It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@yunjaedaughter
@nukakarakter @amy73 @kutu22
@suck1d @arcclay @rysan_80 @4ndh0
@rey_drew9090 @ron02 @assassin @luketan
@zalanonymouz @idans_true @Rempong69
@DItyadrew2 @arieat @armand @ZioDyn
@Egar_cute @kurokuro @aldo_graci0 @derik
@nukakarakter @idans_true
@iamyogi96 @iamalone89 @halaah
@jjk_mod_on @dirpra @gdragonpalm @firdausi
@Chocolate010185 @rajatega
@Just_PJ @andychrist @nur_hadinata
@The_jack19 @Dharma66
@bi_ngung @kiki_h_n
aku tarik lagi yaaa.. hehehe
(.^^.)V
bener2 ikut pusing mikirin masalah mreka.
T.T
s harlan emang bener2 kelewatan deh, semoga gak ada orng kayak dia d dket aku.
#kibas2 tangan.
makasih ya kak @rieyo626 udah mau nyempetin waktunya buat update.
( づ ̄³ ̄)づ
aku bener2 nungguin cerita ini.
Levi sama adniel kabur ke rumah aku aja sinih...hahahha, *sinting*
Heh....siapa yg bilang cerita ini aneh?mana orangnya...mana?! *asah golok*
I ♥ this story too much...hehhe,Makes my emotions stirred up...dan jantung berdebar tiap baca crita ini...hehhe
~(‾▿‾~)~(‾▿‾)~(~‾▿‾)~
kabur2 segala...
tengkyu udh dimensen...
“Tante…?”
“Mana anak Tante?!” tanya Tante Mona tanpa basa-basi.
“Leviandra?” Harlan dengan konyolnya malah memastikan lagi. “Kita gak ada jadwal di senat hari ini, tante. Tapi tadi siang kayaknya saya liat dia masuk ke kelas…”
“Sekarang dimana?!”
Harlan menggelengkan kepalanya, bingung. “Yah, mungkin sudah pulang…” jawabnya ragu.
“Levi udah gak pulang kerumah sejak 3 hari yang lalu!” cetus Tante Mona terdengar khawatir bercampur kesal.
Harlan terkejut untuk kedua kalinya. Dia melihat ke sekelilingnya, ada beberapa anggota senat yang kebetulan ada disana. Semuanya memandang dengan tak enak, namun tampak penasaran. Duh, sebenarnya dia malas menjadi tontonan anak buahnya seperti ini, yang pasti beberapa saat kemudian akan menjadi gossip yang macam-macam tersebar ke seluruh kampus.
“Ma- masa Tante? Tapi dia masih kuliah kok…”
“Pembantu Tante yang ngasih tau. Sampe Tante harus mendadak dateng dari Sydney. Pantes Levi gak juga nyusul kesana, Tante pikir dia masih ada urusan ternyata malah menghilang begini… ck” jelas Tante Mona masih dengan kepanikannya.
“Tante udah hubungin nomer hape nya?”
“Itu hal pertama yang Tante lakuin sejak kemarin-kemarin! Tapi kayaknya dia ganti nomor”
Harlan jadi ikut bingung disana, dia sungguh tak tau harus melakukan apa – dan dia juga tak menyangka kalau ternyata Levi melarikan diri. Dia pikir semuanya baik-baik saja karena dia lihat Levi tetap berada di kampus, setelah dia dengar juga kalau Levi sudah putus dengan Adniel. Dia pikir, ide yang diajukannya memang berhasil.
“Saya akan tanya sama teman-temannya, Tante. Nanti Tante saya kabarin. Sekarang mending Tante tenang dulu…” kata Harlan akhirnya, bisa mengatakan sesuatu yang bermutu dan sukur-sukur kalau mau didengarkan oleh ibu Levi.
“Adniel?” tanya Tante Mona tiba-tiba.
“Eh—hm, ya mungkin… mereka kan satu kelas…”
“Kamu bilang mereka udah putus!?”
“Ya, menurut yang saya tau memang sudah, Tante”
“Kalo begitu, Tante mau ketemu sama Adniel!” pinta Tante Mona tegas.
Harlan pun hanya bisa mengiyakan, dan kebetulan saat itu William pun muncul disana.
“Will, Adniel ada di klub?”
“Adniel?” William mengernyitkan keningnya sebentar, sebelum mengangguk dan tersenyum sopan pada Tante Mona. “Dia gak masuk latihan, katanya emang mau vakum sampe beberapa bulan ke depan, gua juga gak ngerti kenapa…”
“Jadi dia udah pulang?”
“Mungkin” William hanya mengangkat kedua bahunya.
“Kamu tau dimana rumah Adniel?” sela Tante Mona.
William mengangguk, jadi bingung karena baru merasakan ada atmosfir yang tidak biasa disana. Siapa wanita dewasa yang cantik ini, dan ada hubungan apa dengan Adniel – jadi membuatnya bertanya-tanya. Dia menoleh pada Harlan, meminta penjelasan dari tatapan matanya. Tapi Harlan hanya balas memandang tanpa isyarat tertentu, seperti dia memang kesulitan untuk menjelaskannya juga.
“Saya ibunya Leviandra. Tolong kamu antar saya ke rumah Adniel!” kata Tante Mona lagi, lebih tegas daripada sebelumnya hingga membuat William terperanjat, dan jelas tak bisa mengatakan tidak.
Dia sadar, sepertinya memang ada sesuatu yang serius.
. . . . .
Dara memasuki ruang kantor senat dengan langkah yang lambat karena dia masih melihat keluar, ke arah William yang baru dari sana juga. Sebenarnya Dara memang lebih fokus pada wanita cantik yang sedang berjalan bersama kapten tim basket itu.
“Kayaknya gue pernah liat tu Tante… tapi dimana ya…” gumam Dara, bicara pada dirinya sendiri. Dia coba mengingat-ingat tapi gagal, sampai kemudian dia melihat Harlan yang sedang duduk di kursinya dengan raut cemas dan tampak bingung. Dara mendekat pada ketua senat itu. “Tante-tante yang jalan sama Kak Willi barusan siapa, Kak?” tanyanya, hanya mencoba mencairkan suasana. Dia memang tak berani kalau langsung bertanya ada apa dengan Harlan dan raut wajah cemasnya itu.
“Ibunya Leviandra” jawab Harlan pendek.
Dara langsung menjetikkan darinya, merasa diingatkan.
“Oh iya bener, emaknya Levi itu! Gue pernah liat di fotonya pas dulu maen ke rumah dia” ujar Dara pula. “Eh kok, ada disini? terus kok jalan sama Kak Willi? Jangan bilang—“
“Jangan mikir yang aneh-aneh, Ra. Lagi ada masalah serius nih!” potong Harlan yang sangat tampak tidak mood melayani pembicaraan dengan Dara.
“Masalah serius apa, Kak?” Dara pun menjadi lebih tenang, dan dia duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi Harlan.
“Leviandra hilang”
“Hah?!” Dara berseru kaget. “Kok bisa—maksud lo gimana sih?” Dalam hati dia memang mendadak panik. Mampus. Dia nyaris lupa kalau sudah beberapa hari ini menyembunyikan Levi dan Adniel.
“Iya, ibunya itu dikasih tau pembantunya kalo Leviandra gak pulang sejak 3 hari yang lalu, jadi dia bela-belain dateng dari Syndey buat nyari Leviandra… Tapi tadi dia masuk kuliah kan, Ra?”
Dara yang jadi terpaku sendiri nyaris tak menyimak lagi kata-kata Harlan.
“Ra?”
“Eh iya Kak, tadi Levi masuk kelas kok” jawab Dara akhirnya setelah bisa menguasai diri. Dia merasakan debaran di dadanya, panik sendiri karena bagaimanapun dia sebenarnya terlibat dalam keadaan ini.
“Terus menurut lo dia kemana ya? Mungkin gak kalo di rumah Adniel? Bukannya mereka udah putus?”
Dara menggelengkan kepalanya, agak kaku.
“Kurang tau deh gue, Kak” katanya singkat saja. Harlan pun menghela nafas panjang dan kembali berpikir disana, dia masih terlihat cemas.
Dara menggunakan kesempatan itu untuk pergi dari sana. Dia harus mengabari Levi dan Adniel yang ada di tempat kos nya.
