It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pagi ini begitu cerah, hangatnya sinar mentari pagi menelisip masuk ke kamarku lewat jendela kaca dan membangunkanku dari tidur lelapku. Ah sepertinya semalam aku terlalu lelah sehabis menghadiri acara pembukaan kafe baru teman Mario. Bahkan sekarang aku tidak ingat bagaimana proses dari aku sampai di kosan hingga aku tertidur. Hari ini adalah waktunya, waktu dimana aku harus memberikan keputusanku kepada Mario. Ah aku teringat satu hal, semalam aku belum sempat membuat janji dengan Daniel untuk bertemu dan menanyakan kepastian tentang perasaannya sesungguhnya. Hal ini begitu penting untukku, sebab aku harus yakin dengan keputusan yang akan aku berikan pada Mario hari ini. Tidak boleh ada penyesalan di kemudian hari.
Dengan sedikit berat karena rasa lelah yang masih terasa, aku mencoba merayap dari tempat tidurku untuk menggapai telepon genggam ku yang terletak di meja dekat kasurku. Hah ternyata ada satu pesan masuk. Setelah kubuka ternyata pesan itu dari Daniel. Ada apa ya? Aku memang ingin menghubunginya tapi kenapa malah jadi Daniel yang menghubungiku terlebih dulu.
Jo, ada waktu nggak hari ini? Aku mau ketemu donk sama kamu sebelum kamu ketemuan sama Mario? Ada yang mau aku omongin.
Hah, ternyata Daniel berniat untuk bertemu denganku. Yah aku pikir waktunya tepat, aku juga ingin menyampaikan sesuatu padanya. Tapi apa ya kira-kira yang ingin Daniel sampaikan padaku. Ah kali ini aku tidak mau banyak berharap. Aku hanya ingin memastikannya ketika bertemu dengan dia nanti.
Bisa Dan, sambil makan siang aja gimana? Aku juga ada yang mau diomongin
Kayaknya mending pagian deh, aku pengen ketemuan di kampus aja. Mumpung libur kan sepi jadi enak ngobrolnya.
Oh Okelah, jam 10 gimana? Aku baru bangun soalnya.
Oke jam 10 di Bengkok ya.
Jam 10 berarti yang harus aku lakukan sekarang adalah buru-buru mandi. Karena sekarang tepat jam 8.30. Aku harus memperhitungkan juga waktu sarapan. Tanpa mau berlama-lama membuang waktu aku langsung menyambar handukku dan juga alat mandiku. Setelah semua perlengkapan di tangan aku langsung menuju kamar mandi.
“Jo!”
Tiba-tiba saja seseorang memanggilku dari arah dapur. Benar saja, ternyata Mario yang memanggilku. “Sebentar ya Yo aku harus memastikan sesuatu dulu sebelum bisa ngasi keputusan ke lo.” Kataku dalam hati. Entah kenapa ketika melihat Mario hal itu yang terpikirkan olehku.
“Buru-buru amat kebelet ya.”
“Nggak ada janji ama si Daniel jam 10, gw belum siap-siap.”
“Oh, nanti lo ada waktu jam berapa Jo?”
“Mungkin malem Yo gimana, sekalian kita makan malem.”
“Oh oke deh, nanti kalo lo dah kosong SMS gw aja ya.”
“Okeh, duluan ya Yo. Mpe ketemu ntar.”
Setelah perbincangan singkat dengan Mario, aku langsung bergegas menuju kamar mandi.
.....................................................................................
Hah untung saja aku memperhitungkan waktuku dengan baik, alhasil sekarang jam 10 tepat aku sudah berada di kantin Bengkok. Tapi nampaknya Daniel belum datang. Suasana kantin ini sangat sepi, hanya aku yang ada di kantin ini sekarang. Berbeda dengan hari kuliah, di hari kuliah tepat pada jam yang sama kantin ini selalu ramai dipadati mahasiswa yang ingin makan ataupun hanya sekedar berkumpul dan berbincang.
Setelah sekitar 10 menit menunggu akhirnya aku bisa melihat Daniel dari kejauhan. Ia mengenakan jaket putih kesukaannya dan sekarang melambaikan tangan ke arahku. Aku tidak membalas lambaian tangannya. Aku ingin berpura-pura kesal karena dia datang terlambat.
“Aduh sorry-sorry Jo, tadi macet di Cisitu.”
“Jam berapa ini bang.”
“Iya, kan gw dah minta maaf. Masa lo ngambek sih.”
“Hahaha, iya-iya becanda gw.”
“Ah lo dasar.”
