It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
makasih juga atas komennya..
@diyo_d_y: loh.. kan maksudku sama jawabannya.. hehe iya deh aku minta maap
oke @fahmy37.. habis ini lanjut
@monic: hehehehee... aku ga berani pasang yang berat-berat, pengaruh sama alur cerita soalnya, aku juga ketawa2 sndiri bacanya. tapi mnurutku batu ginjal sdh cukup berat buat rama.
maaf nih temen2.. baru bisa update dikit
part 14,[ third step-in progress]
Wajah esa terasa hangat dan matanya agak silau. Karena merasa tergangu, esa membuka matanya perlahan. Sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela membuat matanya silau. Akhirnya saat nyawa esa benar-benar sudah terkumpul, ia sadar kalau saat ini ia sedang berada di kamar rumah sakit. Dilihatnya ibu rama yang sedang tersenyum padanya.
“sudah bangun, nak?” sapanya pelan.
Esa tersenyum padanya dan mencoba membenarkan posisi duduknya. Esa sedikit terkejut, ketika mendapati jaket rama menutupi tubuhnya.
‘hah..? jaket rama..’ sejurus kemudian wajah esa memerah. Ia tidak bisa membayangkan kalau semalam rama menyelimutinya dengan jaketnya sendiri. Esa pun segera menoleh kearah samping, tepat di kursi tempat rama duduk semalam. Ternyata kursi itu kini kosong.
“loh, rama mana bu?” tanya esa pada ibu rama.
“oh, ga tau tadi keluar..”
Esa manggut-manggut lalu berdiri, tak lupa ia terlebih dulu melipat rapi jaket rama lalu meletakkannya di kursi.
“ya sudah, bu.. saya mau nyari rama dulu ya bu..” izin esa pada ibu rama yang mengangguk.
Esa pun segera meluncur meninggalkan kamar itu. Dilihat jam tangannya, sudah menunjukkan angka 08.14.
‘duh..rama pasti nemuin dokternya nih..’ tebak esa dalam hati.
Esa pun menanyakan keberadaan dokter untuk penyakit dalam pada suster yang sedang lewat. Begitu mendapat arahan dari suster, esa berlari kecil menuju ruang yang dimaksud.
akhirnya ia berhasil menemukan ruang si dokter, langsung saja ia buka pintunya (dasar ga tau aturan), namun baru sedikit esa membukanya, ia bisa mendengar suara rama sedang berbicara dengan dokter, dari suaranya kedengarannya serius sekali. Esa pun memilih untuk tidak membuka pintu itu dan mendekatkan telinganya di daun pintu.
“jadi, bagaimana cara menyembuhkannya dok?”Tanya rama dengan nada tertahan.
“ya.. untuk kasus ibu anda, satu-satunya jalan ya operasi, karena ukuran batu di ginjal ibu adik cukup besar. jika tidak segera diangkat, ibu adik bisa beresiko mengalami gagal ginjal. nah ini bisa makin fatal jadinya”
Tak terdengar suara dari rama untuk beberapa saat.
“kalau boleh tahu, kira-kira berapa biaya untuk operasi itu dok?”
“tergantung, anda ingin operasi yang bagaimana? Jika operasi yang biasa, melalui pembedahan, biayanya sekitar Rp 20.000.000 belum termasuk biaya perawatan dan obat.”
Mata esa seketika terbelalak. Ia tak menyangka biaya operasi untuk batu kecil saja sampai semahal itu. Bagi esa saja biaya segitu cukup berat, bagaimana dengan rama??
“hmm… apa tidak ada jalan lain dok? Selain operasi?”
“tidak ada dik.. batu itu Cuma bisa diangkat lewat pembedahan.”
Tak terdengar lagi suara rama untuk beberapa saat. Esa mencoba mengintip lewat celah pintu, ia lihat rama sedang tertunduk lesu. Rama pasti sedang kebingungan sekarang. Esa jadi tidak tahan melihatnya.
Tampaknya sang dokter juga mengerti perasaan rama, ia pun menyimpulkan jari jemarinya diatas meja dan berbicara pada rama dengan tatapan simpati.
“begini saja, kalau memang operasi dengan pembedahan biayanya terlalu mahal, saya rekomendasikan supaya ibu anda menjalani operasi dengan ESWL. nah, Itu tidak memerlukan pembedahan, dan biayanya juga jauh lebih terjangkau daripada pembedahan.”
Wajah rama kembali bangkit dan menatap sang dokter dengan serius.
“benar tanpa pembedahan dok? Lalu kira-kira biayanya berapa?”
“iya, ESWL menggunakan media kejutan listrik untuk menghancurkan batu ginjal. Biayanya ya.. mungkin antara Rp 4-6 juta.. tapi rumah sakit kami belum punya teknologi itu. Jika memang adik ingin menggunakan ESWL, bisa kami rujuk ke RSSA Malang, disana sudah ada fasilitas itu.”
