It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
GO...COCO...GO...COCO...GO...!!!!!!!!!! :bz
The story so deeply and touchy....
Kpn nih updatenya???
@adacerita @idans_true @Clorofil @brownice @yunjaedaughter @pokemon @amy73 @demas @freakymonster58 @adinu @Adam08 @andreaboyz @Fachmi92 @fahmy37 @Rez1 @uditaboti @rulli arto @Coffeebean @Fikry18 @syahrian @Rizal_M2 @yuzz @4ndh0 @iamyogi96 @kiki_h_n @Dharma66 @AwanSiwon @bi_ngung @u_know @loud_boy43 @abadi37 @Kyu_kyuw @abadi_abdy @revian97 @gr3yboy @arieat @per_kun95 @blue_gay @diafragma @masboy @hikaru @Just_PJ @aDvantage @manwgun @idans_true @nip_eel @Dhika_smg @PUTRA_LANGIT @Putra_Kampungan @ken89 @treezz @didi_suryat @abyh @ferry195 @gambling @udjangndeso @joeniorartha @fabolous16 @bayuaja01 @touch @aby_abadi @joenior68 @angelofgay @zulkorich @pahlevy_roni @AkselEE @Cruiser79 @randan @AL's @Kebo_Henshin @fansnyaAdele @sandy.buruan @BB3117 @MrTphen @SecWrit @yopopo @habiebie @chasper @justinman @mamat3 @dexter92veterino @Aryosh @stalker_009 @aji_dharma @channn @Wooyoung @the_angel_of_hell @bujang_culun @andy_b05 @redo_dejavu @julian05 @keichikoji @Fahrezy North @Adith69 @hot_potato @Daramdhan_3OH3 @adhiyasa @lameless @ularuskasurius @kucingnekat @irlanda @iffanvanvan @LimaSukun @darkrealm @danielsastrawidjaya @Hima_chan @excargotenak @hwankyung69 @yeltz @FirmanE @gio17 @admmx01 @Mann @pyrojack @alexwhite @adysamuel @Silverrain @Alvalian_Danoe @7313 @iffanvan @greensun2 @kevin_ok26 @DiFer @SanChan @Adith69 @alfa_centaury @Imednasty @catalysto1 @idhe_sama @ncholaaes @akn @Boyz888 @Venussalacca @iansunda @Mr0Crocodile @chaliszz @rivengold @the_rainbow @pria_apa_adanya @LambatAdam @DickDevil69 @Achan
Ringkasan cerita sebelumnya :
Setelah tujuh tahun berpisah Kebo muncul kembali dalam kehidupan Miki. Kemunculan Kebo menimbulkan persoalan-persoalan baru.
Kebo muncul bukan karena ia sengaja mencari miki, tetapi tunangannya yaitu Vira meminta Miki menjadi fotografer untuk album Pre-wed mereka. Miki yang telah menjadi seorang fotografer profesional menyanggupi permintaan Vira.
Pada awalnya pengambilan foto berjalan dengan lancar hingga suatu malam tanpa sengaja Miki melihat Kebo yang sendirian di pantai. Tidak bermaksud apa-apa Miki menghampiri Kebo. Namun setelah beberapa saat obrolan kaku mereka, Kebo meminta Miki untuk kembali kepadanya. Miki terkejut saat itu. Mengingat alasan pertama kenapa mereka berpisah serta mereka berdua kini ada yang memiliki membuat Miki mengacuhkan permintaan Kebo.
Kembalinya dari pengambilan foto Miki dikejutkan kabar lain. Fadli, pacar Miki selama hampir enam tahun mengumumkan rencana kepindahan kerjanya ke Hongkong. Tentu Miki kaget luar biasa perihal rencana yang Miki sendiri tidak pernah ketahui. Kendati Fadli memberikan alasan Miki merasa kepindahan mereka serasa seperti melarikan diri dari sesuatu. Terlebih Miki berempati kepada Eros, pria yang diminta Miki menggantikannya dalam urusan ranjang untuk memuaskan Fadli telah terang-terangan menyatakan perasaan sesungguhnya terhadap Fadli. Miki berupaya membujuk perhatian Fadli kepada Eros tetapi gagal.
