BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

[MultiChaptered - IF I LOVE YOU TOO?] ~ 130612- (COMPLETED)

1141517192032

Comments

  • @idans_true ohya? koq bisa dia ga baca disini? emg baca di page mana? saya cuma posting disini, hehe. boleh nanti saya kapan2 maen ke grup, grup fb nya apa? :)
  • lanjut maaassshhh...
  • Lanjuuuttttt mangg.................. @rieyo626
  • rieyo626 wrote: »
    @idans_true ohya? koq bisa dia ga baca disini? emg baca di page mana? saya cuma posting disini, hehe. boleh nanti saya kapan2 maen ke grup, grup fb nya apa? :)
    Sugih's Stories .... dateng yah n ntar baca sndiri aja post. dia wall... hehehe....
  • Aduh rindu sama Leviandra sama Adniel. :(
    Bang @rieyo626 kapan dilanjut?
  • update nya lma bgetz coy....
  • halloooooooooooooo
  • edited December 2012
    [#10 – Leaving]

    Ibu berkali-kali membelai kepalaku sambil mengecek keningku.

    “Gini nih, makanya ibu gak mau kamu tinggal sendirian” kata ibu ku lagi. “Untung kan ada Mbak Lidya…”

    Aku hanya menganggukkan kepalaku sembari memakan pizza yang tadi dibawakan ibu. Aku memang kelaparan dari sejak sebelum berduaan bersama Levi di kamar. Padahal aku sudah hampir lupa kalau aku sedang lapar ketika sedang asik mencium bibir Levi (sampai ibu tiba-tiba datang dan mengetuk pintu, menggagalkan kemesuman kami). But I think, Levi could be my meal too… Aku tersenyum sendiri sambil melirik pacarku yang sedang duduk di sampingku, ikut memakan pizza.

    “…kecuali kalo kamu punya pacar” ibu masih bicara. “Eh pacar kamu gak nengokin, Niel?” tanyanya pula.

    Aku dan Levi yang sedang saling bermain mata, langsung menghentikannya. Aku melihat pada ibu. Rasanya ingin sekali bilang kalau pacarku ada disampingku.

    “Aku gak punya cewek, Bu” jawabku singkat.

    “Ah masa? Itu yang cantik waktu itu… siapa namanya?”

    “Dara, Tante?” sahut Mbak Lidya yang sejak tadi memperhatikan dengan sepotong pizza juga di tangannya. Dia tersenyum mencurigakan ke arahku.

    “Nah itu, Dara!” cetus ibuku.

    “Dia bukan pacar aku, Bu” ujarku.

    “Lho, kalian kayaknya akrab. Anaknya manis juga. Kenapa gak kamu pacarin?”

    Aku memutarkan bola mata diam-diam, lalu melirik Levi yang tampak tak begitu ambil pusing, dan menikmati saja potongan pizza nya. Well, aku berani bertaruh kalau sebenarnya dia merasakan panas di dadanya.

    “Nggaklah Bu, aku gak ada rasa sama dia” sahutku sambil melihat lagi pada ibu.

    Ibuku tersenyum, kemudian melihat pada Levi.

    “Kalo Levi? Udah punya pacar?”

    As I thought, ibu pasti bertanya pada Levi juga. Pacarku itu tampak terhenyak sebentar, tapi kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ambigu.

    Jawaban kami memang tak bisa seenaknya. Tadi saja, aku menjawab ibu dengan bilang tak punya cewek – karena kenyataannya, aku memang punya pacar… cowok.

    “Ya ampun. Kalian nih, cakep-cakep kok pada gak punya pacar...” komentar ibuku. “Biasanya di seumuran kalian nih, cowok lagi seneng-senengnya pacaran”

    ‘Yeah Mom of course, we are’ sahutku dalam hati.

    Tapi ibu ku ini memang agak ajaib. Saat ibu-ibu lain lebih merasa aman kalau tau anaknya tidak pacaran dulu selama sedang menuntut ilmu, ibu ku malah seolah meledek anaknya karena tidak pacaran. Anyway, she’s such a cool Mom.

    “Jangan bilang kalian pada suka-sukaan…” ibu ku masih belum menyerah. Dia berpura-pura memberikan tatapan curiga padaku dan Levi.

    “Iya Bu, aku pacaran sama Levi aja” sahutku cuek. Dan sontak membuat Levi, juga Mbak Lidya terkejut. Aku bisa melihat raut tegang di wajah mereka.

    “Ngaco kamu!” ujar ibu ku, malah tertawa sambil mengacak rambutku yang berantakan. Raut tegang di wajah Levi dan Mbak Lidya pun perlahan memudar, aku hanya tersenyum tipis. I know my Mom so well. Ibu tak akan menganggap serius perkataanku yang lebih terkesan main-main.

    Tapi sebenarnya aku justru berharap, kalau ibu menganggap ini serius dan ibu tak keberatan. Yeah, sounds impossible.

    = = = = =

    Dengan agak ragu, Levi menghampiri seorang cowok ganteng yang sedang menengokkan kepalanya ke dalam ruangan yang baru tadi dipakai kuliah oleh kelasnya. Memang tak biasanya cowok itu berada disana, dan Levi jadi bisa menduga orang itu mencari siapa.

    “Nyari Adniel, Kak?” tanya Levi, tanpa basa-basi. Entah kenapa, dia merasa harus menunjukkan kalau dia tidak canggung dan takut lagi pada cowok ini. Terlebih setelah dia mendengar pengakuan Adniel.

