It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hehehe, di tunggu saja yahhh ^_^
heheheeyyy, sabar2 mas bro...
lgi iseng aja gw hehehe ^_^
@renlyRain :-O :-O :-O tegaaaaaaaaaa.....
hehehe, masih rencana kak...
masih mngkin berubah gkgkgkgk
renly is back ^^...
lets continue this ^^
Masih inget renly gag ^^ masih inget cerita ene gag , hmmm... pasti udh pada lupa semua T_T hiks. . . .
Tapi ywdlah,,, ren emg salah, kayaknya seabrek tugas yg menyambut renly di semester 2 prkuliahan tknik sipil emang gag bisa jadi alasan men-terbengkalai-kan cerita ini... huhu...
Well... just wanna finish what i’ve been started (bner gag grammarnya??? ^^ hihi)....
Ren mw lanjutin 2 eps terakhir LOVE STORY 3 ^^, mw nebus kesalahan diri q yg tak brtanggung jawab ini ^^
Ok lets start it with sedikit preview untuk mengingatkan part sblmnya utk sekedar mengingatkan pmbaca ^^
End part eps 6 :
Perlahan mataku terbuka, kesadaranku sedikit demi sedikit pulih, ku kucek pelan mataku yang masih buram. Ku pandangi sekitarku, sudah lumayan temaram, ku tengok arlojiku jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, aku terkejut menyadari ada orang lain yang duduk tepat di sampingku, arga. Entah sejak kapan ia di sana. Ku tegakkan tubuhku, ku lihat ia tertunduk sambil terisak pelan. Ku coba sentuh pundaknya.
“jangan pergi kak..” ujarnya lirih, ia meremas tanganku.
“...” aku terdiam, tertunduk tak berani mengucap apapun.
“kak, jangan pergi yah.. aku mohon, aku akan sendirian di sini, sekarang udah nggak ada yang peduli lagi sama aku, semuanya membenciku” isak tangisnya semakin besar.
“...” aku menegakkan kepalaku. “itu nggak mungkin ga, ini udah yang terbaik, terbaik untuk semuanya, kita harus bisa ga, kita pasti bisa lewatin ini, kita nggak boleh terus-terusan membenamkan diri dalam perasaan yang sia-sia ini ga, terlalu banyak hati yang akan kita korbankan kalo kita terus saja menuruti perkataan hati”
“jadi ! kamu anggap cinta kita selama ini sia-sia ? kamu anggap apa yang kita lakukan selama ini, apa yang kita perjuangkan selama ini sia-sia, nggak ada gunanya begitu ? ” ia mulai geram.
“ga, bukan begitu ga, tolong tenang dulu, dengerin penjelasan aku dulu.. aku.. aku cinta sama kamu ga, aku sayang sama kamu, sangat ! andai bisa aku mau bawa kamu lari sekarang juga, tapi aku juga sayang keluarga aku ga, papa aku, adik aku, semua yang peduli sama aku, kamu juga gitu kan ? kamu pasti sayang banget sama mama kamu ? papa kamu ? sama kakek.. kamu nggak mau ngecewain mereka kan ? iya kan ? ini sudah terlalu jauh ga, kita harus berani ambil keputusan yang tepat, ini untuk kebaikan semuanya arga, kita harus bisa bikin orang lain bangga dengan kita, aku mohon kamu bisa mengerti”
“...” arga diam, tangannya mengepal keras, desis nafasnya terdengar begitu berat, ia menatapku.
“aku tahu ini sulit arga, tapi kita harus, aku yakin asal kita mau menjalani semuanya kita pasti bisa” ku remas pelan pundaknya.
Tiba-tiba ia memeluk tubuhku, bibirnya tanpa permisi menempel sudah di bibirku ia melumatnya penuh nafsu. Perlahan ku dorong tubuhnya menjauh.
“arga, sudahlah...” ucapku parau.
“tolong kak, jangan tolak aku kali ini saja...” mohonnya lirih, aku tak kuasa menolaknya.
Kembali bibirnya menyambar bibirku, memagut dan melumatnya dengan ganas, panas dan penuh emosi. Aku biarkan, biarlah ini menjadi satu kenangan terakhir yang akan selalu kami ingat. Biarlah jika dengan ini ia bisa sedikit rela melepasku. Dengan beringas ia melucuti satu-persatu semua yang melekat di tubuhku dan tubuhnya. Selanjutnya ia mulai mencumbuku dengan begitu panasnya. Baru kali ini dia seganas ini, aku membiarkannya menguasai permainan. Selalu, aku larut dalam hangat cumbuannya. Ia betul-betul sudah hafal titik-titik sensitif di sekujur tubuhku, tanpa terlewat di serangnya dengan ganas. Baru kali ini aku yang kewalahan melayani nafsunya. Entah berapa jam kami bergumul dalam gairah yang membuncah, untuk terakhir kalinya mereguk kenikmatan, menyatukan tubuh kami. langit sudah gelap saat kami selesai. Aku tergolek lemas di atas dipan bambu saung reyot ini seusai permainan panas tadi, sekujur tubuh kami basah dengan peluh. Susah payah aku mengatur nafasku hingga normal kembali. Ku pandangi arga di sampingku, ia juga terlihat letih, tapi tatapannya masih saja sayu, beban itu ruapnya masih menyiksanya. Ia menatap sinis langit senja yang sudah merona merah muda yang mulai memudar, seolah langit itu bersalah atas semua ini.
***
Kami sudah berpakaian lengkap, siap untuk pulang. Arga ternyata tidak membawa motor atau mobil, aku bingung bagaimana dia bisa sampai ke sini. Berarti aku harus mengantarnya pulang hari ini, tak apalah, sekalian aku akan minta maaf pada om fadli dan tante santi, walau aku sudah tau pasti seperti apa nantinya reaksi mereka.
“yaudah nih helmnya” aku menyodorkan helm padanya, sementara aku memakai helmku.
“ee... bentar kak, aku mai buang air” ujarnya seraya menyerahkan kembali helm itu padaku.
“ya sudah sana..”
Dia pun menyingkir ke pepohonan di samping saung, untuk buang air kecil. Aku mengaitkan sabuk helmku, tinggal menunggu arga selesai. Tak lama kemudian ia datang.
“udah ga ?”
“iya kak udah”
“yaudah, nih helmnya” ia kemudian memakai helm itu.
“udah kak..”
“oke kita berangkat sekarang, pegangan..” seketika saat aku menstarter motor...
BUGGHHH !!!
BUGGHHH !!!
Sontak pandanganku jadi gelap merasakan sakit luar biasa di punggungku yang di hantam benda keras. Semuanya semakin gelap hingga mataku terkatup. Aku tak tau lagi selanjutnya.
+++
>> SIDE ARGA
Hmmphh... desis nafasku memberat. Tak bisa, aku tak bisa melakukannya. Aku betul-betul tak bisa tanpa dia. Aku harus hentikan semua ini atau aku yang akan menyesal sendiri nantinya. Ya ! aku harus lakukan ini.
“udah ga ?”
“iya kak udah”
“yaudah, nih helmnya” ia kemudian memakai helm itu.
“udah kak..” aku kemudian naik ke boncengannya.
