It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hehe, makasih @Zhan , amin... hehe ^^
masa sih masih unyu ? gak yakin deh wkwkwkwk...
hehe, tau aja ^^
tapi udahlah baca disini aja hehe ^^
bakal aq end in di sini duluan wkwkwkwk ^^
waduh gigit bantal, sabar mas sabarrr ^^
ok, semoga memuaskan yahhh ^_^
di follow yaaaa ^^
hmmm, iya tuh...
awas aja klo si selly biang keroknya...
habis dia ma gw wkwkwkwk... ^_^
setuju kalo bener gara2 selly gw bikin bonyok dia
waduh, pada sadis2 nih sama selly...
kasian mas2... dia kan cewe... ^_^
q dah bca sampe arga pukul si raffi pke balok, awas lho klo gantung lgi.......
tar q bikin slogan sejuta demo buat bang renly,
piis,,,,,,,,,hehehe
huahahahaha, kejam amat mas haha ^_^
iya saya usahakan...
part end lagi dlm proses nih ^_^
udah deket...
mungkin setelah update-an ini kesabaran kalian akan di butuhkan lebih untuk menunggu update-an selanjutnya wkwkwkwk... silahkan di grepe mas2 ^^
###
>> RAFFI SIDE
Ku kuatkan hatiku untuk menemui papa, dengan gontai aku melangkah menuju kamar papa. Sekarang sudah hampir jam satu pagi. Tapi tangisan papa terus terdengar tak henti. Aku semakin kalut, dia pasti sangat kecewa denganku, aku betul-betul sudah mendurhakainya.
“pa ?” ujarku sembari mengetuk pelan daun pintu kamarnya.
“...” tak ada jawaban, ia terus terisak di dalam, perlahan ku putar handle pintu yang tak di kunci.
Terkuak perlahan seisi kamar papa, terlihat papa sedang duduk di sisi kanan ranjang, tertunduk sembari terisak pelan, aku tak kuat melihatnya. Perlahan aku mendekatinya, bersimpuh di kakinya.
“pa, maafin raffi pa.. raffi memang nggak berguna.. raffi durhaka sama papa” ujarku berurai airmata. Papa masih saja diam, terlarut bersamaku dalam tangisan.
“pa, tolong jawab raffi pa, papa boleh pukul rafi pa, papa bunuh raffi asekalian, asal jangan papa benci raffi pa, jangan papa diamin raffi kayak gini pa, itu lebih sakit pa”
“papa juga nggak tahu harus gimana ngomong sama kamu, papa memang bukan figur orang tua yang baik buat kamu, papa juga nggak lebih baik dari kamu, tapi papa masih nggak percaya kamu juga melakukan kesalahan yang sama seperti papa dulu” ujarnya tertahan.
“rasanya papa nggak pantas untuk marah sama kamu, papa sadar papa bukan ayah yang pantas kamu teladani”
“papa, jangan ngomong gitu, raffi yang salah pa, raffi nggak berguna, raffi yang bisa nahan diri dari nafsu, dan raffi... raffi mau menebus itu semua pa... raffi mau terima keputusan tante livi pa, raffi mau berubah pa”
Papa menatapku dengan sangat terkejut, sorot matanya betul-betul menunjukan ketidakpercayaannya akan ucapanku. Aku berusaha menyakinkan padanya kalau aku nggak main-main. Aku mau memperbaiki semuanya. Aku ingin ulang semua dari awal. Mencoba segalanya dari awal. Aku sadar aku sendiri yang menghanyutkan diri dalam rasa yang terlarang ini. Aku tak pernah sedikitpun berusaha bangkit secara langsung untuk meninggalkan rasa ini. Aku tak berdaya oleh nafsu yang terus muncul.Melihat papa sampai menangis seperti ini membuatku merasa bagaikan anak paling durhaka di dunia. Baru dua kali aku melihat papa sehancur ini. Saat kematian papa rangga dan saat ini, saat mengetahui salah satu anak kebanggaannya melakukan kesalahan yang sama dengan yang sempat ia lakukan dulu. Aku tak bisa apa-apa sekarang selain menerima semuanya. Aku sadar ini memang sudah jalan yang terbaik. Walau harus mengorbankan hatiku dan arga. Tapi tak apalah, ini sudah resiko kami. papa terus terisak dalam pelukanku. Semakin menguatkanku untuk membulatkan tekad ini. Ini satu-satunya kesempatanku. Sekarang atau tidak sama sekali.
+++
Kulajukan motorku dengan kecepatan sedang, menyusuri lengangnya jalan raya pinggir pantai yang dingin. Motorku melaju tanpa arah, aku tak tau harus kemana. Pikiranku terus di penuhi dengan bayangan kejadian-kejadian barusan. Tak pernah ku sangka semua akan terbongkar secepat ini. Amarah tante livia, tangisan papa, semuanya membuatku semakin gusar. Angin malam yang dingin rasanya begitu menusuk tulang. Aku tak kuat lagi.