    William tampak terhenyak dan menoleh dengan cepat. Matanya agak melebar lagi begitu melihat Levi yang ada disana.

    “Ehm…” William tampak ragu untuk menjawab. Rasanya memang agak gengsi kalau harus mengakui dia ada disana untuk mencari Adniel.

    “Adniel masih sakit, Kak” lanjut Levi lagi, masih dengan tersenyum tenang – namun jelas terlihat seperti ledekan bagi William.

    “O- oh”

    “Sebenarnya dia udah mendingan, tapi mungkin dia baru masuk kuliah besok” jelas Levi lagi, tanpa diminta.

    Grrgh. William jadi kesal sendiri. Secara tak langsung, cowok di depannya ini memang menunjukkan kalau dia lebih menang daripada dirinya. William jadi agak paham dengan apa yang dimaksud Dara. Mungkin.

    “Baguslah. Gua butuh dia di klub” kata William akhirnya bisa menyebutkan kalimat yang tidak terdengar bodoh.

    Levi mengangguk.

    “Nanti gue kasih tau dia deh. Apa mau ada pesen yang disampein lagi?”

    William agak mengernyitkan keningnya, semakin merasa kalau Levi memang mengajaknya ‘berperang’ secara tak langsung. William yang terbiasa menjadi pemenang, terbiasa di eluk-elukan, terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan – sedikitnya jadi agak terinjak-injak oleh sikap tenang Levi ini. Dia kesal juga karena Levi yang sudah jelas menang, malah bertingkah seolah ingin bersaing dengannya.

    “Gak usah, gua punya kok nomer hapenya. Gua juga tau rumah dia” jawab William kemudian, sambil berjalan melewati Levi – tanpa terima kasih. He doesn’t care.

    Levi pun mengulum senyuman kecut sekaligus puas. Dia sadar kalau sikapnya barusan memang agak kekanakan, tapi dia hanya ingin memperjelas kalau dirinyalah yang memiliki Adniel, tak ada sedikitpun celah untuk siapa saja yang mau mengganggu mereka.

    “Lev” sebuah rangkulan, membuyarkan pikiran Levi. Dia berhenti memandang tajam pada William yang sudah menjauh lalu dikejar Dara. Entahlah Levi tak mau tau kenapa mereka tampak lebih akrab, dia hanya berharap tak akan ada lagi hal-hal konyol yang sedang mereka rencanakan.

    “Eh, Kak Harlan…” sahut Levi begitu menoleh dan melihat wajah tampan Harlan disampingnya.

    Ah ini dia. Sebenarnya belakangan ini Levi lebih was-was kalau Harlan yang mendekatinya. Entah kenapa, tapi sepertinya dugaan dia kepada kakak tingkatnya yang ini makin menjadi. Dia bisa merasakan ada yang lain dari sikap Harlan padanya.

    “Mau pulang, Lev?” tanya Harlan.

    “Iya Kak”

    “Pulang sama siapa? Kayaknya gue gak liat Adniel dari pagi…”

    “Iya, dia emang gak masuk. Gue pulang sendiri, Kak”

    “Oh, bawa kendaraan?”

    Levi mengangguk saja.

    “Hm, gue juga bawa kendaraan…” ujar Harlan, malah terdengar seperti menyesal sendiri. “Ah hari ini gak ada rapat. Thanks yah udah bantuin terus”

    “Sama-sama, Kak. Itu kan tugas gue”

    Harlan tersenyum dan menepuk-nepukkan tangannya di bahu Levi.

    “Beneran deh, gue ketolong banget sama lu…”

    “Ya, berkat anak-anak yang laen juga, Kak” sahut Levi, agak menyergah, karena dia tak mau merasa kalau seolah-olah hanya dirinya saja yang sudah membantu Harlan.

    “Iya sih. Tapi, karena lu bantuin, gue jadi lebih semangat”

    Levi memasang senyuman agak datar dan menebak-nebak dalam hati apa maksud perkataan Harlan itu. Apalagi, setelah mengatakannya, Harlan langsung melepaskan rangkulan di pundak Levi dengan salah tingkah.

    “Oh ya Lev…” kata Harlan lagi, tampak sengaja agar Levi tak berkomentar apapun.

    “Kenapa Kak?”

    “Kalo ada apa-apa, lu gak usah sungkan buat minta tolong gue ya. Lu kan gak cuma punya Adniel… lu punya gue juga”

    Levi mengangguk dan tersenyum semakin datar.

    “Sip Kak” sahutnya singkat.

    “Ya udah, gue duluan ya!” sekali lagi Harlan menepuk bahu Levi sambil berlalu melewati cowok itu. Levi jadi hanya bisa mengiyakan seadanya.

    Dia kemudian melanjutkan berjalan juga menuju parkiran. Levi menggelengkan kepalanya, mengingat lagi bagaimana barusan wajah Harlan seperti agak merona merah setelah berkata-kata aneh seperti itu padanya. Ck ck.

    - - - - -

    Kening Levi agak berkerut begitu dia memarkirkan mobilnya di depan rumah. Dia melihat ada mobil ibunya yang terparkir di luar juga. Memang sudah hampir sebulan ibunya beristirahat di rumah dan belum pergi keluar kota lagi. Dia mengendalikan urusan kantornya dari rumah, tapi entah kalau sekarang ibu nya berpikir untuk kembali bekerja dengan full.

