It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
zzzzz zzzzz zzzzz gmn si... nulis ndiri masa lupa hahahaha )
gud stoyi btw.
Jangan lama2 dong klu posting cerita...!!
Penasaran ne,gimana perasaan daniel yang lagi galau dpt first kiss dari cowok...!!.
Nggak apa2...!!
Moga UASnya hasilnya memuaskan...
Ah akhirnya selesai juga ujian kalkulus ku hari ini. Sesuai dugaanku dari 5 soal hampir semuanya pernah dibahas di buku kumpulan soal yang aku pelajari. Alhasil aku tidak perlu terlalu keras berpikir untuk mengerjakan soal kalkulus kali ini. Mmm, tapi bagaimana dengan Daniel ya. Seharusnya dia juga tidak terlalu sulit mengerjakan ujian kali ini karena semuanya sudah kita bahas sewaktu belajar bersama semalam. Sebaiknya aku tanyakan untuk memastikannya, tapi itu berarti aku harus menunggu sebentar. Ya aku bisa dibilang selesai paling awal dibandingkan teman-teman sekelasku. Hal ini bukan semata karena otakku yang encer sehingga aku bisa menyelesaikan soal dengan cepat, tetapi juga karena aku tidak suka memeriksa ulang jawaban ujianku dan berlama-lama di ruang ujian. Aku yakin banyak mahasiswa lain yang sudah selesai mengerjakan soal, tetapi sebagian besar dari mereka lebih suka menunggu di dalam ruang ujian hingga waktu habis. Daniel adalah salah satu mahasiswa yang demikian, jadi sekarang aku harus sedikit bersabar menunggunya.
Setelah menunggu sekitar 15 menit akhirnya mahasiswa yang ada di dalam ruang ujian mulai berhamburan keluar, sepertinya waktu ujian sudah habis.
“Woi, Jo gila lo sukses ya ujiannya cepet gitu selesainya.”
“Semoga ko, lo gimana?”
“Lumayan lah ga susah amat kaya pas kuis kemarin.”
“Liat si Daniel ga?”
“Tadi ada di belakang gw kok, cuma dia bilang mau pulang buru-buru.”
“ Emang kenapa?”
“Kaga tau, orang dia cuma bilang gitu. Lo mau ikut rapat panitia akbar ga hari ini?”
“Ah males ah, paling juga gw cuma jadi kambing congek.”
“Yodah deh kalo gitu gw duluan, jadi kambing congek ga apa yang penting ada snack gratis, hahah”
“ Yodah, gw ke WC dulu ya, bye”
“Bye”
Aneh sekali, tidak biasanya Daniel pulang buru-buru seperti ini. Apakah ini ada kaitannya dengan kebodohanku semalam ya. Perasaanku yang sempat tenang sekarang mulai gelisah lagi. Karena berjalan sambil setengah melamun, di pintu masuk kamar kecil hampir saja aku menabrak seseorang. Hah, Daniel. Ternyata dia buru-buru pulang untuk ke kamar mandi bukan menghindariku.
“Daniel”
“Eh Jo”
“ Gimana ta..”
“Gw pulang duluan ya Jo, buru-buru soalnya.”
Belum sempat aku menanyakan bagaimana ujian kalkulusnya dia sudah berlalu pergi. Aku salah, ini hanya kebetulan saja aku bertemu Daniel di kamar kecil. Dia memang menghindariku. Sikapnya barusan benar-benar memastikan bahwa dia mengetahui kebodohanku semalam dan sekarang dia menjauhiku. Mungkin dia jijik dengan temannya yang menyukai sesama jenis ini. Ya, itu wajar kok. Aku tidak bisa menyalahkannya dalam masalah ini. Semua memang salahku, salahku dalam ketidak sempurnaanku ini.
.......................................................................
Akhirnya aku sampai juga di kosan. Satu jam terjebak macet yang biasanya aku lalui dengan biasa saja, hari ini terasa begitu berat. Ya, semua ini karena beban berat yang ada di hatiku saat ini. Kubuka pintu depan kosanku dengan semangat yang hampir habis. Rasanya aku ingin segera sampai di kamar dan merebahkan badanku. Semua beban pikiran dan hatiku saat ini benar-benar menguras tenagaku. Sampai di depan dapur tiba-tiba ada sesorang memanggilku.