- - - - -
“Maafin Lidya, ya Tante… Om…” Mbak Lidya tak henti-hentinya meminta maaf setelah kedua orangtua Adniel tiba di rumah. Dia memang terpaksa memberitahu mereka, karena bagaimanapun dia sangat cemas, lebih menakutkan lagi kalau setelah beberapa lama Tante dan Om nya baru mengetahui tentang kaburnya Adniel. Lebih baik dia jujur di awal.
Tante Dila menggelengkan kepalanya dan tersenyum dipaksakan pada keponakannya itu.
“Bukan salah kamu, Lid” katanya.
Mbak Lidya semakin merasa tak enak, karena dia juga masih menutupi tentang bagaimana dan kenapa Adniel bisa keluar dari rumah. Dia memang tak tau harus menceritakannya seperti apa. Tante dan Om nya itu pasti akan lebih shock kalau tau Adniel kabur demi pacarnya yang adalah seorang cowok. Duh, Mbak Lidya jadi berharap kalau semua ini hanya mimpi dan dia sedang terjebak di dalam sebuah sinetron.
“Kita punya salah apa sama Adniel, ya Yah?” tanya Tante Dila pada suaminya. “Biasanya dia selalu bilang kalo lagi butuh apa, atau ada sesuatu yang dia gak suka. Dia gak pernah seenaknya gini…”
Ayah Adniel hanya menggelengkan kepalanya, merasa bingung juga. Seingatnya putera sulung mereka itu memang tak pernah membuat masalah dan hubungan mereka juga sangat baik. Mereka sangat kompak. Dia tak pernah membayangkan kalau puteranya akan seperti memberontak mereka sekarang, apalagi di usianya yang sudah bukan remaja lagi. Entahlah apa yang salah.
Mbak Lidya merasa gemas untuk mengungkap semuanya, tapi suaranya mendadak tercekat dan dia takut sendiri untuk memulainya.
“Kita lapor polisi aja kalo gitu?” kata Tante Dila lagi.
“Ya, nanti ayah yang urus…”
Pembicaraan mereka terinterupsi oleh suara orang yang datang. Mbak Lidya langsung beranjak dan membukakan pintu, tapi kemudian mengernyitkan kening begitu melihat William datang bersama seorang wanita yang tampak sebaya dengan tantenya.
“Hey Mbak…” sapa William.
“Ya?” Mbak Lidya cepat memudarkan kernyitan di keningnya dan memandang bingung.
“Adniel nya—“
“Bisa saya ketemu Adniel?” potong Tante Mona, tak mau berlama-lama menunggu William bertanya.
“Oh Adniel nggak—“
“Saya ibunya Leviandra. Dia pasti membawa pergi anak saya kan?!”
Mbak Lidya membelakakan matanya, shock. Dia melirik William yang sekarang terlihat pucat.
“Kenapa Lid?” ibu Levi yang merasakan ada yang tak beres, mendekati keponakannya ke dekat pintu, dan melihat Tante Mona.
Kedua wanita itu pun berhadapan.
“Anda siapa?” tanya ibu Levi, mencoba sopan.
“Anda pasti ibunya Adniel…” sahut Tante Mona, bukannya menjawab.
“Ya benar… anda?”
“Saya ibunya Leviandra, anak saya sudah dibawa pergi oleh anak anda!”
“Apa?!” Tante Dila mengernyitkan keningnya, bingung.
Mbak Lidya dan William hanya bisa menunduk dan mengeluh dalam hati
= = = = =
“Sekarang, kalian mau gimana?” tanya Dara setelah dia menjelaskan semuanya.
Levi melihat padaku yang sedang berpikir.
“Mereka gak mungkin sampe ngelacak kita kesini kan, Ra?” tanya Levi, melihat lagi Dara. Dia memastikan dengan tidak frontal kalau mungkin saja Dara akan membocorkan keberadaan kami.
“Ng-nggak kali ya Lev. Mereka masih bingung apa kalian pergi bareng atau nggak, karena ibu lo udah tau kalo kalian ceritanya udah putus. Tapi kalo sekarang ibu lo sama Kak Willi beneran ke rumah Adniel, mereka mungkin bakal curiga”
“Lo tanya sama William gih!” pintaku kemudian.
“Tanya apa?”
“Tanyain gimana keadaan di rumah gue. Perasaan gue kok gak enak banget” kata ku.
Levi melihat lagi padaku, dia mengusapkan tangannya di salah satu bahuku. Dia juga pasti sama paniknya, atau mungkin lebih panik.
Dara memantau handphone nya beberapa saat, sampai kemudian dia menunjukkan raut tegang di wajahnya. Dia memandangku dan Levi bergantian.
“Orangtua lo ada disana Niel”
“Anjis” gerutuku, reflek. Aku merasakan remasan di bahuku dari Levi makin menguat. “Mbak Lidya pasti bilang-bilang…”
“Ya iyalah. Lo udah ninggalin rumah berapa hari, dia pasti cemas banget. Daripada dia ikut nutupin, gimana dia cerita sama ortu lo nantinya!?” sahut Dara.
“Jadi, kita harus gimana Niel?” tanya Levi.
Aku melihat padanya. Kalau saja aku pengecut, aku pasti akan langsung bilang, lebih baik kita sudahi kekonyolan ini. Kita pulang ke rumah masing-masing dan mungkin memang harus berpisah. Hubungan macam ini kebanyakan selalu tidak berakhir bagus, itu yang aku tau. Aku mau mengorbankan saja perasaanku, aku mau menahan diriku, aku tak mau memperjuangkan apapun lagi.
But f-ck, I’m not a kind of guy like that.
Walaupun aku bukan tipe orang yang senang direpotkan, bukan juga tipe orang yang mau mempersulit apapun – tapi sekarang aku sudah bulat dengan tekadku. Kita sudah menjalani sejauh ini, kenapa harus diakhiri begitu saja!? Dan yang paling penting, aku terlanjur jatuh cinta pada Levi, aku tak mau kehilangan dia. Klise, tapi tak ada yang bisa menyangkal soal kenyataan ini. Life is all about cliché things, that’s right and somehow annoying.
“Kita pergi dari sini secepatnya, Lev” kata ku akhirnya setelah hampir beberapa saat aku nyaris tenggelam di mata besarnya.
“Kemana?”
“Kemana pun”
Levi memandangku, tampak ragu.
“Perasaan gue bilang, kalo kita lama-lama disini, kita bakal ketauan dan Dara bisa kebawa bermasalah” tambahku.
“Gue sih gak apa-apa, nyantei aja guys…” sela Dara.
Aku melihat padanya dan tersenyum.
“Nggak Ra, lo udah banyak bantu, lo gak usah kelibat lebih jauh”
Levi mengangguk. “Iya bener” gumamnya.
“Terus, kalian mau kemana?” Dara mempertegas.
Aku mengangkat kedua bahu ku dan melirik Levi lagi, dia balas melihat padaku. Aku bisa melihat dari ujung mata ku kalau Dara jadi sedikit kikuk disana. Baru beberapa hari kami disini dan mungkin, melihat tingkah kami di suasana private seperti ini, masih belum membuatnya terbiasa.
“Asal gue sama Levi, kemana aja boleh” jawabku kemudian, sambil kembali melihat pada Dara dan menggunakan nada bicara yang seperti bercanda untuk mencairkan suasana.
Dara tertawa agak kaku, tapi lalu melemparkan lagi boneka berbentuk bintang miliknya padaku.
“Geli banget sih lo!” ledeknya.
Levi ikut tertawa. Suasana pun tidak lagi berat seperti tadi. Kami memang harus tetap tersenyum dan tertawa dalam menghadapi ini, jangan sampai membuat semuanya semakin rumit hingga membuat kami stress.
Even though yea, still it’s kinda depressing.
Aku yang selama ini selalu menganggap kalau pengorbanan untuk cinta adalah bullshit dan terlalu drama, sekarang tak bisa meledek soal itu lagi. I feel it now.
Love really has that power to make people want to do a thing that they did not ever thought before. Really.
= = = = =
Berkali-kali Tante Dila menghela nafasnya, mencoba menenangkan diri. Suaminya mengusap bahunya pelan, walau sebenarnya dia juga tak kalah shock.
“Anak saya adalah anak baik-baik… dia gak mungkin seperti ini kalo bukan anak anda yang mengajaknya…” kata Tante Dila pula setelah tadi memberikan kesempatan pada Tante Mona bicara.