    “Bu?” Levi langsung menyapa ibunya yang ternyata sedang bersiap-siap pergi dengan koper juga tas yang dibawakan supir dan Bi Mar ke dalam mobil.

    “Kebetulan kamu udah pulang, Lev” sahut ibu nya.

    Levi mengernyitkan kening.

    “Ibu mau kemana? Emangnya ibu udah boleh pergi-pergian lagi?”

    Tante Mona menganggukkan kepala, lalu memberi isyarat agar Levi duduk dulu bersamanya di sofa. Dia memang sudah tak memakai kursi roda sejak seminggu yang lalu.

    “Ibu mau ke Sydney”

    Levi agak melebarkan kedua matanya. Ibu nya memang pernah ke luar negeri, tapi beberapa waktu ini belum lagi. Terang saja ini cukup mengejutkan, apalagi ibunya baru saja pulih.

    “Sydney? Gak kejauhan Bu? Kenapa gak nyuruh asisten ibu dulu…”

    “Ini bukan cuma soal kerjaan, Lev” Tante Mona menatap putera satu-satunya dengan lebih lekat. “Ibu mau tinggal disana”

    “Hah?!” seru Levi tanpa sadar. Dia jadi memandang was-was pada ibunya itu.

    Tante Mona menarik nafasnya dalam-dalam, tampak berusaha untuk menenangkan diri dulu sebelum menceritakan semuanya. Dan entah kenapa perasaan Levi pun jadi tak sedikit tak enak. Dia sungguh takut, kalau sampai memang ibu nya mengajaknya untuk pindah ke Australia.

    “Kenapa tiba-tiba banget, Bu?!”

    Tante Mona mengangguk.

    “Ya, ibu tau ini emang mendadak…” gumamnya. “Tapi ibu udah gak bisa nunggu”

    “Jadi, ibu mau ninggalin Levi… sendirian?”

    Tante Mona memandang puteranya lagi. Memang inilah yang membuat dia dilemma. Perlahan, wanita cantik itu menggenggam kedua tangan puteranya.

    “Kamu, kenapa gak pernah cerita sama ibu?” tanya Tante Mona tiba-tiba, dan tak menjawab pertanyaan puteranya.

    Levi mengerutkan keningnya untuk kesekian kali.

    “Cerita apa, Bu?”

    “Soal… keadaan kamu…” Tante Mona tampak kesulitan untuk bicara dan jadi menundukkan wajahnya selama beberapa detik. Dia juga mendesah samar, menunjukkan kalau dia memang sedang resah.

    “Levi gak kenapa-kenapa…”

    Tante Mona mendecak pelan. Dia pun memandang kembali putera satu-satunya itu. Puteranya yang tampan, manis, baik dan setaunya pun selalu berprestasi – walau dia memang jarang memantau secara langsung atau terus-menerus. Yeah, dia tak bisa menyalahkan siapapun sekarang, kecuali dirinya sendiri. Dia nyaris tak pernah sadar kalau selama ini, puteranya mungkin sangat membutuhkan bimbingan darinya. Tante Mona jadi menarik nafasnya lagi, menenangkan diri, seolah dia tak boleh mengeluarkan emosinya.

    “Mungkin ini emang salah ibu… yang kurang perhatian sama kamu…” Tante Mona menggelengkan kepalanya dan mulai mengusap kedua matanya yang mendadak kembali terasa panas, padahal dia sudah berjanji tak akan menangis.

    “Maksud ibu apa?”

    “Ibu sayang sama kamu, Levi, dan ibu gak pernah mau kamu kayak gini…” gumam Tante Mona lagi.

    “Bu?” Levi semakin was-was dan perasaan tak enaknya terus menjadi.

    “Kamu lebih suka sama cowok, kenapa gak bilang sama ibu? Ibu gak pernah ngeliat tanda-tanda kalo kamu bakal lebih tertarik sama cowok….”

    Levi melepaskan tangannya di genggaman ibu nya, perlahan. Dadanya berdegup kencang sekali. Dia memang sudah merasa akan ada kabar buruk yang disebutkan ibu nya, tapi dia tak menyangka kalau tentang hal ini. Oh shit.

    Tante Mona kembali memandang puteranya, dan melihat wajah manis Levi yang agak memucat. Disini dia sadar kalau puteranya pasti tak akan bisa membantah.

    “Ibu… tau dari mana?” cetus Levi akhirnya setelah mereka hanya saling memandang selama beberapa menit.

    “Ada yang ngasih tau”

    Glek.

    Levi tak menanyakan siapa orangnya, karena dia pikir, siapapun itu – tak akan berguna untuknya. Dia tak ada niat untuk melabraknya atau apapun. Semua orang di kampus, hampir mengetahui tentang keadaannya, jadi Levi tak akan heran kalau orang itu pasti salah satu dari penghuni di kampusnya. Dia juga tak ada kesempatan atau cara untuk mengelak, lagipula mungkin memang sudah saatnya ibu nya tau.

    “Ibu benci sama Levi, sekarang?” tanya Levi lagi.

    Tante Mona sempat terdiam beberapa detik sebelum kemudian menggelengkan kepalanya. Dia menggenggam kembali tangan puteranya.

    “Ibu gak mungkin benci anak ibu sendiri” katanya.

    Levi mulai merasakan gejolak di dalam bathin nya. Emosi. Bukan karena marah tentu saja, tapi terharu dan… merasa bersalah. Perlahan, dia pun merasakan panas di kedua matanya. Dia pasti menangis kalau tak mati-matian menahannya.