“oke kita berangkat sekarang, pegangan..” seketika saat ia menstarter motor...
BUGGHHH !!!
BUGGHHH !!!
Batang kayu yang ku ambil tadi menghantam punggungnya. Dua kali pukulan sukses membuatnya pingsan. Segera ku mundurkan tubuhnya ke jok belakang, aku mengambil alih menyetir. Sebelumnya ku ikat kedua tangannya dengan ikat pinggangku dengan posisi melingkar di pinggangku, memastikan kalau dia takkan bisa meronta nanti. Segera ku starter motor lalu memacunya dengan cepat menuruni bukit. Tiba di jalan raya ku lajukan motor secepat yang ku bisa, pikiranku kalut, aku bingung harus membawanya kemana. Yang ada di pikiranku adalah membawanya jauh dari sini, jauh dari kota ini agar mereka yang mau membawa kak raffi ke amerika takkan menemukannya. Motor ini melaju dengan cepat melintasi jalan raya pinggir pantai yang lengang di petang hari. Tiba-tiba mataku menangkap ekor mata yang dengan jelas menatapku dan kak raffi. Selly ! ah.. sial..
Lets continue it guys ^_^ !!!
#####
EPISODE 7A :
>>SI DE ARGA
Itu benar selly ! ah sial... Kian kedepan jalan ini kian ramai saja. Aku semakin kalut, tak ada yang bisa ku pikirkan lagi selain melajukan motor secepat mungkin agar terbebas dari kejaran Selly. Selly awalnya hanya memperhatikan ku dengan tatapan bingung. Tak berapa lama ia seperti tersadar dengan apa yang ku lakukan ini.
“ARGA ! kau apakan kak Raffi hah ! dasar gila, hentikan lekas..!” serunya kalut.
“nggak ! nggak akan !” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
Aku kalut, kalau memang harus mati di sini aku tak peduli lagi. Yang pasti takkan ku biarkan siapapun mengambil kak Raffi dariku. Dia milikku ! dan selamanya akan seperti itu. Kau Raffi masih tak bergerak di belakang. Motor ini melaju semakin menggila. Tak ku pedulikan umpatan umpatan dari wArga-wArga yang hampir ku tabrak. Yang ada di kepalaku hanyalah secepatnya meninggalkan tempat ini.
Tiba-tiba di persimpangan lampu merah menyala. Sontak semua kendaraan yang melintas di lajur ini berhenti. Ah sial ! Selly tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan mudahnya mobilnya merapat ke motor ini. Semakin dekat dan semakin dekat. Aku tak tinggal diam, mataku menjelajah ke sekitar tampat ini, mencari celah sebisa mungkin untuk lolos. Dapat ! dengan sigap ku putar balik motor ini lalu dengan cepat berbelok di tikungan terdekat dari pesimpangan ini. Lorong yang cukup panjang, lengang, dengan mudah dapat ku lajukan motor ini dengan begitu cepat. Sesekali ku tengok ke belakang, selly sepertinya sulit mengeluarkan mobilnya dari kerumunan kendaraan yag menanti lampu merah. Bagus !
Semakin cepat dan semakin cepat. Sedikit lagi aku mencapai ujung lorong ini. Rasanya begitu lama, aku jadi khawatir dengan panjangnya lorong ini. Hingga tiba-tiba...
SRRTTHH !!!
Terpaksa aku mengerem motor ini karena hampir saja aku menabrak seorang anak sd yang melintas di jalan. Cecaran dan makian dari warga-warga sekitar yang melihat pun sukses aku dapatkan. Kak Raffi mulai menggeliat di belakangku. Gawat. Sepertinya dia akan sadar. Tak ku pedulikan cibiran-cibiran mereka serampangan ku lajukan kembali motor ini meninggalkan kerumunan orang-orang itu.
Tinggal beberapa meter lagi menuju ujung lorong ini tiba-tiba sebuah mobil fortuner hitam menghadang tepat di persimpangan. Dengan sigap aku rem motor ini. Tinggal beberapa puluh senti lagi barulah motor ini terhenti sebelum menabrak mobil itu. sial !
Selly turun dari mobil itu dengan wajah geram. Ia semakin terlihat kalut dengan situasi ini. Dahinya mengkerut melihat posisi kak Raffi yang terikat seperti ini.
“lu udah gila ga, lepasin kak Raffi !” tiba-tiba ia berontak, berusaha menarik-narik kak Raffi agar terlepas dariku.
“selly ! lu apa-apaan sih ! lepas !” dengan kasar ku dorong tubuhnya hingga jatuh. Ia tak begitu saja menyerah. Ia kembali bangkit dan melakukan hal yang sama hingga beberapa kali dan hasilnya pun sama. Tak pelak kami menjadi tontonan gratis dadakan oleh wArga-wArga sekitar situ.
Setelah beberapa menit berkutat dengannya bisa juga akhirnya aku lolos darinya. Ku lajukan motor sial ini keluar dari lorong itu. Selly yang masih tersungkur masih sempat kulihat menelepon seseorang. Tak ku pedulikan, secepat mungkin aku melajukan motor ini di jalan raya, semakin menjauh dan menjauh dari tempat tadi.
Hari semakin gelap, motor ini terus ku pacu dengan cepat menyusuri jalan tol ini. Aku ingin pergi jauh dari mereka, dari semua yang ingin memisahkan aku dan kak Raffi. Aku tak peduli apapun lagi.
>>ALDO SIDE
Dalam diam aku berjalan menyusuri koridor ini. Koridor panjang yang berujung ke halaman depan kampus. sekarang sudah pukul setengah enam sore. Letih kini betul-betul menguasai tubuhku. Presentasi tugas praktikum tadi betul-betul menguras tenagaku. Dua jam penuh aku berkutat mempresentasikan tugas akhir semester untuk mata kuliah pak Herman ini. Tinggal menunggu hasilnya di KHS nanti. Sedikit tertatih aku berjalan menggunakan tongkat ini. Sudah lebih sebulan sejak kejadian perkelahian itu. kakiku sebenarnya sudah bisa berjalan tanpa tongkat tapi tetap saja mengganggu kalau ingin kesana kemari dengan cepat. Untung aku masih bisa menyetir.
Pikiranku masih saja melayang ke kejadian beberapa hari yang lalu. Bergidik aku mengingat saat dimana tante livia mengetahui hubungan Raffi dan Arga, hingga keputusannya utnuk memindahkan Raffi kuliah di amerika. Entah mengapa itu seperti menambah berat beban di dadaku ini. Kian sesak saja sepertinya. Raffa juga kelihatan terus murung semenjak kejadian itu. aku paham perasaannya. Ia pasti sangat berat melepas kakaknya satu-satunya untuk berpisah jauh darinya selama bertahun-tahun. Aku paham betul seberapa dekat mereka berdua sejak kecil. Walau secara kasat mata sepertinya agak kurang akur, tapi aku tahu mereka sama sekali tak bisa jauh satu sama lain. aku jadi merasa begitu egois karena masih saja memikirkan perasaanku ini. Ah.. mengapa begitu sulit sekali meninggalkan atau setidaknya merubah rasa yang sudah terlanjur subur terpupuk selama bertahun-tahun. Begitu menyesakan dan menyiksa mengekangnya selama ini. Aku harus hidup menahan semuanya tanpa bisa sedikitpun mengungkapkannya pada Raffa.