“Maksud anda apa? Anak saya itu jauh lebih baik dan semua orang juga tau. Dia selalu berprestasi di kampus, tapi sejak kenal Adniel—“
“Anak saya tidak mungkin membawa dia pada hal buruk. Saya sangat kenal anak saya. Levi yang pasti sudah menggodanya, dia yang gay bukan? Adniel bukan gay!”
Tante Mona tampak terperanjat oleh sergahan Tante Dila yang begitu menusuk hatinya. Dia memang terpaksa bilang kalau puteranya dan Adniel ada hubungan seperti itu, untuk memperjelas saja semuanya.
“Anda jangan menghina anak saya. Dia memang gay, tapi dia juga manusia dan dia belum tentu lebih buruk daripada anak anda! Sekarang anda lihat kenyataannya, anak anda dan anak saya pergi bersama, sudah jelas anak anda juga gay dan tertarik pada anak saya!” kata Tante Mona, tak mau kalah.
Tante Dila seperti akan terpancing lagi, tapi suaminya menenangkan dengan mengusap bahunya. Mbak Lidya dan William pun dari tadi hanya bisa terdiam sambil saling melirik.
“Sudahlah, soal itu kita selesaikan nanti, yang penting kita mencari Adniel dulu” kata ayah Adniel, mencoba menengahi kedua wanita itu.
“Saya tidak terima anda terus menjelekkan anak saya…” Tante Mona masih belum bisa benar-benar tenang. Dia memang datang sendiri, dan bisa dibilang, dia tak punya orang yang bisa dijadikannya sandaran – juga yang bisa menenangkannya seperti yang dilakukan ayah Adniel pada istrinya.
“Tapi anda juga yang mulai dengan menyebut anak saya sudah mempengaruhi Levi dan mengajaknya pergi…”
“Sudah Bu” bisik ayahnya Adniel, di telinga istrinya.
Kedua wanita itu memang sudah seperti akan mencapai batasnya. Walau mereka tidak menangis, tapi raut tegang, cemas dan sedih bercampur aduk di wajah mereka.
“Ehm, iya Tante…” Mbak Lidya yang sudah tak tahan menyimak pertengkaran itu, akhirnya mencoba untuk membuka suara. Semua pasang mata langsung mengarah padanya.
“Kenapa Lid?” tanya ayah Adniel.
“Itu—“ Mbak Lidya menelan ludahnya pelan. “Sebenernya, Adniel emang sudah ngerencanain buat pergi dari rumah sama Levi. Karena mereka takut dipisahin. Adniel gak mau Levi pergi ke luar negeri, begitu juga Levi gak mau pergi ninggalin Adniel”
“Maksud kamu apa Lid? Kamu mau ngebenerin kalo mereka—“
“Maaf tante, tapi emang betul Adniel sama Levi udah lama pacaran” sela Mbak Lidya kemudian, tanpa berani memandang wajah tantenya.
Tante Dila nyaris melebarkan matanya.
“Kamu ngomong apa, Lid…” kata ayah Adniel pula.
Mbak Lidya menarik nafasnya pelan.
“Mereka saling suka” kata Mbak Lidya, mempertegas, sambil memberanikan diri melihat pada Om dan Tante nya. “Lidya udah nyoba ngelarang mereka supaya gak usah pergi, tapi ternyata mereka malah nekat”
Kali ini orang tua Adniel terpaku dan tak bisa mengatakan apapun. Pikiran mereka berkecamuk, antara ingin marah namun mereka sendiri merasa konyol kalau harus marah di situasi yang sudah terlanjur begini. Mereka shock, itu jelas. Sama sekali tak terpikir dalam benak mereka kalau putera mereka satu-satunya yang mereka tau sangat baik dan tidak macam-macam, bisa terlibat dalam keadaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
“Tapi, masalah sekarang, memang bukan itu…” William mencoba menyelamatkan Mbak Lidya yang sepertinya sudah mulai tak sanggup bicara lagi begitu orang tua Adniel hanya bisa terdiam dengan raut shock di wajah mereka. “Sekarang, kita harus menemukan mereka. Jangan sampai mereka berpikir untuk melakukan hal yang lebih nekat lagi. Maaf sebelumnya, Om dan Tante, tapi akan lebih baik kalo kita tidak terlalu memperbesar masalah soal hubungan mereka, apalagi sampai menolak mereka. Mereka jelas membutuhkan kalian. Saya pernah punya teman gay juga, dia memilih jalan yang tidak seharusnya dia ambil hanya karena dia merasa tak diterima…”
Mbak Lidya melirik William, merasa bersyukur dalam hati karena cowok ganteng di sebelahnya ini bisa membantu dia. Dan bisa memberikan ucapan yang menenangkan sekaligus memberikan inspirasi pada kedua orang tua itu.
“Hari ini mereka masuk kuliah kok, tapi memang langsung pulang dan saya tidak tau kemana. Mungkin saja besok mereka ke kampus lagi, kita bisa temuin mereka disana. Setidaknya, kita tau kalo mereka belum pergi jauh” lanjut William.
Kedua orang tua disana tak bisa berkata-kata lagi dan menerima perkataan William untuk lebih menenangkan.
“Itu bener. Lebih baik Om dan Tante istirahat dulu, kita tunggu sampe besok. Mudah-mudahan bisa kita temui di kampus” sahut Mbak Lidya.
Ibu Adniel menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Dia memang agak terhenyak oleh perkataan William, dan jujur saja dia juga takut kalau sampai puteranya melakukan hal yang tidak seharusnya. Anaknya memang baik-baik saja, tapi sepertinya dia tak begitu bisa mengenali kejiwaannya dengan baik. Dia sungguh tak menyangka kalau Adniel akan lebih tertarik pada laki-laki. Entah dia yang tak menyadari atau dia yang selalu menutup mata. Namun bagaimanapun, Adniel tetaplah putera kebanggaannya, dia tak bisa menjauhi Adniel hanya karena keadaan seperti ini. Dia tak mau kehilangan puteranya.
“Harusnya dia ngomong sama kita… jangan bodoh kayak gini…” bisik Tante Dila masih sambil membenamkan wajahnya di dada suaminya. “Ayah jangan marahin dia, ya Yah…” tambahnya pula, dan hanya dibalas dengan usapan lembut di punggungnya.
Tante Mona menarik nafas panjang dan memejamkan matanya beberapa detik. Dia sungguh tak menyangka kalau keputusannya waktu itu malah akan membuat Levi memilih hal yang nekat.
= = = = =
Levi memperhatikanku yang sedang memasukkan barang-barang kami ke dalam ransel besarku. Dia sendiri memang sudah selesai dengan ranselnya.
“Gue bakal nyari kerjaan nanti. Kayaknya seru, Lev” ujarku mendadak teringat kalau kami akan melewati hidup yang tak biasanya. Kami akan mandiri, tak bisa lagi mengandalkan uang yang dikirim oleh orangtua.
“Tabunganku masih banyak kok, Niel”
Aku melihat padanya dan tersenyum mengejek.
“Iya deh yang orang kaya…” kataku, mencandainya. “Tapi gue gak mau pake duit kamu, kalo pun gue kepaksa, ntar gue ganti”
Levi tak menanggapi candaanku, dan malah terus memandangku dengan tatapan datar. Aku jadi tak enak ditatap seperti itu, lalu duduk disampingnya dan melingkarkan lenganku di bahunya.
“Kita harus mandiri mulai sekarang, Lev. Kalo duit kamu abis, gak mungkin kan kamu minta sama ibu kamu lagi? Jadi uang kamu harus dibikin utuh terus”
“Tapi sekarang, kita gak mungkin kemana-mana tanpa uang yang ada”
“Iya gue tau. Makanya, karena kepepet, kita gak apa pake itu dulu, nanti gue ganti”
Levi melihat padaku, masih dengan tatapan datarnya.
“Mulai sekarang, milik aku milik kamu juga, Niel. Kita harus berbagi” katanya.
Aku tertawa pelan, lalu mencubit hidung mancungnya. Dia menepis tanganku.
“Iya, kamu sama aku kan saling memiliki” ujarku, norak. Dia mulai mengernyitkan kening, dan mengulum senyum, seperti menutupi tawa.
Aku malah tertawa lagi dengan sengaja. Levi pun menepuk pipiku, gemas.
“Udah yuk ah, kita berangkat” ajakku sambil beranjak dari dekatnya. Aku mulai memasang tas punggungku, tapi Levi malah memandangku lagi.
“Kamu yakin, Niel? Kita mau kemana?”