    “Ibu…” ujarnya, dengan suara yang nyaris tercekat dan kalimat yang sama sekali tak ada di benaknya. Dia sungguh tak tau harus berkata apa.

    “Ibu sayang sama kamu, Lev. Ibu selalu ingin yang terbaik buat kamu… tapi, apa ibu gak boleh sekali aja ngerasain bahagia?”

    Levi masih tak bisa bicara dan hanya terus memandang ibu nya.

    “Ibu mau menikah lagi”

    Kejutan yang kesekian keluar dari mulut ibu nya. Levi kembali melebarkan kedua mata besarnya. Dia belum berhasil menenangkan degupan dadanya yang tadi, dan sekarang ini harus dibuat kembali berdegup dengan kencang.

    “Itu… bagus” gumam Levi akhirnya.

    “Ya, tapi, calon suami ibu… tau keadaan kamu, dan dia…”

    Levi pun seolah memahami dengan utuh apa yang akan dijelaskan ibunya. Ia menarik nafas dalam-dalam.

    “Oh I get it” ujarnya. “Levi ngerti, Bu. Suami ibu nanti, gak mau ibu ada hubungan lagi sama Levi?! Ibu disuruh milih antara dia dan anak ibu sendiri?!” suara Levi agak meninggi, nyaris tak bisa membendung lagi emosinya.

    “Nggak Lev, bukan gitu!” sergah Tanten Mona, cepat.

    “Terus?!”

    “Dia gak masalah kalo kamu… gay. Tapi, dia gak mau kita tinggal disini lagi. Itu sebabnya kita harus pindah ke Sydney”

    Levi terpaku. Dadanya naik turun menahan emosi yang seperti ingin meledak setiap saat. Tante Mona mendekat dan memeluk puteranya itu.

    “Calon suami ibu orang baik, Lev. Ibu yakin dia bisa bikin ibu bahagia lagi, dan juga bisa bikin kamu ngerasa punya keluarga lagi. Tapi, kondisi kamu emang gak memungkinkan. Ibu gak bisa nge-judge kamu seenaknya soal orientasi seksual kamu, hanya saja, demi kebaikan kita semua… lebih baik kita pergi dari sini”

    Levi tak membalas pelukan ibu nya. Dia mematung. Pikiran demi pikiran berkelebatan di benaknya. Kebahagiaan ibu nya, memang benar kalau ibu nya sudah sepuluh tahun tak merasakan disayangi oleh seorang suami lagi – padahal dia adalah wanita dewasa yang pasti ingin dilindungi. Ingin mencintai dan dicintai lagi. Selain itu benar juga kalau mungkin sekali lagi mereka bisa membangun sebuah keluarga, meski situasinya masih terasa sulit untuk Levi bayangkan.

    Tapi, selain dua hal itu, Levi pun dibuat tersadar, bahwa rupanya meski ibu nya menerima keadaan dirinya yang gay – ibunya tetap tak mau semudah itu mengakui kepada semua orang. Terutama orang disini. Ibunya malah setuju dengan calon suaminya untuk membawa mereka pergi keluar negeri. Ke tempat yang orang-orang disini selamanya tak akan pernah tau keadaan Levi yang sebenarnya. Secara kasar, mungkin ibu nya tetap malu untuk mengakui kalau putera nya adalah gay.

    Dan yang paling memberatkan Levi, tentu saja… Adniel. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan pacar yang sangat disayanginya itu?

    Crap. It’s so f-cked up.

    “Ibu akan berangkat lebih dulu. Ibu udah urus ke kampus soal kepindahan kamu, jadi pas kamu udah siap buat berangkat, kamu bisa langsung nyusul ke Sydney” Tante Mona berkata lagi setelah melepaskan pelukannya. Dia mengusap air matanya yang agak turun ke pipi, lalu mengulas senyuman untuk puteranya.

    “Is it fine?” tanyanya lagi.

    Levi menggelengkan kepalanya, jujur. Tante Mona agak memudarkan senyumannya. Dia sudah menduga kalau mungkin tak akan semudah itu.

    “So?”

    “Levi perlu berpikir dulu, Bu. Kuliah Levi hanya tinggal satu semester lagi, kayaknya nanggung kalo ditinggal juga…” jawab Levi akhirnya setelah beberapa saat dia tak bisa mengatakan apapun.

    “Ya, ibu juga udah mikirin soal itu…”

    “Ini gak semudah yang ibu pikir. Emangnya gampang buat Levi ninggalin semua yang udah Levi lakuin disini? Ninggalin temen-temen Levi—“

    “Adniel maksud kamu?” potong Tante Mona tiba-tiba. Dia sudah menghilangkan senyumannya dan sedikit dingin memandang Levi. Nama Adniel terasa tak nyaman keluar dari bibirnya. “Ibu udah tau semua….” desahnya kemudian.

    Levi terpaku lagi.

    “Lebih baik kalo kamu emang gak usah temenan lagi sama Adniel” lanjut Tante Mona yang kemudian berdiri dari duduknya setelah tadi melirik jam tangannya. “Ibu harus ke bandara”

    “Bu…” Levi ikut berdiri dan memasang raut memohon di wajahnya.

    Tante Mona menarik nafas panjang.

    “Ok, ibu cuma kasih kamu batas waktu sampe semuanya siap buat kamu nyusul ibu ke Sydney. Mungkin sekitar seminggu…”

    “Kalo Levi gak mau pergi?”