Kemudian Kebo dan Vira datang kerumah Miki untuk melihat hasil foto-foto mereka. Vira yang diburu-buru waktu untuk bertemu dengan klien meninggalkan Miki dan Kebo berdua. Saat Miki sedang membereskan piring dan gelas di dapur Kebo menghampirinya dan menggodanya. Miki yang tahu benar jauh dilubuk hatinya masih mencintai Kebo tidak bisa menolak godaan Kebo. Tetapi sebelum mereka beranjak jauh Miki masih bisa berpikir rasional dan menolak keras Kebo. Berharap Kebo mundur teratur justru Kebo berlutut dan meminta Miki tidak pergi bersama Fadli.
Masih dalam keadaan terombang-ambing Miki dikejutkan kabar Kebo melakukan tindakan bunuh diri. Tak tahu harus berbuat apa Vira memberikan Miki buku diary milik Kebo dengan harapan Miki mengerti mengapa Kebo apa yang sudah dilewati Kebo selama tujuh tahun terakhir.
Terkuaknya semua hal yang terjadi pada Kebo membuat Miki merasakan penyesalan yang mendalam. Vira yang seharusnya membenci Miki justru pasrah mendukung Miki untuk kembali dengan Kebo. Miki pun kian dilema.
Tanpa sepengetahuan Miki, Vira memancing Fadli untuk bertemu dan bertemu empat mata. Setelah pertemuan mereka Fadli dan Miki bertengkar hebat. Pertengkaran mereka membuat Fadli meledakkan segala perasaan yang di tahannya. Tidak menemukan titik temu dari pertengkaran mereka, Fadli pergi meninggalkan Miki. Miki yang ditinggalkan sendirian bertikai dengan pikiran dan perasaannya sendiri.
Di pagi hari setelah pertengkaran mereka Eros datang tiba-tiba ke rumah Miki dan mengabarkan Fadli telah memperkosanya. Eros yang patah hati meminta Miki untuk berbicara dengan Fadli. Dengan langkah sigap Miki pergi menemui Fadli.
Ketika menemui Fadli, Miki sudah siap untuk menghukum Fadli tetapi sampainya Miki di apartemen Eros dia menemukan Fadli duduk diatas lantai dan terlihat Fadli sangat menyesali perbuatannya. Mereka pun berbicara. Mempertanyakan hubungan mereka selama ini dan mengakui hubungan mereka memberatkan hati mereka. Apa lagi dengan pembicaraan Vira dengan Fadli membuatnya tersadar Fadli ingin bebas. Sebelum mereka berpisah Fadli menyerahkan dua buah kertas lusuh kepada Miki. Ternyata dua kertas itu berisi surat cinta Kebo yang tak pernah tersampaikan ke Miki. Membaca dua surat itu membuat perasaan cinta yang selama ini terpendam keluar dan mendorong Miki untuk meraihnya lagi.
Kaki Miki melangkah pasti kembali ke rumah sakit tempat Kebo dirawat. Sesampainya di rumah sakit Miki di beritahu oleh Vira kalau Kebo sempat menyebutkan nama Miki dalam tidurnya. Saat itulah juga Miki memutuskan untuk memperjuangkan Kebo kembali padanya.
Sekarang bagaimana kiranya kisah Kebo dan Miki selanjutnya!? Mari pemirsah saksikan kisahnya hanya dijilat investibasi....#meletin lidah
xoxo
choco
ayo lanjut co ditunggu nich
_I__l___l___l
__I__l___l__l
_I__l___l___l/)/)
__I__l___l__l'o',)
_I__l___l___l),"
__I__l___l__l
Hari terlewati tanpa nama
Tanpa tanda aku masih menantimu
Hanya sejumput asa menopang kesadaranku
Jika kalian bertanya apa saja yang terjadi selama masa absensiku? Maka jawabanku hanya satu kata… banyak. Banyak sekali hal yang terjadi selama empat bulan ini. Sulit bagiku merunut satu demi persatu, tapi demi kalian… kalian yang hanya berupa nama asing telah mendoakanku dan “dia”, akan ku-coba jabarkan semuanya.