“Hm, kita bisa ke Jogjakarta” jawabku enteng, padahal aku baru memikirkan itu barusan.
“Ke tempat siapa?”
“Gue ada sodara disana”
Levi malah terlihat semakin ragu.
“Kenapa sih? Ayo dong!” aku cepat menarik tangannya. “Kita ke stasiun sekarang, nyari tau jadwal buat ke Jogja”
“Niel…” dia malah balas menarik tanganku.
Aku melihat tatapan cemas dan mungkin agak ragu di matanya.
“Kita beneran? Kamu yakin?”
“Astaga Lev, kita udah sejauh ini, gimana gue bisa gak yakin!?” sahutku, agak sambil mengeluh, tapi kemudian tersenyum meyakinkan ke arah pacarku itu. Aku mengulurkan lagi tanganku. “Ayo Lev, gak usah takut, kamu kan sama gue”
Perlahan, Levi mengulurkan tangannya, menyambut tanganku. Bibirnya mengulas senyuman, mencoba untuk tidak ragu. Aku tau kalau sebenarnya dia juga mau dan berusaha memantapkan hatinya untuk bersamaku. Bagaimanapun, kita memang sudah sejauh ini, dan kita sungguh tak mau dipisahkan.
Feels like drama, but it’s true.
= = = = =
“Jadi beberapa hari yang lalu, mereka tinggal di kos kamu, Dara?” tanya Mbak Lidya setelah tadi Dara menceritakan semuanya.
Cewek cantik itu mengangguk pelan, sambil mencoba melihat pada kedua orangtua Levi dan Adniel. Dia sungguh terpaksa mengungkap semuanya setelah tadi pagi dia tak menemukan lagi kedua temannya itu ada di kamarnya. Dara sungguh tak menyangka kalau Adniel serius untuk mengajak Levi pergi dari tempatnya. Dan sekarang dia juga tak ada ide kemana kira-kira mereka pergi.
“Mereka sudah cukup dewasa dan mereka juga laki-laki, saya rasa… Om sama Tante, gak usah terlalu cemas…” sela Harlan.
Semua mata langsung mengarah padanya.
“Kamu tidak mengerti yang kami rasakan!” seru Tante Mona tiba-tiba, merasa terpancing oleh kata-kata Harlan yang seperti sedang menasihati mereka.
“Maaf Tante, maksud saya… kita bisa berpikir dengan lebih tenang dan tidak terlalu cemas dengan keadaan mereka. Saya yakin mereka bisa menjaga diri…” Harlan langsung meralat.
“Ayah cepet hubungin polisi” pinta Tante Dila juga pada suaminya.
“Lebih baik kalo tidak melibatkan polisi” Harlan menyela lagi. “Maksud saya—“
“Lan, kalo lu liat semua ini kayak simple aja, lu jelas salah! Om sama Tante ini khawatir sama anak mereka, walaupun Leviandra dan Adniel bukan anak kecil lagi. Dan emangnya kalo gak minta bantuan polisi, lu mau nyari-nyari mereka yang entah lagi dimana!?” William langsung menyergah perkataan Harlan. Dia memang mengenali sifat tenang sahabatnya itu terkadang selalu menentang keadaan. Bukannya menenangkan, tapi Harlan bisa saja mempersulit semuanya.
“Tapi maksud gue Will—“
“Kak udah deh, bener kata Kak Willi, kalo gak pake bantuan polisi, kita gak akan bisa ngelacak mereka sama sekali” kali ini Dara yang memotong perkataan Harlan.
Harlan menarik nafasnya dalam-dalam. Dia tak biasa ditentang seperti ini.
“Om, Tante… mungkin bisa coba menghubungi sodaranya dulu yang memungkinkan bakal didatengi Leviandra atau Adniel” katanya, masih bersikeras.
Orangtua Adniel saling melirik, sementara Tante Mona mulai mengecek nomor-nomor di handphone-nya. Tampaknya mereka setuju dengan ide Harlan.
“Emang mereka gak bilang apa-apa sama kamu, Ra?” tanya Mbak Lidya.
Dara menggelengkan kepalanya.
“Aku pikir, mereka gak serius buat pergi…”
“Kamu kenapa gak ngasih tau Tante, Ra?” sela Tante Dila.
“Maaf Tante, Dara udah terlanjur janji sama Adniel waktu itu” jawab Dara, menunjukkan penyesalannya.
Tante Dila pun mendesah lagi, tak enak kalau sampai harus menyalahkan Dara, karena memang bukan salah gadis itu juga.
“Bu, apa mungkin kalo Adniel ke tempat Sandy di Jogja?” tanya ayah Adniel tiba-tiba. Dia memang teringat dengan sepupu Adniel yang lain, yang cukup dekat dengan puteranya itu.
“Oh iya!” sahut Mbak Lidya pula, yang langsung mencari-cari nama Sandy di handphone nya. “Lidya coba telpon dia”
Mereka pun menunggu disana, harap-harap cemas. Kalau misalnya memang sama sekali tak ada pertanda lagi, sepertinya mereka benar harus menghubungi polisi.
= = = = =
Aku menghela nafas panjang sambil mengamati kamar yang baru aku masuki. Aku menyimpan tas ranselku di lantai, lalu duduk di sebuah sofa yang ada di sudut ruangan. Kamar ini memang lebih besar daripada kamar kos Dara. Di sudut sebelah kanan, ada kamar mandi dan di dekat tempat tidurnya, ada sebuah pintu dengan jendela kaca besar yang menuju ke balkon.
Benar, aku dan Levi sekarang berada di salah satu hotel berbintang di Bandung.
Waktu memang sudah malam, dan kami membutuhkan tempat untuk menginap. Kami memutuskan untuk mengambil jadwal keberangkatan ke Jogja yang besok pagi. Tapi menginap dulu di hotel seperti ini, sama sekali bukan ide ku. Levi yang menginginkannya, dia juga yang membayar menggunakan kartu kreditnya. Ck.
“Enak kan kamarnya? Tadi aku mau pesen yang double bed, tapi kayaknya lebih enak yang single queen size” kata Levi begitu dia tiba di kamar juga, dan menyimpan ranselnya di dekat ranselku tadi. Dia langsung menghempaskan badannya di atas kasur besar yang empuk itu sambil menghela nafas, nyaman.
“Kenapa harus disini, sih Lev? Buang-buang duit, tau gak?!” aku pun tak tahan lagi untuk mengeluarkan unek-unekku. Sebenarnya aku memang agak tak setuju, tapi aku tak tega untuk menolak karena tadi Levi sempat memohon.
Levi bangun dan duduk di ranjang sambil memandangku.
“Terus kamu mau kita nginep dimana? Kita gak mungkin balik ke tempat Dara atau ke tempat temen kita yang lain” sahutnya.
“Kita bisa nginep di stasiun” ujarku, asal.
“Gila!” sergah Levi sambil menghempaskan lagi badannya. Aku tak bisa begitu melihat dengan jelas wajahnya, apa dia sungguhan marah atau hanya iseng mengumpatku.
“Yah—namanya juga kita lagi kabur… kalo disini kan—“
“Udah deh, Niel” potong Levi sambil kembali duduk. Dia memandangku tajam dan serius. Ok, aku sekarang tau kalau dia beneran marah. “Gak usah dibikin sulit, kalo kita masih bisa ngelewatin ini dengan mudah”
“Gue bukan ngebikin sulit, cuma—“
“Ok, kita harus kompak, Niel. Sekarang aku cuma bisa bergantung sama kamu, dan kamu cuma bisa bergantung sama aku” dia memotongku lagi.
Entahlah, tapi sepertinya tanpa kita sadari, kita memang sedang sama-sama cemas. Aku tepatnya, merasa akan bisa mandiri, padahal mungkin sebenarnya aku panik. Aku takut kalau ternyata kami memang akan tak bisa melakukan apapun nantinya.
Aku menggigit bibirku pelan, jadi terdiam, tak bisa lagi membantahnya. Levi berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiriku. Dia duduk disampingku lalu merangkulku.
“Kamu yang udah yakinin aku, kita pasti bisa ngelewatinnya, kan?” kata Levi lebih lembut. Dia memandangku selembut senyum dan ucapannya. Sejuk. Aku tak bisa menolaknya dan segera mengulas senyuman juga untuknya sambil menganggukkan kepala. Perlahan aku pun menyentuhkan hidungku dengan hidungnya.
