It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hah tak terasa waktu sangat cepat sekali berlalu. Besok adalah hari Sabtu tepat berakhirnya waktu satu bulan yang aku minta dari Mario untuk memberikan jawabanku. Tapi di kepalaku ini keputusan yang tepat masih belum dapat aku temukan. Sepertinya semua terasa begitu gamang untukku. Tentang Mario, tentang Daniel, dan juga tentang hubungan yang akan aku jalani. Aku cuma bisa berharap saat ini, supaya esok aku dapat memberikan keputusan yang tepat untuk semua orang, terutama untuk diriku sendiri.
“Tok tok tok.” Seketika lamunanku buyar mendengar suara pintuku yang diketok dari luar.
“Jo, ni gw Mario. Boleh masuk nggak?”
“Oh, iya yo masuk aja nggak gw kunci kok.”
Setelah mendapat ijin dariku Mario langsung membuka pintu kamarku. Melihat Mario, tiba-tiba saja kebingunganku semakin menjadi-jadi. Pasti ia ingin menanyakan soal keputusanku besok.
“Gw masuk ya.”
“Iya masuk aja Yo.”
“Lo lagi ngapain sih?”
“Nggak ngapa-ngapain kok, cuma nyantai aja di kamar menikmati udara segar.”
“Mana ada menikmati udara segar di kamar. Yang ada kalo mau keluar jalan-jalan. Lagian muka lo keliatan kusut banget.”
“Hah, kusut gimana? Emang buku kusut.”
“Iya beneran deh kaya buku lecek. Hahaha!”
“Sialan lo ah.”
“Gara-gara besok ya?”
“Hah, besok. Mmm nggak kok. Gw beneran cuma lagi nyantai aja kok.” Aku jadi salah tingkah ketika Mario menyinggung soal besok. Ya jawaban yang mungkin telah dia tunggu selama sebulan ini.
“Gw emang lo berharap bisa jawab besok, tapi ya nggak usah ampe stress gini lah. Kaya mikirin ujian aja, padahal kan kuliah lo semester ini dah kelar.”
“Haha, iya. Dibilangin juga gw biasa aja.”
“Yodah, gini aja biar lo nggak stress, mau nggak ikut gw jalan-jalan ntar malam.”
“Hah ke night club? Nggak ah gw takut mabuk lagi.”
“Ya kaga lah, gw cuma mau ke kafe baru temen gw di daerah Cimbeleuit.”
“Oh gitu, gimana yah?”
“Udah, ah lo mah susah banget sih cuma diajak jalan-jalan aje.”
“Hehe, iya deh, tapi pulangnya jangan malem-malem ya.”
“Iya Ntar kita pulang sebelum jam 11 kok Cinderella.”
“Ah sialan lo panggil Cinderella.”
“Abis lo aneh banget pake acara nggak bisa pulang malem kaya Cinderella, padahal kan lo besok libur.”
“Iya cuma hari ini pengen tidur cukup aja biar besok bisa berpikir dengan jernih. Hehehe.”
“Iya deh suka-suka lo aja. Yodah mandi gih, ntar jam 6 gw jemput ke kamar lo ya.”
“Oke deh,gw mandi duluan ya.”
“Iya sono.”
.....................................................................................
“Wah keren amat kafe temen lo, orang kaya ya dia?”
“Nggak juga sih, dia buka kafe ini joint kok ama temen-temen yang lain.”
“Hah, maksudnya modal bersama gitu?”
“Iya gitu, lah. Yuk masuk yuk.”
Setelah selesai memarkirkan motornya Mario mengajakku bergerak masuk ke dalam kafe. Kafe ini cukup besar, di desain dengan padu padan gaya klasik dan modern. Bentuk ruangannya terbuat dari anyaman bambu. Tapi hiasan-hiasan lampu yang glamor, panggung musik, serta pernak-pernik lainnya memberikan kesan modern yang kuat. Suasananya juga sangat cocok dengan kawasan ini, udara yang dingin, tidak terlalu bising, dan sedikit remang-remang memberikan suasana romantis di kafe ini. Sangat cocok buat muda-mudi yang sedang memadu kasih.
