It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Moga levi bisa ambil keputusan yg betul......!!
Aku suka alur cerita ini,,,,mengalir gitu aja.....!!
Updatenya jngn lama2 kk.......!!
Summon Bang @rieyo626
Lanjut bang.hahah
#d lempar pembaca
ayo dong ah lanjut...
kenapa kenapa kenapaaaaaaa mesti begini,huhhu
oh btw...sesudah 'to' itu hanya boleh ada kata kerja bentuk pertama setahu aku,gak bisa 'have to leaving' tapi 'have to leave'...cmiiw please
okay....pasti pada mau nimpukin gua pake batu ya....screw me,silahkan deh
but above all that.....i LOVE this story so damn much
keep it up bro @rieyo626 *bearhug*
biasanya kan setiap weekend pasti apdet~
kangen Niel Levi~ >.<
[-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O< [-O<
oh ya @MybiSide super big thanks buat ralatnya. haha. pantesan saya sndiri ngrasa ada yg janggal sm kalimat itu. maapin buat my horrible english & grammar. i learn it always though
semoga temen2 semua masi mau nikmatin crita aneh saya ini. hehe. maap ga bisa bales satu2. pokonya ga abis2, makasih banyak! thanks a lot! love u all! *group hugs*
Pikiranku memang sedang sekusut rambut dan wajahku. Meski semalam aku menginap di rumah Levi, berbaring dengan dia di pelukanku – tapi aku malah tidak bisa tidur. Mata ku tidak mau terpejam dengan nyenyak. Aku tak bisa berhenti memikirkan masalah yang baru menghadang kami. Masalah yang menurutku cukup besar dan sangat klimaks, sampai membuatku takut – akan berakhir dengan perasaan kami yang terluka. Ahk, terlalu tipikal. Kenapa hubungan seperti ini kebanyakan identik dengan perpisahan? Dengan kesedihan? Do we really can’t get our happiness? Even just a little? Just a once? How cruel.
“Hey…” sebuah sentuhan lembut di kepalaku, membuat aku terhenyak dan membuyarkan lamunanku. Aku melihat Dara sudah duduk di depanku dan menyodorkan sekotak minuman susu ke hadapanku. “Pagi-pagi udah ngelamun aja, Niel. Udah baikan lo?” kata Dara pula.
Aku hanya mengangguk pelan, masih dengan wajah datarku. Aku mencoba tak menunjukkan kesedihan dan kekalutanku sekarang, namun sulit – dan akhirnya malah menjadi datar saja.
“Minum tuh” Dara menunjuk kotak susu yang sudah dia simpan di depanku. “Sengaja gue beli buat lo”
Cewek ini memang tak bisa menghentikan setiap perhatiannya padaku walau aku sudah menolaknya waktu itu. Kami mungkin mencoba untuk membiasakan diri seperti dulu lagi. Dia yang aku bilang, sudah aku anggap seperti adik sendiri – mungkin ingin menunjukkan kepeduliannya sebagai seorang sahabat dan adik lagi.
“Kemaren Tante Dila dateng ya dari Jakarta?” tanya Dara lagi, menanyakan ibu ku.
“Iya. Tau dari mana?” sahutku sambil membuka kotak susu tadi. Aku pikir, mungkin dengan minum susu pikiranku bisa sedikit rileks.
“Gue ditelpon sama Tante Dila” kata Dara dengan senyuman yang terlihat bangga. Well, aku tak heran karena ibu memang cukup dekat dengan Dara.
“Oh”
“Gue sebenernya pengen ketemu, tapi kemaren gue ada acara keluarga di rumah…”
“Gak apa. Ibu juga udah pulang lagi kok” ujarku, agak acuh. Aku meminum susu nya, lalu terdiam lagi sambil memandang datar pada kotak susu.
Dara pun tampak belum bicara lagi, sampai tiba-tiba dia mengulurkan kembali tangannya dan menyentuh keningku.
“Lo udah sembuh kan?”
Aku melihat padanya.
“Udah” jawabku pendek.
“Terus kenapa lo gak semangat gitu? Masih ada yang sakit?” Dara jadi memandangku dengan tatapan cemas.
Aku menggelengkan kepala, dia mengernyitkan kening.
“Niel…?” nada suara Dara terdengar curiga.
“Wajar kali Ra, gue kan baru sembuh” kata ku akhirnya, membuat alasan yang masuk akal. Dia tampak tersadar dan jadi setuju dengan perkataanku, tak memandangku dengan cemas juga penuh curiga lagi.
“Gue pikir lo ada masalah—“
Perkataan Dara terpotong oleh kedatangan William yang mendadak muncul, dan duduk disampingku. Dia merangkulku dan mengamatiku.
“Udah sembuh, Niel?” tanyanya, tanpa banyak basa-basi. Aku meliriknya, tetap datar, dan hanya mengangguk pelan. “Sukur deh, gua kewalahan banget gak ada lu”
“Kewalahan apa ya, Kak? Gak ada yang bantuin di klub atau… kewalahan ga kuat nahan kangen?” sela Dara, sebelum aku sempat menanggapi William.
Dara tersenyum agak kecut dan jahil, sementara William memelototkan matanya pada cewek itu. I get it. Mereka sepertinya semakin dekat, dan entah kalau William menceritakan hal-hal aneh yang dia rasa padaku. Exactly, I don’t really care. Aku rasa sudah tak penting lagi aku memikirkan masalah sepele ini, ada masalah yang lebih besar dan jauh lebih penting yang harus aku perhatikan.
“Sori ya Will, gue gak tau bakal ngedrop kayak gitu…” aku balas menyela dan mengembalikan pembicaraan, tak menggubris perkataan Dara.
“Gak apa-apa Niel. Lu juga harusnya gak usah maksain kalo emang udah sakit” kata William, seperti biasa dengan perkataan lembut – selembut tatapannya padaku. Apa dia masih belum menyerah untuk menghancurkan hubunganku dengan Levi?
“Duh yang usaha…” sindir Dara, sambil mengulum senyuman kecutnya lagi.
William mendecak pelan dan melihat lagi pada teman cewek ku itu.
