeah! Wanna dance with somebody
With somebody who loves me
……
Kudengar suara gemuruh lagi. Kali ini bukan karena pertengkaran, tetapi kulihat pengunjung mulai bergoyang… mereka berdansa mengikuti irama lagu… Aku yang tak sadar makin terbawa dengan alunan lagu. Dan belahan kiri dan kananku sudah menuju ke pinggul.. aku tersadar lagi.
…..
I've been in love and lost my senses
Spinning through the town
Soon or later the fever ends
And I wind up feeling down
I need a man who'll take a chance
On a love that burns hot enough to last
So when the night falls
My lonely heart calls
……
Aku mengakhiri lagu itu dengan rasa puas di dadaku… kini aku jadi lebih plong. Bebanku seakan terlepas begitu saja. Kulihat Tari mendekat dan memelukku. Kami membungkuk memberi hormat lalu turun ke belakang panggung. Tak aku peduli lagi teriakan pengunjung minta diulang lagi aksi yang tadi. Tepuk tangan mereka terdengar sampai di belakang panggung. Para Butterfly lain menatap kami dengan diam tanpa kata-kata. Tari terhempas di kursi memegang lututnya yang nyeri. Aku membuka kostumku yang robek dan menggantinya dengan pakaianku. Kubersihkan juga riasanku yang kurasakan memadati mukaku. Kulihat Mas Roy ke arah kami, memandangku dan Tari bergantian. Dia menatap kami dengan pandangan seperti tadi. Tiba-tiba dia merangkulku, kemudian merangkul Tari.
“Gue gak bisa berkata apa-apa lagi, Je… Tar..” suaranya terdengar tersendat. Tangannya masih menutup mulutnya.
“Kalian emang brilliant… hebat.. gue terima kasih banget!” kulihat matanya berkaca-kaca. Aku dan Tari memandangnya. Mas Roy menangis.
“Ah… itu karena ide Jeje…” Tari memandangku.
“Nggak kok… Tari yang hebat..” alihku. Aku menyodorkan tissue.
“kalian nyelamatin Heaven’s…” dia menghapus airmatanya dengan tissue yang kusodorkan.
“Nggak kok.. kami cuman jalanin tugas kami aja.. lagian.. kalo ada apa dengan Heaven’s kami mau kerja dimana lagi?” kataku.
“Mas Roy… aku pulang duluan yah.. kostumku robek.. “
“Ok… hati-hati dijalan..”
“Je… Cheer Up!!” teriak Tari mengiringi kepergianku.
Aku melangkah keluar dari Heaven’s seperti biasa lewat samping. Ah, capek banget malam ini. Aku berdiri di samping jalan menunggu kendaraan lewat. Sebuah mobil sedan berhenti di depanku. Kacanya terbuka.
“Sudah ku bilang… aku pernah melihatmu..” terdengar suara dari dalam mobil. Aku membungkuk memperhatikan. Pak Rudy!
“Oh… hai Oom.. “ aku melambaikan tanganku. Pak Rudy membuka pintu depannya.
“Yukk… ku antar pulang..” aku mematung. Aku melihat sebuah taxi berhenti di depan mobil Pak Rudy. Itu Aggie…. Dia turun mendekati aku yang berdiri dekat pintu depan mobil Pak Rudy.
“Je… mau pulang??” aku terpana. Kulihat Aggie dengan seksama. Dia kelihatan kurus. Rambutnya kusut dan wajahnya begitu muram… apa dia sakit lagi? Ah… ngapain gue peduli… bodo amat!
“Eh… Aggie. Iya… aku mau diantar Pak Rudy. Udah dulu yah… da dah..” Kataku sambil melangkah masuk kedalam mobil Pak Rudy. Aku menarik napas panjang sambil bersandar.
“Siapa dia? Teman kamu ya….” Tanya Pak Rudy.
Aku membalasnya dengan tersenyum.
“Aku udah tau waktu di Food Center itu, kalo kamu tuh Jeje…” Pak Rudy memandangku.
“Pak Rudy hebat dong…. Bisa ngenal orang yang baru aja ditemui sekali.”
“Itu keahlianku..” katanya sambil tertawa kecil. Aku terdiam, masih memikirkan Aggie.
“Kamu hebat tadi… bisa nguasai situasi..” dia memujiku.
“Aksi kamu dan temanmu begitu memukau… semua jadi tenang ngeliat kalian berdua tadi di panggung..”
“Itu keahlianku…” aku membalas seperti perkataan Pak Rudy tadi. Dia tertawa terbahak-bahak. Aku hanya tersenyum. Kami bercanda tawa selama di perjalanan menuju tempat kostku. Ternyata Pak Rudy enak juga diajak becanda. Dia supel, ramah, dan enerjik. Hanya satu pertanyaanku. Apa dia “BI”? dia punya keluarga bahagia.. kaya.. apalagi yang kurang? Kenapa dia datang ketempat seperti Heaven’s? Apa istrinya tahu?
“Aku senang sekali malam ini… apalagi bisa ngantar kamu..”
“Makasih yah, Pak Rudy… udah ngantarin aku.” aku melambaikan tangan kearahnya. Dan turun dari mobilnya.
“Sampai jumpa besok…” kata Pak Rudy sambil menyelipkan sesuatu di tanganku. Lho, kenapa dia ngasih aku tip? Kan bukan di Heaven’s? ah… biarin… dia kan banyak uang.
“Ya… da dah…” aku melambaikan tanganku kearah mobilnya yang menjauh. Kulihat mobil itu mendekat lagi. Mobil Aggie… kenapa sih dia lagi? Aku melangkah cepat memasuki halaman tapi tiba-tiba tangan Aggie dengan cepat menangkap lenganku. Aku meringis kesakitan.
