It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Putih. Setidaknya warna itu yang ku dapat saat setelah indra penglihatanku menangkap langit-langit ruangan ini. Mataku harus mengerjab-erjab dua hingga tiga kali karena terasa samar dan tidak jelas. Tanganku sudah mengelus-elus daerah kepala, rasa pening masih belum sirna. Ku coba bangkit dengan posisi duduk berselunjur menggunakan tumpuan siku tangan.
Berada dalam ruangan berkelambu biru terang serta berkasurkan tinggi dilapisi lamak plastik, membuatku seperti seonggok orang yang sedang terjangkit virus mematikan. Pasalnya, aku tak mendengar ke-hiruk-pikuk-an ruangan ini. Apa guna sekalah mendirikan UKS, jika tak berpenguni? Kemana perginya penghuni ruangan ini? Mereka kagak cocok untuk menjadi petugas UKS. Atau lebih baik, ruang UKS ini ditiadakan saja. Jelas-jelas ada orang yang butuh pertolongan. Malah di-kambing congek-an begini.
Aku turunkan kakiku. Aku ingin segera masuk kelas. Tak sampai kaki mendarat di lantai, suara derit pintu terdengar. Pintu terbuka. Kemudian, ku rasakan seseorang sedang mendekatiku.
“Kau sudah sadar, rupanya?” kepala Fahry menyumbul dari balik tirai. “Ini … aku bawakan obat sakit kepala buatmu. Diminum cepat!”
Heran. Dari mana dia tahu, kalau aku disini dan juga tahu kalau aku sedang pusing? Aku menggapai obat itu dari tangannya. Ini kedua kalinya, aku menyentuh telapak tanganya. Kikuk lagi-kikuk lagi-lagi-lagi kikuk.
“Tapi-” ucapanku terpotong tatkala Fahry secara gesit menahan kata-kata terakhirku yang telah aku siap koarkan.
“Kamu belum makan, bukan?” dia berhenti seraya memencingkan alis tebalnya.”Wait a second! Aku akan segera kembali”
Dia segera menghilang dari sibakan tirai. Huh… padahal aku ingin menanyakan : “Tapi… kamu tahu dari mana aku disini?” dan itu harus aku tunda beberapa saat lagi. Ya, harus menunggu ia kembali membawakanku sepiring makanan, karena kata-kata terakhirnya seakan menegaskan hal itu.
Menunggu sesuatu yang sangat mengesankan buatku, aku bersedia 25 menit-ku terbuang sia-sia demi Fahry. Dia pasti akan datang.
Dan benar. Dia tiba bersama sepiring mie goreng dan sebotol air miniral di masing-masing tanganya.
“Maaf kelamaan… karena stok air mineral di kantin udah habis. Jadi, aku membelinya di luar sekolah” kata Fahry polos.
Ya… Tuhan! Se-perhatian-itu-kah dia padaku? Cowok yang selama ini mengisi fantasi-fantasiku. Cowok yang selalu berhasil membawaku ke dalam unconcious mind-ku, sekonyong-konyonya bertulus hati merelakan tenaganya untuk sebotol air mineral untukku. Manis sekali.
“Karena aku telah membuatmu menunggu, sekarang buka mulutmu! aku akan menyuapimu.” Fahry membuka setengah mulutnya, mengisaratkan aku mengikutinya.
Di luar dugaanku. Ya, ini memang di luar dugaanku. Aku mengiyakan permintaanya dengan turut membuka mulutku. Mengunyah lalu menelannya ke kerongkongkongan. Berat memasukkanya, karena yang aku butuhkan adalah air. Menyadari kalau aku sedang kesulitan menelan mie goreng, cepat-cepat Fahry merogoh botol air mineral yang teronggok di atas meja putih kecil di sebelah kanan ranjang.
.
“Minum dulu,” kata Fahry sambil memutar tutup botol, kemudian
menyodorkan ke mulutku. Aku tak bisa fokus, sebab mata Fahry dan mataku terpaut secara intens. Sungguh, matanya bagaikan siksaan bagiku, begitu menyakitkan sehingga memaksakan diriku untuk mengalihka pikiranku darinya. Sampai-sampai adegan ini diwarnai dengan insiden jelumernya air dari mulut. Ternyata, Fahry juga sama sepertiku. Sama-sama tidak fokus. Jadinya cangung.