Ku hentikan motor tepat di depan sebuah caffe, sekarang jam delapan malam. Ku masuki ruangan caffe yang lengang itu. hanya terlihat beberapa orang dalam caffe itu. seorang pemuda berkacamata yang asyik membaca koran. Seorang wanita paruh baya yang asyik bercengkrama dengan seorang pria muda seusiaku. Dan seorang pria seusia papa yang sedang asyik merokok sembari menikmati alunan musik jazz dari homeband caffe itu. senyap sekali. Aku mengambil tempat di salah satu sudut ruangan yang agak gelap karena tak tercapai sinar lampu caffe yang temaram. Aku duduk dua meja jaraknya dari pemuda yang sedang asyik membac a koran itu. tak lama setelah duduk, seorang waitress cantik menghampiriku.
“pesan apa mas?”
“hmm.. cappucino hangat saja mbak” ujarku pelan.
“ok, itu aja mas?” aku hanya mengangguk, si waitress tersenyum lalu meninggalkanku. Aku kembali tercenung sendiri mendengarkan lantunan suara merdu dari penyanyi jazz wanita homeband caffe ini. Tak sampai sepuluh menit pesananku datang.
“silahkan mas” si waitress tersenyum manis lalu meninggalkanku. Ku seruput sedikit cappucinoku.
Pandanganku menjelajah ke seisi ruangan ini. Desainnya simple tapi elegan. Konstruksi dindingnya adalah total dinding kaca. Di pekarangan sempitnya ada sebuah kolam ikan berukuran sedang dengan air mancur tepat di tengahnya. Aku yang duduk dekat dengan kolam itu dapat dengan jelas mendengar suara kecipak air dari air mancur mini tersebut. Pandanganku tertuju pada pemuda yang ada di sampingku. Memakai celana jeans hitam dengan kaos lengan panjang warna hijau. Badannya cukup tegap untuk ukuran wajahnya yang terlihat begitu muda. Wajahnya putih mulus dengan alur lekuk wajah yang begitu jelas dan tegas. Sejak aku masuk tadi masih asyik dengan novelnya. Cukup tampan, aku seperti mengenalinya tapi tak begitu yakin karena wajahnya tertutup poni style harajukunya yang panjang. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, memandangiku sambil tersenyum. Mataku terbelalak begitu menyadari siapa dia.
“felix ?” pekikku kaget. Aku sadar sekarang, dia felix. Teman sekelasku waktu kelas tiga sma, waktu itu ia murid baru pindahan dari makassar yang di tempatkan di kelasku.
“apa kabar raffi ?” tanyanya santai, tetap dengan senyuman andalannya.
Aku bingung, ia seperti tidak terkejut bertemu denganku. Terus terang aku agak pangling melihat perubahannya sekarang, dia sepuluh kali lebih tampan dengan felix yang ku kenal semasa sma dulu.
“b..baik lix kamu kok di sini ?” tanyaku bingung.
“hehe, kaget ya kamu ? aku juga baru seminggu di sini kok, kakakku vina inget kan ? dia nikah dua hari yang lalu, nggak nyangka kita ketemu di sini, hmm.. makin ganteng aja kamu fi?” ia melangkah berpindah dari mejanya ke mejaku, duduk di sampingku, senyumnya masih saja manis seperti dulu.
“bisa aja kamu lix, kuliah kamu di sana gimana ?”
“yah puji tuhan lancarlah, aku nggak jadi ambil hukum fi, semenjak bokap meninggal nggak ada lagi yang punya ambisi buat maksa aku kuliah ke situ, akhirnya aku bisa puasin ambisiku sendiri, tau kan ? hehe.. kalo kamu gimana ?”
“wah-wah, brarti kita sejurusan dong lix, aku juga ambil fotografi sekarang”
Kami pun terlibat obrolan kecil yang hangat di caffe itu. jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam saat kami memutuskan pulang. Felix juga menggunakan motor kemari. Kami akhirnya pulang mengendarai motor masing-masing.
“woy fi ! lu kenapa sih, banyak diemnya dari tadi?” tanyanya bingung.
“eh, lix aku boleh nginep di apartement kamu nggak ?”
“hah ? kok.. aku.. aku nggak masalah sih fi ? tapi kamu kenapa mau nginep ? pasti ada masalah..”
“yah gitulah lix, di rumah ada problem pelik banget, aku nggak mood tidur di sana” ujarku gusar.
“yaudah, kita ngomong di sana aja, yuk..”