    Tante Mona memandang agak tajam pada puteranya.

    “Kamu mau tinggal disini sendirian selamanya, karena mungkin ibu gak akan kembali lagi kesini?” tanyanya, sedikit memakai nada mengancam. “Kalo kamu emang lebih sayang ibu daripada siapapun… kamu bakal secepetnya nyusul”

    Kalimat terakhir dari Tante Mona, jadi seperti sebuah ultimatum untuk Levi yang tak bisa dia bantah. Dia mendapatkan pelukan dan kecupan di keningnya, sebelum kemudian wanita itu pergi keluar masih sambil agak mengusap air mata yang tersisa di matanya. Sementara Levi hanya bisa duduk kembali di sofa, pasrah dan tak tau apa yang harus dilakukan. Dia jelas tak bisa memilih diantara ibu nya dan orang yang dia sayangi. Ibu nya atau Adniel? Itu sungguh option tergila yang pernah di hadapkan padanya. He will never know what could he choose.

    Ya Tuhan… Levi mendesah pelan sambil memejamkan matanya. He’s blank. Really.

    = = = = =

    Levi tampak terkejut begitu melihatku yang masuk ke dalam rumahnya setelah dibukakan pintu oleh Bi Mar tadi. Aku melihat Levi sedang duduk di pinggir kolam renangnya di halaman belakang. Selama beberapa kali disini, rasanya memang baru kali ini aku bermain kemari. Biasanya kami memang hanya akan menghabiskan waktu di kamarnya.

    “Niel?” sapanya, seperti tak percaya melihat aku yang berjalan ke arahnya.

    “Hey Lev!” sahutku begitu duduk disampingnya dan merangkulnya. Dia sedikit mengelak, masih memandangku tak percaya.

    “Kamu kok malah jalan-jalan?” tanya Levi akhirnya.

    “Gue kan udah sembuh” jawabku cepat. “Tadi ibu baru pulang ke Jakarta. Mbak Lidya ada perlu pergi sama cowoknya, gue bosen di rumah sendirian, jadi mending jalan kesini ketemu yayang…” jelasku pula sambil tersenyum najong ke arahnya, dan menyenggol-nyenggolkan badanku.

    Levi menggelengkan kepala dan tampak malas tertawa, tak seperti biasanya. Dia hanya tersenyum tipis, dan menahan badanku agar berhenti menyenggolnya.

    “Kok sepi, yang? Tante Mona kemana? Di kamar?” tanya ku lagi agak bertubi-tubi. “Eh, tapi tadi kayaknya gue gak liat mobil ibu kamu di garasi…”

    “Ibu ke luar negeri” sahut Levi, singkat dan terdengar agak ketus.

    “Oh, emang udah boleh?” tanya ku, tidak lagi banyak bercanda. Sepertinya aku tau kenapa Levi terlihat tidak mood sekarang. Mungkin karena dia akan ditinggal-tinggalkan lagi oleh ibunya.

    Levi menganggukkan kepalanya saja pelan, lalu memandangku. Tatapan matanya tak bisa aku artikan. Aku jadi balas memandang saja sambil tersenyum, menunggu dia akan mengatakan sesuatu – tapi ternyata tidak. Levi malah menundukkan lagi wajahnya dan memainkan kakinya yang agak menyentuh air.

    Aku jadi bingung. Tampaknya pacarku ini butuh di hibur. Beberapa saat kami terdiam. Aku ingin membuat lelucon, tapi apa yang cocok untuk situasi seperti ini. Salah-salah Levi malah akan semakin bad mood, lalu mengusirku. Haduh.

    “Oh ya, mau minum apa, Niel?” tawarnya tiba-tiba, bertepatan dengan aku juga yang mendadak punya ide dan melihat ke arahnya.

    “Hm, minum apa aja boleh, asal yang dingin” kata ku.

    Levi mengangguk dengan senyuman datarnya, lalu berdiri untuk masuk ke dalam memesan dibuatkan minuman pada Bi Mar. Aku pun berdiri dari dudukku, memandang beberapa saat ke arah air kolam yang tampak begitu menggoda. Aku berkacak pinggang, melihat pada air kolam dan langit dengan bergantian. Nice weather to have some lap, isn’t it?

    Tanpa meminta persetujuan siapapun dulu, terutama pemilik kolamnya yaitu Levi, aku langsung membuka pakaianku begitu saja. Beruntung, aku memakai boxer di balik celana jeans ku. Kapan lagi, aku bisa menggunakan sebuah kolam renang seperti ini sepuasku? Dan lebih bagus kalau Levi juga mau ikut, siapa tau bisa membuatnya tidak bad mood lagi.

    “Niel? Ngapain kamu?!” seruan Levi terdengar begitu aku selesai membuka pakaianku dan hanya memakai boxer. Dia diikuti Bi Mar yang menyimpan dua buah minuman warna-wani di meja. Bi Mar tampak malu-malu melihat ke arahku, dan aku membalasnya dengan senyuman malu juga. Bibi setengah baya itu pun berlalu masuk kembali dan menutup pintu kaca yang memisahkan ruangan di dalam dengan halaman belakang.

    “Gue numpang renang ya, Lev?” pinta ku.

    Levi tampak terpana lagi, seperti waktu itu ketika di rumahku dan kami hampir berbuat mesum di kamarku. Dia begitu terpana melihat aku yang tanpa pakaian. Well, perasaanku campur aduk. Antara bangga sekaligus malu karena itu pacarku sendiri yang memperhatikanku.

