It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
part 20, regret
Mobil esa berhenti tepat di depan gang rumah rama yang sudah lengang. Esa menatap rama yang sedang melepas sabuk pengamannya.
“makasih..”ujar rama pelan, dia mendorong pintu mobil tanpa sedikitpun menoleh pada esa.
“tunggu babe..”cegah esa sambil menangkap tangan rama.
rama pun kembali duduk, tak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya dan matanya masih tetap enggan untuk hinggap di wajah esa.
Esa mengkerutkan alisnya, “babe.. kamu marah sama aku..” tanyanya lirih.
Rama tetap diam. Matanya menatap kosong kedepan dan wajahnya masih datar dan pucat.
Melihat ekspresi rama, esa benar-benar merasa tidak enak. Ia menghela nafas sejenak dan dengan hati-hati ia sentuh dagu rama dan ia palingkan wajah rama ke arahnya. Bahkan saat wajah mereka saling berhadapan, mata rama masih mencari focus selain wajah esa. Esa membelai lembut pipi rama dan ia dekatkan wajahnya ke wajah rama.
“babe.. plis liat mata aku babe..”pintanya lembut.
Dengan ragu, akhirnya mata rama bergerak menuju mata esa. Esa terhenyak sesaat. Mata rama, sama seperti sebelum mereka berteman dekat. Mata yang sendu, hitam gelap dan sarat dengan kepedihan. Mata yang mengiris hati itu dulu pernah bercahaya dan ceria seperti pelangi. Kini semua kembali menjadi hitam.
“kamu marah sama aku, babe..?”Tanya esa, suaranya bergetar lirih.
Rama tidak segera menjawab pertanyaan esa. Matanya tampak bergerak-gerak menatap wajah esa.
“nggak babe..”ujar rama tipis.
Bibir esa tampak melengkung tipis, entah kenapa dia tersenyum meski hatinya pedih karena tahu, jika rama berbohong.
“maaf babe.. aku mohon kamu mau ngerti..” esa berkata dengan mengiba, berharap rama dapat luluh hatinya. Sementara rama masih menatapnya dengan diam. Lalu ia mendekati wajah esa lalu mencium dahinya sesaat.
“ya, aku ngerti.”ujarnya singkat lalu beranjak dari mobil itu.
Esa terpaku dan matanya bergerak mengikuti sosok rama yang berjalan melewati gang. Ciuman hambar yang baru saja rama berikan justru menambah sakit di dada esa. Sambil menahan tangis, esa mencoba untuk tersenyum pada dirinya sendiri, lalu melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, rama masih berjalan dengan gontai menuju rumahnya. Sesal, kesal dan sedih semua bercampur aduk di dada rama. dia menyesal telah berjanji pada esa. Dia kesal karena telah diperdaya dan dipermainkan oleh esa. Dia sedih karena harus jauh dari nara..! Kalau bisa sebenarnya rama ingin berteriak sekencang-kencangnya menyesali nasib. Kalau saja rama khilaf, dia bisa saja memukul wajah esa tadi.
Dia muak! Dia kecewa dengan sifat asli esa. Dia bahkan sudah malas untuk melihat wajahnya. Rama menghembuskan nafas panjang. Dia mencoba untuk mendinginkan hatinya. Bagaimanapun, rama tidak mampu melakukan itu. Entah kenapa rama tidak bisa untuk membenci esa. Esa sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Kini orang yang ia anggap adik itu telah mengkhianatinya. Rama menengadahkan wajahnya ke langit malam. Langit hitam yang berawan kelabu. Dengan ditemani ribuan bintang temaram, sang bulan tampak bercahaya lembut, membasuh wajah sedih rama.
‘nara.. maafkan aku nara.. ‘
Di tempat lain di waktu yang sama, nara sedang duduk sendiri di kursi tempat rama duduk tadi. Keramaian pesta tak mampu mengganggu kekhidmatannya malam itu. Ia tersenyum simpul melihat sebuah pin berbentuk penguin di tangannya. Ia genggam erat pin itu dengan kedua tangannya dan ia menengadah ke langit, memandang bulan yang sama yang rama pandang saat ini.