“Lu gak ada kerjaan laen, Ra? Gua mau ngobrol berdua aja sama Adniel” kata William, tak segan menunjukkan kalau dia memang terganggu dengan tingkah Dara.
“Gue bilangin Leviandra nih…” dengan cueknya, Dara malah semakin menjadi.
“Gak usah macem-macem lu ya. Gua mau bahas soal klub tau!” sahut William cepat, tampak takut kalau Dara memang akan melapor pada Levi. Lagi, aku tak begitu bisa menebak apa yang sebenarnya sudah terjadi. Tapi, masa iya William takut pada Levi? Orang ini malah bermaksud mengganggu Levi-ku kalau aku tak mau menuruti untuk dekat dengannya kemarin dulu itu.
But wait, kalau diingat-ingat lagi, bukankah dua orang yang ada disini sekarang adalah dua orang yang begitu gigih dan nekat untuk mendapatkanku hingga cukup membuatku muak? Lucu juga karena mereka malah berteman akrab.
“Kalian berdua…” aku menyela perdebatan mereka yang tampak akan memanas. Dara dan William melihat padaku nyaris bersamaan. “Kalian kayaknya akrab, kenapa gak pada jadian aja?”
Keduanya terbelalak seperti yang sudah aku duga. Aku jadi mengulas senyuman tipis. Akhirnya aku bisa agak tersenyum juga. Bagaimanapun mereka ini lucu.
“Gila lu” gumam William, singkat saja, tapi cukup bermakna sebagai penolakan.
“Gak usah ngaco lo. Masa gue harus suka sama homo lagi!?” cetus Dara, terdengar agak sarkasme, tapi aku tak begitu mengambil pusing dan malah tertawa. Nice joked, girl!
William tampak kesal dengan ucapan Dara, sampai dia melepaskan rangkulannya di bahuku dan lebih serius menatap tajam pada temanku itu. Sebelum akan ada perdebatan yang lebih hebat lagi, aku pun memilih untuk berdiri dari dudukku.
“Gue mau sendirian dulu, jangan ada yang ikutin gue ya…” ujarku, lalu mengambil tas ku, dan bermaksud untuk pergi.
“Eh, Niel!” panggil Dara. Aku berbalik dengan enggan. “Kita… mau ngomongin sesuatu sama lo”
Samar, aku mengerutkan keningku dan memandang mereka satu persatu. Keduanya balik memandangku dengan serius. Oh well, tampaknya memang ada sesuatu.
Please, God… not another bad news…
Aku pun kembali hanya bisa mengeluh pasrah dalam hati.
= = = = =
Harlan menyimpan berkas terakhirnya di atas meja, sebelum kemudian duduk di kursi yang menghadap pada Levi yang tengah melamun dari sejak kedatangannya ke ruang senat itu, beberapa menit yang lalu. Raut gelisah tampak tak bisa di ditutupi dari wajah manisnya.
“Lu udah pikirin yang gue bilang di telepon waktu itu?” tanya Harlan setelah beberapa detik, dia hanya membiarkan matanya menikmati wajah Levi.
Levi mengangkat pandangannya dari meja di hadapannya, melihat pada Harlan. Perlahan dia menggelengkan kepalanya, terus terang.
“Gue masih gak bisa mikir jernih, Kak. Susah” jawabnya.
Harlan mengangguk pelan, menunjukkan pengertiannya.
“Gue cuma pengen bantuin lu, bikin semuanya lebih simple”
Beberapa saat Levi balas memandang kakak tingkatnya itu, dan dugaan demi dugaan pun jadi menyesaki benaknya.
“Kak… elo yang cerita sama ibu gue ya?” tanya Levi akhirnya dengan hati-hati, tak ingin mengeluarkan nada seperti sedang menghakimi Harlan.
Harlan pun mengangguk cepat. “Iya. Waktu itu ibu lu dateng kesini, nanya-nanya soal lu, dan gue gak mungkin ga jawab kan?!” sahutnya pula, tenang. “Apa lu berharap gue bohong sama ibu lu?”
Levi tak menyahut, hanya terus memandang Harlan. Ok, dia tak boleh marah. Harlan jelas tak ada sangkut pautnya disini. Saat ibunya bertanya pada kakak tingkatnya itu, tentu saja Harlan akan menjawab dengan jujur. Dia tidak salah.
“Lev…” perlahan Harlan mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Levi yang ada diatas meja. “Ini kenapa gue bilang, lu gak usah ragu buat minta bantuan gue. Lu sama Adniel mungkin gak bisa nyelesein berdua aja”
Perasaan merinding itu kembali menghampiri Levi, begitu tangan Harlan meremas tangannya, pelan. Tapi Levi sedang tak mau mempedulikannya. Ada yang lebih mengganggu pikirannya sekarang.
“Jadi, menurut lo… gue lebih baik…”
“Ya, buat sementara lu mendingan putus dulu sama Adniel” Harlan mengungkapkan lagi sarannya, membetulkan kalimat Levi yang terdengar ragu dan berantakan.
Levi menghela nafas pelan, dan memejamkan matanya beberapa detik. Putus dari Adniel… memangnya mudah?! Memangnya dia bisa?!
“Gue tau ini pasti sulit. Tapi demi ngeyakinin ibu lu kalo lu udah gak ada hubungan sama cowok manapun, gue pikir bisa bikin beliau nyerah buat minta lu ikut ke luar negeri…” kata Harlan lagi.
Tidak, pikir Levi. Itu tetap tidak se-simple itu.
“Yah minimal, sampe lu beres kuliah” tambah Harlan.
Levi membuka matanya dan memandang cowok di depannya.
“Terus kalo gue udah selesai kuliah, gue nyusul ibu gue gitu? Itu artinya gue tetep harus ninggalin Adniel, Kak. Sama sekali gak ngasih solusi…” sahut Levi, sedikit emosi meski di akhir kalimat dia memelankan suaranya. Dia memang tak enak juga kalau harus frontal bahwa ide kakak tingkatnya itu sama sekali tak berguna.