    “Lev?” tanya ku lagi sambil mendekat dan menepuk pipinya pelan. Dia mengerjapkan matanya.

    “Eh, ka- kamu kan masih sakit Niel! Jangan macem-macem!” katanya tiba-tiba, diantara terkejut sekaligus ingin mengomeliku.

    “Nggak kok, gue udah sembuh!” aku menunjukkan otot ku yang tak seberapa dari lengan kananku. Dia kembali agak terpana tapi kemudian hanya mencibirku. Aku tertawa. Dan sebelum mendengar omelannya lagi, aku pun langsung menceburkan diri ke dalam kolam.

    Seperti yang aku duga. It’s so damn good. Aku langsung berenang dari ujung ke ujung, melakukan beberapa kali putaran. Aku memang lebih suka olahraga basket dari semua olahraga yang ada, dan berenang buat ku adalah seperti refreshing.

    “Lev!” panggilku, begitu ada di tengah. Levi sedang duduk di pinggir lagi dengan minuman di tangannya. Dia melihat ke arahku. “Ikutan yuk!”

    “Nggak ah!” balasnya sambil menggelengkan kepala dan mengacuhkanku lagi dengan berpura-pura sibuk memainkan minuman berwarnanya.

    Aku pun berenang mendekat padanya, lalu bersandar pada tembok di bawahnya.

    “Yang…” kata ku lagi setelah menyingkirkan rambutku yang basah. Dia melihat padaku dan lagi-lagi seperti terpana. Dengan salah tingkah, dia mengalihkan matanya dan menyimpan gelas minumannya. Aku mengambil gelas itu, lalu meminumnya.

    “Eh, punya kamu disana—“ dia bermaksud mencegah, tapi aku sudah lebih dulu meminum minumannya, lalu tersenyum manis padanya.

    Dia hanya memutarkan bola mata, menghindari memandangku lagi.

    “Ayo Lev, seger tau!” aku kembali mengajaknya, kali ini sambil sedikit menarik-narik celananya. Dia menepis-nepis tanganku.

    “Basah ah, Niel!” katanya.

    “Ya iya, makanya buka, terus ikut renang”

    “Nggak mau”

    Dia bergerak bangun dari duduknya, tapi aku masih saja bandel dan menarik-narik lagi celananya. Dia menepis, aku malah memegang tangannya. Levi tak bisa melawan begitu tangan kuatku memegang tangannya. Aku menariknya dengan mudah, dan dia dengan sukses tercebur bersamaku.

    Levi menyingkirkan rambutnya yang basah lalu melihat padaku dengan kesal.

    “Anjrit! Adniel!” teriaknya. Aku malah mencibirnya dengan menjulurkan lidah dan berenang menjauh darinya. Levi yang kesal jelas terpancing, dan mengejarku. Kami pun beberapa saat terlibat perang air, hingga kemudian Levi menyerah lebih dulu dan naik lagi ke tepi kolam. Dia yang masih memakai pakaian lengkap, jelas saja jadi tidak selincah aku.

    “Awas kamu ya, Niel. Kurang ajar!” dia masih mengumpatku begitu berada di atas, menenangkan dirinya dan meminum lagi minumannya. Aku tertawa-tawa lagi, dan menyusulnya naik, duduk di sampingnya.

    “Seru kan?” kata ku, memang menyebalkan.

    Levi tak menjawab, dia melepas saja kaosnya dan memperlihatkan kaos dalamnya yang juga jelas basah. Aku mengernyitkan kening, tak menyangka masih ada cowok yang suka memakai kaos dalam di balik kaos bajunya. Lucu.

    Dengan jail, aku pun mendekat padanya dan menyentuh dadanya yang tercetak karena air. Levi tampak terkejut. Dia mencoba menepis tanganku, tapi tak berhasil. Kami malah jadi saling memandang.

    “Lepas semuanya dong, nanti kamu sakit” kata ku,

    “Aku mau mandi, kok” katanya sambil bersiap berdiri, tapi cepat aku tahan lagi. Dia selalu tak bisa melepaskan diri dari dekapanku.

    Aku menatap wajahnya yang terlihat lebih bening. Kulit putihnya tampak seolah transparan terkena air. Bibirnya memerah dan segar, namun agak gemetar mungkin karena kedinginan. Tak ada rambut-rambut kecil di keningnya yang kadang menutupi ketampanan wajahnya. Sekarang semuanya lebih terlihat, dan natural.

    Aku tentu belum pernah melihat dia seperti ini. Lebih menggoda daripada biasanya.

    Shit.

    Aku yang juga dalam keadaan basah, tak bisa menyelamatkan tubuhku yang seperti excited sendiri. Bagian tertentu di dalam tubuhku bereaksi dengan kurang ajarnya.

    Grrgh. Memang hanya Levi, satu-satunya cowok yang bisa membuatku begini.

    Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Sepi. Hanya ada kolam renang, tumbuh-tumbuhan, meja-meja dan kursi kecil, dinding-dinding besar yang mengelilingi halaman belakang juga… pintu kaca. Ya itu yang memang harus diwaspadai. Aku melihat kesana beberapa saat, memastikan kalau Bi Mar tak akan muncul disana dengan tiba-tiba.

    “Niel?” bisik Levi sambil agak berontak dari dekapanku. Aku terus menahannya dengan lebih kuat sampai dia bahkan tak bisa bergerak hanya untuk sekedar menjauh dari wajahku.