Malam setelah dia memberikan respon, keesokan harinya kondisinya antara membaik dan memburuk. Membaik karena masa kritisnya telah lewat dan kondisi Livernya tidak seburuk yang di duga sebelumnya, meskipun pengawasan tingkat lanjut masih tetap dilakukan. Memburuk karena pengobatan Livernya terkadang menimbulkan reaksi panas tubuh meningkat, tekanan darah meningkat, bahkan beberapa kali “dia” sempat kejang-kejang.
Bohong jika kukatakan aku tidak merasa lelah. Lelah, ya aku sangat lelah. Hanya sebuah keyakinan kecil yang entah datangnya darimana mampu menenangkan pikiranku. Bodohkah bila kukatakan ada semacam janji tanpa aksara yang datang dari dirinya? Maksudku selama ini dalam diam “dia” masih menginginku dan meski aku sudah berlaku tak adil padanya dia memintaku kembali padanya. Bukankah itu semua pertanda bahwa apapun yang terjadi “dia” akan kembali kepadaku? Aku meyakini “dia” memang benar-benar sedang berjuang untuk kembali. Dan untuk kali ini “dia tak akan berjuang sendirian.
Dokter memberikan banyak saran bagi pengobatannya. Beruntung, yah walaupun hanya sedikit, Mamah memberikan kepercayaannya padaku untuk memutuskan pengobatan apa yang baik untuk diambil. Sedangkan Mbak Vira masih tetap setia menemani, tetapi aku tidak membiarkan Mbak Vira untuk berpikir lagi, karena sudah cukup ke susahan yang baik “dia” atau aku berikan untuknya. Dengan itu tugasku bertambah. Jika sebelumnya aku hanya berjaga siang hari kini pada malam hari pun aku tetap berjaga. Memang banyak proyekku yang terbengkalai dan malah ada yang sampai dibatalkan, tetapi pertaruhanku untuknya lebih penting dari apapun.
Saat berjaga malam aku tak pernah sendiri. Mamah menginstruksikan Bi Uneh untuk menemaniku. Sempat aku menolak, tetapi Mamah bersikeras dan aku bersyukur untuk itu. Dengan adanya Bi Uneh setidaknya malam-malamku tak terasa lebih getir lagi. Aku bisa bicara banyak dengan Bi Uneh. Kami berusaha mengejar waktu dimana kami berpisah. Aku senang meskipun Bi Uneh tahu betul mengenai kondisiku sikapnya padaku sama sekali tak berubah. Bi Uneh tetap seperti Bi Uneh yang kukenal selama bertahun-tahun. Dia juga tetap menganggapku sebagai Miki yang sama. Miki anak manja, Miki yang cengeng, Miki yang suka cemberut kalau si Aa tidak ajak main. Tak pelak aku tersenyum lebar melihat bagaimana Bi Uneh berceloteh.
Satu hal lain yang sedikit banyak aku syukuri hampir setiap malam aku masih bisa tertidur meski hanya untuk beberapa jam saja dan aku bisa bermimpi. Entah apakah pengaruh obrolanku dengan Bi Uneh mengenai masa lalu atau kebetulan belaka? Seringkali aku memimpikan mengenai masa lalu. Terutama masa laluku dengan “dia”. Tetapi ada sedikit kejanggalan dari mimpi-mimpiku itu. Walau dalam mimpi aku tahu betul kalau aku sedang bermimpi. Mimpiku selalu dimulai dengan serentetan bayangan kabur kemudian berangsur jelas dan kejanggalan yang kutemui adalah aku melihat mimpiku dari sosok orang lain yang tak kukenal. Bagaimana aku tahu? Karena aku selalu melihat diriku sendiri dihadapanku. Aneh bukan? Dan keanehan kian bertambah ketika semua rentetan kejadian mimpiku kulihat hanya dalam kebisuan. Aku tak mampu mendengar apapun, hanya sosok-sosok dihadapanku saling bergerak dan bibir mereka berucap sesuatu yang tak mampu kudengar. Tetapi kejernihan mimpiku terkuak ketika malam itu.