“Itu satu-satunya cara, Niel. Dan siapa tau kalo nanti ibu lu berubah pikiran, terus gak maksa lu buat ikut kesana”
Levi melepaskan genggaman tangan Harlan dan menyentuh keningnya, semakin gelisah. Sungguh, rasanya dia memang tak bisa mengandalkan siapapun sekarang. Dirinya sendiri saja kesulitan untuk menyelesaikan masalah ini, apalagi orang lain. Dia jadi berpikir ekstrim, kalau saja dia bisa kabur bersama Adniel menjauh dari semua ini. Ok Leviandra, you’re not living in some random soap-opera’s story.
“Lu pasti lebih tau kalo ibu lu, gak nentang soal orientasi seksual lu. Tapi, ibu lu pengen lu gak jadi gay disini…” tambah Harlan lagi, dan itu cukup mengejutkan Levi. Levi tak menyangka kalau Harlan mengetahui masalahnya sedetil ini. Tak menyangka kalau ibunya sudah bercerita banyak. Duh.
“Gue tetap harus membuat pilihan yang sulit, Kak. Kalo gue putusin Adniel sekarang, terus ujung-ujungnya gue ninggalin dia, itu sama sekali gak nyelesain apapun…” cetus Levi akhirnya, tak tahan juga untuk mengungkapkan pikirannya.
“Tapi setidaknya lu tetep bisa deket sama dia, meski kalian gak pacaran lagi” Harlan bersikeras. Dia lebih mendekat pada Levi, memandang lekat pada kedua mata besarnya. “Kadang lu harus berkorban buat sesuatu yang lebih baik”
Levi mendesah. Berkorban lagi? Rasanya dia dan Adniel sudah cukup berkorban selama ini. Apa hubungan mereka memang hanya akan dipenuhi pengorbanan demi pengorbanan? Tidak adakah kebahagiaan yang sebenarnya?
“Kecuali, lu bisa bawa Adniel ikut sama lu ke Sydney…” Harlan masih bicara. Dia kemudian tersenyum tipis, seperti agak meledek. “Meski gue gak yakin apa yang anak itu bisa supaya dia ada peluang ke luar negeri. Kuliahnya disini aja keteteran gitu…”
Levi memutarkan bola matanya diam-diam. Terus terang, dia jadi iritasi dengan perkataan Harlan yang jelas meremehkan pacarnya. Entahlah, tapi Levi jadi merasa kalau Harlan sebenarnya tak ada niat yang sungguh-sungguh untuk membantunya menyelesaikan masalah ini. Harlan malah seperti ingin menikmati kalau misalnya Levi dan Adniel benar akan putus, atau berakhir dengan perpisahan karena Levi tetap harus pergi keluar negeri.
Oh please, Levi jadi ingin berprasangka buruk dengan semua ini. Apa mungkin tanpa dia sadari, ternyata Harlan tak se-supportif yang dia pikir sejak lama!? Bisa saja kalau ternyata Harlan sudah lama ingin dirinya dan Adniel putus? Ck.
“Gue mau bahas ini sama Adniel aja, Kak” kata Levi akhirnya, sambil beranjak dari duduknya. Lama-lama disana, dia malah takut akan kehilangan kendali dan jadi emosi. “Apapun pilihan kita nanti, setidaknya, cuma kita berdua yang mutusin dan nyesel enggaknya juga cuma kita yang rasain. Gue gak mau ngelibatin siapapun”
Harlan tampak terhenyak, dan nyaris ingin memprotes untuk memaksa adik tingkatnya itu agar mendengarkannya saja. Tapi kemudian dia malah mengangkat kedua bahunya, dengan sedikit kecewa. Senyuman dipaksa terulas di bibirnya.
“Ok. Tapi gue masih ada disini kalo lu butuh bantuan…”
Levi mengangguk datar, sebelum berlalu dari sana.
= = = = =
“Gue tau siapa yang udah cerita macem-macem sama ibu kamu!” kata ku, nyaris tak ada basa-basi dulu begitu Levi datang menghampiriku di parkiran.
“Aku juga tau” sahut Levi datar. Dia menyimpan tas nya di lantai semen, lalu duduk disana. Dia tampak tenang, meski aku tau, dia pasti sebenarnya sekalut aku – malah mungkin lebih-lebih.
“Tuh kan. Itu gara-gara kamu terlalu lengket sama dia!” ujarku lagi sambil ikut duduk disamping Levi. “Harlan keliatannya kayak support kita, padahal dia gak suka liat kita bareng. Dia malah ada pikiran pengen rebut kamu dari gue. Dia gak lebih baik juga dari si William!” lanjutku, agak berapi-api.
Aku memang nyaris menahan emosi sejak tadi, ketika William dan Dara memberitahuku tentang apa yang sudah dilakukan oleh Harlan. Sungguh, dia adalah orang terakhir yang melintas di benakku, akan menjadi penghalang yang paling sulit. Selama ini, aku lebih baik berhati-hati pada William dan Dara – yang sebenarnya tidak berbahaya seperti Harlan.
“Jadi, kamu nyalahin aku, Niel?” tanya Levi sambil melihat padaku dan masih dengan suara dan tatapan datarnya. Dia jelas terlihat tidak bersemangat.
Aku jadi menarik nafas dan menenangkan diriku sendiri yang tampaknya memang sudah terlalu berlebihan.
“Bukan gitu, Lev…” gumamku akhirnya dengan suara yang lebih tenang. “Gue cuma beneran gak nyangka kalo Harlan yang bisa berbuat gini sama kita. Baiknya dia sama kamu, ternyata emang ada maunya…” tambahku, menjelaskan apa yang aku maksud. Aku memang cukup kesal dengan kenyataan ini. Awalnya aku tak mau berprasangka buruk dengan mengira kalau Harlan mungkin ada perasaan pada Levi, tapi rupanya, memang benar seperti itu. My insting isn’t that bad, is it?
“Itu udah bukan poin nya lagi, Niel…” kata Levi setelah beberapa saat dia belum juga menanggapiku. Dia memandangku dengan lebih sendu sekarang, setidaknya tidak sedatar tadi. “Cepat atau lambat, keluarga kita emang bakal tau juga kan? Emangnya kita sehebat apa bisa terus-terusan nyembunyiin hal kayak gini!?”