“ Jo!”
“Eh halo Yo.” Mario ternyata, melihat dia membuatku teringat dengan masalah lain yang juga belum terselesaikan dan sepertinya belum bisa aku tanyakan saat ini. Aku harus menenangkan pikiranku dulu saat ini.
“Jo, lo kok lesu banget gitu. Ujiannya susah ya?”
“Nggak kok, cuma capek aja. Gw ke kamar ya yo mau rebahan”
“Oh ya udah gw ikut ya, ntar sekalian gw pijitin lah, kan lo cape. Lagian kemarin-kemarin kan gw belum sempet mampir ke kamar lo.”
Hah kenapa sikap Mario tiba-tiba normal kembali, seperti tidak pernah ada masalah sebelumnya. Tapi soal permintaannya itu. Sebenarnya saat ini aku benar-benar ingin sendiri, karena aku pikir tidak ada tempat ku bisa berbagi masalah yang aku hadapi saat ini. Tapi kalau aku menolak aku tidak tahu harus berbicara apa untuk menolakknya.
“Udah lah ga usah banyak mikir, ayo naik-naik. Cuma mau main ke kamar lo aja kaya ditawarin mau nikah banyak mikir.”
“ Eh tapi yo..”
“Udah ayo cepet”
Mario kemudian menarik tanganku dan bergerak ke atas. Anak ini memang susah untuk dilawan jika sudah memiliki suatu kehendak. Ya sudahlah, mungkin dengan mengobrol bersama Mario bisa sedikit meringankan bebanku.
“Kamar lo rapi banget ya ternyata, rajin beberes ya?”
“Ah ga juga, cuma karena emang barang gw ga terlalu banyak jadi keliatan lebih lega aja.”
Aku pun meletakkan tasku dan merebahkan badanku di atas kasurku.
“Lo ada masalah ya?”
“Hah, enggak kok yo. Cuma cape aja.”
“Udah ga usah boong lah, keliatan banget kok.”
“Hah masa, emang keliatan gimana?”
“Tuh kan bener.”
“Ah lo tuh emang ga bisa dilawan ya.”
“Hahaha, yodah sekarang cerita lah.”
“Ga bisa yo, ga bisa diceritain.”
“Semua masalah pasti bisa diceritain lah, lo bisa percaya kok ama gw.”
“Yang ini ga bisa Yo, beda sama masalah biasa.”
“Paling soal cinta kan.”
Mario ini memang paling susah dilawan. Cepat atau lambat pasti dia bisa membuatku bicara. Sebelum itu terjadi aku harus terlebih dahulu membuat dia bicara tentang peristiwa beberapa hari lalu. Lagipula mungkin ini waktu yang tepat juga untuk mengklarifikasinya.
“Ok deh sekarang gw mau nanya sesuatu dulu ke lo.”
“Sok tanya aja?”
“Lo inget kan, malam pas ulang tahun Bang Yos di Ciwidey?”
“Loh kan kita ga ikut?”
“Iya lo inget kan?”
“Iya emang kenapa?”
“Sebenernya waktu itu gw ga cuma turun ke kamar mandi buat cuci muka, tapi...”
“Tapi lo ke kamar gw?”
“Hah, lo tau ya.”
“Iya lah gw tau, waktu itu kan pintu kamar ga gw tutup supaya tau kalo ada orang masuk ke kosan.”
“Kenapa lo harus tau kalo ada yang masuk ke kosan?” Pertanyaanku secara tidak langsung ingin mengarahkan jawabannya.
“Ya, lo dah tau kan alasannya.”
Memang Mario benar aku sudah tau alasannya, tapi yang membuatku tidak habis pikir mengapa dia sesantai ini menanggapi masalah ini. Ini bukan masalah seorang anak kecil yang kepergok mencuri uang mamanya. Ini jauh lebih serius dari itu. Kenapa dia bisa semudah ini menanggapinya.
“Jadi bener lo..”
“Gay”
“Hmm.”
“Iya, terus?”
“Hah? Terus? Lo ga ngerasa ada yang salah?”
“Salah? Nggak.”