Beberapa detik saja, dan aku tak bisa menahan diri untuk mencium bibirnya. Oh benar juga, sekarang kami berada di tempat yang pasti tak akan diganggu siapapun. Kami hanya berdua sekarang.
Aku menarik badan Levi melalui pinggangnya, hingga dia naik ke pangkuanku. Ciuman kami tak terlepas, malah semakin dalam. Dia mengusapkan tangannya di kepalaku, memainkan rambut spike-ku.
Sampai kemudian, aku merasa gerah dan mencoba melepas jaketku. Levi menghentikan sebentar ciumannya dan membantuku melepaskan jaket. Aku kembali memeluknya setelah melemparkan jaketku begitu saja. Tapi sebelum aku mulai mencium dagunya, aku kembali melihat padanya.
“Kita mandi bareng yuk?” ajakku tiba-tiba.
“Hah?” Levi tampak terkejut, aku tersenyum jahil. “Nggak ah, kamu mau mandi, duluan aja sana!” katanya sambil berusaha turun dari pangkuanku. Aku cepat menahan badan mungilnya itu.
“Kenapa gak mau?” tanyaku, sengaja memasang tatapan memohon di mataku.
Levi hanya menggelengkan kepalanya, dan sekali lagi memberontak dari atas pangkuanku.
“Sekarang gak akan ada yang ganggu kita, Lev” kata ku. Dan tanpa mempedulikan gerakan badannya, aku memulai lagi menciumi dagu juga lehernya. Well, mungkin aku malah horny sekarang. Entahlah, aku memang bisa begini kalau sedang lelah.
“Niel… kamu mandi aja dulu, sana!” elak Levi.
“Aku mau sama kamu” gumamku, sambil belum menyerah untuk menciuminya.
Levi mendorong badanku dengan sekuat tenaga dan menatapku agak tajam.
“Kamu kenapa sih?! Kalo kita mandi bareng… itu bahaya” katanya, sambil memelankan kata-kata yang terakhir.
“Bahaya kenapa?” dengan sok polosnya, aku malah bertanya. Levi mendecak pelan dan berusaha untuk turun lagi dari atas pangkuanku. Aku cepat memeluknya dan membenamkan wajahku di pundaknya. “Udah saatnya kita nyoba yang bahaya itu, Lev. Kita selalu diganggu selama ini. Kalo sekarang, pasti gak akan ada yang ganggu”
“Tapi Niel—“ Levi menyentuh kepalaku, aku mendongakkan wajahku untuk melihat padanya.
“Kamu gak mau?” tanyaku, dengan suara yang dibuat terdengar kecewa.
“Bukan—“
“Terus? Takut?” tebakku pula.
Levi kali ini tak menjawab dan malah balas memandangku saja. Mata besarnya menyiratkan sesuatu yang kurang bisa aku pahami. Dia mungkin malu untuk mengungkapkannya, tapi aku rasa dia memang takut.
“Aku gak akan nyakitin kamu” bisikku, entah dapat kalimat rayuan dari mana.
Levi semakin lekat memandangku. Dia membelai wajahku, dan membuatku bisa merasakan kalau dia sebenarnya juga mau. Beberapa saat kami hanya saling memandang sampai kemudian dia mengulas senyuman. Aku tak perlu bertanya lagi, senyuman itu sudah seperti persetujuan yang tak dia sebutkan.
Tanpa menunggu, aku pun cepat berdiri masih sambil memeluknya. Dia otomatis menguatkan pelukannya di leherku dan menempelkan badannya di badanku, melingkarkan kedua kakinya di pinggangku. Surprise, ternyata Levi memang tidak berat. Aku tak pernah berpikir akan menggendong seorang cowok seperti ini, tapi dengan mudahnya, aku pun membawa Levi ke kamar mandi yang untung tidak terlalu jauh dari sofa tadi.
Levi langsung melepaskan diri dari gendonganku begitu kami berada di kamar mandi.
“Parah kamu!” gerutunya, dengan pipi yang merah merona. Aku tertawa.
“Gila, kamu ringan banget… cowok bukan sih?!” ledekku.
“Anjrit!” dia mencoba menjitakku, aku cepat menghindar dengan berlari ke balik tirai, masuk ke dalam bathtub.
Dia masih belum menyerah dan menyusulku masuk. Aku segera menangkap kedua tangannya, lalu membuatnya kembali melingkar di leherku, sementara tanganku mendekap pinggangnya lagi. Dia tak bisa berkutik, apalagi kemudian aku menciumnya. Suasana dingin di dalam kamar mandi, membuatku menjadi lebih excited. I love it.
Levi langsung menyerah, meleleh dalam ciuman dan dekapanku. Diam-diam aku mengulurkan tangan untuk menyalakan shower yang ada di atas kami. Air pun menyiram kami. Levi tampak terkejut, lalu menghentikan ciuman. Dia berteriak pelan sambil mengusap-usap wajahnya.
Aku tertawa lagi dan menyingkirkan juga rambut yang berjatuhan di keningku. Levi memandangku, cemberut, pasti kesal karena pakaiannya basah.
“Ayo buka, Yang” bisikku semakin menjadi. Aku segera membantu Levi melepaskan pakaiannya satu persatu. Dia menurut karena memang sudah terlanjur basah, dan tak bisa menghindar dari situasi ini. Setelah membuatnya tak memakai apapun di atas tubuhnya, aku juga melepaskan kaos ku dan melemparnya keluar.
Tanpa aku duga, Levi kali ini lebih dulu memelukku. Dia membenamkan wajah di pundakku. Sekilas tadi aku memang melihat wajahnya merona, seperti biasa dia memang sering terpana dan malu-malu saat melihatku tak berpakaian. Aku mengusapkan tanganku di punggungnya, dan menghirup lembut wangi badan dari lekuk lehernya. Wangi bayi itu seperti memang sudah melekat sekali di badannya, seolah wangi alami yang tak akan pernah hilang. Aku mengusap lengannya yang lembut, kulitnya begitu halus menyentuh jemariku. Perlahan, aku menurunkan sentuhanku ke bagian bawah tubuhnya. Pinggang rampingnya sangat menggoda.
Levi menguatkan pelukannya, lalu perlahan, meninggalkan ciuman di leherku, aku memiringkan wajahku sampai membuat bibir kami kembali bersentuhan. Aku semakin mendekapnya, membuat badan kami merapat tanpa ragu-ragu, menyentuhkan semuanya dalam keadaan basah.
Suasana menjadi sangat seksi dan panas, padahal tadi aku masih merasakan dingin.
Tak ada yang akan menghentikan kami sekarang. Bahkan ketika aku mulai memasukkan tanganku ke balik celananya dan melepaskannya. Semua berjalan seperti yang diharapkan. Kami sudah terbawa jauh, memasuki dunia kami sendiri.
Dia terkulai di pelukanku seolah dia sudah menyerahkan seluruh hidupnya padaku, sementara aku pun sudah tak ragu menyimpan hidupku di tangannya. Semoga tak akan ada penyesalan setelah ini. Kami melakukannya karena kami saling mencintai dan ingin lebih saling memiliki.
“Aku sayang kamu, Leviandra” bisikku di telinganya, begitu aku mendesak badannya ke dinding terdekat. Sudah tak ada sehelai benang pun di tubuh kami. Kami menyatu dengan natural dan tak pernah aku duga sebelumnya akan semudah ini. Entah, mungkin karena terbawa suasana dan benak kami sudah tak bisa berpikir jernih.
Levi membalas ucapanku dengan suara desahan lembutnya, dia memejamkan mata, tadi sempat kesakitan tapi sekarang sudah bisa menguasai semuanya. Dekapannya di badanku malah membuatku tak bisa melepaskan diri. Dia juga menginginkannya.
Aku tak mau menyia-nyiakan. Kuciumi lagi pundaknya dengan lembut, Levi meremas pelan rambutku. Semua pikiran yang membuat frustasi itu, sudah menghilang. Aku seperti tak ingat apapun. Aku hanya tau, sekarang hanya ada aku, Levi dan cinta kami. Ini bukan sekedar nafsu.
We’re in love and we want to be like this forever.
Hopefully.
= = = = =
Tengah malam, aku membuka mataku dan menggapaikan tanganku ke samping. Rasanya tadi aku tidur dengan hangat karena ada yang memelukku. Tapi ternyata sekarang Levi tak ada di sebelahku. Dengan agak panik, aku terbangun. Belum aku memanggilnya, mata ku melihat pada pintu balkon yang terbuka. Pantas rasanya tadi jadi lebih dingin. Aku menyingkirkan selimut dan berjalan kesana.
