It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ayoo embat aja koko raoul..
*mulai gelo pkiran gw ckck*
#eh
ini orangnya jauh berbeda sama Raul Lemos... -__-.. Jangan disamain..
ada orangnya ngga ini warung
Btw mau update dulu ah..
di opus I gue make sudut pandang orang ketiga serba tahu (writer point of view), but di chapter ini gue maka sudut pandang 'gue' yaitu Andrew sendiri. Sorry banget ya sudah menunggu..
ANDREW CASSIDY
Ya, nama lengkap gue Andrew Cassidy Tanubrata. Gue sebenernya nggak suka dengan nama Cassidy, seperti nama perempuan. Tapi mau diapain lagi, udah diberikan orang tua.Papa gue orang Cina, sedangkan mama orang Jawa, kesimpulannya gue adalah orang Cina Jawa. Ini sudah 3 minggu berlalu, dan hari ini adalah hari pertama kuliah. Sebenarnya, gue udah masuk mulai 2 minggu lalu karena harus mengikuti serangkaian kegiatan untuk MABA, alias mahasiswa baru, contohnya Padus MABA yang katanya buat wisuda.Lalu ada orientasi kehidupan kampus, yang menurut gue lucu karena benar-benar bukan ospek seperti bayangan gue.Belum lagi ada pra-ospek dari senior di fakultas. And now, gue baru akan benar-benar kuliah.
Gue melangkahkan kaki di depan sebuah lapangan rumput yang besar jam setengah enam pagi. Huh, belum ada orang ternyata. Akhirnya gue memilih duduk pada sebuah batu di bawah pohon beringin yang ada di pinggir lapangan itu.Sejenak, gue memejamkan mata. Sepi….. Adem, karena angin pagi yang berhembus menerpa muka gue.Tiba-tiba gue mendengar suara langkah kaki.Dan gue melihat seorang laki-laki yang sangat tinggi, mungkin sekitar 6’3”, dan bertubuh besar, berambut gondrong sebahu berjalan kearah gue.
“Pagi,” kata laki-laki itu.
“Pagi Fer,” jawab gue malas.
“Pagi banget lo datang. Biasanya agak mepet jam 6,”
“Nggak tau kenapa nih, Cuma excited aja mau kuliah pertama,” percakapan kami berlangsung datar-datar saja. Yang jelas dari percakapan tadi gue mengenal Ferdian sebagai orang yang sangat perfeksionis, suka bermain futsal, dan main trompet.Waktu sudah menunjukkan pukul 7, dan gue belum melihat batang hidung seorang temen gue yang selalu membuat gue stress dengan tingkahnya.Bahakan saat senior sudah mulai mengabsen kami, dia juga belum datang.
“Raoul Chiu….” Teriak salah seorang senior perempuan yang terkesan galak. Dia mengulangi teriakannya itu,
“Raoul Chiu…”
Lalu terdengar teriakan dari belakang gue.“Hadir kak,” Gue langsung menengok ke belakang dan melihat orang itu.
“Telat melulu, udah berapa hari?” sindirku.
“Sialan lo Drew, lo pikir gue mens,” jawabnya.
“Siapa yang bilang lu mens? Dari kemaren lu kan telat terus,”
“Oh, maksud lo itu,” jawab Raoul.Gue hanya bisa mengernyitkan dahi, dan kembali memperhatikan senior itu.Setelah mendengarkan ceramah dari senior yang menurut gue nggak penting, kami semua diantar untuk menuju kelas pertama kami.Gue bersama anak-anak lain berjalan menyusuri jalan utama di fakultas itu.Sepintas gue merasa struktur bangunan fakultas ini sangat aneh, seperti labirin. Entah berapa lama gue akan bisa menghafal seluruh penjuru fakultas ini. Dari lapangan itu gue udah melewati gedung dekanat, yang lantainya dilapisi marmer.Dari gedung dekanat, kami belok kearah kiri, dan di samping kanan, gue melihat gedung tinggi dan di belakangnya terdapat sebuah menara pemancar. Lalu akhirnya gue tiba di gedung lain yang menurut gue paling besar, di antara gedung-gedung yang lain. Lantai dasarnya sangat luas, rasanya bisa main bola di dalam gedung itu.
“Kak ini namanya gedung apa?” tanya seorang perempuan berjilbab.
“Ini Gedung K, sekarang kalian lagi ada di lobby K,” jawab senior laki-laki yang pendek yang sedang membimbing kami menuju ruang kelas. Gue terus berjalan mengikuti arah yang dilalui senior tadi, hingga akhirnya gue tiba di kelas K-103. Dan pelajaran pertama yang gue hadapi adalah kalkulus. Gue bakal suka pelajaran ini, karena dari SMA gue cukup ahli di pelajaran eksak, tapi tidak dengan hafalan.
Tiba-tiba Raoul menghampiri gue, “Drew, gue duduk seblah lo ya. Pokoknya tiap kuliah gue harus duduk di sebalah lo,”
“Eh Raoul lo cari temen dong.Jangan ansos nggak mau kenalan sama yang lain,” jawab gue.
“Yah Drew, siapa sih anak angkatan kita yang nggak kenal gue?”
“Gue tau, lu popular karena ke-sok gantengan lo. Nggak kayak gue, yang popular karena terlalu cool,” jawab gue asal, sambil meletakkan tas di barisan ketiga dari depan. Raoul meletakkan tas di sebelah gue.
“By the way, kemarin lu daftar UKM apa aja?”