“Ada apa sih Dan, tumben banget lo ngajak ketemuan gw libur-libur gini.”
“Oh, nggak sih pengen ngomong sesuatu aja ama lo.”
“Ya udah kan sekarang gw dah disini, mau ngomong apa?”
“Lo ntar kapan ketemuan ama Mario?”
“Oh soal itu, kayaknya ntar malem deh. Tadi sih gw dah janjian ama Mario.”
“Oh gitu, hmm. Lo baik-baik ya disini.”
“Ah maksud lo apaan sih, kaya kita mau pisah aja. Kan kita masih punya 3 tahun disini. Itu pun kalo lulus tepat waktu. Kalo nggak bahkan lebih hehehehe.”
“Hehehe. Hmmm. Sebenernya gw mau pamitan ama lo Jo.”
“Hah maksud lo pamit gimana, lo mau ke Jakarta liburan ini?”
“Bukan gitu maksud gw. Gw dapet beasiswa ke Australi Jo.”
Bak disambar petir rasanya aku mendengar ucapan Daniel barusan. Beasiswa ke Australia. Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan. Apakah aku harus ikut senang karena kesuksesan Daniel. Tapi itu berarti aku akan berpisah dengan Daniel. Aku tidak akan bertemu dengannya lagi dalam jangka waktu yang lama. Aku tidak akan bisa bercanda lagi dengannya. Aku bahkan tidak akan bisa lagi melihat senyuman manis Daniel. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Kenyataan ini terasa terlalu mendadak untukku. Daniel tidak pernah menyinggung soal ini sebelumnya.
“Jo kok lo diem sih.”
“Oh, sorry-sorry. Ya baguslah Dan kok lo ngomongnya malah lesu gitu sih.”
“Maksud lo bagus kita berpisah.”
“Ya nggak kali, kan Australia nggak jauh-jauh amat. Lagian kan ada skype, yahoo, fb buat kita komunikasi.”
Ingin rasanya aku menangis. Tapi aku tahu aku tidak boleh menampakkan kesedihanku. Karena pastinya mendapatkan beasiswa ke Australia adalah kesempatan yang luar biasa untuk Daniel. Aku harus mendukungnya dengan penuh semangat, walaupun aku harus menahan perasaanku yang sebenarnya.
Daniel hanya diam memandang tajam ke arah mataku. Ia seperti mencari sesuatu dari tatapan mataku. Aku mengalihkan perhatianku aku takut kalau dia bisa melihat perasaanku sebenarnya. Hatiku yang sedih harus berpisah dengan sahabat terbaikku, hatiku yang sedih harus berpisah dengan orang yang jujur sangat aku cintai.
“Ntar kalo lo dah di Ausi gw.......”
Tiba-tiba saja Daniel memelukku. Entah bagaimana menggambarkan perasaanku saat itu. Jantungku berdebar sangat kencang, rasanya nyawaku ini keluar dari ragaku. Sejenak aku benar-benar terdiam seperti batu hanya pelukan Daniel yang bisa aku rasakan. Pelukan yang begitu erat hingga aku agak susah bernafas. Rasanya saat ini aku tidak bisa menahan perasaanku lagi. Air mataku yang sejak tadi aku tahan akhirnya keluar juga. Keluar begitu deras hingga aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Seakan ingin menggambarkan perasaanku saat ini yang benar-benar kalut.
“Dan ...”
“Nggak apa ya gw peluk lo sebentar. Gw bener-bener sayang ama lo Jo.”
“Iya nggak apa kok Dan, gw juga sayang ama lo.” Dan aku pun membalas pelukannya. Setahun aku berteman dengan Daniel, tapi entah kenapa di saat perpisahan inilah aku benar-benar merasa begitu dekat. Rasanya tembok yang sejak dulu menjadi penghalang benar-benar hilang. Aku peluk Daniel seerat yang aku bisa, aku tidak peduli kalaupun ada orang yang melihat kami saat ini. Aku hanya ingin menumpahkan semua perasaanku yang aku pendam selama ini. Paling tidak di saat ini, saat yang mungkin terakhir bagiku untuk menumpahkan perasaanku ke Daniel.
Setelah beberapa menit Daniel memelukku dan kita berdua lebih tenang, Ia melepaskan pelukannya. Aku memandang wajahnya baik-baik. Ternyata dia juga menangis, matanya masih basah. Apapun arti air mata itu, tapi aku tetap menyayangi Daniel, baik sebagai sahabatku maupun sebagai orang yang aku cintai.
“ Lo baik-baik ya disini sama Mario.”
“Iya, lo kenapa nangis Dan?”