Aku mengucek mataku sebentar, merasa tak percaya melihat ada Levi disana dengan sebatang rokok di bibirnya. Tanpa banyak bicara, aku langsung mendekat dan mengambil rokok itu. Levi terkejut, karena sepertinya barusan dia sedang melamun. Aku memandangnya datar saja.
“Itu dapet nemu dari tas kamu” katanya, sebelum aku mengatakan apapun. “Dingin disini, biar agak anget” tambahnya pula, beralasan.
“Kamu yang nyuruh gue jangan ngerokok, gak taunya kamu sendiri…” gumamku dengan suara yang masih parau. “Kalo dingin, minum air anget, atau peluk gue. Lagian bukannya tidur, malah nongkrong disini”
“Gak bisa tidur” ujarnya, sambil merapatkan jaket yang dia pakai.
Aku mengernyitkan kening, sebelum kemudian memeluknya dari belakang.
“Emang kamu gak capek?”
“Capek, Niel”
“Nah harusnya kamu tidur…”
“Aku capek tapi aku gak bisa tidur”
Aku menghela nafas, lalu menyimpan wajahku di antara lekukan leher dan pundaknya. Aku memejamkan mata disana, sambil sedikit mengecupkan bibirku.
“Kamu kurang capek kali ya… mau aku bikin lebih capek?” gumamku, asal, tanpa melihat padanya. Aku merasakan tepukan pelan di kepalaku, dan membuatku tersenyum konyol.
“Aku capek banget justru, Niel. Badan aku, otak aku... batin aku”
Perlahan aku membuka mata ku, mendengar kalimat seriusnya. Aku memandangi dia dari samping. Wajah sempurnanya yang sudah sangat menyesatkanku ini dan tak pernah membuatku bosan.
“Terus?” ujarku.
Levi terdiam beberapa detik, sebelum kemudian dia menarik nafas panjang, lalu melirikku. Ujung hidung kami nyaris bersentuhan.
“Kita udahan aja” bisiknya.
“Hah?” aku mengernyitkan kening, merasakan tak nyaman di dada karena kalimat pendeknya itu.
“Kita udahan kabur kayak gini, Niel. Aku pikir, kita gak akan pernah bahagia setelahnya. Jujur sama aku, kamu juga cemas kan? Kamu mikirin keluarga kamu? Kamu pasti gak mau kayak gini…” jelasnya tiba-tiba, untung tidak seperti yang aku pikirkan. Aku pikir, dia meminta putus.
“Terus?” lagi-lagi aku hanya meminta dia melanjutkan.
“Kita pulang, kita bicara sama orang tua kamu… sama ibu aku…”
Deg.
Aku terkesiap. Pikiran itu ternyata melintas juga di benaknya. Pikiran yang menurutku adalah seperti seorang pengecut. Kami sudah bergerak sejauh ini, dan aku pikir, kalau kami mendadak berbalik lagi, itu jadi sangat bodoh – terasa benar-benar bodoh. Tapi ternyata Levi malah menginginkannya.
Entah apa yang sudah merubah pikirannya, tapi kalau aku boleh jujur, aku juga sempat berpikir begitu – walaupun rasanya horror sekali membayangkan saat kami harus menghadap ibunya dan orang tua ku. Namun masalah ada untuk diselesaikan, bukan? Kalau kami seperti ini, berarti kami hanyalah lari. Tak ada masalah yang selesai. Suatu saat bisa saja ini akan kembali lebih menyusahkan kami.
Levi mendaratkan kecupan singkat di bibirku, membuatku mengerjapkan mata dan membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum lembut, seperti ingin menguatkanku.
“Makasih kamu udah mau ngelakuin semuanya sejauh ini sama aku. Aku beneran gak nyangka. Aku beneran gak menduga kamu bakal jadi orang yang sangat berarti buat aku. Aku mau mertahanin kamu, Niel, tapi dengan cara yang sehat dan nggak dengan lari dari keadaan sebelumnya. Aku gak mau ngerusak masa depan kita, gak mau ngerusak hubungan baik kamu dan keluarga kamu. Aku pengen kita ngejalanin semuanya dengan jujur, dengan pasti dan tanpa nyakitin siapapun. Kita harus mengambil resiko untuk mempertahankan itu. Kita harus mau mengungkap semuanya sama orang-orang yang penting buat kita. Kalo emang Tuhan menginginkan kita buat terus bersama, aku rasa gak akan ada masalah. Kamu setuju kan, kalo kita coba?”
Aku tertegun saja mendengar ucapan panjang lebar Levi. Kenyataan seolah terbuka lagi di depan mataku. Benar, ini bukan sinetron - saat dimana orang-orang bisa dengan mudah menemukan happy ending nya. Kenyataannya harus ada yang kami lewati. Dan kalo memang kami tidak ditakdirkan untuk mendapatkan happy ending kami, maka disanalah kebaikan yang sudah Tuhan siapkan. Yang paling penting sekarang adalah kami harus berusaha. Mencoba untuk lebih jujur, tidak menutupi apapun dari orang-orang yang penting untuk kami.
Aku nyaris tak bisa berpikir lagi, kepalaku rasanya full, dan dadaku sedikit sesak. Aku pun menyandarkan kepalaku di pundaknya lagi. Aku ingin menangis, tapi tidak mudah karena pada dasarnya aku memang tidak gampang menangis. Hanya saja rasa sesak di dada ini tak bisa aku elakkan. Aku pun mengeratkan pelukanku di tubuh Levi, dan dia balas memelukku erat.
We’ve got the final. Rupanya ini yang ditunjukkan Tuhan setelah beberapa hari kami seperti anak labil yang konyol mengambil keputusan. Ujung-ujungnya, kami harus kembali. Kami masih membutuhkan orang-orang yang biasa ada di kehidupan kami. Kami akan menghadapi mereka semampu kami. Kami masih ingin dicintai dan tak mau meninggalkan apapun yang sudah ada di hidup kami. Levi yang sudah membuatku seperti kehilangan pikiran jernihku, tapi sekarang Levi juga yang menyadarkanku. Bagaimanapun kami hanya manusia biasa dan kami masih muda, belum begitu berpengalaman.
“Aku emang pengen terus sama kamu, Niel, tapi ngeliat kamu hidup dengan bener, bahagia dan sukses adalah yang paling penting” gumam Levi lagi di dekat kepalaku.
Aku tersentuh dan membuatku semakin tak bisa melepaskan pelukan. Aku mencium kepalanya. Aku juga, ingin melihat dia bahagia dan sukses. Aku harus berjuang agar bisa membuatnya tetap berada di sisiku, agar kami bisa sukses bersama. Aku ingin menunjukkan pada ibu dan ayahku, kalau Levi adalah salah satu orang penting yang bisa membuatku jadi seseorang yang membanggakan.
Dan tentu saja, kalau memang kami sudah ditakdirkan bersama – Tuhan pasti tak akan memisahkan kami.
= = = = =
Rumahku tampak ramai ketika kami sampai disana siang itu. Akhirnya kami memang pada keputusan final, bahwa kami akan menghadap orang tua ku. Aku terdiam beberapa saat, sebelum memasuki pagar. Ada dua orang polisi yang keluar dari sana dan pergi dengan mobil mereka. Beruntung tak ada yang melihat kami.
“Kayaknya orang tua kamu minta bantuan polisi, Niel” kata Levi.
Aku tertawa garing.
“Iya tuh, kita udah kayak buronan aja. Pasti ide Tante Mona juga deh” sahutku.
Levi hanya ikut tersenyum datar.
Kami pun masuk ke rumah begitu keadaan cukup sepi. Disana rupanya ada Mbak Lidya, William dan Dara. Mereka terkejut nyaris bersamaan begitu melihat kami.
“Adniel! Levi!” panggil Mbak Lidya, freak out seperti biasanya. Dengan konyolnya aku malah melambaikan tangan dan menghampiri mereka seperti orang penting yang sedang dinantikan. Aku tidak begitu ambil pusing dengan kecemasan yang jelas terlihat di wajah mereka.
Tapi belum aku sempat bercanda dengan mereka untuk menenangkan semuanya, orang tua ku muncul dari dalam diikuti oleh ibunya Levi. Aku jadi menahan diri untuk membuat lelucon karena wajah orang tua ku begitu tegang. Aku mencoba tersenyum dan menyapa mereka.