“Sorry… sorry…” Fahry bringsut. “Basah deh bajumu.” Betapa aku tersenyum melihat ke-kelimpung-an Fahry ketika menyeka kerah lengan seragamku. Dan itu, terekspresi dari kecanggungan mimik wajahnya.
KLINTIIINGGG… TIIINGGG…
Nah, terbukti… giliran garpu yang terpelanting dari piring. “Oh… shit!” umpat Fahry. Aku hanya bisa menahan tawa di sela-sela ke-salah tingkahannya, hingga berlanjut ke menit-menit selanjutnya.
Setelah menghabiskan mie goreng dan minum obat, aku berniat kembali ke kelas. Karena kupikir sudah 2 jam mata pelajaran yang ku tinggalkan. Sempat Fahry mencegatku agar ber-adempouze dulu, tapi aku menolak. Dan dia tidak memaksa. Lagi pula aku sedikit terganggu oleh kuliah-kuliahnya, yang memerintahkan aku agar bangun lebih pagi-lah, makan sebelum berangkat sekolah-lah, jangan diulangi lagi-lah, dan masih banyak lah-lah lainnya yang dialamatkan kepadaku. Mungkin itu bentuk care-nya terhadapku. Oh… Aku semakin jatuh cinta pada Hunny Bunny-ku itu.
Kutemukan teman-temanku di kelas. Tidak ada guru, membosankan. Ajaibnya, moment-moment seperti inilah yang paling digemari siswa. Lebih leluasa untuk kembali ke dunia ke-kanak-kanak-an. Mereka tak sadar kalau orang tuanya jungkir balik mencari duit demi menyekolahnya di luar sana. Tetapi tidak berlaku untukku. Aku sadar betul, bagaima tangan kasarnya bunda saat bekerja mati-matian demi rupiah.
Jikalau seperti itu, tanpa diinterupsipun, aku sudah memanggil guru piket lain tuk mengisi kekosongan ini. Eman bukan? (aku tak yakin, kalau kalian sepaham denganku… hihihi. Just kidding). Berhubung, keadaanku yang tak memungkinkan ke ruang TU (Tata Usaha) sebab masih LOYAL alias loyo total, berjalanpun masih sempoyongan. Terpaksa, di-pending dulu niatan suci ini. Ku harap malaikat sedikit berwelas asih tuk tidak menjejalkan coretan merah di buku amalku. Semoga.
“Untunglah kamu sadar. Aku sudah menyiapkan mobil jenazah. Seandainya kamu tidak bangun hari ini.”
Sindiran pertama yang aku peroleh tatkala aku menghempaskan pantatku di pangkuan kursi. Toyyib bermajas ironi lalu menyeringai. Menjengkelkan.
Melawannya? Tidak perlu. Aku seharusnya berterima kasih padanya. Soalnya, Toyyib lah yang membopongku ke UKS. Ya, Fahry menceritakannya kepadaku, kalau-kalau dia tak sengaja melihat beberapa anak kewalahan mengangkat seorang siswa yang pingsan di tengah lapangan. Siapa lagi, kalau bukan aku. Kata Fahry sih, Toyyib, si anak baru lah yang paling panik saat itu. Aku sepaham dengannya, karena wajah Toyyib ketika panik seperti tidak asing bagiku. Sangat. Sayangnya, aku lupa mengingatkan kepada siapa wajah itu.
“Thanks… udah mau membopongku ke UKS” kataku datar.
Awalnya Toyyib melongok, kemudian tersenyum. “Baru nyadar, ya?”
Hu… Apa aku harus melayani nonsense-nya? Tidakkah dia mau berhenti menggangguku kali ini saja? “Maaf, aku lagi bad mood berdebat denganmu.” Aku memandang sekilas Toyyib, lalu menelungkupkan kepala ke dalam lipatan tanganku. Aku mendengar dia menggerundel dan diakhiri oleh dahakan batuknya. Rasain! Gimana rasanya tersedat ludah sendiri. He… kasian dé lu!
###><###
C'mon, lanjutin critanya...