Itu bukan kabar yang cukup baik bagi rama maupun esa. Esa tahu, kalau jumlah segitu juga masih besar bagi rama. esa kembali mengintip lewat celah-celah pintu, rama sedang menunduk seperti sedang memeikirkan sesuatu. Hingga akhirnya sang dokter membuatnya tersadar kembali.
“ya sudah, lebih baik adik pikirkan dulu.. beritahu keluarga adik. Jika sudah ada keputusan, adik bisa hubungi saya.”
Rama hanya mengangguk dengan kikuk seperti wayang yang tidak disangga. “iya dok”
Esa memalingkan wajahnya dari celah pintu. Sejenak ia menghembuskan nafas panjang lalu bergegas meninggalkan tempat itu.
‘rama tidak boleh tahu kalau aku disini menguping pembicaraannya” batin esa sambil berlari kecil menuju kamar ibu rama.
Sementara rama keluar dari ruang sang dokter dengan langkah gontai. Ia bingung sekali. Ibunya hanya bisa disembuhkan lewat operasi, meskipun dengan ESWL yang memang jauh kebih murah, tapi tetap saja.
‘darimana aku bisa dapat uang segituu…’batin rama.
bonus yang ia terima semalam mungkin hanya cukup untuk menutup biaya perawatan ibunya di RS ini, tapi sangat tidak cukup untuk biaya operasi. Bahkan uang hasil penjualan warung juga tidak mungkin cukup, uang itu juga merupakan modal untuk berjualan.
Kini rama memilih untuk duduk di sebuah kursi, tubuhnya lemas. Dia menutup wajahnya yang pucat dengan kedua telapak tangannya. Beribu sesal dan kesedihan memenuhi pikirannya. Entah kenapa saat ini dia merasa sendiri. Ia hanya hidup berdua dengan ibunya, tidak pernah ada sanak saudara yang ia pernah kenal. Hanya ibunya satu-satunya keluarganya.
‘andai saja aku punya kakek dan nenek.. andai saja aku punya paman atau bibi yang baik seperti tante eny.. andai saja aku punya…’
Tak terasa bulir-bulir embun mengalir dari balik telapak tangannya.
‘ayah.. andai saja ayah ada disini… ‘
***
Tok,tok,tok…
“masuk..” ujar ibu rama pada seseorang yang mengetuk pintu.
Daun pintupun bergerak dan muncul sosok esa yang kemudian memasuki ruangan. Tampak wajahnya yang tersenyum meski tersirat kegetiran disenyumnya. Ibu rama menangkap kegetiran itu dan dengan sedikit mengerutkan alis ia bertanya pada esa.
“nak esa.. kenapa? Kok kayaknya sedang sedih?”
Esa yang sedang mengambil barang-barangnya jadi sedikit terkejut dan menatap ibu rama sesaat, namun seketika ia palingkan wajahnya sambil tersenyum, ia tidak tega meliat wajah ibu rama.
“hmm.. ga.. gapapa kok bu..” esa terdiam sesaat.
Ibu rama tampak tidak yakin dengan jawaban esa, namun ia memilih untuk mempercayainya dan bertanya lagi pada esa.
“oh.. lalu.. mana rama?”
Mendengar pertanyaan itu, esa bergeming. Ia bingung apa yang harus ia katakan. Apa esa harus berterus terang bahwa rama sedang mendiskusikan pengobatan ibunya? Esa segera menghilangkan pikiran itu,
‘nggak… ibunya rama bisa jadi bingung nanti..’batinnya.
“hmm.. tadi esa nggak ketemu rama, bu.. mungkin dia lagi keluar buat beli makanan.”
Hanya itu yang bisa esa jadikan alasan, ga ada lagi.. -_-
Tampak ibu rama mengangguk-anggukka kepalanya. Sementara Esa berniat untuk pulang, ada sesuatu yang ingin ia lakukan.
“bu, saya izin mau pulang dulu.. mau mandi...” kata esa sambil berjalan mendekati ranjang ibu rama untuk meraih tangannya.
“oh iya.. terima kasih banyak ya nak.. “balas ibu rama yang mengulurkan tangannya dan kemudian dicium oleh esa.
“iya bu.. sama-sama”.
Setelah itu, sebelum ia melepaskan tangan esa, ia memegang tangan esa dengan kedua tangannya.
“terima kasih nak.. sudah mau menemani ibu dan rama disini.. ibu senang sekali..” tampak wajah ibu rama yang pucat tersenyum dengan cantiknya, meskipun tampak bulir-bulir embun menggenang di kedua matanya.
Esa tak kuasa menahan kegetirannya, dadanya terasa sesak sekali. “iya.. maaf bu, esa cuma bisa bantu dengan ini..”
Ibu rama menggeleng dengan lembut, “nggak nak.. dengan kamu disini, menghibur rama, sudah cukup membahagiakan ibu.. “
Esa melengkungkan senyumnya meskipun tampak rapuh menahan sesal, seperti bendungan tipis yang akan jebol karena tidak kuat menahan luapan air.