“Je, tunggu…” katanya pelan. Aku diam saja.
“Kenapa sih kamu? Kok kamu berubah banget… kita ngomong dimobil yukk..” aku mengikuti Aggie yang menarik tanganku. Masuk ke taxi-nya. Aku diam saja.
“Kenapa kamu diam aja, ki.. ada yang kamu gak suka dari aku?” tanya dia memandangku. Aku hanya menatap keluar jendela mobil.
“Je…!!” katanya mirip bentakan. Aku memandangnya. Dadaku sesak.
“Napa sih lo? Gue gak knapa-napa… lo aja yang berpikiran sempit.. “ kataku sengit.
“Kenapa kamu sekarang ngomongnya ‘Lo-Gue’…? Nggak seperti Jeje yang kukenal dulu..” katanya pelan mirip bisikan. Bagaikan angin malam yang memukul persendianku. Kamu yang membuat aku begini, Gie… kamu yang menuntut aku berubah.
“Iya… Jeje yang dulu udah gak ada.. “ jawabku pelan juga.
“Makanya… lo gak boleh lagi temanan ama Jeje yang sekarang.. “
“Nggak mungkin.. aku mau kok temanan ama kamu. Bagaimanapun perubahan bentukmu, sikapmu, segalanya… kamu masih Jeje yang dulu.. utuh..”
“hahaha…” aku tertawa dingin. Mengusap wajahku yang berkeringat, padahal malam ini begitu dingin.
“Lo baru kenal gue, Gie… lo gak tau gimana sebenarnya gue.. mana yang asli? Sama kayak gue make kostum. Pasti gak ada yang ngenal gue.. termasuk lo..” aku menatap wajahnya.
“Makanya.. jauhi gue aja. Gue tuh bukan orang-baek baek.. mending lo nurutin aja apa keinginan bokap-nyokap lo sana….” Aggie memandangku dengan terkejut. Ya ampun,… aku keceplosan bicara.
“Darimana kamu tau, Je..?” tanya Aggie. Dia memegang lenganku. Sakit sekali. Aku menyingkirkan tangannya dari situ.
“Yah… tau aja..” Aku mengelak.
“wanita itu pernah mencampakkan aku… dia pergi ama cowok lain. Dia cinta pertamaku..” kata Aggie sambil menunduk. Aku jadi tak tega melihatnya.
“Wanita yang di foto itu, ya…?” tanyaku.
Aggie mengangguk.
“Trus sekarang.. dia mau balik lagi dan mau tunangan ama kamu?”
Aggie mengangguk lagi.
“Yah… kesempatan tuh Gie.. ! gak dicari dia datang ndiri…” aku tiba-tiba merubah sikapku. Aku berusaha menghiburnya.
“Aku udah gak punya rasa itu lagi terhadapnya…” Aku jadi bengong. Aggie menggenggam jemari tanganku. Aku biarkan saja. Kami berdua terdiam. Entah apa yang ada dalam pikiran Aggie. Yang pasti kulihat dia merasa nyaman di dekatku..
“Kenapa kamu mau jadi sopir taxi?” aku bertanya dengan suara pelan. Aggie berhenti makan. Menatapku..
“Maksud kamu?..” tanya Aggie.
“Jangan bodohi aku, Gie..”
Aggie terdiam.
“Apa sebenarnya yang kamu cari…?” tanyaku lagi.
“Uang? Nggak mungkin…”
“Kalau kutanya ke kamu, kenapa milih jadi Butterfly? Padahal kamu nggak begitu suka disitu kan?” Aggie balas nanya.
“Banyak alasan aku jadi Butterfly…” jawabku singkat.
“Pertama, karena tuntutan hidup…. Disitu aku bisa dapetin pendapatan 50 kali lebih banyak dari pada jadi penyanyi Café dan Wedding Singer..” Aku meneguk air mineral.
“Yang kedua… Aku dilahirkan menjadi seorang penghibur.. aku tak bisa menolaknya..” kuusap hidungku yang berkeringat.
“Yang ketiga… aku bisa bertemu dengan teman-teman senasib, seperti Tari, Jeni, Rina, Chika… dan banyak lagi. Disana kita jadi orang yang tegar.. nggak mudah nyerah sama nasib..” Aku menatapnya.
“Yang keempat,.. aku bisa bertemu dengan berbagai jenis sifat orang.. dan masih banyak lagi alasan aku kerja disitu..”
Aggie membolak balik sendoknya di piring.
“Aku cuman nggak mau bergantung pada orang tua… Aku bisa hidup tanpa kekayaan mereka.. aku malah bersyukur jadi sopir taxi. Bisa ketemu kamu…” Aggie tersenyum. Senyumnya sesempurna dulu saat aku bertemu dengannya. Aku mengambil tissue dan mengelap bibirnya yang belepotan saos gado-gado. Dia diam saja membiarkan aku membersihkan bibirnya. Aku menyodorkan air minum kepadanya.
“Yukk… antar aku pulang..”
“Yahh.. kan masih jam segini..” katanya dengan wajah kecewa.
“Besok sore aja kita jalan… kalau kamu udah pulang kuliah. mau?..” kataku menghibur.
“Mau… mau..” katanya bersemangat.
“Ok.. jam 4 kutunggu kamu di halte bis dekat tempat kost.. “
“Beress…”
Kamipun beranjak dari café menuju tempat kost.
Sore itu dengan menggunakan celana jean biru dan kaos hitam aku berlari-lari kecil ke halte bis dekat kosan. Ah, belum ada tuh mobil taxinya… aku mengelap keringat yang mulai tampak diujung hidung.