Virus “G 1 L 4″ menyerang sarah-saraf otakku. Logika-ku dikalahkan akal kotorku. Oke! No problem! HEY… Bagaima bila aku bener-bener tak waras? Senyum-senyum sendiri, bahkan mengguman kata-kata tak jelas. Parahnya, mitra bicaraku malam ini adalah si Manis, kucing kesayangku.
“Hm… Manis, kau pernah tidak, merasakan indahnya Felling in love?” boleh dikata, aku ternyata telah gila sesungguhnya. Menanyakan pertanyaan bodoh pada seokor kucing.
Aku lihat si Manis, tertidur pulas disampingku. Rupanya, dia tak mendengarkan majikannya ber-sabda-ria. Malah asyik ber-ngorok-ria. Batinku gondok. Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin mengerjainya. Ku dekatkan mulutku ke lubang telinganya, lantas ku serup telinganya keras. Spontan Manis bergeleng-geleng kayak ayam mati geleng. Aku bergelak geli. Beginilah bila penyakit usilku kumat.
Manis tak terima diperlakukan seperti itu. Dia menatapku bengis seolah-olah mengisyaratkan sesuatu supaya aku berhati-hati. Mungkin jika diterjemahkan dalam bahasa manusianya : ‘MEMANGNYA DI DUNIAMU TAK PERNAH ADA PELAJARAN SOPAN SANTUN KEPADA MAKHLUK TERMANIS SEPERTIKU? DASAR MANUSIA! TAK BER-PE-RI-KE-HE-WA-NI-AN”
Oke! Nuansa batinku sedang berbunga-bunga maka aku tak berhasrat mendampratmu dari kasur empukku, bisikku.
Aku mengucel-ngucel kepala kucingku. “Mau kamu mencakarku sampe’ berdarah, menggigitku hingga taring-taringmu tanggal semua. Aku tak perduli.” kataku sambil terus mengacak-acak bulu si Manis,
MEEAWWW…
NGEEEKK…
AWWWW…
Aku meringis seketika, sesaat setelah jari kelingkingku mendapat sabitan cakar Pusi. Aku lupa kalau si Manis sedang me-rehabilitasi ekornya, akibat kecelakaan ‘bakiak nyasar’. Refleks, kugapai bantalku, berencena menimbuknya. Namun, Telat, Manis telah berlari terbirit-birit sambil menjerit-jerit yang entah jika ditranslate paling mengucapkan kata KAABUUURRR….
“HEY…DAMN! KAMU MAU KABUR KEMANA?” pekikku yang disambut oleh teriakan bunda diseberang kamar.
“HILAL…! CEPAT TIDUR! JANGGAN TERIAK-TERIAK! SUDAH MALAM…!”
“uuppss,” hadeeeh… Aku wajib tahan mental, tak ada yang mendukung percintaanku. Itu berarti, aku harus mencorat-coret isi diary-ku. Kali saja, kesurupanku mampu terobati.
apa y nasib hilal setelah menyepakati perjanjian sm robby selama seminggu...;(
"Iya... abang tau. Suruh tunggu bentar!"
Aku mematut dicermin. Memastikan kesempurnaan penampilanku di hari minggu ini. Baju? Oke. Celana? Oke. Rambut? Oke. Bibir...? Untuk yang ini, gak usah kali, ya. Kesannya agak sedikit aneh. Mata? Apa Aku juga harus memakai bulu mata anti badai-nya Syahrini? Ih...Gila. Aku tak biasa. Baiklah, adegan solek menyoleknya disensor sampai sini dulu.
Aku beranjak dari bilik kamar. Mendapati Ilham, sahabatku, duduk bertemankan Diah di sampingnya. Sahabatku satu ini, senasib dan seperjuanganku. Mulai dari hobi, selera, kesukaan, penampilan, kebiasaan, dan kesemuaannya. Hampir gak ada bedanya sama aku, hanya saja aku tidak janji ukuran kejantanannya juga menyamahi kepunyaanku. hihihi.
"Sobat..." kataku, "Aku udah siap nih," lanjutku.
Ilham menoleh. "O ya... Kalau gitu kita cepat cabut yuk..."
Pandanganku teralihkan kepada adikku. "Dek... bilang sama Bunda, abang Hilal mau ke gramedia sebentar, mau beli buku."