Aku ingin mengungkapkannya, sangat ingin. Tapi aku sendiri terlalu takut membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi setelah ia mengetahui siapa sahabatnya ini yang sebenarnya. Di tambah dengan kejadian Raffi beberapa hari yang lalu, kian menambah kelu lidahku mengungkapkannya. Entah sampai kapan aku harus menahan semua ini.
+++
Langkah kakiku terhenti mendengar sayup suara percakapan beberapa orang di salah satu ruangan. Keadaan kampus yang sudah hening membuat suara itu sangat jelas terdengar walau dengan intensitas yang hampir mirip bisikan. Perlahan aku mendekati asal suara itu. sebuah ruang kelas di deretan sebelah kiri di ujung koridor.
“gimana ? puas nggak lu sama kerja kita-kita ?”
“haha, lebih dari puas, kalian emang hebat!”
Aku terhenyak mendengar suara itu. satu-satunya suara perempuan dari sana. Ku tajamkan pendengaranku.
“oke, ini bayaran buat hasil kerja kalian yang begitu memuaskan... cukup kan ?”
“wahwahwah.. cukup-cukup hehe.. lain kali kalo ada orderan panggil kita lagi yah ! kalo bisa yang lebih ekstrim lagi!”
Aku mengintip lewat celah pintu yang sedikit terkuak. Wajahku tiba-tiba panas menyadari siapa yang sedang asyik berdialog di dalam sana. Mereka tiga pemuda yang waktu itu mengeroyok Raffi. Dan yang paling tak bisa ku percaya adalah...
Selly...
Masih lengkap dengan seragam putih abu-abunya dia datang ke kampus ini hanya untuk bertemu 3 berandalan itu. apa sebenarnya yang mereka omongkan ? apa jangan-jangan...
“oke, trus gimana sel setelah mereka tahu semua kedok mereka ? seseru apa sih perang yang terjadi” tanya si jangkung sembari menghisap rokoknya, aku terbelalak.
“haha, parah deh pokoknya, si Raffi sampe mau di pindahin kuliah ke amrik gara-gara itu, salut gua kalian emang hebat!” ujar selly yang seketika memecah gelak tawa di antara mereka.
Aku tertegun sejenak. Masih saja tak bisa percaya dengan apa yang barusan ku dengar. Benarkah adikku senekat itu ? sebesar itukah rasa cintanya pada Raffi hingga ia sampai berbuat seperti itu ? sedalam itukah cinta yang bisa di rasakan remaja seumur mereka ? pertanyaan-pertanyaan itu benar-benar menyiksa batinku.
“oke kalo gitu gua balik sekarang yah” suara selly di susul derap langkah mereka meninggalkan ruangan itu. dengan sigap aku melangkah menjauh ruangan itu.
Terlihat selly berjalan beriringan dengan mereka sambil tertawa-tawa. Tak pernah terlintas di benakku sosok adikku yang seperti ini. Bisa-bisanya dia bergaul dengan berandal seperti mereka. Mendadak geram dan marah menyeruak begitu saja di hatiku. Aku harus meminta kejelasan padanya setelah ini.
+++
Aku tak menemukannya. Entah kemana dia pergi setelah dari kampus tadi. Sudah ku cek ke tempat lesnya juga ke tempat ia sering bepergian juga tak ada, teman-temannya juga tak satupun yang mengetahui keberadaannya. Sekarang jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Marahku tadi perlahan mulai berubah panik memikirkannya.
“sayang kok duduk di luar sih kan dingin, selly belum datang juga? dia tadi pinjam mobil papa..” suara mama memecah lamunanku, bahkan mama pun sudah datang.
“eh, ma... i-iya Aldo juga bingung kenapa jam segini dia belum datang, Aldo cari dia dulu ya mah..” Aku tak mau bicara terlalu banyak, mama sepertinya sangat capek sehabis pulang kerja.
“eh, kok ? kamu kan masih sakit nak..”
“nggak kok ma, Aldo udah lumayan, Aldo harus jemput selly udah malam mah”
“yaudah, tapi kamu udah makan kan ?”
“iya udah kok ma, Aldo pergi ya ma...”
“i-iya nak, hati-hati nyetirnya yah, pelan-pelan aja”
“sip ma...”
Aku pun bergegas menuju garasi, ku keluarkan mobilku lalu memacunya keluar rumah. Aku bingung harus kemana sekarang, yang pasti aku harus mencarinya.
+++
Sudah hampir dua jam aku mengitari kota ini, menelusuri tempat-tempat yang mungkin bagi selly untuk berada di sana, taman kota, caffe favoritnya, beberapa rumah sahabatnya, juga beberapa sudut kota yang selalu menjadi tempat pilihannya untuk bersantai. Namun nihil, ia tak ku temukan di manapun. Sial ! aku yang awalnya marah dan geram padanya perlahan berubah panik dan khawatir dengan kondisinya. Bermacam-macam pikiran bodoh menggelayut di benakku. Apalagi tadi ia sedang bersama pemuda-pemuda berandal itu. Ah.. pikiranku semakin kacau.
Aku memutar balik ke taman kota, Kepalaku pusing sekali, langit kini sudah gelap sepenuhnya. Matahari baru saja mendarat di ufuk barat. Selly juga tak kunjung ku temui. Rasanya hari ini berat sekali, bahkan saat tubuhku begitu letih pun untuk terlelap saja aku susah. Tak terasa airmata mengalir membasahi wajahku, beban yang kurasa kian berat saja, tak kunjung habis juga, tak ku sangka adikku bakal senekat itu, hanya karena cinta butanya pada Raffi, rasa sesak di dadaku pun kian memberat meratapi rasaku pada Aldo yang takkan mungkin berbalas, mimpi yang sia-sia.
Dalam hening petang yang dingin di taman ini, ponselku bergetar. Mataku melebar melihat nama yang tertera di layar hpku ini, Raffa menelponku.
“hh..halo raf ? ada apa ?” seperti biasa, aku tergagap menerima teleponnya.
“hai do, emm.. nggak apa-apa sih, cuman pengen ngobrol aja.. kamu lagi di mana ?” sahutnya santai.
“eh.. oh.. hehe, ak..aku lagi di taman nih, nggak apa-apa cuman lagi bosan aja” ah, satu lagi kalimat bodoh keluar dari mulutku, sial sial siaaaal!
“oh, di taman kota yah?”
“hah, iya! Kok tau?”
“tau dong, lagi duduk di kursi taman yah?”
“hah? Kamu ikutin aku yah? Kok kamu tau?” ku edarkan pandanganku ke sekitar tempat ini, terlalu gelap, tak ada siapapun di sini.
“hahaha, enggak kok, ge er amat, aku lagi di rumah kok.. err.. pake kemeja garis-garis biru..”
“hei ! kamu di mana sih raf! Nggak lucu ah becandamu” teriakku mulai panik.
“celana jeans pensil warna biru..”
“Raffaaaaa!!!”