‘terimakasih rama… ini hadiah terbaik yang pernah aku terima seumur hidupku.. ‘
Ironis memang, ketika melihat nara yang belum menyadari, kalau pin itu mungkin saja adalah sebuah hadiah perpisahan dari rama.
***
Matahari mulai menunjukkan dirinya dengan malu-malu dibalik awan. Cahayanya temaram karena tertutup mendung. Di suasana yang suram itu, esa berjalan dengan gontai menuju kelasnya.
Matanya berat dan sembab, dia tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan rama. sikap rama langsung berubah total sejak kejadian itu. Esa tidak tahu harus lega atau justru menyesal telah memaksa rama menjauhi nara. meskipun lambat laun esa juga harus menerima kenyataan kalau dia telah menyesal. Semalam dia telah dibutakan oleh amarah, dia tidak pernah menyangka hasilnya bisa sampai begini.
saat esa masih berkutat dengan pikirannya sendiri, sebuah tangan menepuk pundaknya. Seketika lamunannya buyar, esa segera menoleh, berharap yang menepuk pundaknya adalah rama. tapi wajah esa segera menjadi pucat ketika nara tersenyum padanya. Tampak ada sesuatu yang baru dari penampilan nara. tidak banyak, hanya satu yang baru. Sesuatu yang berkilat indah tertaut di sweeternya.
‘apakah itu..’
“hei.. lagi jalan kok sambil melamun sih..?”
Suara nara terdengar dalam tapi ringan dan manis. Tidak seperti cewek lainnya yang cempreng atau kecentilan. Esa terdiam sesaat lalu ia paksakan untuk tersenyum pada nara.
“eh, kenapa kamu semalem kok buru-buru pulang?”Tanya nara lagi.
“hmm.. iya maaf nar, semalem akuu..” esa berpikir sejenak untuk mencari alasan yang sesuai. “sakit perut, nar…. Ga tahann..”
Hanya itu yang bisa esa pikirkan. Ia menyengir pada nara seakan tanpa dosa. Nara terkekeh kecil mendengar kata esa.
“esaa… esa.. kok ga di rumah ku aja sih..?”
“hehe.. kan maluu…”
“yah.. ngapain malu, melani semalem juga sakit perut tuh… wah, apa mungkin karena makananku ya..?”wajah nara berubah jadi khawatir.
“oh,, nggak kok nar..! pas aku berangkat emang sudah kerasa agak ga enak..” kilah esa.
“hmm… beneran? Lain kali jangan malu ya, anggap aja rumah sendiri kalo di rumah ku..”
Nara tersenyum lebar ke arah esa, sementara esa hanya tersenyum getir. Ia tidak suka dengan senyum itu, seakan membuat nara begitu baik dan esa jadi lakon jahatnya.
Tak lama kemudian keduanya sampai di kelas mereka. Ternyata rama sudah duduk dengan tenang di bangkunya. Dia sekilas melihat esa dan nara yang berjalan berdampingan. Nara berjalan ke bangkunya dan tersenyum pada rama. namun senyum nara memudar ketika rama memalingkan wajahnya ke arah jendela. Nara tampak mematung sebentar dengan ekspresi getir bercampur heran.
Esa melihat hal itu. Ia seharusnya lega karena melihat rama yang memenuhi janjinya untuk menjauhi nara, tapi entah kenapa tak ada sedikitpun senyum yang tergambar baik di bibir maupun di hatinya saat ini. Semuanya terasa canggung dan getir. Esa pun memecahkan suasana canggung itu dengan menepuk pelan bahu nara. “nar, aku kesana dulu ya..” ujar esa.
Nara segera menyadarkan dirinya sendiri dan segera membalas senyuman esa.
“iya sa..” ia lalu duduk di kursinya dan meletakkan tasnya di atas bangku.
Sementara esa menghampiri bangku rama.