"Siiippp deh bang... jangan lupa bawa oleh-oleh buat Diah ya,"
"Ya...ya. Jaga rumah, jangan sampai si Manis nyolong ikan lagi, ya." Aku mengebah pucuk kepala adikku. Aku paling memanjainya, meski dia rada-rada centil.
Diah tersenyum, memamerkan rentetan gigi-giginya yang kesemuanya nyaris kosong melompong. "Bang Ilham, ingetin abangku ya!" Dia menatap Ilham, "Takutnya, dia cuma janji busuk."
Ya ampun... pintar sekali dia mengultimatunku. Ku jamah pucuk kepalanya, sembari mengulek rambut gelombang Diah.
"Mau abang apain kakakmu ini, bila gak nepatin janjinya," yaaeelah... bahkan Ilham pun ikut mengultimatunku. Sekilas Ilham memandangiku dengan tatapan iseng seiseng-isengnya. Membuatku serasa ingin membelat-belit cucuknya, mengkorek jidatnya, menampeleng pipinya, metasak cuping hidungnya, menggebuk perutnya, lalu... stop! Mau kemana pikiran liarku ini.
"Cemplungin aja ke sumur, bang." celetuk Diah serampangan.
Ilham menimpali dengan berkata, "Ide yang bagus." kalimatnya diakhiri dengan ber-tos-ria sama Diah.
Menyebalkan. "Hey, kapan jalanya?" aku melengking sekerasnya.
"Ih... sabar sikit lah mas bro!" kemudian, "Abang pergi dulu ya... thatha..." Ilham men-dhadha pada adikku. Dan Diah hanya nyengir lepas.
Di jalanan kota. Aku dan Ilham menuju gramedia. Memang tak jauh dari rumah, sehingga aku cuma meluncur mengendarai sandalku. Kalian ber-perspektif, kalau aku ini udik, bukan? Aku tak sekamseupay yang kalian pikir. Sandalku bukan sandal jepit, tapi aku senang menamainya sandal. Lebih gampang disebut.
Berputar-putar hanya mencari novel picisan, membutuhkan waktu setidaknya bermenit-menit hingga berjam-jam lamanya. Cowok gila berahi macam aku, akan tiba-tiba menjadi gatal tak beralaskan. Tak aku gubriskan si Ilham yang beruar-uar.
"Jangan lama ngacir di sini dong, malu di lihatin orang. Kita seperti ibu-ibu hamil yang lagi ngidam." guman Ilham setengah berbisik, yang menurutku hanya penghuni surgalah yang dapat mendengarnya.
Aku mendesah panjang, "Sabar... orang sabar banyak ayamnya," tandasku yang sukses mengkerucutkan bibir Ilham. Aku tertawa maksa. Apa hubungannya sabar dengan banyak ayam?
Aku terus mengobrak-abrik rak demi rak buku di setiap penjuru toko. Menjamah beberapa novel, kemudian meletakkan kembali karena tidak sesuai seleraku. Ke sana-ke mari bagai orang kemalingan kolor. Tak ada novel yang kentara dengan suasana hatiku. Dan pada akhirnya, pilihanku jatuh pada mini teenlit yang baru saja kukantontongi. Ujung-buntutnya cuma satu saja yang terpilih.
Seusai melakukan proses administrasi pembayaran, kami bergegas pulang. Melepas landaskan kakiku keluar Gramedia. Gramedia di kotaku, bersebelahan dengan Matahari Departemen Store. Banyak manusia berlalu-lalang di sekitaran aku memijakkan kakiku kali ini, tepatnya trotoar jalan raya.
"Hilal... kita beli itu, yuk!" sobatku menunjuk stand penjualan Ice Cream di seberang jalan. Sekejab tangan Ilham menggelung pergelangan tanganku, menyeretku ke abang tukang Ice Cream itu.
Di belikanlah aku secentong ice cream oleh Ilham. Sahabatku sangat pengertian ikhwal ke-boke'-an-ku. Terlalu perhatian malah. Tak ayal, aku memposisikan dirinya nomer dua tempat curhatan setelah diary. You know what, dia ngerti dengan keadaanku yang "Keterbelakangan Seks", maksudnya mencintai sejenis. Sebab, antara aku dan dia sama-sama dalam tanda kutip itu.