“Ayah, Ibu—“
PLAK!
Sapaanku disambut dengan tamparan dari ibuku. Aku terkejut setengah mati, semua orang terpana. Suasana pun jadi hening, sebelum kemudian terdengar isakan dari ibuku. Ibu menangis di depanku, aku jadi tak tau harus melakukan apa. Ayahku juga malah membeku di tempatnya. Ibu kembali mendekat padaku, aku bersiap agak mengelak, takut ditampar lagi, namun rupanya ibu malah memelukku, erat sekali. Dia menumpahkan tangisannya di dadaku.
Aku semakin tercekat, tak tau harus melakukan apa selain balas memeluk dan ikut menangis dengannya. God, aku tak biasa menangis, tapi hanya karena wanita yang sangat aku cintai ini… aku sungguh tak bisa menahan air mataku. Aku tak tau lagi bagaimana orang di sekeliling kami, bagaimana Levi dan yang lainnya. Aku hanya memeluk ibu ku erat-erat sambil membisikkan kata maaf berulang-ulang di telinganya. Ibu ku tak pantas menangisiku seperti ini. Dia tak boleh menangis lagi.
. . . . .
Tatapan ayah terasa menusuk begitu beliau memandang padaku dan Levi bergantian. Kami sudah selesai dengan acara menangis tadi. Ibu sekarang sudah lebih tenang, rupanya ibu memang hanya ketakutan – lalu tadi begitu lega sampai jadi tak bisa menahan emosinya. Aku sungguh sangat beruntung memiliki ibu seperti ibu ku, aku tak akan pernah mau menjauh darinya lagi.
“Jadi kalian pacaran?” ayahku mengulang, setelah tadi aku menjelaskan semuanya. Termasuk bagaimana perasaanku pada Levi. Aku berusaha untuk tak merasa ketakutan lagi, aku sudah tak ada ide – aku hanya ingin jujur.
“Iya Yah. Aku sayang banget sama Levi”
Levi tampak menundukkan saja kepalanya. Aku melihat William dan Dara yang duduk di ruangan lain juga tampak tak bisa melihat ke arah kami. Mbak Lidya pun seperti jengah berada di kursinya. Dan ibu Levi mencoba tetap tenang memperhatikan situasi.
“Kalian sadar kalo kalian ini—“
“Itu sudah tak perlu dibahas” Ibu Levi menyela perkataan ayahku. “Mereka sangat sadar, sekarang urusannya adalah, apa kalian akan menerima keadaan Adniel atau tidak?!”
Tante Mona yang sebaya dengan orang tua ku, jadi bisa lebih blak-blakan untuk menyela mereka. Walau sebenarnya juga aku bingung, bukankah, dia juga sebenarnya menentang hubunganku dengan Levi? Tapi sekarang aku malah merasa Tante Mona sedang ikut memperjuangkan kami.
“Ok, saya paham” sahut ayahku. “Ini masih terlalu membuat shock, tapi…” ayahku tampak tak bisa mengungkapkan apa yang dia pikirkan. Pasti memang sangat sulit. Dan aku sebenarnya bersyukur karena ayahku tidak langsung memarahiku. Dia tampak tenang, meski aku tau mungkin aku sudah mengecewakannya.
“Kita sayang Adniel, kan Yah? Adniel tetap Adniel putera kita” ibu ku menyela. Setelah sejak tadi dia terdiam, ternyata dia sedang menyelami perasaannya sendiri – mungkin. She’s really my only cool and great Mom.
“Iya Bu…. Cuma—“
“Dia sudah dewasa, sepertinya kita harus lebih bisa menerima itu, Yah. Kita harus menghormati pilihan dia”
“Benar. Saya juga berpikir begitu. Kalo kita tetap memaksakan kehendak dan egoisme kita, mungkin kita malah akan kehilangan mereka lagi. Kita hanya ingin anak kita bahagia, bukan?” sambung Tante Mona. Kedua orang tua ku dan ibu Levi, saling memandang. Mereka seperti saling menguatkan dari tatapan mereka.
“Aku gak akan ngecewain kalian. Aku bakal jadi orang sukses yang bisa kalian banggain, bakal jadi anak yang terus berbakti. Tapi buat kehidupan pribadiku kelak, aku sudah memutuskan untuk tetap bersama Levi” aku kembali bicara, entah mendapatkan kalimat sebagus itu dari mana.
Levi sampai melirikku dan tampak terpana. Pasti tak percaya melihatku yang bisa bicara. Aku malah mengedipkan sebelah mataku padanya. Dia tersenyum tipis, sebelum kemudian, melihat pada ibunya, lalu melihat pada orang tua ku.
“Saya juga akan menunjukkan yang terbaik. Saya akan memperlihatkan pada Ibu, Om dan Tante, kalo kebersamaan saya dengan Adniel akan membuat kami bahagia, membuat kami menjalani hidup dengan lebih baik. Saya janji”
Damn. Here it is my Leviandra. Dia selalu jadi yang terbaik.
I don’t regret anything, really never.
Orang tua ku dan Ibu Levi tampak tersentuh juga sepertiku. Memang tak ada ungkapan tertentu, tapi kemudian, ibu beranjak dari duduknya lalu memeluk Levi –sedangkan Tante Mona mendekat padaku dan memelukku.
Suasana hening beberapa saat sampai kemudian ayah menghela nafasnya panjang.
“Ok, buktikan semua yang sudah kalian katakan” kalimat dari ayahku beserta senyuman dari nya, membuat semua menjadi lebih jelas dan menemukan titik terang. He’s really my great Daddy.
Oh Tuhan, ternyata Engkau menginginkan aku dan Levi bersama. Terima kasih.
Aku menangis lagi untuk kedua kalinya hari itu.
= = = = =
Dua tahun kemudian…
Happy ending rasanya terlalu terdengar drama dan muluk. Sad ending juga seperti sudah biasa terjadi di film-film bertema gay yang pernah aku tau. Tapi hidup yang aku jalani dengan Levi adalah kenyataan yang sama sekali tak pernah aku tau akan berakhir seperti apa. Hanya sejauh ini, aku memang cukup bahagia, bisa tetap bersamanya dan berhasil menyelesaikan kuliah kami bersama juga.
Dukungan keluarga dan teman-teman adalah sungguh segalanya untuk kami. Kalau kami bisa dibilang sebagai orang yang beruntung, aku mau mengakuinya. Kami memang beruntung karena memiliki keluarga dan teman-teman yang mau menerima kami. Apalagi yang harus kami minta? Tuhan sungguh sudah terlalu baik, sudah memberikan yang lebih dari bayangan kami.
Begitupun dengan hari ini, aku harus bersyukur ketika aku melihat Levi yang sedang membereskan pakaiannya ke dalam koper. Seminggu yang lalu, Levi mendapatkan tawaran beasiswa dari kantor tempatnya bekerja, untuk melanjutkan kuliah magister ke luar negeri – tepatnya ke Melbourne. Dan seperti yang aku duga, Levi memang menerima tawaran itu karena bisa berada di negara yang sama dengan Tante Mona dan keluarga barunya. Aku harus mensyukuri itu karena ini jelas kesempatan baik untuk Levi. Aku juga senang kalau dia senang bisa bertemu dengan ibunya.
“Kamu pasti bakal lebih sering pulang ke Sydney daripada kesini” ujarku membuka pembicaraan setelah selama beberapa saat kami sama-sama terdiam.
“Mungkin” jawab Levi, masih agak sibuk dengan pakaiannya. “Ke Sydney lebih hemat biaya daripada aku pulang kesini” katanya jujur, dan tersenyum lucu padaku.
Aku mendengus, lalu menekuk wajahku.
Levi yang menyadari wajah cemberutku, langsung mengacak rambutku dan mengecup hidungku.
“Jangan ngambek gitu dong… kalo kamu mau ikut, aku malah seneng lho!”
Aku tersenyum kecut padanya.
“Gak usah ngeledek. Gue mana ada dapet beasiswa dari kantor” cetusku, pahit.
Levi tersenyum lagi, dan kembali mencium pipiku.
“Kamu bisa ijin dari kantor buat liburan sama aku disana”
“Iya, kalo kerjaanku gak segunung” lagi-lagi, aku menjawab dengan agak ketus.