“Nunggu bis ya? Naek ojek aja..” aku memandang kearah suara itu. Oh my… Aggie? Kulihat Aggie sedang duduk diatas motor. Aggie memakai kacamata hitam, jaket hitam yang terbuka di bagian dada, kaos putih, celana jean hitam. Cakep sekali…
“Mana taxi kamu?”
“Aku off hari ini.. yukk…” dia menyerahkan helm ketanganku. Aku memakainya. Aku duduk dibelakangnya, agak menjauh dari punggungnya.
“Kalo kamu duduknya kayak gitu… bisa jatuh..” katanya setelah menghidupkan motornya. Aku sedikit merapat. Kedua tanganku kuletakkan di pundaknya. Dia menggapai kedua tanganku dari depan dan memindahkannya ke pinggangnya…
“Pegangan yang kencang…” katanya lagi. Aku jadi memeluk pinggangnya sampai ke perutnya sampai dadaku menyentuh punggungnya. Gie, dapatkah kau rasakan debaran jantungku? Kencang sekali…
Sambil bercanda, kami makan di café biasa tempat kami makan. Kulihat lagi keceriaan Aggie. Wajahnya berseri memperlihatkan ketampanannya. Beberapa wanita pengunjung café memandang kearah kami terus. Tawa Aggie yang renyah dan enak didengar itu membuat kami jadi pusat perhatian.
“Udah ah… tuh banyak yang ngeliatin..” aku berbisik perlahan. Aggie melihat sekeliling. Tersenyum kearah wanita-wanita itu. Mereka jadi histeris.
“Wajar aja kok, je… kan ada 2 cowok paling cakep disini..” katanya sambil mengambil Juice dari tanganku.
“Punyaku….” Kataku protes.
“Masih haus nih… punyaku dah habis.. dikit aja..” dia langsung meneguk sampai tinggal sepertiganya.
“dasar …” rengutku. Aku segera menghabiskan sisanya.
Setelah meninggalkan café, kami menuju bioskop. Sudah lama sekali aku nggak pernah nonton bioskop. Aggie milih film horror aku milih film drama romantis. Akhirnya dia ngalah ngikut aku. Selama film berlangsung kami diam. Kulihat Aggie dengan seksama menonton. Pasti dia suka juga, nyatanya dia diam aja.. Akhirnya film itu selesai juga dengan happy ending.. Aku mengusap mataku yang sempat berair tadi. Aku takut dia mengolok-olok aku kalau tahu aku nangis karena film itu. Ketika lampu bioskop dinyalakan, aku tersadar… ternyata dia tertidur. Nih anak… aku meremas hidungnya sampai merah. Aggie terbangun..
“Sorry, Je… ngantuk sekali sih…” katanya sambil menguap.
“Bagus gak filmnya..?” tanya dia.
“Nggak..”
“Kenapa..?”
“Cowoknya mati.. ketabrak mobil..” jawabku ngarang.
“Pantesan…. Mata kamu merah.. nangis kan?” katanya sambil memandangku. Aku memalingkan wajahku dengan cepat.
“Enak aja…” aku mencubit lengannya.
“Antarin aku ke tempat Mas Rully..” kataku.
“Mhhh.. je.. bisa nggak… aku liat kamu manggung..” tanya dia dengan wajah permohonan.
“Nggak boleh…”
“Plisss… sekali ini aja.. pingin banget liat penampilan kamu..” dia memegang tanganku. Aku melepaskan pegangannya.
“Jangan pegang-pegang , ah… banyak orang disini..” Kami berjalan menuju pintu keluar bioskop.
“Aggie… Aggie!!” teriak seseorang dari belakang kami. Suara perempuan. Kami menoleh. Ah,.. cewek itu pernah kulihat.. di dompetnya Aggie. Kayaknya dia lebih cantik dari fotonya. Dia bersama temannya, cewek juga. Kulihat Aggie tertunduk. Aku tidak tau apa yang ada di pikirannya.. aku menjauh 5 langkah dari Aggie.
“Kenapa kamu jauhin aku, Gie… “ kudengar cewek itu berkata. Cewek itu menggenggam tangan kanan Aggie dengan kedua tangannya.
“Aku nggak ngejauhin kamu… kamu yang ninggalin aku..”
“Kan aku udah minta maaf, Gie… harus gimana lagi caraku biar kamu paham perasaanku..” kulihat cewek itu mengusap matanya. Kasihan juga… kulihat Aggie menggenggam tangan cewek itu untuk menenangkan dia. Cewek itu memeluknya. Aku menjauh 5 langkah lagi. Berbalik menjauh.
“Kutunggu kamu di motor, Gie…” kataku pelan sekali. yang tidak mungkin bisa didengar Aggie…
Lama sekali aku menunggu di parkiran motor. Aggie belum muncul-muncul juga. Sudah jam 7.30 aku harus ke tempat Rully. Kalau nggak bisa telat… Akhirnya aku naik taxi ke tempat Rully. Maafkan aku, Gie… aku harus kerja..
…….
Don't leave me in all this pain
Don't leave me out in the rain
Come back and bring back my smile
Come and take these tears away
I need your arms to hold me now
The night are so unkind
Bring back those nights when I held you beside me
Un-break my heart
Say you'll me again
Undo this hurt you caused
When you walked out the door
And walked out of my life
Un-cry these tears
I cried so many nights
Un-break my heart
My heart
………
Entah kenapa aku merasakan kehampaan lagi dalam hatiku. Kalau sudah demikian, aku nggak bisa lagi menahan air bening ini dari mataku. Kulihat beberapa pengunjung yang didepan seakan meresapi lagu yang kubawakan. “Unbreak My Heart” merupakan salah satu lagu kesayanganku. Toni Braxton yang menjiwai lagu ini dengan begitu sempurna. Begitu bernyawanya lagu ini sehingga kulihat mereka berkaca-kaca.