Saat esa duduk disampingnya, rama masih menatap ke arah luar jendela, entah apa yang ia cari. Esa menghela nafas berat. Ia tidak punya nyali untuk menegur rama saat ini. Esa khawatir, mungkin rama marah padanya saat ini.
4 jam terasa begitu menyiksa bagi esa. Suasana yang ada benar-benar tidak enak, dingin dan hambar. Ini sama seperti saat esa dan rama pertama kali berkenalan. Tidak seperti beberapa hari yang lalu, saat mereka saling bercanda dan tertawa.
Dalam kebisuan itu, esa menggigit bibirnya. Ia merindukan saat-saat itu. Ia rindu dengan tawa dan senyum rama..
Esa tidak kuat lagi menahan kerinduannya itu. Ia pun memikirkan sesuatu yang sekiranya bisa ia jadikan bahan untuk mendapat perhatian rama.
“hmmb… pak Asrul itu ngomong apa sih..? ngomong ma ngorok ga ada bedanya..”celetuk esa.
Hati esa berdebar, wajah esa tampak menahan geli, ia tak sabar melihat respon rama. biasanya rama akan terkekeh pelan jika mendengar candaan esa. Tapi sayang, wajah esa kembali layu ketika candaannya itu hanya dibalas dengan kebisuan rama. rama dengan acuhnya mencatat apa yang pak Asrul katakan. Esa pun menghembuskan nafas berat dan kembali menatap ke depan, ia memikirkan bahan lain yang mungkin bisa menarik perhatian rama.
“eh, liat deh, aku punya video lucu loh…!” esa menyodorkan hapenya ke arah rama, namun ia hanya melihat sekilas, lalu kembali memalingkan pandangannya ke arah buku catatannya. Esa pun kembali menarik tangannya dan memasukkan hape itu ke dalam saku celananya dengan kecewa.
Agak lama esa diam, dia sibuk mencari bahan lain. Tapi beberapa kalipun esa berusaha, rama sama sekali mengacuhkannya. Hingga akhirnya esa tidak bisa lagi berpikir. Dia menyerah. Esapun duduk termenung di bangkunya.
Sejenak rama melihat esa yang menundukkan wajahnya dengan sedih seperti anak kecil yang habis dimarahi ibunya. Rama sedikit iba padanya. Rama akui dia terlalu kejam pada esa hari ini. Bukan karena rama ingin begitu, tapi ia memang tidak bisa. Ia tidak bisa merekayasa perasaannya di depan esa. Hati rama pedih saat ia harus memalingkan wajah dari nara. nara yang tidak salah dan tau apa-apa. Dan hatinya sungguh sesak ketika melihat esa, penyebab semua masalah ini, yang datang padanya dengan wajah tanpa dosa. Sedih dan kesal menjadi satu di waktu yang sama. Membuat tak ada persediaan senyum lagi yang tersisa di wajahnya.
‘kriinggg….’
Bel tanda istirahat sudah berbunyi. Pak asrul segera membereskan barang-barangnya dan meninggalkan kelas sambil berpamitan pada siswa-siswanya. Setelah pak asrul pergi, para siswa pun berhamburan keluar kelas. Suasana menjadi riuh, seakan melampiaskan semua kata-kata dan tawa yang selama 90 menit tertahan di dada. Yah maklum, pak asrul ga suka kalo ada yang celometan selama dia mengajar.
Pada sast itu, nara sedang mencatat tulisan-tulisan pak asrul yang terukir keriting di papan tulis, sementara melani sudah beranjak dari kursinya.
“nar, aku ke kantin dulu yah.. kamu nitip apa?” tawarnya sambil mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.
“hmm.. air mineral aja deh..”sahut nara.
“okeh..”
Melani pun meninggalkan kelas bersama dika dan cici, sedangkan nara menyelesaikan menulis catatannya. Akhirnya nara selesai menggoreskan sebuah titik di bukunya dan ia menutup buku itu lalu memasukkannya ke dalam tas. Sejenak ia menghela nafas lega. Saat nara melihat sekelilingnya, ternyata kelas sudah sunyi, dan saat ia menoleh ke sudut belakang ruangan, ia melihat esa dan rama masih duduk di sana. Nara pun berdiri di tempat duduknya dan berjalan menuju bangku itu.