"Ice cream-nya enak, sobat." akui aku sambil menjilat gundukan es yang membumbung di atas curung kerucut.
Ilham mengguman tanda membenarkan.
Aku terus menjilat-jilat ice cream tanpa memalingkan kepala ke depan. Sibuk menikmati manis dinginya es. DAN...
EEMMPPHH...
Hidungku menyerguk es, sesaat setelah badanku tertubruk salah seorang pria di hadapanku. Aku menggiring penglihatanku ke arah orang yang menubrukku. Pria itu mengambil hp-nya yang jatuh berantakan. Uh, aku patut dipersalahkan.
"JALAN PAKE' MATA DONG!!!" bentak orang itu seketika menoleh padakku.
Jegggeer...Oh my gosh!! Pria, tepatnya cowok itu adalah... Toyyib???
"KAMU-?" teriakku, berbarengan teriakannya.
Aku mendengus,"Bull-shit!! Jalan lihat-lihat rah!!" cekakku.
"Seharusnya kamu tuh..... lihat nih, hp-ku jadinya rusak berat," lenguhnya, lantas memperlihatkan hp-nya yang pecah belah, "Dan butuh biaya perbaikan."
"Hey... Salahmu sendiri, suruh siapa jalan gak lihat ke depan." Tandasku.
"Kamu juga, makan sambil berjalan. Jangan-jangan di rumahmu, kamu makan sambil tidur-tiduran. Atau parahnya, makan diwaktu berhajat." Dalam keadaan genting ini, dia masih bisa bercanda. Ingin sekali menyumbalnya dengan sisa-sisa corong ice-ku. Di sampingku, Ilham menahan ledakan tawanya. Sial.
"Ada apa, Toy...?" seorang cewek memanggil dari belakangku. Aku membalik. Perempuan manis berambut ekor kuda tengah teheran-heran. Jidatnya mengkerut. Aduh... Mata julingku berkeliaran-aku seyogyanya ngeh di perhatikannya-mukaku blepotan, seharusnya kuseka sedari tadi. Ini karena adu mulutku dengan manusia 3/4 iblis itu-bersukurlah Toyyib, aku masih belum menganggap dia sepenuhnya benar-benar iblis.
"Oh gak apa-apa kok, nil," jawab Toyyib, "Fans beratku sedang melunta-lunta minta tanda tangan." aku dan ilham kontan mendelik. Toyyib tesenyum licik, begitupun si perempuan yang di panggil Nil itu. Dia melotot.
Glek. Ku telan ludah, meski tersekat di batas diafragma. Ini apa? Mempermalukanku? Damn! Sandalku akan lepas dari posisinya. Memang iya, aku melayangkan sandalku ke arah jabriknya. Tepat! Tepat sasaran! Dia kesakitan. Detik selanjutnya, otakku terjaga namun kakiku bekerja keras. Tiba saatnya meloloskan diri, "SOBAT... LAARIII...!!"
Nafasku terengah-engah. Aku tak seberuntung sahabatku, walau Toyyib dipastikan tidak mampu mengejarku, tapi salah satu kakiku menderita akibat kasarnya aspal. Uh, maafkan aku, sandal! Aku mengorbankanmu. Poor you.
###><###
Aku ngos-ngosan selepas lari 10 kali mengintari bibir lapangan. Berolah raga adalah tindakan ruda paksa menurutku. Aku tidak hobi olahraga. Tak ada istilah "Bola" di kehidupanku. Aneh, jarang ada cowok selangka aku. Sepak bola, vollyball, basket, futsal, de es be, sama sekali asing buatku. Kalian juga ada yang sepertiku?
Aku duduk di kursi koridor sekolah dekat lapangan. Setelan kaus olah raga yang lembab masih membungkus badanku. Aku merehat badan sejenak. Di lapangan masih ada beberapa anak yang menyibukkan diri mereka bermain sepak bola. Aku melihat Toyyib juga disana. O ya, aku lebih menyembunyikan diri darinya. Bagamana tidak? Setelah kejadian 'sandal melayang' itu, aku selalu berpikir dia akan membalasnya. Oleh itu, bersembunyi cara ampuh mengatasinya.