………
Take back that sad word good-bye
Bring back the joy to my life
Don't leave me here with these tears
Come and kiss that pain away
I can't forget the day you left
Time is so unkind
And life is so cruel without you here beside me
Un-break my heart
Say you'll love me again
Undo this hurt you caused
When you walked out the door
And walked out of my life
Un-cry these tears
I cried so many nights
Un-break my heart
My heart
Sweet darlin'
Without you I just can't go on
Can't go on....
……………
Aku membungkuk memberi hormat. Aku mengusap mataku. Kini kudengar tepuk tangan dari pengunjung. Aku melihat mereka tersenyum kearahku. Ah,… aku sudah membawa senyuman bagi banyak orang.. dan diantara pengunjung itu ada seseorang yang kukenal… Aggie.. dia menatapku.. Oh, God.. kenapa dia ada disini? Apa dia nggak tau kalau semua yang diruangan ini.. dia nggak pantas disini… Aku ke belakang panggung. Kulihat Aggie berusaha ke belakang panggung, tapi dihalangi Security. Aku mendekat..
“Biar aja pak… dia teman saya..” aku menjelaskan. Kutarik tangan Aggie kebelakang panggung.
“Ya ampun, Je…. Cakep banget boyfriend lo… “ kulihat Tari, Rina, Chika, Jeni dan yang lainnya mendekat.
“Kyaaa…..!!!” mereka berebut memegang tangan Aggie. Kulihat Aggie jadi bingung.
“Kenalin ke kita dong…” teriak Rina.
“Eh… jangan ganggu.. sana..” aku mengusir dengan halus.
Aku menarik tangan Aggie hingga ke sudut ruangan.
“Sekarang… kenapa sih kamu pake datang ke Heaven’s segala?” tanyaku ketus.
“Kan aku udah bilang… mau liat penampilan kamu…” katanya pelan.
“Gie,… Aggie… Heaven’s tuh bukan tempat kamu… kamu nggak pantas ada disini…” kataku pelan namun tegas.
“Kamu tau sendiri kan…. Di Heaven’s tuh tempatnya….” Aku nggak bisa meneruskan.
“Gay… maksud kamu?” sambungnya. Aku mengangguk.
“Aku sudah tau kok…” katanya.
“Je… dengan ngeliat kamu tadi.. aku bisa liat kamu seutuhnya. Kamu tampil ‘All Out’ aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan.. juga mereka yang hadir diruangan itu pasti merasakan hal yang sama.. kamu membuat semua orang yang hadir tersenyum… “ Aku tersenyum padanya.
“Aggie… itulah kerja seorang Butterfly.. melihat orang tersenyum adalah sebuah kebahagiaan kami…” Aku duduk di kursi diikuti Aggie.
“Kadangkala kami harus tersenyum pura-pura untuk membuat mereka tersenyum.. mendengar keluhaan mereka.. ketidakpuasan mereka akan hidup mereka.. tapi itu bisa mengurangi beban mereka.. meskipun beban hidup seorang Butterfly jauh lebih berat…”
Aggie terdiam.
“Tari… sering dipukul pasangannya.. rumahnya kena gusur.. Rina, yatim piatu, dia dulu hidup di jalanan… sering dipukuli sesama anak jalanan.. Chika, dia bisu.. tapi disini dia bisa nyanyi.. Jeni, tiga kali pernah masuk penjara karena mencopet… dan masih banyak lagi kami disini yang kurang beruntung dalam hidup.. dipermainkan oleh nasib… tapi kami kuat.. karena kami nggak mau melawan takdir…”
“Aku tau maksud kamu, Je.. aku tadi sudah pulang kerumah..” kata Aggie.
“Mulai besok aku tinggal disana.. kuliah sambil ngurus perusahan papa..”
Aku menatap matanya.
“Aku senang banget mendengarnya, Gie…” Kataku. Berarti kamu udah nggak bawa taxi lagi. Berarti kamu nggak bakalan jemput aku lagi.. berarti kita akan semakin jarang ketemu, Gie..
“Jangan kuatir, Je… kita masih temanan kok.. “
“Aku juga berharap demikian, Gie.. “ Aku tersenyum padanya.
Aku mengantar Aggie hingga di depan Heaven’s. dia menuju motornya dan kemudian berlalu pergi. Aku menatapnya sampai dia menghilang diujung jalan.
Malam itu waktu mau pulang kulihat Tari kelihatan pucat. Dia duduk diam di belakang panggung. Aku yang merasakan keanehan padanya, mendekatinya.
“Kamu kenapa, Tar?” dia memandangku kosong. Bibirnya gemetaran. Dia menggeleng.
“Kamu dipukuli lagi ya?” dia menggeleng.
“Kalau ada apa-apa bialng aja ke aku… siapa tau aku bisa bantu…” dia memeluk lenganku. Kasihan dia…
“Kamu butuh uang, Tar..?” aku mengerti sekarang. Dia cuman bisa mengangguk pelan.
“Kenapa nggak bilang dari tadi..?” aku membuka dompetku. Menyerahkan sejumlah uang kepadanya. Dia menolak perlahan tanganku.
“Gue nggak bisa. Je… uang yang lalu gue pinjam belom gue ganti…” beberapa hari lalu Tari memang meminjam uang 1 juta kepadaku. Lumayan banyak, tapi aku rela karena dia lebih membutuhkan uang itu daripada aku.