Melihat nara yang berjalan ke arahnya, rama segera memalingkan lagi wajahnya, dadanya kembali bergejolak. Nara melihat kelakuan aneh rama itu, ia pun mencoba menyapa kedua cowok itu.
“hai sa.. hai ram..”sapanya lembut. esa tampak tersenyum dengan canggung, sementara rama masih melihat ke arah luar jendela.
Nara benar-benar heran dengan sikap rama, tidak biasanya ia begitu. Bahkan setelah kejadian tadi malam..
“hai rama..”sapanya lagi, kali ini dia mencoba mendongakkan wajahnya ke arah pandangan rama, berharap rama melihatnya.
‘deg..’ dada rama semakin bergemuruh tak terkendali. Ia pejamkan matanya rapat-rapat lalu dengan tiba-tiba ia berdiri dari tempat duduknya lalu meninggalkan bangku itu. Bahkan ia tidak menatap nara saat ia melewatinya. Dengan langkah panjang ia berjalan meninggalkan kelas dan menghilang.
Nara termenung melihat sikap rama, begitu juga esa. Esa hanya menundukkan wajahnya semakin dalam.
“esa.. rama kenapa?”
Suara nara membangunkan esa dari kesedihannya. Ia mendongakkan wajahnya dan melihat nara yang masih terpaku menatap pintu, tempat dimana ia bisa melihat rama terakhir kali sebelum ia menghilang. Esa menghela nafas panjang.
“nar,, kamu duduk sini..”pinta esa, ia sendiri berdiri dan pindah ke kursi rama.
Narapun duduk di kursi esa dan keduanya sama-sama termenung untuk beberapa saat, hingga akhirnya suara nara membuyarkan keheningan itu.
“sa.. rama kenapa?”
Esa tidak segera menjawab pertanyaan nara. “e..emang kenapa rama, nar..?” esa balik tanya, ia mencoba berlagak bodoh seolah-olah tidak melihat hal itu.
“ya gitu.. dari tadi rama ga mau lihat aku.. tadi malah pergi gitu aja.”
Nara terdiam sesaat, lalu melanjutkan kata-katanya. “apa rama marah sama aku..?”
Esa termenung mendengar pertanyaan nara, ia tundukkan wajahnya lagi.
“dia pasti nggak marah sama kamu nara..”,
‘tapi marah sama aku..’, balasnya dalam hati.
“mungkin dia punya alasan lain, kenapa dia bersikap kayak gitu..”,
‘yaitu karena dia janji buat jauhin kamu nar..’.
lalu esa memandang wajah nara dengan senyum yang masih tersisa dari wajahnya.
“aku yakin, dia sama sekali ga benci ma kamu nar..”
‘karena dia cinta sama kamu nara..’
Nara terhenyak dengan kata-kata esa, lalu tersenyum. Ia menundukkan wajahnya lalu ia meraih pin mengkilat yang esa lihat tadi. Ia tersenyum memandanginya, lalu sebutir embun menetes dari matanya.
“semalam dia kasih ini ke aku..”
Dada esa terasa sesak, dugaannya benar, ternyata pin bergambar penguin itu adalah pemberian rama.
“lucu ya..?”tanyanya lagi, ia melepas pin itu dari sweeternya dan menunjukkannya pada esa. Esa mengangguk pelan. Meski hatinya teriris, ia berusaha untuk tersenyum dan memujinya.
“iya.. lucu nar..”ujarnya parau.
Nara tersenyum kecil lalu menarik lagi pin itu. Ia pandangi pin itu, seolah air mata tak mampu menghalangi penglihatannya.
“ini kado pertama dari rama.. “
Nara menggenggam pin itu dan ia tempelkan ke bibirnya. “aku pikir.. aku pikir aku bisa dekat dengan dia.. tapi.. entah kenapa sekarang aku sadar, kalau dia semakin jauh dari aku..”