“hahaha, sepatu kats converse hitam, dan selalu.. jam tangan rolex kesayangannya, DUARRR!!! hahahaha”
Aku tersentak bukan main merasakan hentakan di telinga kananku, aku menoleh ke belakang dan menemukan si jahil sialan itu yang tengah terpingkal-pingkal di belakangku sembari menggenggam ponselnya, dasar.
“aarrggghh! Gak lucu tau raff!” hentakku sebal, kembali ku berpaling, terdengar tawa Raffa berhenti, ia beranjak duduk di sampingku.
“hiyaahh gitu aja ngambek... kayak anak cewek aja, maaf deh maaaafff, hehehe..” Raffa menyengir kuda sembari menggemas kedua pipiku.
“ihhh, apaan sih raf, sakit tau!” kutepis jengah tangannya dari pipiku.
“hahaha, abisnya mukanya di tekuk mulu, yah aku lebarin deh, biar keliatan senyum hoho..”
“huh! setres!” desisku sebal.
“duhh, sensi amat sih, iya iya ampun dah nyaiiii... aku lagi kesepian aja nih, makanya sindrom jailnya kambuh, hehe..” ia merebahkan kepalanya di pangkuanku, seperti biasa.
“nyai pala luu!!” kujitak pelan kepalanya.
“auw auw, atitt kali eneng, tega amat euy sama akang teh, huhu..”
“ah setres kamu mah! Ey raff ini tempat umum!” desisku risih, Raffa memang tak bisa di bilangin, entah kenapa ia begitu suka bergelayut manja di pangkuanku, entah di rumah atau di manapun ia suka, bahkan di tempat umum seperti ini pun.
“hahaha, sepi kok eneng sayaaaang, gak ada yang liatin kita, hehe..”
“huh, setres emang kamu ah..” ku palingkan wajahku darinya.
Sesaat keadaan hening, aku terdiam, Raffa pun terdiam dengan mata terpejam di pangkuanku.
“aku bakal kesepian banget do..” tiba-tiba Raffa membuka pembicaraan.
“.....” tanpa suara, aku menoleh padanya.
“kak Raffi besok berangkat, aku nggak bisa apa-apa, aku bakal kangen banget sama dia do, nyesel aku pernah benci sama kak Raffi do” airmata menetes dari sudut-sudut matanya yang terpejam. Tanpa sadar tanganku membelai rambutnya.
“sabar raf, mungkin ini emang udah jalan yang terbaik untuk semuanya, yah walaupun harus mengorbankan hati Arga dan Raffi”
“iya do, semoga saja setelah ini keadaan bisa baik lagi yah do, nggak ada masalah-masalah lagi” matanya perlahan terbuka, menatap nanar langit malah yang mendung, sinar bulan terlihat memudar tertutup awan yang pekat.
“lagian masih ada cheryl kan? kamu pasti nggak bakal kesepian” ujarku tanpa menatapnya, kepalanya bergerak, semoga tak terdengar nada kekesalan di sana, ia menoleh padaku, tiba-tiba kurasakan tangannya menggenggam tanganku. Jantungku serasa berhenti saat itu.
Sesaat kemudian tatapan kami bertemu, tatapan Raffa tak mampu ku artikan, datar dan tajam. Menatap lurus ke wajahku, seolah mencari titik terdalam benakku. Seketika itu jantungku berdetak sangat cepat, tak pernah ia menatapku seperti ini, ku coba palingkan wajahku darinya. Genggaman tangan nya padaku tak kunjung di lepaskannya, malah semakin erat ku rasa.
“kenapa kamu nggak pernah jujur padaku do..” desisnya lirih, aku menoleh dengan mata membelalak, ku lihat airmatanya menetes.
“a..apa maksud kamu raf? Aku nggak ngerti..” lidahku masih mencoba berkilah.
“sudahlah do, kamu menyiksa dirimu sendiri seperti itu, aku udah tau semuanya..” matanya kembali terbuka, dapat kulihat raut kekecewaan di sana.
“.....” aku tak sanggup berkata-kata lagi, tatapan itu, sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kalau ia telah tau semuanya, tangisku pecah tak terkendali. Aldo bangkit dari pangkuanku, tanpa kuduga ia menarik tubuhku, memelukku begitu erat sekali. Sangat erat hingga dapat kurasakan detak jantung kami beradu, “kamu sahabat aku do, siapapun kamu, gimana pun kamu, kamu tetap sahabat aku, aku nggak bisa bayangin hari-hari aku tanpa kamu do, nggak akan aku hindari kamu hanya gara-gara kamu berbeda, sudah cukup kesalahanku pada kak Raffi, dan aku tak ingin mengulanginya, tolong kamu jangan berubah do” ujarnya panjang lebar, terasa belaian tangannya di rambutku, sedang tangannya yang lain masih memelukku. Hangat.
“.....” aku masih tak dapat berkata-kata, isak tangis masih menguasaiku.
“hei.. udahlah do! Tak ada yang perlu kau tangisi saat ini, nggak semua gay itu cengeng kan.. aku punya kok banyak temen gay yang lebih preman dari aku, hehe.. ayolah senyum..” Raffa mencoba membuatku tertawa di sela-sela tangisannya, baru kusadari ia juga menangis sejak tadi.
“makasih raff, makasih kamu nggak marah sama aku, makasih kamu nggak menghindar kamu aku, kamu.. kamu juga sahabat terbaik yang aku punya, maafin aku yang udah mengecewain kamu” aku terus terisak dalam dekapan Raffa.
Ini kali pertama ia mendekapku seperti ini, rasanya masih seperti mimpi, dekapan yang bertahun-tahun ku dambakan ini, kini kurasakan. Begitu hangat, begitu nyaman, terasa aman dalam rengkuhannya. Meskipun sepertinya ia belum menyadari benar perasaanku yang sesungguhnya padanya. Namun aku sungguh sangat bersyukur, ia bisa berlapang hati menerimaku tetap sebagai sahabatnya setelah tauaku seperti ini.
Raffa perlahan mengendurkan pelukannya, lagi, tanpa ku duga ia menyeka airmataku dengan sapu tangannya.
“percayalah do, kamu terlihat seratus kali lebih jelek saat menangis”
“huh..” dengusku sebal, aku menundukkan wajahku, yang ku yakin sudah semerah tomat saat itu. Raffa terkekeh kecil di sampingku. Diam-diam aku tersenyum, rasanya seperti beban berat terangkat dari dadaku. Ia kembali beringsut membaringkan kepalanya di pangkuanku.
“k..kamu tau dari mana semua ini raf?”
“hehe, rasanya video-video di laptopmu takkan berbohong do” ujarnya dengan mata terpejam.
“kk..kamu jadi.. kamu..” aku tergagap.
“sudahlah do, aku tak memusingkannya lagi, awal aku tau jujur aku sangat kecewa, namun setelah semua yang ku jalani aku sadar aku butuh kamu, sahabat yang selalu ada di setiap kondisiku, dan sekali lagi, aku tak ingin mengulangi kesalahanku kedua kali” terangnya dengan tenang, lega aku mendengarnya.