“Kamu temanku, Tar… bahkan udah aku anggap keluargaku.. ambillah.. ayo..” akhirnya dia mau mengambil uang yang kusodorkan. Matanya berlinang airmata.
Malam itu jam 9 kurang 15 menit aku berjalan masuk kedalam Heaven’s melalui pintu samping.
“Hai semuanya….!!!” Aku menyapa. Tapi kulihat semua memandangku dengan pandangan aneh. Aku melihat kearah kostumku, apa ada yang salah? Robek? Aku memperhatikan mulai dari sepatu sampai bahuku. Gak ada tuh yang salah.. aku mendekati cermin. Apa riasanku yah?.. gak tuh.. biasa-biasa aja.. aku memendang mereka. Chika dan Rina mendekati aku. Mereka bersandar di pundakku. Keningku berkerut penuh tanda tanya.
“Ada apa Rin, Ka…” aku bertanya dengan penuh tanda tanya. Mereka menangis.
“Lho… kenapa? Ada apa? Jawab aku! Ada apa?” Aku menggenggam lengan Rina. Kulihat Chika menggunakan bahasa isyarat. Aku sudah mulai terbiasa dengan gerakan tangannya. Tapi yang kupahami bahwa ada sesuatu yang terjadi disini dan itu berhubungan dengan “Butterfly”.
“Siapa, Ka…?.” Chika mengangkat telapak tangannya dan menggunakan tangannya yang satunya membentuk beberapa huruf. T..a..r…i
“Ya ampun… kenapa Tari?” tanyaku kembali pada Rina.
“Tari meninggal tadi sore.. kami baru dikasih tau barusan sama Mas Roy…”
Aku menjadi lemas. Kakiku tak mampu menahan berat tubuhku. Aku terduduk di sofa. Kenapa Tar… kenapa kamu ninggalin aku… kenapa lo gak bilang ke aku apa masalah kamu… padahal aku selalu bilang ke kamu masalahku.. aku memandang Rina..
“Boyfriendnya dia suka ‘make’… dia suka meras Tari. Kalo gak dikasih, dia bakalan ninggalin Tari.. itu yang dia bilang ke aku semalam..”
“Tari… bilang ke kamu?”
“Dia nggak mau bebani lo dengan masalahnya… katanya, masalah kamu lebih banyak darinya.. makanya dia cuman bilang ke gue aja” jelas Rina.
“Dia menyuntik ke dirinya sendiri banyak sekali didepan BF-nya… buat nyadarin dia.. dia OD… gak bisa diselamatkan.. BF-nya kini udah ditahan. Dia teriak-teriak di penjara.. nyesal nggak guna..”
Hampir saja jatuh airmataku, aku teringat kata-katanya.. “Cheer Up, je…” Aku tersenyum pahit sekali. Ya, Tar… aku nggak akan menangis lagi.. Rina dan Chika memelukku lagi… Aku hanya tersenyum kearah mereka… satu lagi pelajaran untukku.. untuk kita semua disini.. para Butterfly!!
……….
I haven’t ever really found a place that I call home
I never stick around quite long enough to make it
I apologize that once again I’m not in love
But it’s not as if I mind that your heart ain´t exactly breaking
It’s just a thought, only a thought
But if my life is for rent and I don’t learn to buy
Well I deserve nothing more than I get
Cos nothing I have is truly mine
I’ve always thought that I would love to live by the sea
To travel the world alone and live my more simply
I have no idea what’s happened to that dream
Cos there’s really nothing left here to stop me
It’s just a thought, only a thought
But if my life is for rent and I don’t learn to buy
Well I deserve nothing more than I get
Cos nothing I have is truly mine
If my life is for rent and I don´t learn to buy
Well I deserve nothing more than I get
Cos nothing I have is truly mine
While my heart is a shield and I won’t let it down
While I am so afraid to fail so I won’t even try
Well how can I say I’m alive
If my life is for rent…
………
“Lagu tadi untuk Tari temanku... dia pernah ngajarin aku apa saja tentang hidup.. bahwa hidup ini bukanlah milik kita.. kita hanya meminjamnya.. menyewanya dengan cinta dan kasih.. jangan kira kita bisa membeli hidup ini dengan uang atau dengan apapun juga.. ada saatnya kita ngembaliin itu semua.. itu yang kupelajari darinya..” kataku lewat pengeras suara sambil memandang kearah pengunjung. Ada yang meneteskan airmata. Aku tersenyum kearah mereka. Kulihat senyum dibibir mereka…. Terdengar tepuk tangan memenuhi ruangan… mereka tersenyum Tar… mereka tersenyum untukmu.. itu kan yang kamu inginkan? Karena itu.. Tersenyumlah kamu disana!
“Kok kamu diam aja, Je… kamu sakit?” tanya Aggie ketika kami makan di café. Dia membawa teman-teman kuliahnya. Aku kenalan dengan mereka. Yang satunya namanya Roni, yang satunya Andi. Mereka lucu-lucu. Aku yang nggak pingin tersenyum hari itu menjadi tertawa bersama mereka.
“Gak kok,… aku seneng banget. Roni sama Andi tuh konyol banget…”
“Tapi kulihat ada sesuatu yang kamu pendam…”
“Apaan..?”
“Gak tau, makanya ceritain kalo ada apa-apa..” aku menunduk.
“Tari meninggal semalam. Aku tadi ke pemakaman dia.”
“Heh…” Aggie terkejut. Aku tersenyum padanya.
“Udah ah… “ aku kembali bercengkrama dengan Andi dan Roni.