Aku tak ingat pasti kapan tepatnya kejadian itu berlangsung. Yang aku ingat satu hari sebelumnya seperti biasa dia melakukan pengobatan rutinnya dan seperti biasa beberapa jam kemudian suhu badannya meningkat. Tetapi biasanya suhu badannya akan kembali normal setelah beberapa jam saja. Hari itu setelah hampir lima jam suhu tubuhnya tak kunjung turun namun yang ada malah kian merayap naik dan tubuhnya mengejang tak karuan. Panik sempat menjalari pikiran dan tubuhku. Kusudutkan dokter yang mengobatinya. Syukur keesokan paginya kondisinya kembali normal. Meski demikian tubuhku sama sekali tidak bisa dibohongi. Rasa tegang masih menggelayut mantap di tiap-tiap selusur tubuhku. Mamah, Mbak Vira, Papah dan Bi Uneh berusaha menenangkan dan membujukku untuk pulang.
“Kamu sudah lelah,” Ujar Mbak Vira.
“Iya, dan ada baiknya Miki pulang,” Sahut Mamah, “Sudah sebulan Miki di rumah sakit. Miki belum istirahat dengan baik.”
Mereka benar aku memang sudah lelah, tapi aku bersikeras, “Enggak, entar malam Miki tidur juga besok sudah segar lagi.” Aku tersenyum untuk meyakinkan mereka. Namun gagal karena sudut bibirku tak berkembang seperti yang kuinginkan.
Mbak Vira menghela napas panjang, “Mbak ngerti kenapa Miki bersikeras menjaga Kebo karena apa, tapi enggak lucu kalau Miki ikut-ikutan sakit. Kalau Aa kamu bangun dan tahu Miki sakit menurut kamu bagaimana perasaan dia?”
Aku menatap lama Mbak Vira. Tidak adil Mbak Vira memainkan kartu “dia” padaku. Tapi aku tidak bisa menampik kebenaran kata-katanya. Kalau aku memang segenap hati ingin memperjuangkan “dia” maka aku sendiri tidak boleh membiarkan diriku tersungkur atas kelalaianku sendiri.
“Miki pulang yah?” Bujuk lembut Mbak Vira.
Kuanggukkan kepalaku pelan-pelan.
Sore hari itu aku pulang dengan rasa khawatir yang masih mengintai di belakang kepalaku. Tetapi aku berusaha menepati janjiku dan mengingatkan diriku terus-menerus kalau di rumah sakit ada Mbak Vira, Mamah, Papah, dan Bi Uneh yang menjaganya jadi dia pasti baik-baik saja. Sesampai di rumah dengan energi tersisa aku melakukan rutinitas makan malam, mandi, sholat dan terakhir tidur. Malam itulah mimpi-mimpiku menampakkan segalanya dengan lantang dan jelas.
Seperti biasanya mimpiku diawali dengan aku membuka mataku. Semuanya tampak kabur, hanya samar-samar cahaya putih menyibak diantar bulu mataku. Perlahan aku membuka mata. Sedikit demi sedikit bola mataku menyesuaikan dan terlihatlah rungan putih mengelilingiku.
Aku tengah berdiri dan lagi-lagi aku bukanlah aku. Tak ada cermin di sekelilingku untuk menunjukkan siapa diriku. Di sampingku sebuah pintu kayu tinggi berdiri kokoh. Aku langsung mengenali pintu itu. Tak lama deru mesin berkoar di telingaku. Aneh? Tanyaku dalam hati. Biasanya aku tak dapat mendengar apa-apa dalam mimpiku ini. Lagi deru mesin berkoar dan dalam hitungan sekejap di depan mataku ruangan putih sebelumnya berubah menjadi halaman depan rumah. Deru mesin tadi ternyata adalah mobil Kijang milik Papah dahulu dan aku melihat Papah sedang memarkirkan mobilnya tepat diparkiran sebelah kiri halaman. Aku masih berdiri tepat di samping pintu masuk. Beberapa saat kemudian mobil berhenti menderu dan serta-merta Mamah keluar dari mobil. Sedikit gontai Mamah keluar dan segera membukakan pintu penumpang belakang. Sempat terdengar Mamah berucap sesuatu, tapi aku tidak mampu menangkap kata-katanya. Terhalangi punggung Mamah aku tidak dapat melihat siapa orang yang diajak bicara oleh Mamah. Entah apa yang terjadi aku melihat Papah membalikkan badannya ke belakang dari kursi supir. Sepertinya Papah juga sedang berbicara dengan orang tersebut. Cukup lama Papah dan Mamah melakukan hal tersebut. Sedangkan aku masih tetap berdiri, tanpa bergeming. Sempat aku berusaha untuk bergerak, tetapi sesuatu menahanku untuk diam di tempat.