“hmmphh.. lalu setelah kamu tahu, kamu nggak takut dekat-dekat denganku..”
“kenapa takut ? apa yang perlu aku takutin dari kamu?” masih dengan mata terpejam.
“aku kan...”
“nggak ada masalah untuk itu do, kamu tetap sahabatku” ujarnya dengan senyum simpulnya.
Aku tersenyum lega, tak pernah sebahagia malam ini sebelumnya.
>>RAFFI SIDE
Mataku perlahan terbuka. Sedikit demi sedikit kesadaranku kembali. Kenapa ini? Tubuhku tak bisa di gerakkan, terikat, susah payah aku memfokuskan pikiran dan kesadaranku. Aku sedang di motor, di bonceng terikat di belakang Arga !
“Arga... kamu kenapa begini ga ?” ucapku lirih, tubuhku masih begitu letih.
“kk..kak..” ia sedikit menoleh, sepertinya sangat kaget menyadari aku sudah sadar, “aku akan bawa kakak pergi dari sini ! kita akan pergi jauh dari mereka, kita akan bebas kak” suaranya tak begitu jelas karena terpaan angin, aku tak bisa berbuat banyak, tanganku terikat di perutnya. Aku tak menyangka dia sampai senekat ini.
“Arga, udahlah...”hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“nggak !!! mereka nggak boleh bawa kakak kemana-mana, kakak nggak boleh jauh-jauh dari aku” ucapnya setengah berteriak. Aku bergidik merasakan laju motor ini yang ia pacu begitu cepatnya.
“Arga sudahlah kita bisa bicarakan ini baik-baik ”
“nggak kak ! itu udah nggak mungkin sekarang , itu sama aja mengiyakan mereka membawa kakak jauh dari aku, aku nggak mau ! aku nggak akan pernah rela !” kata-kata itu dengan lancar dan keras meluncur dari bibirnya. Seringai senyum menakutkan itu kembali menghias wajahnya, senyum yang dulu meluluhkan kebencianku, senyum yang paling ku benci darinya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Tanganku terikat dan tubuhku terlalu lemas untuk bergerak. Arga terus memacu motor dengan cepatnya. Memasuki jalan tol yang lengang, kecepatan motornya semakin menggila. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Rasanya ini memang puncak dari pergolakan batin Arga. Tak kusangka ia bisa senekat ini. Aku memang salah, semuanya sangat tak adil untuk Arga sekarang. Aku yang memerangkapnya dalam rasa cinta yang salah ini dan sekarang aku juga yang meninggalkannya merana sendiri menjalani hari dengan cintanya yang terkekang tak terbalaskan. Tapi aku bisa apa ? rasanya semua ini sudah keputusan final yang betul-betul netral untuk lebih banyak pihak. Kecuali aku dan Arga tentunya. Walau samar dapat kulihat aliran airmata membasahi wajahnya, melapisi seringai senyum pahitnya. Dia terlihat begitu rapuh, benar-benar hancur oleh dilema yang menyiksa. Ia tahu yang ia lakukan ini salah dan sia-sia tapi ia juga tak bisa berbuat apa-apa lagi selain ini. Aku pun mungkin akan melakukan hal serupa jika di hadapkan pada situasi ini.Dalam letih tubuh ini tak terasa airmatapun menetes membasahi wajahku. Maafkan aku Arga.
“kita udah bebas kak, hahaha... kita bebas! Kita udah jauh dari mereka, sekarang kita akan mulai semua dari awal kak, hahaha, menjalani kehidupan indah tanpa ada yang mengekang dan ingin memisahkan kita, hanya kita berdua kak, hanya ada aku dan kakak” Arga terlihat semakin menakutkan dengan tawanya itu, tak kuasa ku menahan airmataku untuk tak menetes dari kedua sudut mata ini.
“Ga, sudahlah Arga, sayang jangan seperti ini, kamu membuatku semakin sedih saja” ujarku lirih.
“gak usah sedih kak, gak ada yang perlu kakak tangisi di sini, kita sedikit lagi mencapai kebahagiaan kita yang abadi, gak ada yang akan misahin kita lagi, hahaha, Arga sayang sama kakak, Arga cinta sama kakak lebih dari siapapun, kita akan bahagia kak, selamanya” sahutnya lirih, aku tertunduk di punggungnya.
BLTAKKK !!!
Tiba-tiba tubuh kami berdua terguncang, terasa seperti ban motor ini menabrak sesuatu, seketika itu juga motor ini oleng, aku dan Arga berteriak panik, Arga berusaha keras menjaga keseimbangan motor yang tengah melaju sangat cepat ini. Namun sayang, goncangan tadi betul-betul membuat motor ini tak terkendali.
“HWAAAAA!!!”
“BRAKKK!!!”
Motor sial ini dengan keras menabrak pembatas jalan, aku tak bisa lihat apa yang terjadi selanjutnya, yang ku rasakan sebelum kesadaranku menghilang adalah ikatan ikat pinggang Arga di pergelangan tanganku terlepas dengan kasar, setelahnya kurasakan tubuhku terhempas, melayang terpisah dari Arga yang ikut terseret motor itu, singkat. Hingga ku rasakan kepalaku membentur sesuatu yang begitu keras dari belakang. Seketika itu sakit yang teramat sangat mendera kepalaku, hingga perlahan kurasakan pandanganku semakin memudar, lalu semuanya gelap.
+++
Perlahan mataku terbuka, nyeri di seluruh tubuhku langsung mendera begitu kesadaranku pulih. Susah payah ku coba bangkit menegakkan tubuhku, kedua tanganku tergores begitu lebar, darahku merembes banyak sekali, sebagian mulai mengering, terasa perih di wajahku teramat sangat, pastinya tak lebih baik dari kedua lengan ini. Seketika itu juga aku panik, Arga !
Pandanganku menyapu sekitarku, mencari sosok Arga. Sudut mataku menangkapnya, aku terlempar begitu jauh darinya. Mataku membelalak melihat keadaaannya, wajahnya hampir tak terlihat akibat darah yang merembes membasahinya, kepalanya luka parah. Dalam kesakitanku mataku menyipit melihat yang ia lakukan, sontak aku semakin kalut menyadari apa yang ia lakukan, kakinya terjebak di bawah kerangka motor yang ringsek itu.
“Argaaaa!!!” teriakku gusar, Arga menoleh menatapku melas, ia begitu ketakutan.
“kak sakit kak!... tolongin Arga kak!!!” suaranya terdengar begitu kecil darfi jarak sejauh ini.
Dengan sisa tenaga yang ku miliki aku bangkit mendekatinya. “arrggghh...” desisku letih, tubuhku serasa remuk semua, kaki-kaki ini tak sanggup menopang berat tubuhku. Teriakan kesakitan Arga terdengar semakin lirih, dengan tertatih-tatih aku melangkah mendekatinya.
CKRAKKK!!! PTAKKK... PTAKKK... PTAKKK...
Tiba-tiba terdengar suara derit kasar yang begitu keras, mataku menengadah mencari asal suara aneh itu.
KREEKKKK!!!
PLTAKKK...
Sesuatu terjatuh tak jauh di depanku, kabel !
Satu lagi, satu lagi, dan satu lagi...