“Lo nggak takut gw bereaksi sama pengakuan lo ini?”
“Sebenernya banyak kok yang udah tau dan biasanya gw emang terbuka soal status gw. Cuma karena gw ga tau apa di kosan ini orang bisa nerima gw apa nggak, makanya gw masih nyembunyiin status gw.”
“Trus kenapa sekarang ngaku ke gw?”
“Karena gw tau status gw aman sama lo.”
“Hah, kenapa lo seyakin itu?”
“Kalo mau tau jawabannya, sekarang lo cerita masalah lo ke gw.”
“Hah apa hubungannya?”
“Udah cerita aja kalo mau tau.”
Aneh sekali memang permintaan Mario ini. Tapi sedari awal semua tentang Mario memang misterius untukku jadi sekarang pun tidak ada bedanya.
“Oke gw lagi ada masalah ama temen gw.”
“Temen lo yang kemarin nginep disini kan?”
“Hah, kok lo tau?”
“Udah lanjut dulu”
“Iya dia tuh sahabat baik gw. Tapi gak sengaja gw buat salah ke dia.”
“Salah apa?”
“Gw belum bisa bilang Yo.”
“Yakin ga sengaja?”
“Maksud lo?”
“Kayanya kesalahan lo itu sesuatu yang disengaja dan terencana deh.”
Kaget aku mendengar pernyataan Mario barusan. Kenapa dia seolah tau dengan detail masalah yang sedang aku hadapi sekarang. Sementara aku yakin cuma aku, mungkin Daniel dan Tuhan yang tau masalah ini.
“ Lo tau dari mana Yo”
“ Lo nyium dia kan?”
“Gw..”
“Gw liat kok”
“Hah mana mungkin lo liat?”
“Gw bisa liat karena kamar lo ga dikunci, ternyata lo sama teledornya ama gw.”
Sekarang aku baru ingat. Ternyata bayangan yang terlihat di depan pintu malam itu bukan bayangan Bang Rendi yang pulang dai kantornya. Tetapi Mario yang sedang mengawasiku dari luar.
“Lo ngintip gw?”
“Mmm, kan lo duluan yang ngintip gw.”
“Tapi kan gw ga sengaja.”
“Apa bedanya. Ya udah yang penting kan sekarang kita udah sama-sama tau tentang status kita. Jadi sekarang lo bisa cerita masalah lo ke gw.”
“Tapi tetep aja ga sopan kali sengaja ngintip.”
“Udah sekarang mau cerita nggak?”
Aku tidak tahu bagaimana perasaanku seharusnya saat ini. Apakah aku harus takut karena sekarang selain aku dan Tuhan ada orang lain yang tahu tentang statusku. Atau aku harus senang karena sekarang paling tidak ada orang yang bisa menerimaku apa adanya tanpa ada kepura-puraan. Tapi saat ini memang aku sedang membutuhkan seorang teman untuk berbagi masalahku ini.
“Oke kan sekarang lo dah tau kan maslah gw. Terus gimana menurut lo?”
“Lo suka ma dia?”
“Mmmm, mungkin.”
“Terus dia tau?”
“Tadinya nggak, tapi setelah kejadian semalam trus dia tahu. Mungkin sekarang dia tahu perasaan gw. Tapi dia sekarang ngejauhin gw.”
“Trus ada yang salah?”
“Nggak sih itu reaksi yang normal. Tapi dia sahabat baik gw Yo.”
“Sahabat yang sejati pasti bisa nerima sahabatnya apa adanya kok. Jadi lo tunggu aja, karena menurut gw sekarang dia butuh waktu.”
“Iya juga sih Yo.”
“Udah sekarang lo rileks, dah. Sini-sini gw pijitin.”
“Eh, gak mau. Gw ga suka dipijit sakit.”
“Udah sekarang lo diem aja pijitan gw dijamin ga sakit kok.”
Lagi-lagi dengan pemaksaan Mario berhasil menyalurkan kehendaknya terhadap gw. Entah kenapa walaupun sebenarnya aku bisa saja melawan, tapi sikap Mario yang begitu baik membuatku menurut saja apa katanya. Lagipula tidak ada salahnya pikirku mencoba pijitannya.
“ Lo sejak kapan Yo tau kalo lo beda?”