“oke”
Akupun mengikuti felix hingga ke apartement kakaknya. Dia sempat cerita kalau awalnya kakaknya ingin agar dia tinggal bareng mereka saja selama dia di kota ini, tapi dia menolak dengan alasan tak enak mengganggu keluarga baru mereka. Iapun memilih untuk tinggal di apartement saja. Begitu sampai di kamarnya ia meninggalkanku di ruang tengah, katanya ia ingin mandi dulu. Apartementnya standarlah, sudah lebih dari cukup untuk ukuran mahasiswa. Ku nyalakan tv plasma yang ada di situ, ku ganti-ganti channel tak ada yang cocok hingga akhirnya ku matikan lalu ku nyalakan sebatang rokok untuk mengisi kekosongan. Tak lama kemudian felix keluar dengan hanya mengenakan secarik boxer.
“mandi dulu lah fi, handuk udah di dalem kok,entar kamu pake baju aku dulu” ujarnya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“...” aku hanya mengangguk seraya mematikan rokokku lalu berjalan menuju kamar mandi. Limabelas menit kemudian aku pun keluar dengan hanya mengenakan secarik boxer, rasanya badanku sangat segar setelah mandi, ku lihat felix sedang di ranjang bersandar pada susunan bantak sambil merokok.
“pilih kaosnya di lemari sana fi” ujarnya seraya menunjuk lemari yang di maksud, ku pilih satu kaos putih polos yang tipis.
+++
“di rumah ada masalah apa sih fi ?” tanya felix hati-hati.
“ee...... lix, kamu inget arga nggak ?”
“hmm... ingetlah, kamu masih sama dia ?”
“iya lix, tapi...”
“tapi kenapa fi ?”
“hubungan kami udah ketahuan papa sama tante livi lix”
“apa ! serius kamu !? kok bisa ?” sergahnya tersentak.
“iya lix, entah siapa yang bocorin, tadi siang tante livi di kirimin foto-foto aku dan arga yanglagi ciuman”
“aduh.. trus ?”
“hmmphh... tante livi paling marah saat mengetahui ini lix, kamu tau sendiri dari dulu dia orangnya gimana, nggak ada ampun lagi lix, dia nyuruh aku kuliah lagi di amrik” aku tertunduk.
“hah ! serius ! trus kamu terima ?”
“iya lix, aku udah mikirin semuanya, aku mau terima itu semua, tapi... aku masih nggak tega sama arga lix”
Felix terus menasihatiku untuk memikirkan kembali keputusanku, ia menyarankanku untuk mengambil tindakan dengan memikirkan perasaan semua pihak. Sepertinya ia sependapat denganku.
“gitu fi, inget kita hidup bukan Cuma untuk kita sendiri, banyak pihak yang butuh andil kita dalam hidup, kita juga hidup bukan Cuma untuk hari ini, pikirkan semuanya setidaknya untuk satu tahun kedepan”
“makasih lix, senang bisa berbagi sama kamu”
*****
Sesaat kemudian keadaan hening. Felix dan raffi termenung, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Entah sejak kapan, raffi menyadari felix menatapinya dengan tatapan aneh, sedikit jengah raffi di buatnya. Dan entah setan apa yang merasuki mereka, tiba-tiba keduanya terperangkap nafsu. Felix bergerak mendekati raffi lalu menarik tengguk raffi, mendaratkan ciuman hangat ke bibir raffi. Raffi awalnya kaget, perlahan ia memundurkan kepalanya menjauhi felix. Menatap sendu felix dengan sejuta tanda tanya. Felix menatapnya datar, di lepaskan kacamatanya lalu lebih mendekatkan tubuhnya ke raffi, kembali dengan lembut mendaratkan ciuman ke bibir raffi. Ia mulai terbuai, ia diam, tak lagi mengelak dari permainan felix. Intens, felix terus melancarkan lumatan-lumatan hangat ke bibir raffi, tangannya merangkul punggung raffi, menempelkan dada mereka berdua. Nafas mereka menyatu, derunya memburu seirama. Raffi mulai di kuasai birahi yang menggila, ia kini membalas pagutan felix tak kalah panasnya. Tangan mereka perlahan mulai saling melucuti segala macam benda yang melekat di tubuhnya. Kini mereka masing-masing hanya berbalut secarik celana dalam ketat yang menonjolkan gundukan-gundukan yang sudah sejak tadi menegang. Entah kenapa di sini felix begitu memegang kendali permainan. Tubuhnya yang kekar menindih tubuh raffi yang sedikit lebih kecil darinya. Pagutannya semakin liar menstimulasi berbagai titik lecut rangsangan di tubuh raffi. Leher, dada, perut, hingga ke bagian-bagian paling sensitif tubuh raffi lainnya tak lepas dari liar lidah nakal felix, raffi kini pasrah, mendesah menikmati cumbuan-cumbuan ganas felix. Tubuh mereka menyatu, mereka melakukan semua malam itu, raffi betul-betul hanyut dalam buaian sahabat lamanya itu, bersama mereka melewati malam menggapai puncak-puncak kenikmatan.