Esa menunduk mendengar curahan hati nara. dia sedih juga iri. Ia iri pada nara, karena ia lebih beruntung. Ia beruntung karena cintanya pada rama tidak bertepuk sebelah tangan. Tidak seperti esa. Andai rama tahu jika nara juga mencintainya begitu juga jika nara tahu jika rama mencintainya…
Tak ada kesempatan bagi esa. Esa merasa dirinya tidak berguna dan tak ada artinya.
Untuk beberapa lama esa tidak bisa berkata apa-apa selain menemani nara yang terisak sendiri. Saat nara melihat esa, ia baru sadar jika esa terpaku dengan wajah datar dan air mata menetes juga di sebelah matanya.
“esa.. kamu kenapa nangis..?”Tanya nara setengah terisak.
Esa sontak tersadar dan segera menghapus air matanya.
“eh, enggak..hehe.. aku… Cuma suka ga tega kalo liat orang nangis..”kilah esa.
Nara tersenyum lalu ia pun menghapus air mata di pipinya. Ia memandangi lagi pin itu lalu menyodorkannya pada esa. Esa yang bingung hanya bisa menatap heran pada nara.
“tolong sa.. berikan ini pada rama..” ujar nara.
Esa tercengang, “apa nar..? kenapa..?”
Melihat kebingungan yang melanda sahabatnya itu, nara hanya tersenyum, ia meraih tangan esa dan meletakkan pin itu di telapak tangannya.
“berikan pada rama.. bilang padanya, aku ga tau apa yang membuat dia menjauhi aku.. aku minta maaf kalo dia marah sama aku. Tapi tolong, sampaikan ke rama, kalo aku menyukainya, dan akan tetap begitu meski ia jauh dari aku. Aku juga berharap, dia mau make pin ini.. itu tandanya dia menerima maaf ku.. atau kalau dia mau, dia bisa berikan pin ini ke orang yang dia sayangi..”
Mata esa menerawang kosong ke wajah nara. nara sendiri dengan lembut menggenggam tangan esa yang berisi pin itu.
“iya nar.. aku janji, akan nyampein pesan kamu ke rama…”
Mendengar suara parau dari esa, nara mendongakkan wajahnya ke arah esa. Ia tersenyum dengan indahnya.
“terima kasih sa.. “ujarnya pelan.
Esa membalas senyum itu dengan susah payah.
“ya sudah, aku mau ke bangkuku lagi ya, sebelum melani datang, bisa jadi gosip ntar kalo kita mojok berduaan disini” nara terkekeh pelan begitu juga esa.
ia lalu melepaskan genggamannya dan beranjak dari kursi itu.
Sebelum ia pergi, ia memalingkan wajahnya ke arah esa, “esa.. aku beruntung, punya sahabat seperti kamu.. aku ga tau gimana caranya aku berterima kasih sama kamu..”
Esa terhenyak sesaat, ia pun mengangguk dan membalas senyuman nara. “iya.. sama-sama nara..”
Senyum nara kian lebar setelah melihat senyum esa, ia pun berbalik dan berjalan menuju bangkunya. Begitu ia duduk, melani, cici dan dika sudah datang. Melani membawa air mineral pesanan nara dan duduk di bangkunya, begitu juga cici dan dika yang duduk mengitari bangku itu. Melani sedikit heran ketika melihat mata nara yang agak sembab.
“kamu kenapa nar?”tanya melani.
Nara menggeleng pelan sambil tersenyum. “nggak..gapapa kok.. tadi Cuma kelilipan,sakit banget..”kilah nara.
“ooh... ya deh,, kirain kamu habis dicerai sama esa..hehe” celetuk melani. Mereka pun tertawa sementara nara tersenyum kecil.
Sementara itu, esa masih memandangi nara dari belakang. Dia merasa kasihan pada nara, tapi dia juga mengasihani dirinya sendiri.
‘apa yang harus ku lakukan? Haruskah aku ngasi pin ini ke rama? Trus, gimana dengan aku...?’