“Eh Yo, yo, Gw penasaran ini temen lo kuliah?”
“Bukan, temen di night club.”
“Hah maksud lo...” dengan sedikit memelankan suaraku “gigolo juga?”
“Iya, dulunya?”
“Maksudnya dulunya?”
“Iya sekarang dia dah tobat, mau hidup normal aja. Makanya dia mau buka usaha kafe ini.”
“Oh gitu, wah keren ya dia. Perlu dicontoh tuh Yo.”
“Hehe, dasar lo. Emang kalo tobat kenapa?”
“Ya gak papa, kan bagus aja buat lo. Buka usaha gini pake duit lo kan kayaknya jauh lebih menarik kan. Lagian kalo lo dah tua trus dah nggak laku nanti, kan usaha kaya gini lebih aman kan.”
“Iya gw sadar kok, tenang aja bapak Jonathan.”
“Eh yo, ngomong-ngomong temen lo yang join di kafe ini, yang lainnya maksud gw juga veteran yang insaf?”
“Hmm, nggak semua kok ada juga yang emang dari kalangan biasa, ada juga mantan pelanggan.”
“Hah, gila ya kalian. Tapi bagus juga sih, dari masa lalu bisa membangun bisnis bersama gini. “
“Eh tuh temen gw, sini gw kenalin.”
Seseorang dengan jas rapi yang dipadu dengan celana jeans casual melambaikan tangannya ke arah kami. Nampaknya itu adalah teman Mario. Mario membalas lambaian tangannya dan kami pun bergerak mendekat ke arahnya. Ternyata teman Mario ini, sedikit lebih dewasa dibandingkan kami. Mungkin usianya sekitar 25 tahun. Penampilannya rapi dan kulitnya bersih, rambutnya ikal dan mukanya tampan.
“Woi Rio telat banget lo?” Hah Rio, oh jadi Mario dipanggil Rio ya ama temennya ini. Bisa juga sih hehehe. Mungkin besok-besok aku bisa panggil dia Rio terdengar lebih akrab.
“Iya Ga sorry, biasa jalanan Bandung macet Jumat malem gini.”
“Hahaha, Yu lah duduk.”
“Iya, eh Ga ni kenalin temen gw, Jonathan.”
“Oh ini, Jonathan. Hai gw Arga.” Dia menyodorkan tangannya untuk memberikan salam perkenalan padaku. Dengan cepat aku langsung mebalas salamnya.
“Hai, gw Jonathan. Panggil aja Jo.”
“Mario sering banget lo cerita tentang lo.”
“Oh iya ya, pasti yang buruk-buruk ya.”
“Hahaha, nggak kok dia ceritanya yang bagus-bagus mulu tentang lo."
“Tuh kan lo mah, berprasangka buruk sih ama gw.”
“Hahaha, yodah yuk masuk. Gw dah booking in tempat buat kalian. Yuk gw tunjukin.”
Kami pun bergerak mengikuti Arga yang sedang menunjukkan meja kami. Sejenak terpikir olehku tentang ucapan Arga tadi. Mario cerita apa ya tentang aku ke Arga?
“Yo lo cerita apa tentang gw?”
“Ada deh. Mau tau aja.”
“Eh ya iyalah mau tau, orang lo ceritanya tentang gw.”
“Hahaha, udah tenang aja. Kan tadi juga si Arga bilang critanya tenatang yang baik-baik.”
“Iya sih, tapi kan penasaran. Eh btw si Arga Ok juga Yo.”
“Kenapa lo suka?”
“Hahaha, cemburu ya. Gw kan cuma bilang dia OK.”
“Ye siapa juga yang cemburu.”
“Bener nggak cemburu, ya udah lah gw sama si Arga aja. “
“Yodah sono, tapi kan si Arganya belum tentu mau ama lo.”
“Hehehe, iya lagian gw becanda kale.”
“Nih di sebelah sini.”
Kami berdua pun langsung duduk di meja yang sudah ditunjukkan Arga. Nampaknya Si Arga juga ikut bergabung bersama kami. Dia duduk di sebelahku.