Pekerjaanku sebagai seorang manager di sebuah bank swasta di Jakarta memang cukup menyita waktu. Aku beruntung (lagi) bisa bekerja disana, karena sebelumnya aku malah berpikir, aku akan menjadi pemain basket saja. Aku nyaris tak yakin dengan ilmu yang sudah aku dapat di kampus. Beruntung, Levi selalu menyemangatiku, sampai aku bisa melewati semua test dan jelas bisa berbangga dengan hasil jerih payahku sendiri.
“Oh ya, bulan depan, William katanya mau pulang dari Jerman” kata Levi.
“Hah?” aku melihat padanya setelah membantu menutupkan kopernya.
Levi sedang melipatkan kedua tangannya di depan dada.
“Jangan macem-macem ya?” katanya tiba-tiba.
“Nggak akan lah!” sergahku, dengan wajah yang agak memerah. Bekas kakak tingkat sekaligus kapten tim basket ketika di kampusku dulu itu ternyata memang belum menyerah dan kadang masih menggangguku dengan berpura-pura menanyakan kabar melalui telepon atau email. Dia memang berada di Jerman sejak setahun yang lalu. Tapi Levi kadang sering masih mencemburuinya.
“Ah bulan depan kan kawinan si Dara, kamu mesti pulang Lev, kalo nggak ntar kamu dibakar idup-idup sama dia” tambahku, cepat mengalihkan pembicaraan.
Soal jodoh, manusia memang tak ada yang tau, dan walau waktu itu aku sudah bersikeras berusaha menjodohkan Dara dengan William – nyatanya Dara malah berpacaran dengan Harlan dan bulan depan mereka akan menikah. Itu juga sebabnya William akan pulang dari Jerman.
“Oh iya bener” Levi tampak tersadar. “Tenang, aku pasti pulang. Kita ke Bandung, agak bernostalgia dikit kayaknya seru, Hun” ujarnya pula sambil memelukku begitu saja. Aku balas memeluknya dan membuat dia menghadapku.
Ya, dua tahun sudah berlalu tanpa terasa. Aku jadi mengingat kembali ke masa-masa itu, ketika diawal hanya ingin mencoba-coba berpacaran dengan Levi sampai akhirnya aku malah menjadi sangat serius padanya. Kamu memang tak akan bisa memilih siapa orang yang ingin kamu cintai dan ingin kamu miliki. Sungguh. Aku saja tak terpikir akan begitu sangat menyayangi Levi, akan menjalani hidupku dengan seorang laki-laki yang sudah banyak merubah hidupku menjadi lebih baik.
“Gue kangen maen basket sama anak-anak” cetusku tiba-tiba teringat dengan suasana permainan basket yang dulu nyaris tak pernah aku lewatkan.
“Sama William? Aku bilang, kamu jangan macem-macem!” sahut Levi kembali curiga, sambil melepaskan pelukannya.
“Kamu jangan peringatin gue mulu dong. Dia tuh yang macem-macem, gue sih biasa aja!” kata ku, sedikit tak terima.
“Alah, tapi kamu juga yang ganjen. Kamu kesenengan disukain sama dia”
“Lha, ada orang yang suka sama kita, kenapa kita harus benci?”
“Tuh kan—“
“Yang penting kan gue gak nanggepin!” sergahku.
“Tapi kamu suka jadi kecentilan gitu… awas aja kalo aku lagi gak ada nanti terus kamu macem-macem sama dia…”
“Ya ampun Lev, gue tuh gak ada napsu-napsunya tau sama dia!”
“Oh ya? Terus kenapa dulu bisa sampe ciuman?!”
Jleb.
Aku langsung terdiam oleh pertanyaan yang jelas men-skak mati itu. Levi tampak puas dan memberikan senyuman kecut.
“Ada apa sih kok pada ribut?” Ibu ku mendadak muncul disana, secara tak langsung menyelamatkan aku yang sudah tak bisa membantah ucapan Levi.
“Ini nih Bu, Levi rese” ujarku cepat meminta pertolongan.
Kami memang tinggal di rumah ibu ku sejak bekerja di Jakarta. Rencana nya kami mau membeli rumah sendiri, tapi ibu bersikeras meminta kami tinggal disana. Katanya biar di rumah lebih ramai.
“Rese kenapa?” ibu ku bertanya sambil memberikan kemeja yang akan dipakai Levi setelah tadi meminta di setrika sama Bi Mar di bawah.
“Nggak kok, Tant…” jawab Levi tersenyum saja. Jelas tak mau menjelaskan perdebatan kekanakan kami barusan.
Ibu ku mengernyitkan kening, lalu melihat padaku.
“Kamu masih kesel gara-gara Levi jadi pergi? Makanya, kamu juga harus ulet kayak Levi biar bisa dapet beasiswa juga” omel ibu ku tiba-tiba malah jadi menyerangku.
Levi tertawa ditahan, dan berpamitan untuk ke kamar mandi.
“Itu oleh-oleh buat ibu kamu udah Tante suruh Pak Udin masukin ke bagasi, jangan lupa nanti dikasihin ya Lev. Terus, salamin juga, kapan-kapan Tante sama Om, pasti maen kesana” pesan ibuku.
“Siap Tante” sahut Levi yang terus masuk ke dalam kamar mandi.
Tinggallah aku yang hanya menekuk bibirku disana. Ibu ku hanya menggelengkan kepala sambil menepuk pipi ku pelan, dia lalu keluar dari kamar kami.
Aku cepat mengunci pintu kamar, lalu menyusul Levi ke kamar mandi. Untung dia belum sempat menguncinya.
“Heh, gak sopan!” seru Levi, kaget ketika sudah melepas pakaian dan melihat aku yang tiba-tiba masuk.
“Urusan kita belum selesai!” sahutku sambil mendekat padanya dan mengambil shower dari tempatnya. Tanpa menunggu dia berbicara, aku langsung menyemprotkan air dari shower. Levi berteriak-teriak kesal.
“Adniel! Jangan kayak anak kecil! Keluar gak?!” dia mencoba melawan sambil menutupi wajahnya dengan tangan dari semprotan air.
“Nggak!” aku malah semakin menjadi.
“Kamu ya!”
Dia mendorong badanku sampai aku tersungkur ke dalam bathtub yang sudah terisi air. Bajuku basah dengan sukses. Levi menertawakanku, tapi kemudian aku tarik dia agar berbaring bersamaku disana.
Kami menarik nafas dan menenangkan diri. Dia sudah memudarkan tawanya, terjatuh dalam pelukanku dan sekarang balas memandang aku yang terus menatap wajah manisnya.
“Aku bakal kangen banget sama kamu” kata ku dengan suara yang pelan.
“Sama”
“Aku sayang sama kamu”
“Aku juga”
Aku tersenyum. Dia balas tersenyum.
“Nanti jangan flirting sama bule ya…” ujarku konyol.
“Nggaklah, aku gak suka bule. Gak ada bule yang seganteng Adniel Prawira” katanya malah menggodaku dan sengaja mengedip-ngedipkan matanya juga. Dia tau persis kalau aku sangat suka sepasang mata besarnya itu. Aku pun merasakan hangat di wajahku, pasti pipi ku sudah memerah.
“Nanti jangan lupa buat terus hubungin aku”
Levi mengangguk. Perlahan, dia mendekatkan wajahnya denganku, menyentuh rambutku, lalu menyentuhkan ujung hidung kami. Aku tak bisa menunggu lagi, dan mulai mendekatkan bibir kami. Baru satu kecupan, tapi kemudian aku terpaksa menjauh karena Levi menyemprot wajahku dengan shower yang entah sejak kapan sudah dipegangnya. Dia tertawa terbahak-bahak sambil melepaskan diri dari ku.
“Leviandra!” teriakku dan cepat bangun untuk mengejarnya. Aku berhasil memeluknya lagi tapi dia memberontak. Kami pun jadi bercanda sambil bermain air disana. Melihat dia tertawa selalu membuatku bahagia.
Well, I’ll miss him soon.
= = = = =
[THE END]
see ya for now! ciao
@rieyo626 ada rencana bikin cerita lagi?
Anyway, Thanks udah Menamatkan cerita ini... Suka banget. Alurnya enak dibaca. Kalo ada cerita lagi, kasih info yang Bang... Two thumbs deh buat abang :-bd
Cerita kesukaan gue akhirnya abis, rasanya baru kemaren levi nembak adniel, eh sekarang levi udah mau ke aussie, hiks hiks