    Aku tersenyum puas. Levi menggelengkan kepalanya.

    “Dingin, tau” dia berbisik lagi.

    “Mau gak dingin?” tawarku.

    Dia mengernyitkan kening, seolah bisa membaca maksudku.

    Aku tersenyum lagi, sebelum kemudian mendekatkan bibirku dengannya. Dia langsung memejamkan mata seperti yang aku harapkan. Mungkin dekapanku lama-lama membuatnya hangat juga. Aku menciumnya. Menyatukan bibir kami yang basah dan agak dingin karena air. Suara angin menemani ciuman kami... menghembuskan juga tubuh basah kami, agak membuat kami menggigil tapi bagus karena membuat Levi malah semakin ingin merapat denganku.

    Perlahan, aku mendorong tubuh Levi hingga mau berbaring diatas lantai. Dan memudahkan kami untuk mendapatkan angle berciuman yang nyaman. Dingin dan basah sudah tak kami hiraukan lagi.

    Tangan Levi menyentuh dadaku yang polos, dan tanganku pun perlahan, menyentuh perutnya di balik kaos dalamnya yang basah. It’s heaven if i should tell you…

    Aku tak bisa menahan diri lagi, dan memindahkan ciumanku ke lehernya, turun ke dadanya, ke perutnya… kemudian naik lagi ke wajahnya.

    Levi pasrah saja, hanya memejamkan mata dan balas mendekapku. We’ve got burn and we want each other. Sepertinya yang kami lakukan waktu itu masih membuat penasaran. Jadinya tak ada yang mau melepaskan lebih dulu.

    “Den Levi!”

    BYUR!

    Panggilan Bi Mar yang tiba-tiba, membuatku di dorong dengan tiba-tiba juga oleh Levi sampai tercebur lagi ke dalam kolam. Nice, karena kemudian, saat Bi Mar menghampiri kami – aku sudah berpura-pura tengah berenang.

    “Kenapa Bi?”

    “Itu temennya ada nelpon…”

    “Oh” Levi langsung berdiri dan membawa kaos basahnya yang tadi dia simpan begitu saja. “Niel, kalo udah selesai, nanti langsung mandi aja ya. Minta pinjem bathrobe sama Bi Mar, biar baju kamu di keringin dulu” pesan Levi sebelum berlalu dari halaman belakang. Aku hanya mengacungkan satu jempolku.

    Bi Mar ternyata tak langsung mengikuti Levi ke dalam lagi, dia malah tersenyum-senyum padaku.

    “Den Adniel, mandi sekarang atuh… biar Bibi keringin bajunya”

    “Iya deh Bi” sahut ku sambil berenang ke tepi.

    Yah aku juga memang sudah lelah, walaupun sebenarnya aku lebih ingin melanjutkan berbaring dengan Levi di lantai seperti tadi.

    Fuh. Kenapa selalu ada saja pengganggu?

    -__-

    = = = = =

    Levi terlihat sudah rapi memakai pakaian lain lagi ketika dia muncul di kamar. Aku pun baru selesai mandi dan sedang memakai bathrobe yang tadi disiapkan Bi Mar.

    “Kok gak mandi disini?” tanya ku, iseng.

    “Kamar mandi nya kan dipake kamu” jawab Levi apa adanya. Dia berjalan ke depan cermin dan mengacak-acak rambutnya yang basah.

    Aku tersenyum jail, lalu mendekat padanya. Perlahan, aku memeluknya dari belakang, mengecup salah satu pipinya. Wangi bayi yang lebih segar memenuhi hidungku, menenangkan pikiran dan jiwaku. God, i really love his scent.

    “Kan bisa mandi bareng…” bisikku, sambil mengecup telinganya juga. Levi bergidik dan mengedikkan bahunya, agar aku tak menempel disana. Dia memang tak mengelak dengan frontal, tapi entah kenapa rasanya dari tadi aku merasakan sekilas penolakan-penolakan halus dari gerakannya.

    Apa mungkin dia mulai risih padaku yang semakin berani? Oh tidak. Terpikir begitu, aku pun melepaskan pelukan ku dan bermaksud agak menjauh dari dia. Tapi Levi malah menarik lagi tanganku, lalu balik memelukku lebih dulu. Dia membenamkan wajahnya di dekat dada ku.

    Dengan agak bingung, aku balas memeluknya, menghirup lagi wangi tubuhnya.

    “Baju gue berapa lama lagi kering nya?” tanya ku, memecah keheningan yang sebenarnya cukup terasa nyaman.

    “Gak tau. Itu kan kerjaan Bi Mar…”

    “Hm, gue cek dulu deh—“

    “Kenapa buru-buru sih?!” sergah Levi sambil menahan badanku yang sudah akan melepaskan pelukannya. Dia memandangku agak lekat.

    “Ya… gak apa-apa, gue cuma mau pulang” jawabku terus terang.

    “Kenapa buru-buru pulang?”

    “Gak apa-apa—“

    “Nginep disini aja, gimana?” Levi memotong kalimatku lagi. Aku memandangnya nyaris tak percaya. Nah lho, kenapa sekarang dia minta aku menginap?!

    “Tumben” ujarku pendek.

    “Gak boleh? Gak mau?”

    “Hm… tapi Mbak Lidya sendirian di rumah”

    Levi tak berkomentar, tapi matanya memandangku dengan semakin tak bisa aku artikan. Sedih? Memohon? Menggoda? Well, baru kali ini aku kesulitan menebaknya.