“Eh… katanya lo tuh penyanyi yah, Je…?” tanya Andi.
“Siapa bilang?” tanyaku.
“Tuh…” Andi menunjuk dengan hidungnya. Aggie memalingkan mukanya.
“Cuman penyanyi biasa aja..” aku berkata pelan.
“Nyanyi deh sana.. udah bosan aku dengerin suara tuh orang…” Kata Andi menunjuk kearah penyanyi café. Aku mengiyakan. Kulihat Aggie tersenyum menutup mulutnya dengan tangannya.
“Awas kamu…” aku mengarahkan tinju kearah Aggie.
“Udah sana…” Aggie mengusirku. Aku berjalan kearah panggung. Aku mengambil gitar dan duduk di kursi bulat.
……
I'm just the pieces of the man I used to be
Too many bitter tears are raining down on me
I'm far away from home and I've been facing this alone for much too long
Oh, I feel like no-one ever told the truth to me
About growing up and what a struggle it would be
In my tangled state of mind, I've been looking back to find where I went wrong
Too much love will kill you, if you can't make up your mind
Torn between the lover and the love you leave behind
You're headed for disaster because you never read the signs
Too much love will kill you every time
………
Dengan gitar aku menyanyikan lagu itu.. “Too Much Love Will Kill You” Sebuah lagu Lama. Kulihat mereka bertiga termasuk pengunjung lain memandang kearahku..
Aggie menatapku tajam banget.. menusuk sampai ke jantungku.
……
I'm just the shadow of the man I used to be
And it seems like there's no way out of this for me
I used to bring you sunshine now all I ever do is bring you down
How would it be if you were standing in my shoes
Can't you see that it's impossible to choose
No there's no making sense of it
Every way I go I'm bound to lose, oh yeah
Too much love will kill you, just as sure as none at all
It'll drain the power that's in you, make you plead, and scream, and crawl
And the pain will make you crazy, you're the victim of your crime
Too much love will kill you every time
…….
Terdengar tepuk tangan mereka bertiga lebih keras dari tepuk tangan pengunjung lain. Aku jadi malu.
“Ya ampun, Je… keren banget suara lo..” kata Roni.
“Gue sampe terharu lho…” Sambung Andi.
“Jangan konyol, ah…” kataku sambil menepuk jidat Andi. Aggie cuman memandangku dengan diam. Aku membalas tatapannya dengan diam pula.
“Besok kan malam taon baru… gimana kalo kita jalan bareng lagi..” kata Roni.
“Iya Gie… nanti ajak Jeje juga… kayaknya seru kalo dia ada..” Sambung Andi sambil melirik kearahku. Aggie masih terdiam. Memandang kearahku juga.
“Tapi kan Aggie harus jalan ama Amelia… “ kata Roni teringat sesuatu. Oh, cewek itu namanya Amelia..
“Ajak aja Amelia sekalian jalan ama kita… ya kan, Je..?” kata Andi.
“Sori.. aku besok masuk kerja..” kataku pelan.
“Lho… kerjanya sampe jam berapa emangnya?”
“Jam 2…”
“Hah…!!!” teriak Andi dan Roni bersamaan. Kocak banget…
“Emangnya lo kerja apa? Kok bisa sampe jam segitu.. kerja dimana?” tanya Roni sengit.
“Jeje nyanyi di Pub. Tutupnya jam 2… jadi dia gak bisa..” Sambung Aggie.. Ah, Aggie,.. kamu nyelamatin mukaku..
“Ya udah… kita bertiga aja… eh, empat sama Amelia..” kata Andi. Aku tersenyum pada mereka.
Malam ini malam tahun baru. Sejak jam 9 tadi ruangan sudah dipadati pengunjung. Suara terompet terdengar disana sini padahal belum waktunya dibunyikan. Aku menggunakan kostum warna silver dengan penutup mata kayak zorro. Malam ini dilakukan pesta topeng. Saking banyaknya pengunjung, kami para Butterfly sampe kewalahan mengantarkan pesanan. Untung stok minumannya banyak. Kulihat Rina sudah beraksi di panggung. Setelah itu Chika. Ditengah-tengah kerumunan orang itu aku teringat Tari. Perubahan wajahku ternyata mengundang tanda tanya seseorang.
“Kenapa wajah kamu muram gitu, Je…?” aku menoleh kearah suara itu.
“Eh,.. Pak Rudi. Aku nggak apa-apa kok.. cuman bingung aja ngeliat banyak orang kayak gini.”
Aku duduk disampingnya. Dia tersenyum ramah kepadaku.
“Gimana kabar keluarga bapak? Baek-baek saja, kan?” aku membuka percakapan.
“Baek kok… istriku dan anak perempuanku lagi ke rumah mertua saya.”
“Lho… kok bapak gak ikut? Anak bapak yang satunya?” tanyaku lagi.
“Aku sudah terbiasa sendiri di malam tahun baru, Je…Jimmy nemanin aku dirumah. Dia nggak mau ikut ibunya.” keningku berkerut heran. Pak Rudi ternyata bisa membaca pikiranku.
“Keluargaku udah terbiasa hidup begini. Yang kamu lihat waktu itu di Food Center cuman kebetulan saja kami bersama. Padahal keluarga kami sudah hampir hancur..” Pak Rudi mendadak muram.
“Jadi.. bapak nggak diajak gitu?” aku mulai memahami perkataan Pak Rudi. Dia meneguk minumannya. Mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di bibirnya. Aku menyodorkan api kepadanya. Dia menghirup rokok itu dalam-dalam sambil memandangku.
“Anak-anak bapak… sudah tau keadaan keluarga bapak?” aku mencoba bertanya lebih dalam.