Akhirnya setelah beberapa menit yang cukup panjang mereka bergerak juga. Aku melihat Mamah menjulurkan tangannya ke dalam mobil dan sedetik kemudian sepasang tangan merangkul erat lehernya. Lalu Mamah mengangkat tubuhnya dan terlihatlah di dekapannya seorang anak kecil ringkih membenamkan wajahnya di pundak Mamah. Tanpa terburu-buru Mamah berjalan menuju ke arahku. Mamah melihatku dan senyum kecil ditujukannya padaku. Ketika Mamah berjalan melewatiku, aku menengadahkan kepalaku untuk melihat dengan jelas siapa gerangan anak kecil yang di gendong olehnya. Anak kecil itu terlalu membenamkan wajahnya sehingga yang terlihat olehku hanya rambutnya saja. Namun dari proporsi tubuhnya rasanya aku mengetahui siapa anak itu.
Adegan itu berakhir dan berganti adegan-adegan lain. Beberapa saat berlalu aku mulai dapat meraba-raba apa, siapa, dan hal-hal lain dalam mimpiku itu. Anak kecil itu adalah aku, tidak mengejutkan karena biasanya pun aku selalu melihat diriku sendiri didepan mataku. Adegan-adegannya pun mengambil tempat di masa lalu. Namun ada hal-hal yang berbeda dari mimpi-mimpiku sebelumnya.
Satu, biasanya mimpiku seputar diriku dan “dia”, tapi kali itu aku hanya menemui diriku seorang. Sosok asing yang menjadi mataku duduk diatas tempat tidurku, tepat disampingku yang tengah tertidur pulas. Aku tak mengerti apa yang dia lakukan atau bahkan aku tidak mampu mendengar apa yang dia katakan. Yang aku tahu sosok itu membelai rambutku dengan lembut. Aku sedikit kaget ketika aku melihat diriku yang masih kecil menangis tersengguk-sengguk. Lalu aku teringat minggu-minggu pertama kedatanganku kerumah “dia” aku begitu merindukan rumah sampai-sampai dalam tidur pun aku menangis. Sosok itu membelai hingga aku tertidur tenang. Hal kedua yang kusadari lambat laun, sosok itu adalah “dia”. Aku terkesiap. Benarkah kejadian itu pernah terjadi? Tidak. Pertanyaan yang lebih penting adalah pernahkah dia melakukan semua itu? Pertanyaanku sama sekali tak terjawab.
Mimpiku berlanjut terus seperti itu. Adegan-adegan yang berlangsung seakan-akan diambil dari point of view “dia”, adegan yang sama sekali aku tak pernah tahu terjadi. Walaupun aku tak bisa mengerti atau mendengar apa yang “dia” katakan perasaan kuat yang terhantar dari tindakannya dapat kurasakan. Aku bisa merasakan kehangatan yang luar biasa ketika “dia” memandangiku diam-diam tanpa sepengetahuanku. Merasakan kesungguhan kata cinta dari bibirnya dan perasaan yang tak dapat kujelaskan ketika kami berpisah.
“Kamu tahukan betapa aku sayang dan cinta sama kamu? Suaraku berdengung jelas dari seberang telepon sana. “Dan aku juga tahu kalau rasa sayang dan cinta kamu sama besarnya. Sampai detik ini aku sama sekali tidak menyesali rasa cinta aku ke kamu, semua yang sudah kita lakukan berdua dan meski dunia mengutuk kita rasa cinta kau tak akan pernah pudar.” Aku berhenti sejenak, “Tapi aku sadar saat ini dunia masih belum siap untuk menerima hubungan kita…,” Waktu, hari, cahaya semuanya berhenti.