“Kalo nanya liat diri sendiri dulu donk Jonathan. Matanya bengkak gitu,”
Katanya sambil mengacak-acak rambutku.
“Lo kapan berangkat Dan?”
“Sebulan lagi Jo, tapi hari ini gw mesti balik ke Jakarta. Besok gw mau mulai ngurus visa ama persiapan lainnya.”
“Kok lo cepet banget sih Dan perginya.”
“Iya Jo, soalnya masih banyak yang belum gw urus.”
“Iya nggak apa kok Dan, ini juga kan demi masa depan lo. Gw Cuma kaget aja karena lo nggak pernah cerita apa-apa sebelumnya.”
“Iya sorry Jo, sebenernya gw daftar beasiswa ini udah dari tahun lalu. Cuma gw ga terlalu banyak berharap. Tapi ternyata gw diterima.” ... “Eh Jo katanya tadi lo mau ngomong sesuatu juga apa?”
“Oh nggak kok nggak ada apa-apa Dan.”
Aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya pada Daniel. Lagipula walaupun sekarang aku masih belum tahu apa perasaan Daniel sebenarnya kepadaku. Tapi aku sudah yakin tentang keputusan yang akan aku berikan pada Mario.
“Yak nggak ada apa-apa?”
“Iya yakin kok.”
“Ya udah lo dah beres-beres belom?”
“Belum sih rencana hari ini gw mau beres-beres.”
“Ya udah gw bantu lo ya.”
“Tapi kan lo ada janji ama Mario.”
“Kan masih ntar malem, udah yuk nggak apa kok.”
“Thank ya. Tapi nggak apa kok gw bisa beresin semuanya.”
Daniel memegang kedua pundakku dengan tangannyal. Aku melihat wajahnya, dan ia hanya tersenyum manis kepadaku. Senyum yang selalu membuatku begitu mengaguminya. Senyum yang mungkin akan selalu aku rindukan. Senyum yang entah kapan bisa aku temui lagi.
“OK?”
“Iya Dan, lo baik-baik ya di Ausi nanti.”
“Pasti, gw ga akan lupa ngehubungin lo kok nanti. Tiap hari, tapi lo juga jangan lupa ngehubungin gw ya.”
“Iya, Dan pasti. Tapi gw boleh anter lo kan paling nggak sampe pintu gerbang belakang.”
“Iya boleh lah. Masa nggak boleh.”
“Terus rencana lo bakal berapa lama Dan disana?”
“Hmm ya mungkin 4 tahun Jo, tapi setiap liburan gw bakal pulang kok, n gw pasti ke Bandung buat ketemuan ama lo.”
“Haha, bener ya Dan. Awas lo kalo ampe lupa.”
“Iya. Eh Jo ni file foto kita yang waktu osjur, katanya lo mau kopi kan.”
“Iya, tapi gw ga bawa laptop Dan.”
“Ya udah bawa aja flashdisk gw.”
“Terus gimana caranya gw balikin ke lo.”
“Udah bawa aja flashdisknya. Anggep aja ini kenang-kenangan dari gw.”
“Hah, oke deh.”
“Ntar pas cari fotonya, loliat-liat aja dulu file lain. Gw nyimpen beberapa foto bagus kok lo mesti liat.”
“Ok Dan, tapi lo emang ga pamitan dulu ama yang lain?”
“Udah kok kemarin.”
“Hah, dan lo ngasi tau gw setelah yang lain. Katanya sahabat, masa dikasi tau paling belakang.”
“Soalnya gw maunya ngasi tau lo dengan cara yang spesial.”
“Alah lo mah alesan.”
“Jadi ga suka nih dikasi tau dengan cara yang spesial.”
“Udah udah ga usah dibahas kita dah nyampe di pintu belakang nih.”
“Ya udah gw pergi dulu ya Jo. Soal keputusan lo ama Mario.”....”Gw Cuma berharap yang terbaik buat lo aja Jo.”
“Hehe, iya Dan gw tau kok. Gw juga bakal kasi keputusan yang tepat ntar malem.”
“Sorry ya buat semuanya, sorry karena gw ga bisa bicara jujur tentang banyak hal. Tapi makasih karena lo jadi sahabat terbaik gw.”
“Gw rasa lo dah jujur kok tentang banyak hal, yang terpenting kita bisa jadi sahabat baik itu udah anugerah buat gw.”
“Hehe, Ya udah gw pergi dulu ya.”
Sekali lagi dia merangkulku, kali dengan lembut. Pelukan perpisahan yang rasanya benar-benar mengiris hatiku ini. Hati yang selama ini aku simpan untuknya.