Jleb.
Perkataan Levi malah jadi serasa menusuk perasaanku. Sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga. Well, aku tidak begitu suka peribahasa itu – tapi rasanya memang ada benarnya juga. That is reality.
Kalau dilihat dari keadaannya, mungkin Levi jadi agak lebih beruntung daripada aku sekarang, karena ibunya sudah mengetahui semua dan tetap menerimanya dengan baik – walau dia diajak untuk pindah keluar dari Indonesia. Sedangkan aku, orangtua ku masih belum tau apapun. Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka kalau sampai aku berterus terang pada mereka.
“Jadi… masalah sekarang, tetap tentang pilihan apa yang mesti aku ambil…” tambah Levi setelah kami malah jadi terdiam selama beberapa saat. “Apa kita harus putus dulu, supaya ibu mau ngebiarin aku terus tinggal…?”
Deg!
Debaran menyesakkan tiba-tiba mendegupkan jantungku. Aku menatap pacarku lekat-lekat, memastikan kalau dia tak serius memikirkan hal itu di benaknya. Putus adalah kata yang paling tak sudi aku dengar belakangan ini.
“Emangnya, kalo kita putus dulu, ibu kamu gak akan nyuruh kamu buat nyusul?” tanyaku kemudian.
“Yah siapa tau—mungkin ibu akan berubah pikiran…” jawab Levi sambil mengangkat kedua bahunya, tak yakin. Ck, dia malah mengusulkan hal yang dia sendiripun ragu-ragu untuk melakukannya.
“… kalo nggak? Kalo kamu tetep harus pergi?” tanyaku lagi, merasa ngilu sendiri dengan kata-kata ku. Levi balas memandangku, masih sendu dan malah semakin terlihat sedih – sama seperti tadi malam.
F-ck. This pain again, feels like gonna kill me soon.
Aku pun malah menjambak rambutku dan memalingkan wajah, tak begitu peduli dengan jawaban dari pertanyaanku – karena sebenarnya aku tak butuh itu. Beberapa saat, kami kembali terdiam. Hening, sampai kemudian tangan Levi menyentuh kepalaku, mengusapnya lembut.
“Aku gak akan sanggup kalo putus dari kamu, Niel” katanya, terdengar serius.
Aku pun cepat melihat padanya.
“Kalo gitu jangan!” cetusku.
“Tapi—“
“Apa?!” sergahku cepat, sebelum dia membuat kalimat utuh yang jelas tak mau aku dengar. Kata ‘tapi’ saja sudah membuatku sangat iritasi. Aku menjauhkan tangannya dari kepalaku dan menatap tajam padanya. “Kalo kamu putusin gue, mending kita gak usah kenal lagi!” kata ku pula, tegas. Sekali lagi aku memalingkan muka sambil agak menggeser dudukku dari dekatnya. Memang kekanakan, tapi aku sudah tak begitu bisa berpikir jernih. Terus terang aku ketakutan.
“Niel…”
“Gue serius!” aku menyergah lagi sambil meliriknya tajam. Tapi tanpa sengaja aku malah melihat tatapan sedihnya. Dia juga tak main-main nampak sedih seperti itu.
It’s hurt anyway. We’re hurts.
“Aku gak tau mesti gimana, Niel… pikiranku buntu. Aku cuma kepikir, yang penting aku bisa terus di deket sama kamu…” kata Levi terlihat tak bisa menahan lagi perasaannya. “Sekarang, aku minta pendapat kamu kalo emang ada yang lebih bagus. Kita harus mikirin ini bareng-bareng dan gak pake emosi”
“Iya gue tau, gue juga gak emosi…” sangkalku, tetap kekanakan.
Levi mendecakkan lidahnya pelan, lalu menarik nafas panjang. Dia mengulas senyuman datar, tampak tak mau terpancing oleh ucapanku lagi.
“Ok, jadi harusnya kita dapet penyelesaiannya”
Aku menatap lekat saja, sudah memudarkan tatapan tajamku.
“Gimana kalo… kita kabur”
Aku mengedipkan mataku beberapa kali sambil mencoba mencerna kalimat yang baru diucapkan Levi. Itu terdengar seperti bercanda, tapi rasanya berlebihan sekali kalau dia bercanda disaat seperti ini – dan Levi tampaknya memang tidak bercanda.
“Ka- kabur?” ulangku.
Levi mengangguk yakin.
“Kabur kemana maksud kamu?”
“Kemana aja, yang penting kita gak harus putus…”
Aku tertegun. Apa ini? Tumben sekali Levi memberikan pendapat yang tak bisa diterima dengan mudah. Apa dia sudah benar-benar desperate sampai tak ada ide masuk akal yang bisa dia ajukan – atau ini memang jadi masuk akal untuk sekarang?
“Jangan bercanda, Lev” desisku akhirnya, meski aku tau dia tidak bercanda.
“Aku serius, Niel. Menurutku, gak ada cara lain selain kita harus menjauhi tempat yang kira-kira ibu ku bisa tau…” sahut Levi, malah menjelaskan dengan tenang.
“Iya, tapi—“
“Kamu takut?” potongnya.
Aku serasa ditembak begitu saja, dan pride-ku seakan di remehkan.
“Bukan. Tapi itu gak akan semudah yang kamu pikir. Pertama, kita ada kewajiban buat kuliah. Kedua, kita mau kabur kemana? Gue gak ada masalah sama orangtua gue, mereka pasti kaget kalau gue tiba-tiba ngilang…” aku balas menjelaskan apa yang mengganggu pikiranku, hal-hal logis yang membuat ide Levi jelas tak mungkin untuk kita realisasikan dengan seenaknya.
Levi menarik nafas dalam-dalam, lalu mengusap rambut halusnya. Senyuman sudah memudar dari wajah manisnya. Aku jadi merasa sudah memberikan penjelasan yang salah.
“M- maksud gue—“
“Aku paham, Niel. Yang kamu bilang itu juga bener. Kamu gak ada masalah sama keluarga kamu. Aku malah bakal nambah kerumitan kalo bawa-bawa kamu…” potongnya, tanpa kembali melihat padaku. “Sepertinya emang aku yang harus berkorban… demi kita”
Aku mengernyitkan keningku mendengar kalimat dia selanjutnya. Bibirku jadi terkatup lagi begitu aku akan menyahutnya.