Inikah yang dia rasakan saat itu? Semuanya serba hitam-putih, bisu, diam ditempat? Dan rasa sakit ini seperti… seperti ada pisau tak berwujud menyayat permukaan hati, tipis tapi menyakitkan. Aku mungkin sedang bermimpi tetapi aku menyadari lelehan hangat airmata membasahi permukaan pipiku. Maaf… maafkan aku!.
Belum sempat aku menyerap apa yang terjadi tiba-tiba adegan sudah berganti. Berbeda dengan sebelumnya. seakan ada seseorang menekan tombol fast forward segalanya berjalan cepat hingga akhirnya berhenti pada sebuah adegan yang membuat bulu kudukku berdiri tegak.
Entah aku sedang berada dimana hanya dahiku saja yang mengernyit heran melihat pemandangan di depanku. Tumpukan tubuh, telanjang bulat tergeletak lemah di atas tempat tidur, lantai, dimana-mana. Wewangian alkohol dan asap rokok menyentuh tajam hidungku, menyebabkanku mual tak karuan. Tapi sekali lagi aku duduk mematung, menyaksikan semuanya. Aku dimana? Dan ada apa dengan semua ini? Sebelum pertanyaanku terjawab tubuhku-“dia” maksudku berdiri gontai dari sofa kecil tempat aku duduk. “Dia” menyeret kakinya dan perlahan berjalan tak tentu arah. Matanya yang mengabur, karena alkohol pikirku, sedang mencari-cari. Pencariannya berhenti saat matanya terpatri pada bayanganya sendiri di cermin di depan hadapannya.
Hening.
Aku menatap wajah dan tubuhnya yang…. A… a… a….
“Menyedihkan!” Aku tercengang. Pertama… pertama kalinya aku bisa mendengar suaranya, tapi… suaranya berbeda. Berat, getir penuh kebencian. “Elo benar-benar menyedihkan,” suara itu mendengus berat. “Elo membiarkan dia masuk lagi ke dalam kehidupan lo dan bahkan elo sampai bersujud-sujud dikaki dia, Gak punya harga diri banget lo!”
“Tapi dia akan pergi!” Ini baru suara dia meski parau tak bernyawa.[/i]
“Lalu? Memang itukan kehebatannya dia selalu pergi begitu saja tanpa memikirkan elo.”
"Dia" tak menjawab.
“Lupakan dia.”
“Tidak bisa,” Jawabnya setengah berbisik.
“Apa kata lo tadi?”
“Gue bilang gue tidak bisa melupakan dia. Gue menolak untuk melupakan dia.”
Suara berat itu tertawa sinis. “Goblok! Elo terlalu goblok! Menolak melupakan orang yang seenak hatinya mncampakkan lo. Dan sekarang dia akan pergi bersama kekasihnya. Apa yang bisa elo lakukan wahai Kebo yang menyedihkan? Dia tidak menganggap lo, tidak mencintai lo lagi.”
“Tidak!!!” Rahangnya mengeras. Kemarahan memancar jelas dari dalam dirinya. “Dia masih mencintai gue.”
“Hahahaha… sudahlah Kebo jangan bermimpi. Bangun! Bangun woy!”
Tanpa aba-aba “dia” meraih botol minuman dan melemparnya kencang ke cermin. Dalam hitungan detik cermin itu retak dan kepingannya terlontar-lontar kemana-mana. Meski suara pecahannya begitu kencang orang-orang yang tergeletak disekelilingnya tak bergeming sedikit pun.
“Hahahaha… dasar otak udang! Untuk apa elo mecahin cermin? Elo pikir dengan mecahin cermin persoalan lo selesai? Dia akan tetap pergi meski dia masih mencintai lo karena itulah dunia. Elo enggak akan pernah bisa mendapatkan apa yang elo mau.”
“Gue akan mencegah dia.”