“rama sangat beruntung, punya sahabat seperti kamu..”
Esa mengangguk, “iya bu.. terima kasih..”
esa pun dengan lembut melepaskan tangannya dari tangan ibu rama lalu berpamitan.
Setelah ia meninggalkan kamar ibu rama, ia berjalan dengan langkah tegas. Tampak wajahnya yang tadi sedih berubah menjadi tegas. Dikeluarkannya hape dari sakunya dan menghubungi seseorang.
“om, jemput esa sekarang!” tanpa menunggu balasan dari om le, esa segera menutupnya lalu menghubungi nomor lain.
“ayah, hari ini ayah ada waktu luang? Esa mau kesana, ada hal penting yang esa mau sampaikan.” Setelah itu sosok esa menghilang di dalam lift.
“I’ll do my best for you, rama… just wait for me…”
Sementara itu rama sudah berada di depan pintu kamar ibunya. Ia mencoba menghapus bekas-bekas kesedihannya dan memastikan wajahnya tetap tampak ceria. Setelah ia siap, ia pun membuka pintu itu. Ia lihat ibunya yang sedang berbaring di ranjang, namun ia tidak menemukan esa disana. Rama pun menghampiri ibunya.
“kemana saja kamu ram? Tadi dicari esa lo..” Tanya ibunya dengan nada sedikit cemas.
Kali ini rama yang bingung. Dia tidak tahu kalau esa mencarinya. Apa yang harus rama jawab? Apakah ia harus berterus terang kalau ia baru saja menemui dokter dan menanyakan pengobatan ibunya?
‘nggak..! ibu ga boleh tahu.. ibu pasti bingung nanti..’ batin rama.
“hmm.. iya, tadi aku ke kamar mandi..”
yah.. hanya itu jawaban yang bisa rama katakan. Ia harap jawaban itu bisa melegakan perasaan ibunya -_-
“ohh.. wah esa pikir kamu beli makan di luar..”
Kini rama kembali sadar akan perginya esa. “oh iya, bu.. esa kemana?” Tanya rama seperti habis kehilangan ayam.
“esa tadi izin pulang dulu.. mau mandi katanya.” Terang ibu rama.
rama manggut-manggut dan duduk di kursi tempat esa tidur tadi. Rama melihat jaket jeansnya terlipat rapi di meja. ia tersenyum sekilas, ‘dasar.. datang dan pulang ga bilang-bilang.. asal nyelonong aja’ celetuk rama dalam hati.
“rama..”
Tiba-tiba suara ibu rama memanggilnya. Rama pun bangkit dari kursinya dan menghampiri ibunya.
“ya bu?”
Ibu rama menoleh padanya dengan tatapan yang dalam. “lebih baik kamu jujur nak.. ibu sudah tahu semuanya.. tentang penyakit ibu.. suster yang memberitahu..”
Jleb.. hati rama bagai di tembus sebuah anak panah mendengar pengakuan ibunya. Ternyata ibu sudah tahu tentang batu di ginjalnya. Kini rama tak punya alasan lagi untuk menutup-nutupi hal itu.
“maaf rama.. ibu ini sudah nyusahin kamu..”
kini tangis ibu rama sudah tak terbendung lagi. Tetes air mata ibu rama mulai meluncur membasahi pipi dan bantal tempat ia menyandarkan kepalanya.
Rama yang tadi sempat berpikir bahwa air matanya telah kering, toh kini matanya mulai berkaca-kaca. Ia tidak tega mendengar dan melihat kesedihan ibunya.
“ga papa bu.. ibu ngapain minta maaf? Ibu juga kan ga mau sakit kayak gini.. ini sudah rencana Allah..” hibur rama, ia kini berlutut di sebelah ranjang sehingga ia bisa sejajar dengan wajah ibunya. Ia genggam dengan lembut tangan ibunya. Sementara ibunya masih berlinang air mata, tak ada satu katapun yang bisa ibu rama ucapkan, nafasnya habis dalam isak tangisnya, tak ada nafas yang bisa ia gunakan untuk bicara.
“sudah bu.. ibu tenang ya.. Cuma batu kecil kok, ibu pasti sembuh.. “
rama mencoba meyakinkan ibunya, padahal ia sendiri masih bingung apa yang harus ia lakukan. Rama hanya bisa sesedikit mungkin menunjukkan kesedihannya, ia harus tetap melengkungkan senyumnya pada ibunya.
‘ibu.. rama pasti bakal ngelakuin apapun demi ibu.. apapun.. demi kebahagiaan ibu.. ibu hanya perlu bersabar sedikit lagi..’
***
Rama απϑ esa pantes untuk bahagia..
Buat TS, lanjutin aja cerita nya sesuai apa yg sudah di rencanakan, ini cuma info aja, mungkin berguna di lain waktu,
kan kita tau esa pengen bisa dapat hati rama, yuk di lanjut
tetap semangat ya
..
Mayday today..
asal nebak deh,,,heeeee
lanjut A,,heeee