Raffi tergolek lemas seusai permainan panas itu, berbaring lemah membelakangi felix yang sedang duduk bersandar di puncak ranjang bertopangkan dua buah bantal,tak ia hiraukan tangan nakal felix yang masih saja menari-nari menjelajahi punggung kokohnya. Raffi termenung, merenungi yang ia baru saja lakukan beberapa menit yang lalu. Ia semakin menyadari kalau ia adalah orang yang begitu mudah terbuai nafsu, selalu tak kuasa menolak jika nafsu itu mengejar hingga menguasainya. Hal ini menciptakan satu tanda tanya besar tentang perasaan sebenarnya ia kepada arga, apa rasa cinta yang selama ini ia percayai kepada arga hanyalah sebatas ini juga, dan cinta hanyalah penyangkalan dari itu semua ?, entahlah... tanya itu membuat dada raffi sesak, sebentuk rasa bersalah pada arga kembali menyeruak di benaknya. Ia menegakkan tubuhnya, bersandar di bantal, ia menoleh menatap felix yang sedang asik menghisap rokok, felix menoleh padanya.
“mau ?” felix menyodorkan sebungkus rokok padanya, tanpa suara raffi mengambil satu, menggunakan bara rokok felix untuk menyalakan rokoknya.
“ssssshhhhh...” asap tebal langsung mengepul begitu aldo menghembuskan hisapan pertamanya. Ia menengadah keatas, matanya terpejam.
Hening sesaat. . . . . .
“inilah yang salah di kamu fi..” ucap felix memecah kesenyapan, mata raffi terbuka, tapi tak menoleh.
“fi, apa kamu nggak pernah sadar kelemahan kamu inilah yang menyiksa kamu sampe saat ini ?” tanya felix semakin membingungkan raffi.
“maksud kamu apa ? aku nggak ngerti..” ia masih meluruskan
pandangannya.
“kamu terlalu gampang menggunakan hati dalam menjalani hubungan semacam ini” kali ini raffi menoleh.
Felix menghisap isapan terakhir dari rokoknya, lalu mematikan baranya di asbak, ia kembali menatap raffi...
“no country for gay man raffi, apa yang kamu harapkan dari arga untuk menjalani hubungan kalian kedepan, menikah dengan dia ? lalu dengan mudahnya mendapat restu dari keluarga-keluarga kalian.. haha.. naif-mu nggak sembuh-sembuh fi” ujar felix sambil terkekeh kecil.
“...” raffi tak menjawab, ia sadar semua yang felix katakan adalah benar.
“ayolah fi, raffi yang aku kenal dulu nggak selemah ini, sebagai kaum pelangi kamu harus kuat, harus bisa survive dengan tetap menikmati semua ini tanpa melibatkan hati, jangan terbuai dengan roman-roman picisan zaman dulu, aku yakin kamu bisa fi”
Drrrrrrttttt... drrrrrrtttttt... handphone raffi tiba-tiba bergetar, panggilan dari arga...
“halo ! kak, kamu dimana, kok telepon aku nggak di angkat dari tadi ?” terdengar suara arga dari speaker telepon, terdengar begitu panik.
“aku di rumah ga, maaf tadi lagi ada urusan jadi nggak sempet angkat telepon kamu, keadaan nggak memungkinkan untuk itu” sahut raffi parau.
“kok gitu ? kamu kenapa ? lagi ada masalah ? perasaanku nggak tenang terus dari tadi !” cecarnya bertubi-tubi.
“ga, aku... aku mau ngomong sama kamu...”
“ngomong apa kak, kamu kenapa ?”
“kita ketemuan di pantai sekarang juga, kamu bawa motor kan ?”
“i..iya, tapi ngapain kesana ngomong sekarang aja, udah malem ini”
“aku nggak bisa ngomong di telepon ga, ato mau aku jemput ?”
“ng..nggak usah, aku ke sana sekarang” dengan gusar di letakkannya
handphone kembali di atas meja.
“temui dia sekarang fi, selesain semuanya” ujar felix mantap.
Raffi tak menjawab, ia beringsut dari ranjang, mengenakan seluruh pakaiannya, lalu mengambil dompet, handphone dan kunci motor di meja, felix pun mengenakan boxernya, menemani raffi kedepan. Dengan sigap raffi menaiki motornya, kemudian mengenakan helm, motor di starter lalu mulai merayap keluar. Tepat di depan gerbang ia berhenti,
menoleh...
“lix !” felix menoleh.
“makasih !” hanya di jawab dengan anggukan dan senyuman oleh felix.
*****