“Definitely orkes. Gue nggak bisa hidup tanpa musik. It has been part of my world,”
“Lebay banget sih, bukannya lo nggak bisa hidup tanpa gue?” canda Raoul sambil mengacak-acak rambut gue. Refleks gue langsung memukul tangannya dan berkata,
“Heh, jadi orang pede banget sih. Who do you think you are, man?”
“Tuh kan nyangkal lagi, giliran ada apa-apa pasti larinya ke gue,”
Beberapa saat gue terdiam. Gue berpikir dan memutar otak atas omongan Raoul. Gue sadar selama ini dia selalu ada buat gue, dia selalu menolong gue dari segala kesusahan.
“Selamat pagi anak-anak,” kata Professor McGonnagal, maksud gue dosen tua itu.
“Selamat pagi ibu,” sahut kelas.
“Perkenalkan saya Minerva Yuliwati, dosen dari Teknik Kimia dan akan mengajarkan kalian tentang betapa menyenangkannya kalkulus,” kata dosen itu. Gue dan Raoul saling bertukar pandang dan ingin ketawa saat mengetahui bahwa nama dosen itu Minerva.
“Drew, Minerva McGonnagal tuh,” ejek Raoul.
“Yuliwati kalee.Hahaha, agak kurang sinkron yah namanya,” balas gue.Tanpa sadar ternyata dosen itu memperhatikan kami.
“Kalian berdua,” tegur Bu Minerva, “silakan maju ke depan,” senyum tipisnya mulai mengembang di wajahnya. Sesaat gue memutar otak dan berpikir tentang apa yang akan dilakukan dosen tua itu. Tanpa ragu gue maju ke depan, sedangkan Raoul mengekor di belakang. Ketika kami telah berdiri di depan kelas, dosen itu menulis sebuah soal di papan tulis. Gue mengamati soal itu.Dan ternyata hanya soal perhitungan differensial second-order.
“Kalian,” Bu Minerva menunjuk kami berdua, “coba kerjakan soal ini. Jangan cuma bisa bercanda saja,” dengan penuh percaya diri gue maju ke depan mulai mengerjakan soal itu. Soal tersebut sebenarnya cukup sulit, tetapi karena sudah terbiasa mengerjakan soal seperti itu, gue yakin akan kemampuan gue. Hitung-hitung sekalian membuktikan pada dosen tua pendek itu kalau gue adalah mahasiswa yang cerdas.Ups, jadi sombong deh.Hahahaha.
Gue mengerjakan soal itu dengan lancer, tetapi sejenak gue melirik kea rah Raoul, dia sedang kebingungan. Dia belum menyelesaikan soal itu sama sekali.
“Bu, saya nggak ngerti cara ngerjain soal ini,” cetus Raoul tiba-tiba.
“Ya usaha dong.Puter otaknya,” jawab Bu Minerva ketus.
“Sudah Bu, tapi saya bener-bener blank. Sewaktu SMA kita nggak pernah belajar soal ini,”
“Memang belum pernah, saya hanya mau menguji kemampuan kalian.Coba kamu berusaha sedikit. Lihat teman sebelah kamu, sepertinya dia sedang berusaha,”
“Yah Bu, si Andrew mah emang jenius,” celetuk Raoul lagi, sambil kembali berusaha menyelesaikan soal itu. Tidak lama kemudian gue menyelesaikan soal itu, dan melihat pekerjaan Raoul yang menurut gue kurang benar (bahasa halus dari salah ).
“Kamu,” terdengar suara Bu Minerva “hei, yang masih menulis. Cukup! Sekarang kamu berdiri di sebelah teman kamu,” dia menunjuk gue. Sebelum memeriksa jawaban kami, dia menanyakan nama kami,
“Kamu, yang berbaju biru, nama kamu siapa?” dia bertanya kepada gue
“Saya Andrew Bu,”
“Kalau kamu yang pake baju pink?”
“Saya Raoul Bu,” lalu dia berbalik badan menghadap glass board lalu mengcek jawaban kami. Pertama dia mengecek jawaban Raoul, lalu membuat tanda silang besar.
“Shit Drew, malu gue dibegituin sama nenek sihir,” bisik Raoul
“Husss, jangan ngomong gitu,” dan kemudian Bu Minerva mengecek jawaban gue, lalu dia berbalik badan.
“Good job for Andrew. Brilliant.Saya tidak menyangka ada mahasiswa baru yang bisa menyelesaikan soal ini. Kamu pernah belajar tentang materi ini?” tanya Bu Minerva.
“Pernah Bu, tapi cuma asal tahu saja,” jawab gue.
“Raoul, kamu harus belajar dari Andrew, jangan cuma bisa bercanda saja sama dia,”
“Beres Bu, Andrew kan teman baik saya. Dia pasti nggak akan membiarkan saya ketinggalan pelajaran,” kata Raoul, sambil merangku-rangkul pundak gue. Jujur gue malu saat Raoul merangkul pundak gue di depan kelas, tetapi apa dayague hanya menurut saja. Lalu kami kembali ke tempat duduk masing-masing.
2 jam berlalu, finally calculus is over. Gue akui bahwa Prof. Dr. Ing. Ir. Minerva Yuliwati, M.Eng, demikian gelar lengkap si dosen tua, adalah dosen yang sangat sangat pintar, cerdas, dan mampu mengajar mahasiswanya dengan baik, tetapi soal-soal yang diberikan dia untuk latihan luar biasa sulitnya. Arrrgghh, baru masuk udah dikasih 15 nomer PR yang susah-susah.Belum lagi ada tugas ospek dari senior-senior tercinta.WTH.
Datang juga...