Kabel-kabel itu satu-persatu putus dari tiangnya, mataku mencari pangkal putusnya kabel itu.
“Arga awaaaaasss!!!” teriakku kalut, terlihat tiang listrik yang di tabrak Arga tadi sudah condong ke samping, hampir rubuh mengenai Arga.
“Hwaaaaa!!! Kak tolong kaaaakkk!!!” teriak Arga ketakutan, ia semakin gelagapan berusaha melepaskan kakinya dari jepitan kerangka motor sial itu.
“Argaaa!!!”
Tunggang langgang aku berlari secepat yang ku mampu, sakit disekujur tubuh kian menderaku. Tiang itu kian condong mendekati tubuh Arga.
“BRAAAKKK!!!”
Aku terjatuh, seiring dengan terdengar suara rubuhnya tiang jahanam itu, kakiku terlalu letih untuk terus berlari. Tinggal sedikit lagi aku mencapai Arga, namun terlambat, yang ku dengar tinggallah teriakannya saat tiang itu menghujamnya.
“haaaaa!!! Aaaaaa!!!”
“Argaa!!! Arga bertehanlah ga, Argaaa!!!” teriakku ketakutan, dengan sisa tenagaku aku merayap mendekati tubuhnya yang tertindih rangka motor dan tiang berat itu, ia menggeliat-geliat kesakitan. Aku merasa begitu lemah saat itu, aku tak berguna, aku tak mampu melindunginya.
Beberapa menit berlalu tak terdengar lagi erangan-erangan kesakitan dari Arga, aku masih terus berusaha merangkak mendekatinya, dalam tangisku.
“Argaaaa!!! Bertahanlah ga, aku mohon, kamu harus kuat!” teriakku kalut, ia tak menjawabku, dari sini kulihat wajahnya begitu letih, airmata mengalir di sudut-sudut matanya, ringisan kesakitan pun masih terlihat di sana.
Setelah perjuangan bermenit-menit menahan kesakitan akupun mencapai tubuhnya. Terrlihat dengan jelas tangis kecil dan ringisannya menahan sakit, dari kakinya terlihat rembesan darah, sangat banyak, kaki itu terjepit diantara rangka motor dan tiang listrik.
“kak.. sakit kak..” desisnya, ia menatap lirih padaku.
“ga,sabar yah sayang..” sahutku sembari membelai pelan wajahnya.
Sekuat tenaga ku coba menggeser tiang itu, namun sia-sia, tak sesentipun tiang itu bergerak. Aku tak cepat putus asa, dengan segenap tenaga yag tersisa terus kucoba singkirkan tiang sial ini, hampir setengah jam hingga tenagaku benar-benar habis, aku terkulai di samping Arga, tanganku masih terus berusaha mendorong tiang itu.
“udahlah kak.. udah, gak usah di terusin lagi..” tiba-tiba Arga bersuara.
“nggak sayang, nggak! Aku akan bebasin kamu, aku akan singkirin tiang sialan ini! Bertahanlah ga!” kembali tangan letihku berusaha menggeser tiang ini sekuat tenaga, satu hentakan.. dua hentakan hingga aku berhenti lagi. Tenagaku benar-benar ludes kali ini.
“cukup kak, sudah cukup.. kakak.. aaarrgghh.. kakak udah terlalu banyak berkorban buat aku, aku udah terlalu sering nyusahin kakak, menggiring kakak kedalam masalah-masalah yang nggak seharusnya kakak berada di sana, maafin aku kak..” ujarnya lirih, tangisku pecah mendengar semua itu.
“j..jangan ngomong gitu ga, kamu.. kamu nggak pernah nyusahin aku, kamu nggak pernah basa masalah buat aku, justru kamu yang buat aku kuat menghadapi masalah-masala itu, dan justru aku yang nggak berguna, aku nggak bisa berbuat banyak buat bantu kamu..”
“nggak kak, jangan ngomong gitu, aku yang salah kak, semua ini salahku sendiri, maafin Arga kak..” suaranya semakin memelan hingga berhenti, matanya kemudian terpejam, genggaman tangannya terlepas dari tanganku.
“Arga? Arga! Bangun ga, Argaaa!!! Bangun! Jangan gini ga, jangan tinggalin aku ga!” teriakku panik. Tanganku mengguncang tubuh Arga begitu keras, namun tak ada reaksi sama sekali, kesadarannya tak kunjung pulih.
“tolong!!! Siapapun tolong kami!!!” aku yang panik malah hanya bisa berteriak meminta tolong di jalanan yang sepi ini, tak ada yang menyahut, mobil-mobil yang lalu lalang hanya melewati kami seolah kami tak terlihat sama sekali.
Dalam kepanikanku tanganku menyentuh sesuatu yang menonjol di balik saku celanaku. Ponselku!
“ah tuhan syukurlah!” desisku.
Dengan cepat kurogoh ponsel itu, menghubungi nomor siapapun yang bisa menolong kami.
“halo! Aldo! Aldo.. tolong kami do.. aku dan Arga kecelakaan.. kami di jalan tol sekarang, iya.. tepat baru keluar dari pintu kota! Cepat do aku mohon, Arga sangat butuh pertolongan..”
Aku tergeletak lemas di samping Arga, sudah ku lakukan sebisaku, aku menatap lirih Arga di sampingku yang masih tak sadarkan diri juga. Airmataku menganak sungai, tanganku menggenggam tangan Arga yang kian mendingin saja, ‘Arga, ku mohon bertahanlah’. Terasa terasa tubuhku semakin melemah, rembesan darahku di lengan kiriku tak kunjung berhenti juga, sepertinya nadiku terkoyak. Dalam keadaan setengah sadar aku masih sempat melihat mobil fortuner milik selly yang mengejar kami tadi berhenti, ia berteriak-teriak panik, juga terlihat berusaha menyingkirkan tiang tadi dari kaki Arga. Lalu semua gelap, aku tak bisa merasakan apapun lagi.
>> SIDE RAFFA
Mataku masih terpejam, pikiranku mengembara tak tentu arah. Sekarang Aldo pun sudah mengakuinya, tak ada lagi rahasia lagi di antara kami sekarang. Sempat hatiku membencinya begitu mengetahui semuanya, namun waktupun menjawab semuanya, tak bisa ku pungkiri aku begitu membutuhkan Aldo, hanya dia yang bisa mengerti perasaanku saat ini, aku tak mau mengulangi kesalahanku seperti pada kak Raffi. Kini kak Raffi akan pergi, aku akan menjalani hari-hari berat ini sendiri lagi, aku sadar masih punya Aldo, sahabat terbaikku. Bagaimana pun dia, dia tetap sahabatku.
“do, kamu... pernah naksir sama aku nggak?” tanyaku iseng, sekedar ingin mencairkan suasana.
“hah? Aku?” Aldo tersentak.
“iya, nggak dengar yah? Aku tanya kamu pernah naksir sama aku nggak? Hehe..”
“aku... aku...” wajahnya memerah, aku tersenyum lebar.
“aku apa?... kamu naksir yah sama aku, ayo ngaku deh, ganteng gini masa kamu nggak naksir sih, hahaha” berondongku sambil kian bergelayut manja di pangkuannya, ekspresinya begitu lucu saat ini.