“Mereka sudah beranjak dewasa, Je… mereka pasti paham. Apalagi anakku yang satunya yang lagi sekolah di Singapore. Dia sudah tau dari dulu, waktu aku dan istriku sering bertengkar.”
Aku membuka topeng yang kukenakan. Mengambil gelas minuman dan menuangkan sedikit. Kutuang juga buat Pak Rudi.
“Pak Rudi tau sendiri, kan… keluarga yang hancur berakibat buruk sama anak-anak.. apa nggak ada cara lain untuk damai?” pancingku.
“Istriku punya simpanan. Dia selingkuh sejak 2 tahun lalu.” Pak Rudi menghirup rokoknya dalam-dalam lagi. Ya ampun, ternyata karena itu Pak Rudi jadi sering kesini. Kasihan dia.
“Besok kamu Tahun Baru-an sama siapa?” tanya Pak Rudi. Aku mengangkat bahu.
“Orang tuaku jauh. Kalo teman-temanku paling-paling punya acara juga sama keluarganya.. yah, aku sendirian aja udah lumayan..” kataku.
“Besok kamu Tahun Baruan dirumahku saja.. kan cuman aku dan Jimmy. Pasti dia senang punya teman kayak kamu.” Katanya mengajakku. Aku terdiam jadi teringat Aggie. Aggie, … kamu pasti punya acara juga sama keluarga kamu.. atau sama Amelia..
“Boleh.. kalo itu nggak mengganggu Bapak..” kataku mengiakan.
“Ehhh… nggak kok. Aku senang kamu bersama kami..” kata Pak Rudi dengan wajah ceria.
“Nanti aku kesana besok pagi… dengan syarat…” Pak Rudi memandang wajahku.
“Malam ini bapak pulang aja temanin Jimmy dirumah. Beli kembang api atau apapun yang bisa nyenangin dia…” kulihat wajah Pak Rudi berubah. Dia tersenyum padaku. Memegang tanganku.
“Terima kasih atas sarannya, Je.. aku baru sadar kalo ternyata banyak hal yang harus dilakukan untuk menjadi ayah yang baik..” dia tertunduk. Dia meneguk sisa minuman dalam gelasnya.
“Kami tunggu kamu besok pagi, yah.. “ kata Pak Rudi sebelum beranjak. Aku menarik napas panjang. Siapa tahu keluarganya bisa akur lagi.. aku harap demikian.
Detik-detik menjelang pergantian tahun. Para pengunjung menghitung mundur waktu yang tertera di layar yang ada di dinding sebelah kiri atas Heaven’s.
“50… 49….48….47….”
Pikiranku melayang kembali pada peristiwa demi peristiwa yang kualami dalam hidupku selama setahun ini. Banyak sekali kepahitan hidup, banyak juga kebahagiaan yang kurasakan. Aku teringat orang-orang yang kusayangi dalam hidupku.
“40…39…38…37…”
Aku memikirkan tahun berikutnya yang masih misteri. Akankah kebahagiaan datang untukku tahun depan? Ataukah aku harus merasakan kepahitan hidup? Semua itu kuserahkan pada Tuhan..
“20….19…18…17…”
kulihat sekeliling semua orang menggunakan topeng. Berpegangan tangan dengan orang dekatnya. Aku merasa sunyi… dibalik topengku aku berharap ada seseorang yang berarti bagiku berada di sampingku.
“10….9…8…7…”
Tantungku berdetak kencang… akhirnya aku bisa merasakan tahun baru ini..
“4…3…2…1..”
Terdengar suara riuh teriakan dan bunyi terompet memekakkan telinga. Semua pengunjung membuka topengnya dan melemparkan keatas… semoga saja tahun ini semua bisa merasakan kebahagiaan hidup.. tanpa harus memakai topeng untuk menutupi keberadaan dirinya.. Handphoneku berbunyi. Aku mengangkatnya.
“Halo.. Jeje, ya…” kata suara itu di telpon. Itu Suara Aggie. Aku sampai nggak bisa bersuara sesaat.
“Selamat Tahun Baru, Je….” Kata Aggie dengan suara gembira.
“Selamat Tahun Baru juga, Gie.. semoga di Tahun ini kamu bisa sukses selalu..” kataku.
“Kamu juga, Je… aku pingin kesana nemuin kamu tapi aku nggak bisa. Banyak famili aku datang dari luar kota.” Katanya. Aku menelan ludah.
“Nggak apa-apa, Gie.. lagian besok aku diajak Teman ke rumahnya..” Hiburku. Aku senang Aggie nelpon. Ternyata dia ingat aku… meski aku mengharapkan bersama dengannya ..
Aku menarik napas panjang sebelum memencet bel. Kubaca kembali Alamatnya. Benar,.. ini rumahnya Pak Rudi. Pintu pagar terbuka lebar. Seorang sekuriti mendekati aku.
“Maaf, saudara Jeje?” tanya dia sopan sekali. Aku mengangguk sambil membalas dengan senyuman.
“Silahkan..”
“Terima kasih..” aku berjalan mengikuti bapak tadi.
Aku memandang bangunan didepanku. Mewah sekali.. Aku berusaha menutupi sebuah kenangan yang sesaat terlintas di benakku.
“Jeje… kamu datang juga akhirnya..” Pak Rudi menyambutku. Dia merangkul pundakku berjalan memasuki ruangan tamu. Sesaat aku melihat seorang anak duduk di ruangan lain menghadap TV. Aku memandang ruangan tamu yang penuh dengan lukisan. Aku tepana dengan salah satu lukisan di dinding, namun sebelum kulihat dengan cermat Pak Rudi mengajakku menuju keruangan yang kami lewati tadi.