“Mencegah? Apa yang bisa elo perbuat?”
“Apa saja.”
“Satu-satunya cara yang elo bisa cegah dia cuma kematian bung!”
Dengan kata-kata terakhir itu sebuah sinar pengharapan membara dalam dada dia.
Mataku membulat. “Tidak!!! Tidak!!! Tolong jangan lakukan itu!!!” Jeritku lantang namun tak dapat meraih telinganya.
Dia bergerak cepat meninggalkan kamar itu dan pergi entah kemana.
Berulangkali aku teriak untuk mencegahnya. Tetapi “dia” sama sekali tidak bisa mendengarku. Inikah? Inikah yang terjadi padanya? Aku terisak perih. “Maaf… maafkan aku sungguh,” Mohonku tak bertepi.
“Dia” akhirnya berhenti bergerak dan duduk terpekur diatas meja kerja yang aku asumsikan kami berada di ruang kerja apartemennya. Di depan matanya butiran-butiran pil putih berserakan diatas meja beserta buku diary tergeletak jemu di sebelahnya. Untuk waktu yang lama “dia” hanya terdiam. Matanya kosong dan kepalanya berisi bayanganku.
[/i]“Aku mohon jangan lakukan,”[/i] Pintaku dalam isakan. “Aku tak akan pernah kemana-mana, aku janji.”
Tangannya bergerak, mengambil pena dari tempatnya. Perlahan dia menuliskan pesan terakhirnya yang pernah kubaca. Sempat “dia” tertawa miris sebelum akhirnya airmata mengalir deras, “Hebatnya gue menuliskan kebohongan luar biasa. Memintanya untuk bahagia dengan kekasihnya,” Lirihnya. “Tapi kebohongan ini akan terbayarkan dengan kembalinya dia padaku meski itu berarti aku akan melawan kematian.”
“Tidak!!!”
Saat itulah aku terbangun dari tidurku.Napasku tersengal-sengal dan pipiku basah dengan deraian airmata. Aku berusaha menenangkan diri dan memahami arti mimpiku. Namun sebuah firasat tidak enak menghinggapiku. Akhirnya aku lebih memilih bangun, mencuci wajahku dan beranjak pergi menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit aku menemukan kamarnya kosong. Panik segera menyerang. Tuhan… tolong Tuhan jangan katakan kalau “dia”…. Segera kutemui suster jaga dan menanyakan keberadannya. Hatiku menciut saat mereka mengatakan memindahkannya ke ICU. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut aku menyeret sekuat tenaga kakiku yang sudah lemah untuk berlari. Di depan ruang ICU Mbak Vira, Mama, Papa dan Bi Uneh sudah menunggu.
“Mbak Vira!!!” Teriakku tidak mengindahkan keberadaanku sama sekali.
“Miki!” Mbak Vira yang membelakangiku terlonjak kaget mendengar panggilanku.
Dengan napas yang tersengal-sengal aku segera menghampiri dan mencengkeram kuat kedua lengan atas Mbak Vira, “Aa… ada apalagi dengan aa?”
“Tadi dia demam lagi,” Mendengar kata-kata Mbak Vira kepalaku berkunang-kunang tiba-tiba, tapi aku mengacuhkannya.
“Lalu?” Tanyaku tak sabar.
“Dia sempat sadar tapi sebentar. Lalu panasnya makin tinggi setelah itu. Karena dokter takut seperti kemarin dia menyarankan untuk dipindahkan ke ICU supaya bisa diobservasi selama 24 jam.”
Aku menghela napas panjang. “Hanya itu? Terus kondisinya sekarang bagaimana?”
Mbak Vira tak menjawab hanya mengigit bibirnya.
Tubuhku kembali menegang dan kunang-kunang di dalam kepalaku bergerilya liar. “Mbak!!!” Pekikku.
“T… t… tadi jantungnya sempat berhenti.”
Seketika pandangan mataku menggelap dan tubuhku jatuh tersungkur ke atas lantai.
Sabar yah pemirsah. Ini kita kuduk mindahin dari word terus diedit dimari biar rapi mana banyak pula... #:-S