Berkorban demi kita? Apa itu artinya…
“Lev, jangan bikin keputusan konyol” sergahku tiba-tiba sambil merangkulnya. Dia tampak terhenyak, lalu kembali melirikku.
“Aku udah gak bisa bedain mana keputusan yang konyol atau nggak. Kamu gak mau kita putus, kan? Aku juga gak mau. Dan aku gak bisa jauh-jauh dari kamu” katanya, menjelaskan dengan yakin. Mata besarnya memandangku cukup lekat. Aku bisa membaca semua kekalutannya disana. Gelisah yang dia tutupi dengan cukup sempurna. Dia masih bisa terlihat tenang dan luar biasa dalam kekacauan ini.
“Kita bisa pura-pura udah gak pacaran lagi” cetusku mendadak mengatakan pikiran yang sudah agak lama menghantui benakku, tapi aku tak mau mengungkapnya.
Kali ini Levi yang tampak tertegun. Dia mungkin tak berharap aku mengatakan hal seperti ini juga.
“Pura-pura?” katanya.
“Iya, sampe kata kamu… ibu kamu mungkin bakal berubah pikiran…” sahutku.
Dia terdiam. Aku pun jadi ikut terdiam. Berpikir lagi. Untuk kesekian kalinya, kami hanya memikirkan hal yang sama. Tired but it’s a must.
“Pura-pura ya…” gumam Levi akhirnya.
“Itu lebih bagus daripada kita putus beneran kan?” aku menyahut gumamannya sambil menyentuhkan pipi ku dengan kepalanya.
Levi mengangguk. “Ok, kita bisa coba”
Dia lalu menyandarkan kepalanya ke pundakku dan melingkarkan tangannya ke pinggangku. Aku jadi mengusap-usap kepalanya. Don’t know why it’s still painful. Kesepakatan yang sudah kami ambil ini sebenarnya memang masih menyiksa, sedangkan kami sudah tak ada pilihan lain.
Selama dia belum benar-benar harus pergi dari sisi ku, aku mungkin bisa terus berusaha untuk mempertahankannya. Tapi, aku pun malah teringat dengan soal pengorbanan tadi… apa yang sudah aku korbankan untuk hubungan kami… tepatnya untuk Levi!? Kalau aku ingat-ingat lagi, selama ini aku lebih banyak menyusahkannya.
“Lev, kayaknya gue setuju kalo kita kabur”
Levi cepat menggerakkan kepalanya dari pundakku dan memandangku, terkejut.
“Hah?!”
= = = = =
Aku mendribble bola sambil berjalan keluar lapangan. Latihan dengan melakukan match melawan anak-anak baru saja selesai. Mata ku memandang ke sekeliling lapangan sampai terhenti pada sebuah tempat di luar lapang yang biasanya akan aku cek lebih dulu sebelum aku main dan sesudahnya – karena Levi ada disana. Tapi sudah hampir 2 hari ini, sejak kami memutuskan untuk tidak begitu dekat, dia tidak lagi ada dalam kegiatan-kegiatanku. Kami hanya bertemu di kelas, itu pun dengan jarak duduk yang selalu berjauhan.
Baru 2 hari saja, tapi aku sudah mulai tersiksa. Levi benar-benar sudah mempengaruhi hidupku, jadi sebentar saja aku tak melihat atau bersamanya – semua langsung terasa aneh. Sungguh, aku tak bisa bayangkan kalau dia benar harus selamanya pergi meninggalkan aku untuk tinggal di luar negeri.
“Udah, jangan diinget-inget terus. Let it go, Niel” suara seseorang dengan rangkulan di pundakku, membuat aku terhenyak. Aku menoleh dan melihat Fery disana sedang memberiku senyuman penuh simpati. Dia memang sudah aku ceritakan kalau aku putus dari Levi, tapi aku tak bilang kalau itu pura-pura dan hanya untuk menjalankan misi berbahaya yang sudah aku susun dengan Levi. Setidaknya, aku hanya mau menghindari pertanyaan kenapa aku sudah tak pernah bersama Levi lagi. Begitu juga agar lebih cepat menyebar dan orang-orang sungguhan mengira kami sudah putus.
Aku balas tersenyum datar. Dia menepuk-nepuk pundakku sambil membawaku pergi dari sana. Fery memang sangat menyayangkan dan tak mengira kalau aku dan Levi akan putus. Dia sudah sangat salut dengan perjuangan kami yang mempertahankan hubungan tak biasa itu. Aku jadi tak enak, tapi aku tak bisa membocorkan apapun padanya – meski sekarang dia adalah teman baikku dan Levi.
“Adniel!” aku berhenti begitu sudah akan memasuki ruang ganti bersama Fery. Aku baru berbalik dan mendadak William sudah ada disana. Dia memandangku dengan tatapan cemas yang tak pernah aku lihat sebelumnya.
“Apa?” tanyaku tetap datar. Dia melihat pada Fery yang juga jadi ikut berhenti dulu. Dan tanpa menjawabku, William pun menarik lenganku sampai bola basket yang aku pegang terlepas. Dia menyeretku menjauh dari sana. Sekilas aku bisa melihat wajah Fery yang keheranan sambil memegang bola basket ku tadi.
. . . . .
“Pelan-pelan aja kali Will” kata ku begitu aku berhasil melepaskan cengkaramannya di lenganku setelah kami berada di tempat yang agak sepi.
William tampak tak peduli dan malah terus memandangku lekat.
“Kenapa sih?!” aku semakin gemas dan tak bisa berhenti bertanya.
“Lu… putus sama Leviandra?” pertanyaan William akhirnya menyadarkan aku dengan segala sikapnya barusan.
“Iya” jawabku, singkat.
“Serius?!” William semakin melebarkan matanya dan tampak tak percaya.
Aku mengangguk saja.
“Astaga!” cetusnya kemudian sambil menyentuh keningnya. “Jangan bilang, lu sama Leviandra ngikutin sarannya Harlan!?” tuduh William pula. Suaranya jadi mendesis, takut juga jika ada yang mencuri dengar.