    “Lev?” ulangku, ketika ku lihat sekarang Levi malah menundukkan wajahnya. Sungguh, aku masih belum bisa menebak apa sebenarnya yang coba dia sampaikan dengan sikap anehnya ini.

    “Aku harus ngomong serius sama kamu, Niel. Tapi di sisi lain, aku juga gak mau ngebahas ini… cuma rasanya ini emang gak mungkin kalo gak aku bahas…”

    Aku mulai mengernyitkan keningku.

    “Apa?”

    Levi malah terdiam lagi. Aku jadi mencium hawa serius yang tidak enak.

    “Yang?” tanyaku pelan, sambil mencoba menyentuh wajahnya agar dia mau memandangku dengan benar dan menceritakan apapun yang ingin dia ceritakan.

    “Aku… aku harus pergi, Niel” ungkap Levi akhirnya, setelah beberapa detik yang menyesakkan.

    “Kemana?”

    “Nyusul ibu ku”

    Aku lebih mengernyitkan kening.

    “Ke luar negeri? Kenapa kamu harus nyusul ibu kamu kesana?”

    Deg deg deg deg deg.

    Jantungku berdegup agak cepat dan tidak menyenangkan. Aku sebenarnya mendadak takut dengan apapun yang ingin dia jelaskan. Rasanya aku mulai sedikit menangkap poin nya… dan dia tidak sedang main-main.

    “Karena, ibu mau tinggal disana….”

    DEG.

    Satu degupan paling keras yang rasanya menghentikan semua degupan jantungku, membuat aku tersentak. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Kalimat Levi cukup pendek saja, tapi berpotensi besar sekali untuk mematahkan hatiku.

    “A- apa?”

    Levi menundukkan lagi wajahnya dan mengangguk pelan. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum kemudian melepaskan pelukannya di badanku, lalu berjalan dengan gusar ke arah tempat tidurnya. Dia lalu duduk disana dengan telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ok, it’s so damn serious.

    Aku masih saja mematung di tempatku. He’s really have to leave, huh? Leaves me?

    Beberapa lama kami malah terdiam, sampai kemudian Levi melepaskan telapak tangan dari wajahnya dan memandangku. Matanya agak berkaca-kaca. Rasanya aku tak pernah melihat Levi sekalut ini sebelumnya. Dia selalu bisa menyembunyikan apapun kesedihan yang dia punya. Dia malah lebih pintar menenangkanku.

    Tapi sekarang, dia tampaknya sudah terlalu down, dan dia tak bisa menenangkanku… wait, bukankah justru harusnya aku yang menenangkan? Tapi bagaimana bisa? Aku juga speechless, aku sedang ketakutan sekarang, aku tak mau dia pergi meninggalkan aku.

    “Aku masih punya waktu, buat berpikir lagi, apa aku bener-bener harus nyusul kesana dan ninggalin kamu atau…. aku gak pernah nyusul dan gak pernah ninggalin kamu…” katanya.

    Damn, that’s so painful. Dia menyebutkan option yang aku tau, tak akan pernah bisa dipilih salah satu olehnya. Dan kalaupun dia benar-benar harus memilih, dia tak mungkin memilihku. Make sense, karena dibandingkan dengan ibu nya – aku ini siapa?! Dan tentu saja, aku juga tak bisa menuntut padanya agar memilihku saja. Aku akan menjadi tidak tau diri dan tidak tau malu kalau sampai meminta itu padanya. Think Adniel, think something wise… think…

    Aku menggigit bibirku, memejamkan mata ku beberapa detik - bukannya berpikir, aku malah berharap kalau ini hanyalah mimpi. Semua ini ternyata hanya trik yang akhirnya aku baru tersadar, kalau aku tak pernah mendapatkan berita apapun dari Levi. Aku tak pernah mendengar kalau dia harus meninggalkan aku. Tapi…

    Screw it. It’s damn real and it’s hurt.

    Dengan langkah sedikit gontai, aku pun mendekat padanya. Dia memandangku begitu aku duduk disampingnya.

    “Lakuin apa yang harus kamu lakuin, Lev” cetusku tiba-tiba, mengeluarkan kalimat sok bijak yang entah sejak kapan melintas di benakku.

    Levi tampak semakin sedih memandangku. Dia kemudian memelukku lagi erat, membuat wajahnya terbenam di pundakku.

    “Jangan pulang dulu ya, Niel… please, I need you here with me now…” bisiknya.

    Aku tak bisa melakukan apapun dan hanya bisa mengusap balik punggungnya. Rasa sakit semakin terasa di dada ku. It feels like… such a farewell…

    Oh damn no.

    Aku menyimpan daguku di atas kepala Levi dan memeluk dia erat juga. Entah kami mau berpelukan sampai kapan. Sampai hati kami tenang? Dan apa hati kami ini akan menjadi lebih tenang setelahnya? Grrgh.

    Still he's gonna leave. Still… he has to leave me.

    :|
    - - - - -

    A/N: sorry and thank u for all guys :)
  • levi yang biasanya ceria jadi kalut begini :(
  • levi yang biasanya ceria jadi kalut begini :(
  • Waahh..jd dilema buat Levi nich..ϑαћ gitu emak'y niel Ga setuju kyk'y dgn hub boy x boy.. *cemas*
  • ah.... simalakama.
    konfliknya makin seru nih.
Sign In or Register to comment.