“a..apaan... iya sih, dulu pernah naksir sama k..kamu, tapi sekarang mah, wuuekksss hahahaha” ledeknya sembari tiba-tiba mengangkat kepalaku, lalu beranjak dari kursi taman dan berlari meninggalkanku.
“haha”, woy jangan lari lu, sialan!” akhirnya aku dan Aldo pun terlibat kejar kejaran ta ubahnya dua anak kecil.
Aku betul-betul ingin memperkecil jarak antara aku dan Aldo, biar dia benar-benar tau, dengan bagaimana pun keadaannya sekarang aku akan tetap ada sebagai sahabatnya. Aku paham beban Aldo seberat apa, tak pernah mudah menjadi orang seperti dia, akupun mungkin takkan lebih baik jika berada di posisinya.
+++
“hahaha, haduuhh, aku capek do, udahan ah larinya.” Aku tergeletak lemas di atas rumput.
Nafas kami tersengal sengal, keringat membasahi sekujur tubuh kami akibat kejar-kejaran tadi. Kulihat wajah Aldo sumringah menatap langit petang yang cukup cerah, ada raut asing dibalik senyumannya itu, aku tak bisa mengartikannya. Aldo sejak dulu memang selalu menarik dengan segala ke misteriusannya.
Sesaat kami terdiam menatap langit sampai terdengar suara ponsel, Aldo terlihat menjawab panggilan.
“halo fi kenapa? i..iya fi tenang dulu.. ada apa ? APA!!! K..kalian dimana? Kenapa bisa? i..iya kalian tunggu di sana yah, kami segera kesana.. jangan panik.. kami segera kesana...” aku pun ikut panik mendengar percakapannya.
“itu ada apa do? Siapa yang nelpon tadi?” tanyaku panik.
“tadi Raffi yang telepon raf, dia sama Arga kecelakaan raf, kita harus cepat kesana!” Aldo segera bangkit dan mengangkatku.
“apa!! Kak Raffi?... kok bisa...” sontak aku panik setengah mati.
“udah dulu raff, nggak ada waktu untuk berdebat sekarang, kita harus cepat kesana! Kita naik mobilku saja” ujarnya sigap, aku pun menurut saja.
Dari taman kota Aldo memacu mobil begitu cepat menuju pintu tol, pikiranku kalut tak karuan saat itu. di perjalanan yang terpikir adalah menelepon ambulance untuk menangani mereka. Airmataku tak terbendung, sangat takut sesuatu terjadi pada kak Raffi. Aldo terus berusaha menenangkanku, aku menghiburku, aku menggenggam erat tangan kirinya. Tak sampai limabelas menit kami tiba di lokasi kecelakaan, tim kepolisian sudah di sana terlebih dahulu. Kami segera turun menghampiri mereka, mobil ambulance menyusul kami dari belakang.
Mataku membelalak, sebuah tiang listrik baru saja di singkirkan dari tubuh Arga yang juga terjepit kerangka motor yang ringsek, langsung dengan sigap di tangani oleh beberapa perawat dan dokter.
“kakak!” segera ku hampiri kak Raffi yang tergeletak tepat di samping Arga, wajahnya di penuhi luka memar dan goresan, ada robekan besar di tangan kirinya, beberapa perawat terlihat tengah memberikan pertolongan pertama.
“kak bangung kak... kakak harus kuat kak, aku mohon...” tangisku pecaah, aku membelai wajah kak Raffi yang begitu pucat, dingin, ia pasti kehilangan banyak darah.
“mas, biar kami tangani dulu yah?” kata seorang perawat dengan ramah, aku pun menurunkan kepala kak Raffi dari pangkuanku, mereka kemudian menaikan kak Raffi ke troly setelah sebelumnya Arga telah di naikkan terlebih dahulu. Setelah semuanya siap, dengan cepat ambulance itu melaju menuju rumah sakit.
*****
Tak jauh dari lokasi kecelakaan,Sudut mata Aldo menangkap seseorang yang tengah tertunduk ketakutan di sisi jalan, bersembunyi di balik mobil fortune miliknya. Sontak airmukanya berubah geram, ia bergegas menemui Selly di sana. Selly yang menyadari akan kehadiran kakaknya pun berubah panik seketika, namun kali ini ia tak bisa lari.
“ini pasti ulahmu lagi kan?!” cecar Aldo tiba-tiba.
“kk..kenapa aku.. ak..aku tak tau apa-apa kak! Aku tak tau apa-apa atas kecelakaan mereka, kenapa sih kakak selalu belain mereka! Di banding aku adikmu sendiri?” cecar selly panik, keringat dingin mengalir di wajah cantiknya yang terlihat lusuh.
“mungkin bukan kecelakaan ini! Tapi seluruh kekacauan ini kamu kan penyebabnya! Kakak sudah tau semuanya! Kakak nggak nyangka kamu dalang dari tersebarnya foto-foto mereka itu! apa kamu sama sekali nggak punya hati saat melakukan itu, apa kamu tau apa akibat dari perbuatan kamu itu hah!” Aldo hampir tak bisa menahan emosinya, ia mencecar selly dengan kalimat-kalimatnya yang hampir berupa bisikan. Mata selly membelalak, tak menyangka kalau kakaknya telah mengetahui semuanya.
“.....” selly terdiam, ia tertunduk takluk di hadapan kakaknya.
“sejak kapan kamu bergaul dengan preman-preman bajingan macam mereka! Hanya karena cinta buta kamu yang tak terbalaskan itu hah!” kalimat terakhir ini membuat selly mendongakkan wajahnya menatap lirih ke wajah Aldo yang menatapnya geram.
“kenapa sih kakak selalu membela mereka?! Kenapa aku harus selalu salah di hadapan kakak?! Toh cinta mereka juga nggak bisa di bilang benar kan kak?! Nggak ada ceritanya laki-laki berjodoh dengan laki-laki di dunia ini, ak..aku hanya meluruskannya saja apa itu salah kak?! Toh cepat atau lambat semua akan terbongkar kan kak?! Parahnya mereka juga sepupu kan kak, apa..apa aku salah? Dan kenapa kakak selalu membela mereka? Hah kenapa kak!!!” selly sudah tak lagi mengontrol volume suaranya, beberapa pria berseragam terlihat mendekati mereka.
“maksuhmu memang baik dek, tapi caramu itu salah! Kamu nggak paham betul situasinya lalu membuat keputusan dengan cara licik seperti itu! kamu sadar itu nggak sebelum melakukannya hah!” Aldo yang geram mengacungkan tangan hendak menampar selly, tapi terheti setelah selly malah menengadah menatap datar padanya.
“tampar kak! Ayo tampar aku! Aku emang nggak pantes jadi adek kakak! Tampar sekarang kak! Kenapa berhenti? Kenapa berhenti kak!” cecar selly bertubi-tubi, Aldo terperangah melihatnya, airmata kini kian membasahi dua orang yang tengah berdebat ini.
“kenapa sih kakak selalu membela pasangan homo itu! kenapa kak? Apa kakak juga sama seperti mereka hah?!” sergah selly geram.