Aku mengangkat kedua bahuku. “Kita gak ada cara lain…”
“Bego” umpat William pula dengan suara yang dipelankan, tapi bisa aku dengar dengan jelas. Aku mengernyitkan kening.
“Kenapa jadi ngatain gue bego? Ini urusan gue sama Levi, lo gak usah ikut campur” sahutku, agak terpancing oleh umpatannya.
“Sori gua bukan ngatain lu… gua cuma…” William tampak tak bisa menjelaskan apa yang ingin katakan. Dia mendecakkan lidahnya.
“Lo gak suka gue putus sama Levi? Yakin?” ujarku, mendadak malah ingin menjahilinya.
William memandangku lagi.
“Gua gak suka kalian tiba-tiba putus kayak gini…”
“Terus?”
William mengusap telapak tangannya ke wajah. Ini sepertinya pertama kali aku melihat dia begitu overacting. Cowok keren yang biasa terlihat perfect di depan orang-orang ini, belakangan malah jadi sering bertingkah konyol di depanku.
“Gua sama Dara udah nyerah, karena kita pengen bantu lu berdua. Tapi kalian malah kayak gini… Rasanya, jadi sia-sia aja kalo kita nyerah. Sekarang lu single, gua sama Dara kan jadi ada kesempatan lagi” jelas William akhirnya.
Aku menghela nafas dan menyembunyikan senyumanku. Shit, tapi ini memang lucu. Am I that good? Mereka ternyata masih saja mengharapkan aku. Ck ck.
“Lo tau Will? Lo sama Dara itu serasi banget” kata ku, sengaja agak mengalihkan pembicaraan.
William mengernyitkan keningnya. Aku tak bisa lagi menahan senyumanku, malah tertawa pelan juga. Tawa pertamaku lagi sejak 2 hari yang lalu.
“Jangan sembarangan, Niel…” elak William.
“Gue gak maen-maen. Gue kayaknya bakal lebih seneng, liat kalian jadian”
“Heh, kita lagi ngomongin lu sama Leviandra—“
“Gue gak mungkin pacaran sama siapapun lagi, Will” sergahku, sebelum dia memprotes habis-habisan pembicaraan yang memang mulai agak melenceng ini.
Aku menghilangkan senyumku dan memasang wajah serius lagi.
“Setidaknya buat sekarang. Gue mau fokus di kuliah sama kegiatan gue aja kayak dulu. Gak ada pacaran, gak ada… apapun yang bikin pikiran gue kebelah-belah” kataku, menambahkan.
“Terus, lu bakal biarin Leviandra pergi?” tanya William.
“Yah, kalo dia emang harus pergi… toh kita juga udah gak ada hubungan apa-apa lagi” jawabku, agak pahit. Aku terpaksa menyebutkan kalimat yang tidak mengenakkan seperti itu.
“Lu yakin?” William tampak tak percaya.
Jelas saja aku tidak yakin, karena itu hanya jawaban palsu. Tapi lagi-lagi aku terpaksa menganggukkan kepalaku untuk membuat semuanya meyakinkan.
“Gue mau nikmatin hidup gue kayak dulu”
William masih memandangku, kali ini dengan tatapan cemas atau simpati - entahlah. Dia kemudian menarik badanku merepat ke arahnya dan membuat kepalaku terbenam di pundaknya. Dia menepuk-nepukkan tangannya juga ke punggungku seolah ingin menenangkanku. Perlahan aku juga merasakan bibirnya bergerak disamping kepalaku.
“Gua pengen banget jadi bagian hidup lu yang sekarang” bisiknya.
Aku hanya mendesah dalam hati. Lha, apanya yang sudah menyerah?!
= = = = =
“Kalian udah gila ya?!” Mbak Lidya memandangku dan Levi dengan agak histeris. “Nggak! Pokoknya gue gak setuju!”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Memang sudah menduga Mbak Lidya akan bereaksi seperti ini begitu aku sudah menjelaskan rencana kami padanya.
“Mbak, please… kita udah gak tau mesti gimana” kata Levi tetap berusaha tenang, walau dari wajahnya dia terlihat panik.
“Nggak Lev! Kalian gak bisa egois kayak gini. Coba lu pikir Niel, gimana nanti ibu sama ayah lu?! Kalian jangan pada gegabah!”
“Aku tau ini egois, Mbak. Aku yang minta Adniel buat ngelakuin ini. Kita udah buntu Mbak, cara ini tuh satu-satunya…” Levi masih berusaha menjelaskan, sambil berusaha tak terpancing emosi.
“Mbak, gue udah putusin kayak gini. Gue gak bisa jauh dari Levi” sambungku pula.
Mbak Lidya menutupi wajah dengan telapak tangannya. Dia tampak frustasi. Aku bisa paham, karena bagaimanapun, dia memiliki tanggung jawab kepada orangtua ku untuk menjagaku. Tapi pada siapa lagi aku harus meminta bantuan kalau bukan dia. Selama ini dia merestui hubunganku dengan Levi, jadi seharusnya tak akan sulit.
“Denger ya lu berdua, dengan kalian kabur, sama sekali gak akan nyelesein apapun malah bakal nambah masalah. Terutama di pihak Adniel. Selama ini semuanya baik-baik aja bukan? Kalo tiba-tiba Adniel kabur sama kamu, Lev, itu bisa bikin situasi kamu makin gak bisa diselametin” Mbak Lidya akhirnya mulai menasihati kami.
“Aku tau, Mbak…” gumam Levi, semakin lesu. “Tapi—“
“Ok, kalo kamu cuma pengen supaya ibu kamu gak maksa kamu nyusul dia, pilihannya udah jelas… kamu harus tegas buat milih tinggal disini, tanpa ibu kamu!” potong Mbak Lidya, sebelum Levi sempat membantah.
Levi tampak terpaku dan aku juga tertegun. Shit. Saking pusingnya kami beberapa hari ini, aku sampai tak menyadari kalau pilihan kami memang tetap berputar disitu. Intinya Levi memang harus meninggalkan ibunya demi aku… apa mungkin?