“Itu anakku, Jimmy.. kamu pasti sudah pernah melihatnya di Food Center, kan?”
Aku mengangguk.
“Jim, kesini dulu.. kenalan sama kak Jeje..” katanya pada anaknya. Kulihat anak itu berjalan kearah kami. Tingginya sekitar 165 cm. badannya biasa saja. Tidak gemuk. Kulitnya putih. Dan yang membuatku terkejut… wajahnya. Oh, God.. kenapa wajahnya mirip seseorang yang pernah kukenal? Hatiku berdebar keras. Mirip sekali..
“Jimmy kelas 3 SMP sebentar lagi mau SMA..” katanya sambil merangkul anaknya. Akrab sekali mereka. Aku menjulurkan tangan kearah Jimmy.
“Jeje…” aku tersenyum padanya.
“Jimmy…” Dia tersenyum. ya, Tuhan… senyuman itu mirip juga.
“Jim, temani kak Jeje, yah… papa mau mandi dulu..” kata pak Rudi sambil mengacak-acak rambut anaknya.
“Iya, Pa…” katanya kocak. Aku memandang Jimmy.
“Jimmy lagi maen apa?”Tanyaku sambil melihat kearah layar TV.
“Need For Speed…” jawab dia dengan ceria.
“Underground? Carbon?” Tanyaku.
Dia memandangku heran. Dia tersenyum.
“Kok kakak tau.. bisa maen?” tanya dia dengan wajah ceria.
“Tau dong… lo bisa kalah kalo maen sama kakak…” aku melirik kearahnya.
“Beneran….?” Dia melirikku . Oh,… lirikan itu juga mirip…
“Yukk… kita bertanding..” kataku menuju ke depan TV.
“Siapa takut… eh, kalo kalah ada sanksinya, lho…” katanya.
“Apa..” keningku berkerut.
“Ada aja… yuk..”
Aku berusaha dengan keras. Biasanya aku jago maen NFS tapi kini entah kenapa aku ketinggalan jauh. Atau barangkali sudah lama nggak maen. Kulihat Jimmy dengan serius bermain diikuti dengan gerakan badannya. Akhirnya aku kalah.
“Yah… kalah dahhh!!!” aku teriak. Jimmy memandangku dengan wajah puas.
“Apa…?”Tanyaku polos.
“Sanksinya… ayo..” katanya nakal.
“Lo mau gue ngapain?”
“Tutup mata…” katanya. Aku heran.. kuturuti saja.
“Angkat tangannya.. eit… dua-duanya..” katanya ketika kuangkat salah satu tanganku.
Aku berdebar.. mau apa dia…
“Satu… dua…. Tiga…” kurasakan kedua tangan anak itu menggelitik badanku.
“hahahaha… udah.. ampun.. kakak.. nggak bisa.. hahaha…” aku nggak bisa menahan rasa geli. Dia masih saja menggelitik tubuhku sampai aku tertidur di permadani yang menghiasi lantai. Dia masih belum menghentikan aksinya. Kini posisinya sudah duduk di perutku.
“Udah Jim… hahaha.. ampun… plis… hahaha..” mataku mengeluarkan airmata. Perutku sakit karena tertawa. Dia akhirnya berhenti. Tapi posisinya masih duduk di atas perutku dan tangannya dibawah lenganku hampir memelukku. Dia memendang wajahku. Aku bangkit duduk. Sehingga posisinya jadi berhadapan denganku dan otomatis Jimmy jadi terduduk di pahaku. Tangannya masih di bawah lenganku.
“Udah ah… kita main lagi…” kataku padanya.
Jimmy tersenyum. Kemudian dia bangkit. Aku membetulkan kaosku yang sudah kusut.
“Masih mau lagi?” katanya dengan penuh kemanangan.
“Mau dong… kali ini lo pasti kalah..” janjiku. Aku kini dengan serius menghadapinya. Trik-trik yang pernah kupelajari kini kupakai. Kini Jimmy jauh ketinggalan di belakang. Dia berusaha menyusulku tapi nggak bisa. Wajahnya serius.
“Ngalah aja…” kataku dengan nada mengejek.
“Enak aja…” katanya ketus.
“Tinggal 1 lap lagi lho… ayo…”
“Biarin…”
“Horeee… akhirnya… menang!!!” teriakku. Aku jadi tenang. Kali ini balasanku.
Jimmy menatapku dengan muka permohonan.
“Ayo…” kataku
“Apaan…?”tanya Jimmy polos.
“Tutup mata…”
“Plis deh kak… jangan yang itu… yang laen aja… push up, kek… nyanyi, kek… apa aja deh…”
“Nggak… angkat tangan” kataku.
“Kak… “
Dia akhirnya mengangkat tangannya. Matanya terpejam. Aku menjepit hidungnya dengan dua jariku. Lama sekali sampai memerah hidungnya.
“Ahh…… sakit…” katanya. Aku melepaskan jepitanku.
“Sori…” kataku.
“Nggak sakit kok… hehehe..” dia tertawa kearahku. Anak ini…
Andre berbaring di permadani. Menoleh kearahku.
“Kakak hebat… ntar ajarin aku triknya yah…”
“enak aja…” kataku becanda.
“Ntar kalo lo udah tau triknya… kakak bisa kalah… “ sambungku.
“Nggak kok… eh,.. kalo saja kakakku ada, dia pasti menang …” katanya.
“Kakakku hebat, lho..”
“Kakak kamu yang sekolah di Singapore yah? Namanya siapa?”
“Rocky..”
Napasku terhenti..