“IA KAKAK JUGA SAMA KAYAK MEREKA!!! Kakak juga sama seperti mereka, kakak penyuka sejenis seperti mereka! Puas kamu sekarang hah!??” bentak Aldo yang seketika itu juga membuat sekitarnya terdiam.
Selly tersentak dengan mata membelalak mendengar pengakuan kakak kandungnya itu, ia bahkan tak bisa bergerak menatapi langkah kaki Aldo yang meninggalkannya. Ia masih tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut kakaknya itu.Aldo melangkah menjauhi adiknya di sudut jalan,ia mendekati Raffa yang tengah sesengukan menangis melihat kondisi kakaknya.
*****
“sabar raff, kita harus tenang, mereka pasti kuat, kita berdoa saja” Aldo merangkul punggungku.
“.....” aku hanya mengangguk lemah, masih tak mampu berkata-kata, Aldo menggiringku kembali ke mobilnya, kami menyusul kemudian ke rumah sakit.
Di perjalanan Raffa menghubungi keluArga mereka, om alvin dan tante livia, juga om fadli dan tante santi ayah dan ibu Arga. Aku menyetir mobil dengan perasaan kalut, gelisah, dan rasa bersalah yang terus menghantui. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada Arga dan Raffi. Aku terus berusaha menghibur Raffa yang kian tak mampu menahan tangisnya.
Tiba di rumah sakit kami langsung menuju ruang ICU tempat Arga dan Raffi tengah di tangani dengan serius. Sepuluh menit setelah kami tiba papa dan tante livia datang bersama om fadli dan tante santi. Teriakan dan erangan kesakitan dari Arga yang tengah di tangani di dalam membuat kami tak kuasa menahan tangis, tante santi sampai pingsan karena tak kuat menahan kesedihan dan ketakutannya.
Detik-detik mencekam terasa berjalan begitu lambat, sudah hampir dua jam Arga dan kakRaffi ditangani dokter, teriakan kesakitan dari Arga sudah setengah hampir setengah jam tak terdengar lagi. Namun lampu di pintu ICU belum juga padam, kami semua menunggu dengan cemas dan tak karuan. Tante santi tak henti-hentinya terisak sejak tadi. Om fadli yang juga terisak tangis pun terus berusaha menenangkan istrinya itu.
Tak lama kemudian tante maria datang bersama om irwan, tak terlihat selly bersama mereka, tante maria langsung memeluk tante santi yang masih terguncang hebat dengan tangisan.
“sabar kak, kakak harus tabah, kita berdoa saja, semoga mereka baik-baik saja” ujar tante maria, tante santi hanya mampu mengangguk lemah di sela tangisannya.
***
Semuanya terhanyut dalam haru dan kepanikan, tante santi kian sesengukan menangis. Papa juga tak kalah terpuruknya dalam situasi ini, ia sejak tadi berusaha melihat keberadaan kak Raffi di dalam lewat jendela. Ia paham betul kondisi kak Raffi sekarang, ia juga pernah merasakan dalam posisi kak Raffi sekarang, tak pernah mudah menjadi orang seperti mereka. Aku beranjak dari tempat dudukku melangkah mendekati papa.
“pa...?” aku menyentuh pundak papa. Ia berbalik lalu langsung memelukku, ia terisak kecil sembari memelukku.
“tenang pa, Raffa tau kak Raffi orang yang kuat, dia pasti bisa bertahan”
Hanya itu kata-kata yang mampu kurangkai untuk papa, berharap bisa sedikit menenangkannya. Papa hanya tersenyum kecil seraya mengangguk lemah. Kembali kami terdiam menunggui detik-detik mendebarkan ini.
Satu jam kemudian pintu ruang ICU dibuka, dokter yang sejak tadi menangani kak Raffi dan Arga keluar bersama beberapa suster menyusulnya dari belakang. Sontak kamu bergegas mendekatinya.
“gimana keadaan anak saya dok? Dia baik-baik aja kan?”
“iya, keponakan saya juga baik-baik saja kan? Mereka baik-baik saja kan dok?”
Tante livia dan tante santi yang pertama menghujam dokter itu dengan pertanyaan-pertanyaan.
“mohon tenang ibu-ibu, kedua pasien sudah tertangani secara maksimal, keduanya sudah melewati masa kritis, mungkin besok mereka sudah sadar, hmm.. untuk pasien bernama Raffi ia hanya mengalami sedikit retak di tulang rusuknya juga tadi sempat kehilangan banyak darah, tapi sudah kami tangani tadi dengan baik, beruntung dia di bawa tepat pada waktunya, sedangkan untuk pasien bernama Arga....” kalimat pak dokter tertahan.
“gimana dok, anak saya kenapa? Dia baik-baik saja kan dok?” sergah tante santi kalut.
“tenang dulu ma..” sajut om fadli, pak dokter berdehem.
“Arga mengalami luka yang cukup parah, tempurung kedua lututnya retak memaksa kami untuk mengoperasinya tadi, beberapa syaraf di daerah itu telah rusak, hingga... kemungkinan anak ibu akan mengalami kelumpuhan sangat besar” ujar pak dokter gusar, teerlihat ia membetulkan posisi kacamatanya.
Tak pelak tante santi langsung terisak mendengarnya, kami semua pun tersentak mendengarnya, tak ku sangka ia bisa separah itu.
“kami bisa menjenguk mereka sekarang dok..” ujar papa lesu.
“silahkan pak, bu.. tapi bergantian saja, usahakanlah untuk tenang di dalam, kondisi mereka masih lemah” ujar pak dokter.
Kami pun bergantian memasuki ruang unit gawat darurat tersebut, om fadli dan tante santi yang pertama. Tak sampai limabelas menit mereka keluar, tante santi terisak hebat saat keluar dari ruangan itu, selanjutnya papa dan tante livia, cukup lama mereka di dalam, tante livia keluar dengan tangisnya yang tertahan. Aku dan Aldo yang terakhir masuk.
Tanganku bergetar saat memutar handle pintu ruang ICU yang dingin itu, Aldo terus merangkul punggungku, aku memang butuh itu. Ranjang Arga dan kak Raffi berseberangan, arga tepat di depan pintu masuk sedang kak raffi di sudut ruangan. Aku meringis sedih menatapi kondisi arga yang begitu memprihatinkan, sekujur tubuhnya di penuhi luka memar membiru, kepala, lengan kanan, pinggang dan lututnya di perban. Kedua kakinya di pakaikan penyangga, terlihat jelas kakinyalah yang mengalami luka paling parah.
Aku bergerak mendekati kak raffi, tubuhnya juga di penuhi memar-memar dan bengkak, lengan kirinya di perban cukup tebal, di perutnya pun melingkar perban yang cukup tebal. Kakakku itu terlelap dengan wajah letihnya. Aku menggenggam telapak tangannya erat, aku terisak di sana. Aku takut kehilangan dia. Aldo dibelakangku, terus berusaha menguatkanku.
#####################################################################################################
udah di lanjut silahkan dinikmati
ampun mbaahhh tuh dah di lanjut ^^ wkwekek
kak aldo dah dilanjut nihhh ^^ silahkannnn..