“Itu artinya, kamu mungkin memang lebih sayang Adniel daripada ibu kamu sendiri” tambah Mbak Lidya, dengan nada suara yang tidak bermaksud menghakimi.
“Aku sayang mereka berdua, Mbak” gumam Levi, sambil melirikku. Wajahnya semakin terlihat sendu.
“Kamu sanggup kalo tinggal tanpa ibu kamu?”
“Aku udah biasa tinggal tanpa ibu…”
“Jadi kamu sanggup?”
“Asal ada Adniel yang nemenin aku”
Aku terdiam saja mendengarkan percakapan mereka. Dadaku mendadak berdebar dengan tak jelas. Antara senang, tapi tak nyaman. Levi sungguh akan berkorban demi aku, demi hubungan kami yang kami sendiri tidak tau akan seabadi apa.
Mbak Lidya mendecak pelan, dan menggelengkan kepalanya. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk lebih menenangkan dirinya.
“Lu kelewat beruntung jadi orang, Niel. Banyak banget orang yang sayang sama lu” cetusnya, tiba-tiba bicara padaku.
Aku makin terdiam, dan terus terang agak malu mendapat perkataan seperti itu.
“Lo bener, Mbak. Jadi gue tetep putusin buat kabur sama Levi” kata ku akhirnya setelah beberapa saat.
Mbak Lidya melebarkan lagi matanya. Levi juga melihat padaku.
“Niel—“
“Mbak, gue gak bisa ngebiarin Levi berkorban sendiri. Ini emang harus kita tanggung berdua. Kalo Mbak khawatir gimana Mbak harus tanggung jawab sama ayah dan ibu, biar gue yang beresin” potongku cepat.
“Mau kabur kemana kalian? Kuliah kalian gimana? Jangan pada mikir sempit deh!” gerutu Mbak Lidya, kembali kesal.
“Kalo kita bilang-bilang mau kabur kemana, namanya ya bukan kabur, Mbak” sahutku asal.
Mbak Lidya menghela nafas berat.
“Cukup ya, jangan maen-maen lagi…”
“Kita gak maen-maen, Mbak. Waktu kita cuma sedikit, besok Levi bakal dikirim tiket buat keberangkatannya ke Sydney. Gue udah gak mau mikir lagi”
“Ok, terus kalian mau kemana? Huh?!” Mbak Lidya menatap kami tajam dan tidak sabar.
Aku melirik pada Levi yang jadi lebih banyak diam. Perlahan, aku mengembangkan senyuman tipis padanya. Dia tak sempat membalas karena aku sudah kembali melihat pada kakak sepupu ku.
“Soal itu, cuma gue sama Levi yang tau”
- - - - -
“Lo berdua tuh konyol tau gak? Yang namanya kabur itu keluar kota, keluar negeri… ini malah pada nyangkut di kosan gue” ujar Dara setelah aku dan Levi menjelaskan kedatangan kami ke tempatnya malam itu.
“Buat sementara. Soalnya kan, gak mungkin bakal ada yang nyariin kita kesini” sahut Levi. Memang pacarku itu yang punya ide supaya kita menumpang dulu di tempat Dara, dan aku tak bisa menolak meski sebenarnya – aku setuju dengan apa yang dibilang Dara, ini konyol. Tadinya aku berharap kita akan langsung pergi keluar dari Bandung, meski entah kemana.
“Iya, gue ngerti. Siapa tau juga, kalian masih mau berubah pikiran. Seenggaknya, dari sini kan gak jauh buat kalian balik kerumah” kata Dara pula sambil tersenyum penuh arti. Aku sebenarnya jadi tak menyangka kalau orang-orang yang aku takutkan akan menjadi penghalang kami, justru malah dengan senang hati membantu. Dara mungkin seharusnya menjadi teman baikku lagi, walau sekarang dia tampak lebih dekat dengan Levi.
“Itu gak mungkin, Ra” gumamku.
“Coba deh kalian pikir ulang, kalian mau kemana… terus apa kalian gak sayang sama kuliah kalian…”
“Kita milih tempat lo juga karena deket sama kampus. Kita bisa ke kampus, dan pulang cepet-cepet kesini…” kata Levi.
Dara menghela nafas panjang. Dia tersenyum simpul.
“Gue bener-bener bingung sama jalan pikiran kalian. Mau nyoba sok sinetron pake acara kabur, tapi kalian sendiri kayaknya gak siap. C’mon guys, grow up?!” komentarnya, sedikit menasihati.
Aku sudah keburu malas mendengar nasihat lagi, jadi lebih memilih beranjak dan membenamkan saja wajahku ke bantal yang ada di tempat tidur Dara.
“Lo gak apa-apa kan kita bajak dulu kamarnya?” tanya Levi.
“Yah mau gimana lagi…” jawab Dara.
“Gak ikhlas lo? Ah bodo amat” sambarku, sambil melirik padanya tapi kemudian membenamkan lagi wajahku. Rasanya aku lelah.
Dara malah tertawa lalu menimpuk kepalaku dengan salah satu boneka miliknya.
“Ya udah, gue di kamar temen gue. Kalo ada apa-apa sms aja ya” kata Dara lagi sambil kemudian berlalu dari sana. Samar, aku mendengar suara pintu yang ditutup, kemudian hening.
Kami memang beruntung karena Dara tinggal di kos-kosan yang layaknya kamar kontrakan, jadi tak akan menimbulkan masalah kalau ada cowok yang menginap. Lagipula disini memang kos-kosan yang dicampur, belum lagi pemilik kos nya juga cukup toleran dan tak begitu peduli dengan urusan pribadi penyewa kamar. Lalu keberuntungan kami lainnya, karena ternyata Dara boleh ikut menginap di kamar temannya selama kami membajak kamar miliknya. Well, setidaknya kami tak harus tidur di jalanan atau acara kabur ini akan gagal.
“Geser dong, Niel” suara pelan Levi menghenyakkan keheningan. Dia agak mendorong badanku agar lebih mendekat ke dinding, untuk memberinya ruang. Dia juga pasti kelelahan.