“Eh Ga kamar mandi di sebelah mana?”
“Oh tuh di ujung belok kiri.”
“Gw ke WC dulu ya.”
“Iya, sip. Biar gw temenin Jo dulu.”
Setelah meletakkan jaketnya di kursi, Mario pun segera berlalu ke kamar mandi. Nampaknya hasratnya untuk buang air sudah tidak tertahankan.
“Dia serius lo sama lo.” Tiba-tiba saja Arga yang duduk di sampingku memulai pembicaraan.
“Hah maksudnya Ga?”
“Iya, gw dah tau tentang cerita kalian berdua. Si Mario selalu cerita ke gw.”
“Oh.”
“Tenang, rahasia kalian aman kok ama gw. Lagian gw tuh sebenernya temen kecilnya Mario. Dari kecil kita sering main bareng. Terus sempet pisah pas SMP. Eh tapi ternyata setelah lulus SMA kita ketemu lagi. Ya walopun ketemunya di tempat yang salah. Kita ketemu di night club.”
“Oh jadi kalian udah lama kenal ya. Pantes gw ngeliat kalian akrab banget.”
“Ya gitulah, tapi bener lo dia serius ama lo soal dia suka ama lo.”
“Maksudnya serius gimana?”
“Iya dia bilang kalo lo mau nerima dia, dia mau berhenti jadi gigolo.”
“Hah, beneran?”
“Iya, gw sebagai sahabat dia udah beribu-ribu kali mungkin bilang ke dia supaya berhenti. Tapi nggak pernah dia dengerin. Tapi sekarang baru sebentar ketemu lo aja dia mau berhenti. Lo tuh kaya obat penyembuh dia lah pokoknya. Bikin dia semangat lagi buat jadi lebih baik. Bahkan malem ini rencananya dia mau gabung di bisnis kafe ini. Ya kata dia, sebagai langkah awal buat hidup normal.”
Aku hanya bisa, terbengong mendengar semua penjelasan Arga. Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya tiba-tiba saja tidak dapat aku dengarkan dengan jelas. Pikiranku melayang ke keputusan yang akan aku berikan besok. Ternyata keputusan itu bukan cuma menyangkut hidupku, tetapi juga masa depan Mario ke depannya. Tentu saja aku ingin sekali Mario berhenti dari pekerjaannya dan memulai hidup yang normal. Tapi itu berarti aku juga harus menerima Mario sebagai bf ku. Sesuatu yang masih belum aku yakini saat ini. Tapi memang tidak adil rasanya jika aku terus ragu akan keputusan ini. Aku ingin kalaupun aku menerima Mario tidak ada lagi keraguan, supaya aku bisa menjalani hubunganku denganya dengan sepenuh hati.
“Jo, ..jo!”
“Eh sorry-sorry kenapa Ga?”
“Kok lo ngelamun sih padahal gw ngomong panjang lebar.”
“Sorry, tadi tiba-tiba aja kepikiran sesuatau.”
“Waduh asik banget ngobrolnya kalian.” Tiba-tiba saja Mario datang dari arah belakangku.
“Haha iya Yo, ngobrol kecil lah sama si Jo.”
“Ngobrol apa hayo, jangan cerita yang nggak-nggak ya ama si Jo.”
“Nggak kok, iya kan Jo.”
“Eh, iya nggak kenapa-napa kok.”
Mario pun tersenyum kepadaku, kemudian dia mengacak-acak rambutku seperti anak kecil. Senyum Mario itu sangat manis, aku benar-benar tidak ingin senyumannya hilang apalagi jika itu karena aku. Tapi aku tidak bisa terus bimbang seperti ini. Satu-satunya hal yang masih membuatku bimbang adalah perasaan Daniel. Yah, aku harus memastikan perasaan Daniel ke aku sebelum aku memeberikan keputusanku pada Mario. Besok pagi aku harus bertemu dengan Daniel untuk membicarakan ini semua.
pasti ditunggu...tp jangan lama2 yah updatenya @stephen_frans