"Heh... bengong aja," suara bariton itu menghenyakkan aku dari lamunan. Aku menoleh, seorang yang familiar dengan mata pembunuhnya duduk bersandar disisiku. Fahry menyodorkan sebotol air. Kenapa air terus sih? Saking tawaran ciuaman yang dia sodorkan. Aku pasti menerimanya dengan senang hati. Hidupku memang penuh khayalan termuluk.
"Mau aku bantu meminumkannya untukmu?" akhirnya... ucapan spontanitasnya sukses menyerap semua oksigen di paru-paru.
Aku menggeleng. "Gak- gak usah." jawabku tergagab. Aku menjamah botol itu dari tangannya, meminunya lalu mengembalikan kepadanya.
Fahry meneguknya pula. Ciuman tak langsung-orang bilang begitu. "Emm... hari jum'at, aku dan guru bidang study olah raga berencana ngadakan renang bareng," jeda 5 detik, "Kelasmu sudah dikonfirmasikan sama pak Irwan tentang ini?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Iya... beliau bilang tiap kelas pada ikut semua. Dan diwajibkan" Aku menjawab sejujurnya. Dia mangut-mangut. Lalu matanya terbang ke langit diatas. Terdengar seorang siswa berteriak ke arah kami, meneriaki nama Fahry. Ketika yang dipanggil tak kunjung menyahut, dia kembali berteriak.
"Tunggu sebentar!" Fahry membalas teriakan siswa itu. "Maaf ya, aku harus segera kesana." katanya terus berlalu. Aku berdiri memandangi siluet punggungnya tanpa kedipan.
"HEYY... AWASSS!!"
Lengkingan suara pekikan menyengat kupingku. Aku tahu asal muasal suara itu. Saat itu pula, buru-buru ku seret pandanganku kesana. Tapi....
BUUKKK...
Sebuah pukulan menghantam daerah pelipis kanan sebelum aku menarik kepalaku ke arah lapangan. Tubuhku tersuruk ke dasar kramik. Mataku memburam serta mulai kehilangan daya penglihatan. Namun, aku masih dapat melihat benda mengelinding didekatku. Akupun baru sadar, aku terkena hantaman bola sepak.
Perlahan aku bangkit. Cenat-cenut yang merajah kepala sebelah kanan kentara betul. Kuraba, aww... shit! Suara gelak tawa memantul-mantul seolah-olah menggeropyok-ku. Aku geram. Kuraih si kulit bundar. "Siapa yang sengaja menendang bola ini ke kepalaku?" aku melengking cekak. Sontak suasana menciut. Pandangan teman-temanku terarah pada sosok yang mematung tanpa merasa berdosa di tengah lapangan.
Ya Tuhan! Sampai kapankah kesialan yang ditimbulkannya akan segera berakhir? Aku berang teramat sangat. "Mau kapan kamu tetap mengusiliku?" bentakku pada Toyyib.
Dia bringsut. "Jangan memfonisku dulu! Aku gak sengaja." timpalnya bergetar.
Emosi di batas ubun-ubun. Sebentar lagi, aku akan meledak. "Udah deh, jangan berlagak innocent. Kamu memang ingin balas dendam sama aku, kan? Iya kan?" aku berkacak pinggan. Tak kuhiraukan semua anak-anak memandangiku. Aku berkoak-koak bagai ayam jantan siap mematuk kepalanya.
"Dengerin dulu dong! Aku bener-bener gak sengaja. Sungguh!"
Aku menyangkal. "Bodoh amet!" tindasku. Alunan nafas berkejar-kejaran. Amarahku membuncah. Aku kumpulkan segenap energi, kemudian ku tendang bola yang tadi kutangkupkan di pinggang. Entah setan apa yang merasukiku. Ternyata, kekuatan emosi mampu mendatangkan tenaga yang tak terkira.
Bola melambung di udara, menukik dan jatuh...
CETTARRR...
Bunyi kaca pecah. Oh... tidak, 'CELAKA 13'. Sekata yang tergambar dari ekpresi wajahku. Mulutku mengaum lebar, rahang mengejang, dan aku bergidik hebat. Hawa berubah mencekam. Toyyib, dia begitu juga. Aku memaksakan bubungan ludah masuk ke tenggorokan. Oh... my! Matilah aku...
BERSAMBUNG....