Aku menyingkirkan bantal dari wajahku setelah Levi ikut berbaring disampingku. Dia memandang ke langit-langit kamar, sementara aku memandangi wajahnya. It’s so peaceful though we’re in this stupid situation.
Aku nekat untuk pergi dengannya, mencari kedamaian berdua. Sesaat aku memang seperti tak bisa mengingat keluargaku dulu, karena aku tak bisa membiarkan dia berkorban sendiri. Dia memilih untuk tidak bersama ibunya hanya demi aku, itu sangat menyentuh. Bagaimana aku bisa egois dan tidak melakukan apapun? Meski sekarang sebenarnya kami memang masih ragu-ragu, malah nyaris tak yakin dengan apa yang kami lakukan – tapi aku serius untuk memikirkan, bagaimana aku harus membuat semua ini menjadi lebih baik. Rasanya aku ingin sekali membongkar semuanya pada keluargaku, lalu membawa Levi tinggal bersamaku, tapi…
“Niel”
Sebuah sentuhan di pipi, membuat aku mengerjapkan mata. Ternyata Levi sudah melihat padaku juga dengan senyuman lembutnya.
“Malah ngelamun kamu” katanya lagi.
“Nggak, kamu tuh yang ngelamun”
“Aku juga nggak, tadi lagi liatin langit-langit doang”
“Gue juga lagi liatin kamu”
Kami jadi terus saling memandang dengan senyuman di bibir masing-masing, menertawakan perdebatan tak penting kami di dalam hati. Benar juga, karena terlalu frustasi memikirkan masalah yang seolah tak berujung ini, kami jadi kehilangan banyak quality time. Aku nyaris lupa, kapan terakhir aku menciumnya.
“Besok, kita gak boleh ke kampus bareng. Aku berangkat duluan sama Dara” kata Levi.
“Hm” aku hanya menggumam pelan, tak begitu ingin mempedulikan dulu soal itu. I need our quality time right now atau aku akan tidak mendapatkan tidur nyenyakku lagi. Sudah hampir seminggu, dan tidur ku tidak karuan. Untung tidak berpengaruh pada kegiatanku di kampus, dan yang penting pada kesehatanku.
Perlahan, aku mendekatkan wajahku dengannya sampai membuat ujung hidung kami bersentuhan. Lebih baik sepertinya kalau sejenak kita lupakan masalah yang memuakkan ini. Levi tampak langsung menyadari gerakanku. Dia lebih mendekat juga dan mencium pipiku dengan hidungnya. Aku sedikit menggeser sampai bisa mempertemukan bibir kami.
Seperti aku bilang, ciuman bisa menenangkan. Aku cepat melingkarkan badanku di badan Levi, memaksanya untuk semakin merapat dan masuk ke dalam pelukanku. Kami berciuman lebih dalam dan lama. Semua kepenatan itu menguap.
Rasanya aku tak menyesal sudah melarikan diri dengannya seperti ini. sekarang bayangkan saja, bagaimana bisa aku hidup tanpa dia!? I can’t.
. . . . .
“Bi Mar pasti kaget pas liat kamar, aku gak ada disana” kata Levi begitu paginya kami terbangun. Semalam kami memang terus berciuman dan saling memeluk sampai mengantuk. Aku merasakan agak kebas di lenganku, karena Levi menidurinya semalaman.
“Gue juga bayangin Mbak Lidya yang freak out abis gedor-gedor pintu kamar” sahutku dan tertawa kecil. Aku benar-benar membayangkan itu.
Levi melirikku.
“Gak apa-apa gitu, Niel?” tanyanya, tiba-tiba terdengar serius.
“Nggak lah”
Aku tak mungkin bilang, kalau kita sebaiknya berubah pikiran lagi, padahal sudah mencoba sejauh ini. Yah cukup jauh untuk sebuah awal kenekatan. Kami punya tempat tinggal yang nyaman dan tidak merepotkan siapapun, tapi sekarang malah nekat menumpang di tempat orang dan menyusahkan. Aku tak pernah berpikir kalau akan mencoba kebodohan semacam ini. Well, tapi aku tak suka menyebutnya bodoh – walau memang konyol.
“Hari ini mestinya kamu berangkat, kan?” tanyaku pula.
Levi menganggukkan kepalanya.
“Kamu gak boleh kemana-mana” sahutku lagi, dan melingkarkan kembali tanganku di badannya sambil membenamkan wajah ke lehernya.
Levi tertawa pelan dan menepuk-nepuk lembut belakang kepalaku.
“Aku gak akan kemana-mana” bisiknya.
Aku agak mengangkat badanku untuk melihat padanya. Tunggu, ini berarti pagi kedua kami bangun di tempat tidur yang sama. Sebelumnya seminggu yang lalu, ketika aku harus menginap di kamar Levi, karena dia sedang kalut. Kami tak sempat menikmati pagi yang jarang itu. Kali ini aku tak mau melewatkannya.
Aku pernah melihat di film-film barat. Sepasang kekasih atau suami istri akan memberikan morning kiss pada pasangannya. Aku tak menyangka akan mencobanya di usia ku yang semuda ini. Tanpa banyak berpikir, aku pun mencium Levi. Natural, original dan fresh. Kami baru saja bangun tidur, langsung berciuman.
BLAM.
“Guys… oops!”
Suara pintu yang dibuka beserta suara Dara dan kekagetannya, menghentikan kami. Aku cepat beranjak dari atas tubuh Levi dan turun dari tempat tidur. Dara seperti membeku di tempatnya berdiri.
“Ma- maap… gue—“
“Gue mandi duluan ah” potongku, tak mempedulikan perkataan Dara yang belum selesai. Aku memang tak mau membuat semuanya semakin awkward. Ah sudahlah, acara ciumanku dengan Levi memang kerap sekali terganggu. Grrgh.
“Jangan lama-lama, Niel” sahut Levi yang juga bangun dan duduk di tempat tidur, tampak tak ambil pusing dengan sikap salah tingkah Dara.
“Gue pikir kalian belum bangun” gumam Dara kemudian, dan hanya ku balas dengan acakan di rambutnya sambil berjalan melewati dia ke arah kamar mandi.
= = = = =