Saat esa sedang berkutat dengan pikirannya sendiri, di tempat lain rama sedang bersandar di pohon yang biasa ia tongkrongi.
Di tempat itu, rama mengenang masa-masa indah yang pernah ia alami,baik dengan esa maupun nara.
Kini semua kenangan itu terlihat seperti mimpi yang tak akan terulang.
Dia teringat kejadian di kelas tadi, saat nara menyapanya dan ia mengacuhkannya dengan dingin. Sebenarnya hati rama sendiri teriris. Siapa yang tak sedih jika kita harus berusaha menjauhi orang yang ia sukai, lebih-lebih membuat perasaannya terluka. Rama tidak kuasa lagi menatap wajah nara. ia tidak tahan lagi melihat wajah esa. Ia memilih untuk meninggalkan tempat itu. Mungkin dengan menjauhi keduanya jadi terasa adil bagi keduanya, baik esa maupun nara. ia jauhi nara tapi ia sendiri telah kehilangan simpati pada esa. Dengan begini, semuanya sama. Semuanya tak ada yang mendapat cinta, bahkan untuk rama sendiri.
‘yah.. mungkin ini yang terbaik..’pikir rama.
Suara bel tanda istirahat telah usai terdengar sayup-sayup. Rama pun beranjak dari tempat itu dan berjalan menuju ruangan kelasnya.
***
Ruangan kelas tampak senyap. Tidak hanya kelas XI IPA 2 saja, tapi seluruh SMA X tampak lengang. Para siswa, staff TU dan guru sudah meninggalkan sekolah, hanya dua orang saja yang masih tinggal dan duduk di sudut ruangan kelas XI IPA 2.
Esa dan rama tampak duduk termenung tanpa kata-kata. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Rama menunggu tindakan esa. Tadi esa menahannya untuk pulang karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Rama hanya menghela nafas panjang. Dia sudah bisa memperkirakan apa yang nantinya akan esa katakan.
Sudah lebih dari 20 menit mereka saling diam. Akhirnya rama mulai kehilangan kesabaran, ia pun menenteng tas pinggangnya, tapi saat ia hendak berdiri, suara esa menahannya.
“ram.. “
Rama menatap esa yang masih menunduk.
“kenapa.. kenapa kamu giniin aku..?”
Suara esa terdengar sangat parau, seakan ada dur-duri dalam tenggorokannya.
“emang aku kenapa? aku dah lakuin apa yang kamu minta kan..?” ujar rama, suaranya tajam menusuk hati esa.
Tubuh esa bergetar menahan tangis. Lalu ia menoleh dan memandang rama.
“yang aku mau, kamu jauhi nara.. bukan jauhin aku ram..” ujar esa dengan suara terisak.
Rama memalingkan wajahnya ke arah lain, dia enggan menatap wajah esa.
“kenapa ram..? kenapa kamu balik jauhin aku.. kamu pikir aku ga sakit setiap kamu diemin aku?”
Rama menghela nafas berat lalu memandang esa dengan tatapan dingin.
“terus, kamu minta apa lagi..?”
Lagi-lagi kata-kata rama menembus hati esa, esa benar-benar terluka, ia tak menyangka rama akan berkata seperti itu. Seakan selama ini dia hanya melakukan apa yang esa suruh seperti majikan dan pembantu.
“ram.. kok kamu gitu sih..”
“ck..”rama mendengus kesal lalu berdiri dan berjalan menjauhi esa. Esa pun berdiri dan mencoba menahannya.
“ram! Jawab aku ram! Kenapa kamu berubah ram!?” teriak esa.
Rama berhenti sejenak tangannya mengepal dan bergetar, lau ia berbalik dan berjalan mendekati esa.
“kenapa? harusnya kamu tanya ke kamu sendiri sa! Kenapa aku kayak gini!” gertak rama.
Wajahnya begitu dekat dengan wajah esa sekarang. Wajah esa tampak pucat dan matanya berkaca-kaca.