“Mmm sejak SMA mungkin. Kalo lo?”
“Sejak SD, kelas 6.”
“Buset trus lo bisa nyembunyiin status lo selama jangka waktu sepanjang itu?”
“Iya, soalnya gw takut.”
“ Sekarang siapa yang sakit?”
Aku hanya bisa tersenyum kecut.
“Terus cowo lo, yang lo bawa kesini kemarin, udah lama lo berhubungan ma dia?”
“Dia bukan cowo gw kok, cuma ketemu aja di club.”
“Hah, cuma ketemu terus lo segampang itu ML ma dia.”
“Nggak ada salahnya kan toh sama-sama seneng. Terus gw dibayar.”
“Hah dibayar? Maksudnya, jadi gigolo gitu?”
“Kurang lebih gitu lah.”
Aku kaget dan sekarang terduduk menghadap dia. Pergerakanku ini menghentikan aksi memijit Mario.
“Kenapa lo bisa sampe segitunya?”
“Jelas lah masalah ekonomi, terus pas gw SMA bf gw ngajarin cara beginian buat cari duit.”
“Trus kenapa lo mau?”
“Gw ga punya banyak pilihan waktu itu, bonyok gw meninggal pas gw kelas 1 SMA waktu mudik ke Cirebon pas lebaran.”
“Oh sorry ya Yo.” Sekarang aku mulai merasa tidak enak hati melanjutkan pembicaraan ini. Aku takut mengorek luka hati Mario. Aku pun kembali mengambil posisi tengkurap dan Mario melanjutkan memijitku.
“Waktu itu gw sebagai anak pertama harus bisa ngidupin dua adik gw yang masih SMP, jadi mau nggak mau ini pilihannya.”
“Nggak usah dilanjutin Yo, gw dah ngerti kok sekarang.”
“Nggak apa lah sekalian gw curhat.”
“Terus kenapa sekarang lo nggak cari kerja aja?”
“Jaman sekarang kalo cuma lulus SMA mana bisa dapet kerjaan. Lagian gw pikir gampang juga kok ngejalanin kerjaan yang sekarang. Ya paling
nggak sampai gw dapet kerjaan yang jelas.”
“Tapi kan kemarin bahaya banget Yo. Kalo yang mergokin yang lain gimana? Kenapa gak di hotel aja?”
“Kalo di hotel otomatis bayaran gw berkurang, karena bakal dipake bayar hotel sebagian. Lagian waktu itu gw pikir kosan sepi kan. Jadi gw bilang aja ke dia buat ngasi duit hotel ke bayaran gw karena gw nyediain tempat. “
“Oh gitu, tapi sebaiknya lo mesti pikirin kemaaanan lo juga.”
“Enak ga pijitan gw?”
“Enak kok Yo.”
“Lo tertatrik?”
“Nggak lah gila lo.”
“Haha, tapi kalo ke night club mau kan?”
“Hah, nggak ah serem.”
“Kadang banyak yang ganteng juga lo. Or at least lo bisa nenangin pikiran disana. Banyak hiburannya.”
“Ehh, tapi serem aja Yo. Ntar lah gw pikir-pikir.”
“Okelah kalo, lo pengen nyobain bilang aja ke gw. Ntar kita pergi bareng.”
“Emang dimana?”
“Udah ntar aja kalo lo minat. Dah ah mijitnya, keenakan lo. Gw mau mandi dulu ya.”
“Haha. Iya thank ya Yo. Gw lumayan baikan sekarang.”
“Siip lah, gw turun ya.”
Mario pun berlalu turun dengan sebuah senyuman manis di bibirnya. Ternyata di balik sikapnya yang misterius Mario itu, dia menyembunyikan masa lalunya yang pahit. Tapi aku bangga dengan orang seperti dia. Walaupun aku merasa jalannya salah, tapi dia berani dan kuat menghadapi dunia ini. Yang paling penting adalah dia nggak pernah membuang mimpinya untuk kembali hidup dengan layak, buktinya dia tetap kuliah sampai saat ini dengan mimpi suatu saat dia bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak. Satu pelajaran berharga hari ini adalah masalahku sekarang ini tidak ada apa-apanya dibanding masalah Mario. MARIO.