“aku sudah ngelakuin semua keinginanmu kan? Aku dah mau jadi pacarmu, aku mau ngelayani kamu, nyuapin kamu, nyium kamu, meluk kamu! Bahkan aku sudah jauhin nara buat kamu..! sekarang kamu minta apa lagi sa..?!” suara rama makin meninggi.
Bibir esa bergetar. Kelopak matanya sudah tak kuat menahan air mata di baliknya.
“aku Cuma minta cinta kamu ram..”
Mendengar itu, rama sekali lagi menghela nafas berat lalu dengan kasar ia mendorong tubuh esa ke tembok, lalu ia mencium bibir esa.
Ia melumat bibir esa dengan kasar. Esa hanya diam, tubuhnya bergetar dan ia mulai menangis. Rama melepaskan ciumannya dan menatap esa.
“itu kan! Itu kan, cinta yang kamu minta..?! sekarang apa lagi?!”
Esa tidak menjawab, ia masih terpaku memandang rama dan menangis. Tubuhnya bergetar hebat karena isak tangis. Melihat esa yang menyedihkan, rama mulai mendingin. Ia lepaskan tangannya yang menahan tubuh esa di tembok, lalu ia memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh. Belum sampai beberapa langkah, tangan esa menangkap lengannya. Sekali lagi rama berhenti dan menatap esa.
“apa lagi..?”tanya rama dingin.
Esa mendekatinya. Agak lama ia memandangi wajah rama, begitu juga rama yang menatap wajahnya. Lalu esa semakin mendekatkan wajahnya ke arah rama, lalu ia mencium lembut bibir rama.
Mata rama melebar. Ia terhenyak dalam kecupan esa. Kecupan yang ringan tapi seakan begitu dalam.
Esa melepas ciumannya, dan mengusap air matanya. Ia tersenyum getir ke arah rama, “itu cinta yang aku inginkan dari kamu ram.. cinta yang ga akan pernah aku dapatkan..”
rama termenung, sementara Esa memalingkan wajahnya dan mengambil tasnya lalu berjalan tergesa meninggalkan rama. Rama sendiri masih berdiri terpaku seakan ada pasak yang menusuk kakinya. Tangannya bergetar dengan hebat lalu tangan itu ia hantamkan ke tembok hingga tembok itu bergetar.
‘siaaall...!!’
Beberapa lama kemudian, esa sudah sampai di rumahnya. Ia segera mengunci pintu kamarnya lalu membanting tubuhnya di atas ranjang. Ia menangis tersedu-sedu di dalam bantal. Hatinya remuk karena kejadian tadi. Selama ini rama sekalipun tidak pernah membentaknya, tapi tadi untuk pertama kalinya rama membentaknya, berbicara kejam padanya bahkan menciumnya dengan kasar. Itu bukan ciuman yang esa mau. itu bukan rama. Itu bukan rama yang ia kenal. Rama sudah berubah. Dia sudah bukan rama yang dulu. Dia sudah sangat mencintai nara rupanya. Dan esa sadar, kalau dialah yang menekan detonator dari masalah ini.
Meminta rama untuk menjauhi nara ternyata tak membuat rama semakin dekat dengannya, tapi malah berdampak sebaliknya. Rama akan makin mencintai nara dan makin menjauhi esa.
‘nggak..!’
Esa membuka matanya. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan pin bergambar penguin. Ia menggenggamya dengan gemetar.
‘nara.. maaf nara, tapi kalo aku ga bisa dapetin rama.. maka ga ada satupun yang bisa!’
Esa melempar pin itu ke tempat sampah di kamarnya dan begitu pin itu berdenting saat menyentuh dasar tempat sampah itu, maka lengkap sudah. Semuanya kalah dalam permainan ini tidak ada pemenang dianatar esa, rama dan nara. Pemenangnya justru penyesalan itu sendiri.
***
@esa now i luv u i know ur feeling...
@author esa nya d rubah lahhh... jgn jahat2 trs ok
Esa cpt sadar ya, semakin dipaksakan akan semakin sakit ..
Tengkyu ya udh di mention
kayaknya bakal sad ending nih.